• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH POTENSI PROYEK ENHANCING THE PROTECTED AREA SYSTEM IN SULAWESI (E-PASS) FOR BIODIVERSITY CONSERVATION UNTUK PENGARUSUTAMAAN GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TELAAH POTENSI PROYEK ENHANCING THE PROTECTED AREA SYSTEM IN SULAWESI (E-PASS) FOR BIODIVERSITY CONSERVATION UNTUK PENGARUSUTAMAAN GENDER"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

i

TELAAH POTENSI PROYEK ENHANCING THE

PROTECTED AREA SYSTEM IN SULAWESI (E-PASS)

FOR BIODIVERSITY CONSERVATION

UNTUK PENGARUSUTAMAAN GENDER

Oleh

Hiras Sidabutar

Yani Septiani

Jakarta, Desember 2016

(2)

ii

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN ... 1 2. STUDI LITERATUR 2.1. Sejarah tentang isu gender terkait lingkungan ... 3 2.2. Isu gender di tataran global ... 4 2.3. Isu gender dalam konteks nasional ... 6 3. METODOLOGI 3.1. Pendahuluan ... 7 3.2. Kerangka Kerja Konseptual ... 7 3.3. Kerangka Kerja Operasional ... 9 3.4. Sumber Data dan Informasi ... 10 4. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Dokumen Proyek E-PASS vs Masalah Gender ... 11 4.2. Profil Gender di Sekitar Lokasi Proyek ... 11 4.2.1. Partisipasi gender dalam kegiatan pembangunan ... 11 4.2.2. Indeks pembangunan gender (IPG) ... 14 4.2.3. Hasil pengamatan profil gender di lapangan ... 15 4.3. Analisis Kebutuhan SDM Proyek E-PASS ... 18 4.3.1. Desain proyek E-PASS ... 18 4.3.2. Menaksir kebutuhan GSA akan SDM ... 19 4.4. Analisis Ketersediaan SDM di Sekitar Lokasi Proyek ... 23 4.5. Kesenjangan Gender ... 25 4.6. Komitmen UNDP untuk pengarus-utamaan gender ... 25 5. PROGRAM PEMBERDAYAAN SDM PEREMPUAN 5.1. Upaya Pengarus-utamaan Gender vs Program Pemberdayaan Perempuan 26 5.2. Dampak program pemberdayaan yang diharapkan ... 26 6. PENUTUP 6.1. Kesenjangan Gender ... 34 6.2. Potensi untuk meningkatkan partisipasi gender dalam Proyek E-PASS ... 34 6.3. Pemberdayaan gender sebagai prasyarat untuk berpartisipasi ... 34 6.4. Langkah-langkah operasionalisasi program pemberdayaan gender ... 35 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Daftar kegiatan proyek E-PASS yang dianggap sebagai Gender Sensitive Activities 2. Kuesioner untuk menghimpun informasi profil gender di sekitar lokasi proyek (6 desa, 3 provinsi) 3. Gambaran umum profil gender di sekitar lokasi proyek berdasar survey kuesioner (6 desa, 3 provinsi) 4. Rekapitulasi hasil-hasil survey kuesioner menurut kabupaten

(3)

iii DAFTAR SINGKATAN AHH : Angka Harapan Hidup BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam CBD : Convention on Biodiversity CCA : Community Conservation Agreement CEDAW : The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women E-PASS : Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation FCU : Field Coordinating Unit FGD : Focused Group Discussion GEF : Global Environment Facility GSA : Gender Sensitive Activities HLS : Harapan Lama Sekolah IDG : Indeks Pemberdayaan Gender IPG : Indeks Pembangunan Gender IPM : Indeks Pembangunan Manusia LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDG : Millenium Development Goals MRT : Mengurusi Rumah Tangga PAKTB : Penduduk Usia Kerja yang Tergolong Angkatan Kerja Tetapi Tidak Bekerja PNS : Pegawai Negeri Sipil PUG : Pengarus-utamaan Gender PUKRT : Penduduk Usia Kerja Yang Tidak Tergolong Angkatan Kerja Khususnya yang Bekerja RLS : Rata-rata Lama Sekolah ROT : Rencana Operasi Tahunan RPJN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional SDM : Sumber Daya Manusia SDMPP : Sumber Daya Manusia potensial untuk berpartisipasi TPAK : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja UMKM : Usaha Kecil Menegah UNCCD : United Nations Convention to Combat Desertification UNDP : United Nations Development Programme UNEP : United Nations Environment Programme UNFCCC: United Nations Framework Convention on Climate Change WAD : Women and Development WID : Women in Development

(4)

1

1.

PENDAHULUAN

Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial yang dipahami sebagai pembedaan sifat, peran, dan posisi perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat, dipengaruhi oleh sistem kepercayaan/agama, budaya, politik, dan sistem ekonomi. Konsep gender bisa berubah dalam kurun waktu, konteks wilayah dan budaya tertentu. Pengarus-utamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas suatu kebijakan atau program. Sementara kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

Pengarusutamaan gender adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Istilah gender selalu berasosiasi dengan perempuan, ada beberapa alasan untuk itu; diantaranya apabila dikaji dengan menggunakan konsep analisis gender, memang ketimpangan banyak terjadi pada perempuan, yakni, menyangkut akses yang minim terhadap sumber daya alam, partisipasi dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu program yang masih netral gender, sehingga melahirkan manfaat yang tidak merata terhadap perempuan dan laki-laki. Selain itu pengambilan keputusan dan akses untuk memperoleh informasi serta peningkatan kapasitas lebih banyak dimiliki oleh kaum laki-laki. Dominasi kaum laki-laki ini mengakibatkan kaum perempuan tidak cukup mampu menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya. Bahkan yang lebih parah adalah kaum perempuan bisa menjadi korban dampak negatif kebijakan pengelolaan daya alam/hutan yang bias gender.

Kehutanan umumnya dianggap sebagai sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki sehingga membatasi partisipasi kaum perempuan dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan. Kaum perempuan kerap kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena batasan sosial dan budaya dll. Padahal pengelolaan sumberdaya hutan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup memiliki dimensi gender yang sangat kuat, mengingat perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial memiliki berbagai bentuk keterlibatan. Hubungan-hubungan antara gender dan lingkungan menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki strategi dan pengalaman yang berbeda-beda dalam menangani masalah-masalah lingkungan, serta bagaimana cara mereka memperoleh pengetahuan mengenai perubahan-perubahan lingkungan. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan penting untuk diperhitungkan dalam merancang dan melaksanakan sebuah program atau proyek pengelolaan sumber daya hutan. Pelibatan kaum perempuan dalam pengelolaan hutan dan pelestarian alam melalui partisipasi efektif dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan tata kelola hutan dan kelestarian sumber daya. Dengan demikian, di berbagai hutan dan negara, kesetaraan jender yang lebih luas merupakan salah satu kunci menuju pengelolaan hutan secara lestari. Banyak contoh dari lapangan menunjukan bahwa perempuan peranannya yang sangat besar dalam membantu menyebarkan prinsip-prinsip konservasi di masyarakat terutama di kalangan keluarga dan anak-anak.

Saat ini hampir semua program pembangunan atau proyek kerjasama memiliki mandat untuk mengintegrasi aspek gender ke dalam program/rencana kegiatan untuk mendorong pelaksanan pengarusutamaan gender dan kesetaraan gender. Salah satunya adalah Proyek E-PASS; proyek biodiversitas yang dibiayai dari hibah GEF untuk pengelolaan sistem kawasan konservasi di Sulawesi. Pulau Sulawesi dipilih karena memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan sangat penting dari sudut pandang internasional tetapi pengelolaanya dinilai masih belum memadai sementara ancaman terhadap sumber daya hayati yang ada relatif sangat besar.

(5)

2 Untuk memastikan program dan kegiatan proyek E-PASS berdimensi gender dan tidak neutral gender (kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin) maka dipandang perlu untuk dilakukan analisa gender. Analisis gender adalah suatu metode atau alat untuk mendeteksi kesenjangan atau disparitas gender melalui penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender yaitu data yang terpilah antara laki-laki dan perempuan dalam aspek akses, peran, kontrol dan manfaat. Hal ini juga sebagai tindak lanjut dari Laporan Project Board Meeting proyek E-PASS dalam surat Direktur Keanekaragaman Hayati No. S.330/KKH/AJ/KSA.2/4/2016, antara lain direkomendasikan agar proyek E-PASS dapat melaksanakan analisa gender di Sulawesi sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan keikutsertaan masyarakat yang berimbang dan efektif dalam pelaksanaan berbagai kegiatan konservasi di lapangan.

(6)

3

2.

STUDI LITERATUR

2.1. Sejarah tentang isu gender terkait lingkungan

Saat ini isu gender sudah merupakan isu internasional. Wacana tentang gender dan lingkungan di dunia internasional mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an. Di Amerika Serikat (AS), wacana tentang gender dan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan lingkungan. Pada awal tahun 1970-an mulai dikembangkan sebuah kerangka pemikiran yang dikenal sebagai ekofeminisme. Selanjutnya, pendekatan ini juga dikembangkan oleh para ahli dan aktivis dari negara-negara lain, termasuk Asia dan Afrika.

Ekofeminisme menelusuri koneksi antara eksploitasi lingkungan dan dominasi atas perempuan. Kalangan yang mengadopsi ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan historis antara perempuan dan alam. Mereka percaya bahwa hubungan ini digambarkan melalui nilai-nilai yang dianut perempuan tentang tindakan merawat (nurturing), bekerjasama, dan tindakan mengelola hubungan timbal balik (reciprocity). Ekofeminisme juga memandang bahwa kedekatan perempuan dan alam terkait erat dengan sejarah kehidupan mereka. Kerangka pemikiran ekofeminis yang berkembang pada tahun 1980-an mulai diadopsi oleh berbagai lembaga, termasuk organisasi non-pemerintah dan organisasi internasional yang bekerja untuk isu pembangunan.

Organisasi-organisasi ini mulai mengembangkan wacana tentang perempuan dan lingkungan. Wacana ini dikembangkan sejalan dengan wacana tentang perempuan dalam pembangunan (Women in

Development/WID) yang kemudian berkembang menjadi wacana perempuan dan pembangunan

(Women and Development/WAD). Wacana-wacana tersebut menempatkan perempuan sebagai entitas homogen, di mana keragaman latar belakang sosial perempuan belum terlalu dijadikan pertimbangan. Merespon situasi ini, akademisi, peneliti dan aktivis gerakan perempuan mulai mengartikulasikan pendapat yang menyatakan bahwa perlu dikembangkan kerangka pemikiran yang menempatkan relasi gender dan relasi kekuasaan berbasis gender sebagai pertimbangan utama (lihat Kabeer 1995). Pada tahun 1990-an, mulai berkembang wacana gender dan pembangunan (Gender and Development/GAD). Tidak lama sesudah itu, akademisi, peneliti dan aktivis lingkungan yang juga

menekuni kajian perempuan dan kajian gender dalam lingkungan serta berbagai organisasi internasional yang bekerja untuk isu pembangunan dan lingkungan mengembangkan wacana tentang gender dan lingkungan (Gender and Environment/GED).

Hak-hak perempuan dilindungi oleh banyak instrumen dan hukum internasional. Paling terkenal di antaranya adalah Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW, 1979) – sebuah Traktat PBB yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan pada awalnya ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun berikutnya. Sebuah protokol opsional disusun kemudian untuk mengatur mekanisme pertanggunggugatan negara-negara terhadap traktat. Sejak itu ada beberapa deklarasi internasional dan perjanjian yang telah digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan. Termasuk di antaranya Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan Pembangunan Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan gender pada hampir setengah dari keseluruhan klausal MDGs.

(7)

4

2.2. Isu gender di tataran global

Isu gender dalam mandat PBB UN Women atau Entitas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, adalah entitas PBB yang bekerja untuk memberdayakan perempuan dan anak-anak perempuan. UN Women dibentuk pada Juli 2010 dan mulai dioperasionalisasikan sejak Januari 2011. UN Women menggantikan entitas sebelumnya, yaitu UNIFEM (Dana Pembangunan PBB untuk Perempuan atau United Nations Development Fund for Women) dan juga merupakan anggota kelompok Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Majelis Umum PBB sepakat untuk menidrikan UN Women. Dengan demikian, Negara-negara anggota PBB mengambil langkah bersejarah dalam mempercepat tujuan organisasi tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Pembentukan UN Women muncul sebagai bagian dari agenda reformasi PBB, menyatukan sumber daya dan mandat untuk dampak yang lebih besar. Ini menggabungkan dan berdiri diatas pekerjaan penting dari empat bagian berbeda sebelumnya dari sistem PBB, yang berfokus pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Selain gabungan Mandat diatas, UN Women memimpin, mengordinasikan, dan mempromosikan akuntabilitas PBB dalam kinerja pada masalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tujuan dibentuknya UN Women adalah untuk meningkatkan upaya yang dilakukan sistem PBB lainnya, seperti UNICEF, UNDP, dan UNFPA, yang semuanya bekerja secara bekelanjutan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, di area keahlian masing-masing. Kesetaraan gender (gender equality) merupakan konsep yang dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama. Dengan merujuk pada Deklarasi ini, CEDAW mencantumkan istilah "hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan" dan "kesetaraan hak laki-laki dan perempuan" setidaknya empat kali dalam lima paragraf pertama. CEDAW melanjutkan dengan mengartikulasikan "hak yang sama" dan "kesempatan yang sama" yang harus tersedia untuk semua perempuan dan laki-laki di berbagai bidang aktivitas manusia, termasuk namun tidak terbatas pada pendidikan, undang-undang perkawinan, dan tenaga kerja. Dengan kata lain, konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan untuk menikmati rangkaian lengkap hak-hak politik, ekonomi, sipil, sosial dan budaya. Konsep ini juga merujuk pada situasi dimana tidak ada individu yang ditolak aksesnya atas hak-hak tersebut, atau hak-hak tersebut dirampas dari mereka, karena alasan jenis kelamin mereka (l Kabeer, 2005). Isu gender menjadi mandat lembaga internasional Sejak Konferensi Perempuan Dunia keempat yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995, istilah keseteraan gender (gender equality) banyak digunakan oleh lembaga-lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN). Kesetaraan gender melibatkan upaya untuk memastikan bahwa persepsi, kepentingan kebutuhan dan prioritas perempuan dan laki-laki akan diberikan bobot yang sama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan (UNDP 2013).

GEF adalah mekanisme keuangan untuk program lingkungan, telah memandatkan pengarusutamaan gender. Kesetaraan gender tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama, melainkan memberi perlakuan yang sama untuk perempuan dan laki-laki dalam

(8)

5

hukum dan kebijakan, dan akses yang sama terhadap sumber daya dan jasa dalam keluarga, komunitas dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, pendekatan pengarusutamaan gender dilakukan melalui : 1) analisa secara sistematis kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki; dan 2) perempuan dan laki laki dilibatkan dalam kegiatan program dan sebagai target penerima manfaat yang sama dari setiap intervensi program GEF Kenapa isu gender penting bagi GEF? Karena perempuan dan laki laki memiliki prespektif dan prioritas yang berbeda dalam aspek lingkungan, sumber daya alam dan akses energy. GEF yang memiliki 6 areas program yaitu – biodiversity, climate change, international waters,

landdegradation, persistent organic pollutants, and ozone depletion – dengan

mengarusutamakan gender ke dalam 6 area GEF tersebut akan meningkatkan nilai dan manfaat dari proyek tersebut.

Kegagalan untuk memahami dan memasukan isu gender dalam proyek-proyek lingkungan akan berefek negatif pada sumber daya dan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan.Selain itu, berbagai penelitian menunjukan (termasuk evaluasi gender yang dilakukan oleh Bank Dunia) bahwa proyek-proyek akan sukses bila mempertimbangkan isu gender diintegrasikan ke dalam desain dan implementasi proyek. Organisasi GEF seperti UNDP, WorldBank dan UNEP diharuskan memiliki kebijakan dan strategi untuk pengarusutamaan gender dan kesetaraan gender dalam konteks intervensi proyek Konvensi terkait isu gender

Preambule CBD mengakui bahwa perempuan memiliki peran penting dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan menegaskan perlunya partisipasi penuh perempuandi semua tingkat kebijakan pembuatan dan pelaksanaan upaya konservasi keanekaragaman hayati.

The UNCCD memasukan pengarusutamaan gender lebih jauh, dengan tidak hanya mengakui peran perempuan dalam mata pencaharian di desa-desa tetapi juga secara eksplisit mendorong partisipasi dari perempuan dan laki-lakiyang sama untuk pelaksanaan dalam program kegiatan. Sesuai dengan kesepakatan, bahwa GEF adalah mekanisme keuangan untuk pelaksanaan konvensi maka GEF memiliki strategi yang mengacu pada hasil COP-CBD. Acuan gender yang pertama untuk isu gender tertuang dalam hasil COP 9 CBD tahun 2009 dimana GEF diminta untuk mengakomodir perspektif gender, masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam pendanaan keanekaragaman hayati dan yang terkait ekosistem services.

UN Convention on Combating Desertification (UNCCD) memasukan pengarusutamaan gender

dengan tidak hanya mengakui peran perempuan dalam mata pencaharian di desa-desa tetapi juga secara eksplisit mendorong partisipasi dari perempuan dan laki-laki yang sama untuk dalam program kegiatan.

Sedangkan UNFCCC, isu gender direkognisi dalam Paris Agreement (2015) article 7. Ini menunjukan adanya signal kuat secara politis (strong political will) di tingkat global mengenai pengakuan tentang memasukan isu gender dalam program mitigasi dan adaptasi.

(9)

6

2.3. Isu gender dalam konteks nasional

Persoalan gender dalam tata kelola hutan dan lahan merupakan salah satu isu penting pembangunan, karena sebetulnya kehutanan bukanlan wilayah yang netral gender (FAO, 2013). Pengarusutamaan gender (PUG) telah diamanatkan dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah. Seperti dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); Instruksi Presiden (lnpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional; Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025; serta Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Kenapa harus ada program pengarusutamaan gender di Indonesia? Survey yang dilakukan oleh Bank Dunia lima tahun terakhir ini menyimpulkan bahwa ‘negara-negara miskin di dunia menjadi semakin miskin dikarenakan kebijakan Pemerintahnya (jumlah anggaran, sektor pembangunan, strategy) tidak memiliki sensitivitas dan tidak pro gender’; selain itu, ‘negara-negara maju di dunia menjadi semakin maju dikarenakan kebijakan Pemerintahnya (anggaran, sektor pembangunan, strategy) memiliki sensitivitas dan sangat pro gender’

Isu gender dalam pembangunan kehutanan, menurut (Pokja gender Kementerian Kehutanan, 2013) adalah:

Peran ganda perempuan dan laki-laki belum bisa diterima • Output di bidang kehutanan mengarah pada keuntungan laki-laki daripada perempuan: • Partisipasi perempuan dalam menyusun perencanaan program kehutanan kurang • Peluang perempuan terbatas di bidang sosial kehutanan

Posisi dan kekuatan perempuan di dalam kehutanan sangat lemah

(10)

7

3.

METODOLOGI

3.1. Pendahuluan

Sesuai TOR, tugas utama dari konsultan adalah melakukan kajian atas dimensi gender proyek EPASS dengan tujuan (objectives): • Untuk mengetahui seberapa jauh gender mainstreaming telah diakomodasi dalam desain proyek. • Mengenali kegiatan-kegiatan proyek yang potensial sebagai loci partisipasi perempuan.

• Menaksir kebutuhan proyek akan sumber daya manusia (SDM) baik perempuan maupun, pria dalam hal jumlah (quantity) maupun kualifikasi (quality).

• Menaksir, berdasar data statistik provinsi yang tersedia, ketersediaan SDM di provinsi lokasi proyek, baik perempuan maupun pria, dirinci menurut tingkat pendidikan/maupun pengalaman kerja.

• Mengenali faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya yang mendorong/menghambat partisipasi perempuan dalam proyek.

• Menaksir kesenjangan SDM dengan membandingkan kebutuhan proyek dengan ketersediaan, baik perempuan maupun pria.

• Melakukan review atas women’s empowerment strategic plan yang diadopsi UNDP/GEF sebagai acuan dalam perumusan gender mainstreaming programme.

• Merumuskan langkah-langkah gender mainstreaming yang relevan dengan desain proyek dan sesuai dengan lingkungan proyek.

3.2. Kerangka Kerja Konseptual

Konsepsi berpikir yang dipakai untuk menyelesaikan tugas pokok yang diamanatkan TOR seperti diuraikan di muka adalah seperti disarikan pada Diagram 1. Konsepsi tersebut terdiri dari beberapa elemen dasar sebagai berikut:

i. Kebutuhan proyek akan SDM (human resource requirements)

• Setiap kegiatan proyek membutuhkan SDM untuk melaksanakannya, baik berupa tenaga ahli, teknisi, administrasi maupun pekerja kasar (laborers). Banyaknya SDM yang dibutuhkan maupun kualifikasinya, sangat bergantung pada sifat kegiatan dan hasil kegiatan yang diharapkan . Suatu kegiatan mungkin hanya membutuhkan tenaga ahli untuk jangka waktu tertentu, sementara kegiatan lain mungkin membutuhkan juga tenaga teknis bahkan tenaga buruh.

• Elemen kerja ini diharapkan dapat menyajikan taksiran akan kebutuhan SDM, baik banyaknya (quantity) maupun kualifikasinya (quality) untuk setiap kegiatan proyek yang direncanakan. Dalam konteks gender mainstreaming, banyaknya SDM yang dibutuhkan idealnya dipilah, untuk perempuan maupun pria.

ii. Ketersediaan SDM di sekitar lokasi proyek (human resource availability)

• SDM yang tersedia di sekitar lokasi proyek baik banyaknya maupun kualifikasinya, dipilah untuk perempuan maupun pria, perlu ditaksir dari data/statistik provinsi terkait yang tersedia. Menggunakan provinsi sebagai unit studi dianggap lebih beralasan dibanding kabupaten atau kota mengingat faktor mobilitas SDM. • SDM yang tersedia di sekitar lokasi proyek tidak seluruhnya memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proyek tetapi hanya SDM yang tidak bekerja berikut penduduk usia kerja yang tidak terdaftar sebagai angkatan kerja yang selanjutnya disebut SDM potensial.

(11)

8 Diagram 1 : Kerangka Konseptual telaah gender proyek E-PASS Telaah potensi SDM • Total populasi • Profil gender Telaah kebutuhan SDM • 3 komponen • 10 Outputs • 37 Activities Gender sensitive criteria Screening process • Budaya/agama • Pendidikan • Kriteria proyek SDM tersedia • Jumlah • Kapasitas Gender sensitive activities • Jumlah inputs SDM • Kualifikasi SDM Supply-Demand matching Gaps • Kuantitas • Kualitas UNDP Gender Equality Strategy Gender Empowerment Program Gender Mainstreaming Telaah gender Proyek E-PASS

(12)

9

iii. Memadankan kebutuhan dan ketersediaan SDM (matching requirements with availability) • Dengan memadankan kebutuhan proyek akan SDM dengan SDM potensial, akan

diketahui, paling tidak secara konsepsi, gap SDM yang dihadapi . Bila kebutuhan lebih besar daripada potensi berarti proyek menghadapi kesenjangan SDM. Bila demikian, mungkin diperlukan upaya impor SDM atau pengadaan SDM melalui pelatihan. Bila potensi lebih besar dibanding kebutuhan, berarti proyek memiliki kesempatan untuk memilah SDM dan melibatkan yang terbaik atau high end groups.

• Dapat terjadi bahwa kebutuhan lebih kecil dibanding potensi SDM dalam hal jumlah (quantity) tetapi lebih besar dibanding SDM potensial untuk kualifikasi (quality) SDM tertentu. Pemadanan ini bukanlah tugas yang sederhana karena statistik Pemda pada umumnya tidak menyajikan data menurut tingkat pendidikan maupun pengalaman untuk perempuan dan pria.

iv. Merumuskan upaya pemberdayaan gender

• Setelah menaksir kesenjangan SDM, dalam hal jumlah maupun kualifikasi, perlu merumuskan strategi pemberdayaan gender dengan memperhatikan strategi MOEF dan UNDP/GEF yang sudah ada. Hal ini dianggap perlu guna menjamin pelaksanaan strategi dan program secara konsisten melalui alokasi sumber daya yang diperlukan secara tepat waktu.

3.3. Kerangka Kerja Operasional

a. Inputs perempuan yang dibutuhkan proyek E-PASS

• Proyek E-PASS sudah pada tahap implementasi; artinya, desain proyek sudah final sehingga intervensi/kegiatan dianggap sudah relatif fixed kecuali bila selama proses implementasi dipandang perlu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Dalam studi ini, kegiatan proyek diasumsi tidak berubah atau fixed.

• Menurut dokumen proyek, intervensi proyek yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan meliputi 37 kegiatan dan setiap kegiatan membutuhkan inputs SDM berupa tenaga ahli, baik lokal maupun internasional, pemasok berbagai jasa, baik individu maupun perusahaan, dan inputs berupa material seperti peralatan dan perlengkapan operasional.

− Sudah jelas bahwa setiap kegiatan membutuhkan inputs berupa tenaga ahli, bisa satu atau beberapa orang.

− Inputs selain tenaga ahli dibutuhkan namun bervariasi menurut kegiatan.

• Setelah mencermati 37 kegiatan yang sudah ditetapkan, hanya 11 diantaranya yang dianggap sebagai “Gender Sensitive Activities (GSA)” dalam studi ini. Suatu kegiatan digolongkan sebagai GSA apabila: i. Memerlukan inputs SDM lebih dari satu orang, atau membutuhkan SDM selain tenaga ahli (non-expert inputs). ii. Memberi peluang partisipasi bagi SDM yang tidak memiliki keahlian khusus berbasis diklat formal. iii. Membutuhkan inputs SDM dengan keterampilan khusus berbasis pengalaman praktis. iv. Kegiatan yang merupakan insentif bagi masyarakat untuk mendukung konservasi sumber

daya hutan.

v. Kegiatan konsultasi dan perencanaan manajemen konservasi.

vi. Kegiatan CCA, co-management dan UMKM untuk penghasilan yang berkelanjutan.

• Kebutuhan SDM untuk GSA diestimasi berdasar standar yang ada, pengalaman praktis atau

common sense atau rule of thumb tergantung dari sifat kegiatan yang dianalisis; sementara

kualifikasi SDM yang digunakan menganut prinsip gender equality, dimana kualifikasi untuk pria dan perempuan adalah sama.

• Baik kualifikasi maupun banyaknya SDM yang dibutuhkan oleh suatu kegiatan dirumuskan berdasar sifat dan tujuan kegiatan tersebut.

(13)

10 b. Inputs SDM perempuan yang tersedia Ketersediaan inputs SDM perempuan di lokasi sekitar proyek yang memiliki potensi untuk terlibat aktif dalam GSA ditaksir menggunakan pendekatan berikut, berdasar data statistik provinsi terkait: • Total SDM yang memiliki potensi untuk terlibat dalam proyek (TPP) terdiri dari: ü Jumlah perempuan angkatan kerja yang tidak bekerja (PAKTB) dipilah untuk perempuan dan laki-laki ü Jumlah SDM yang bukan angkatan kerja (PBAK) namun berusia 15 tahun atau lebih; sehingga TPP= PAKTB + PBAK. • Adapun GSA adalah seperti disajikan pada Lampiran 1. • Diasumsikan pula bahwa tidak semua TPP dapat berpartisipasi karena: a. Tidak memiliki kualifikasi formal yang dibutuhkan proyek, atau b. Tidak memiliki keterampilan praktis yang khusus, atau c. Tidak dapat berpartisipasi karena larangan nilai budaya/agama, atau d. Kombinasi a, b, c, dan d. Bila data menyangkut butir a, b, c di muka tidak tersedia dalam Statistik Pemda, perlu membuat asumsi tentang TPP yang sessungguhnya dapat berpartisipasi dalam GSA. c. Perumusan gender mainstreaming program Program gender mainstreaming akan dirumuskan berdasar pada hasil kajian atas: kesenjangan gender SDM yang dihadapi dan strategic plan yang diadopsi oleh UNDP/GEF.

3.4. Sumber Data dan Informasi

Sumber data dan informasi yang digunakan dalam telaah ini antara lain adalah: • Statistik Daerah Provinsi-provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah • Laporan Badan Pusat Statistik tentang Indeks Pembangunan Gender 2014 • Hasil survei lapangan di lokasi terpilih berdasar kuesioner • Hasil-hasil FGD di Manado, Kotamobagu, dan Palu • Literatur menyangkut gender

(14)

11

4.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Dokumen Proyek E-PASS vs Masalah Gender

• Masyarakat lokal akan memperoleh manfaat melalui akses yang lebih baik pada sumber daya hutan termasuk sumber daya HHBK dan turisme. Akses akan dijamin melalui partisipasi masyarakat dalam operasi manajemen dengan rezim pemanfaatan lestari dan mekanisme monitoring yang disepakati bersama. Artinya, kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan monev adalah locus partisipasi.

• Masyarakat lokal memberi tekanan yang semakin berat pada sumber daya hutan dan kawasan konservasi dimaksudkan untuk membatasi akses masyarakat dan kerusakan sumber daya hutan. Namun pembatasan akses akan menimbulkan kerugian masyarakat dalam jangka pendek. • Kebijakan operasional proyek dalam hal gender mainstreaming yang tertuang dalam project

document dinyatakan sebagai berikut:

− Peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga dan masyarakat harus diperhatikan untuk menjamin manfaat yang berimbang.

− Semua pemangku kepentingan akan dilibatkan dalam merumuskan CCA dan operasi co-management, dalam perencanaan dan peningkatan kapasitas perempuan dan laki-laki dalam memanfaatkan, mengembangkan dan melestarikan sumber daya alam.

− Untuk menghindari dampak negatif proyek pada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi, seleksi masyarakat lokal untuk dilibatkan dalam operasi implementasi proyek harus dilakukan secara transparan menggunakan kriteria yang jelas menyangkut lokasi kawasan konservasi dan pemukiman, kegiatan livelihood yang sesuai dan dampak kegiatan. − Intervensi proyek dimaksudkan untuk menciptakan manfaat bagi masyarakat lokal dan

meningkatkan kesejahteraan secara lestari antara lain dengan penerapan micro-grant mechanism yang akan mendukung pendirian/pengembangan usaha kecil masyarakat yang bersahabat dengan lingkungan yang diatur melalui CCA, termasuk peternakan lebah, pemungutan buah palma, penanaman kakao skala kecil dan usaha lain seperti pariwisata. Artinya, pengembangan skema CCA dan co-management adalah focus partisipasi masyarakat lokal dan terbuka bagi perempuan dan generasi muda.

− Proyek akan menyediakan sekitar USD 400,000 untuk micro-enterpise grants untuk 3 tahun atau USD 135,000 per tahun. Dalam usaha mikro tersebut, partisipasi perempuan yang tinggi sangat diharapkan, termasuk generasi muda. Program ini diharapkan akan mendorong kegiatan produktif perempuan tua dan muda dan akan meningkatkan kontribusi pada ekonomi masyarakat.

4.2. Profil Gender di Sekitar Lokasi Proyek

4.2.1 Partisipasi gender dalam kegiatan pembangunan a. Jumlah penduduk perempuan dan laki-laki

Proporsi perempuan dalam total penduduk provinsi pada tahun 2014 disajikan dalam Tabel 4.1. dimana terlihat bahwa:

• Total penduduk Sulawesi Utara adalah 2,386,604 orang. terdiri dari 1.168.844 perempuan (48,96%) dan 1.217.760 laki-laki (51,02%) atau sex ratio 104,18.

• Total penduduk Gorontalo adalah 1.115.633 orang. terdiri dari 556.771 perempuan (49,91%) dan 558.862 laki-laki (50,09%) atau sex ratio 100.38.

• Total penduduk Sulawesi Tengah adalah 2.831.283 orang. terdiri dari 1.384.343 perempuan (48,90%) dan 1.446.890 laki-laki (51,10%) atau sex ratio 104,51.

(15)

12

• Di setiap provinsi. jumlah penduduk perempuan lebih kecil dibanding laki-laki namun tidak berbeda nyata; bahkan di provinsi Gorontalo, jumlah perempuan dan laki-laki nyaris sama, dimana laki-laki hanya 2.091 orang lebih banyak dibanding perempuan.

• Grand total penduduk ketiga provinsi pada tahun 2014 adalah 6.333.520 orang terdiri dari 3.110.008 perempuan (49,10%) dan 3.223.512 laki-laki (50,90%) atau sex ratio 103,65.

Tabel 4.1. Penduduk provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dn Sulawesi Tengah (2014)

Provinsi Total Perempuan % Laki-laki % Sex ratio

Sulawesi Utara 2.386.604 1.168.844 48,98 1.217.760 51,02 104,18 Gorontalo 1.115.633 556.771 49,91 558.862 50,09 100,38 Sulawesi Tengah 2.831.283 1.384.343 48,90 1.446.890 51,10 104,51 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi (2015) b. Perempuan vs angkatan kerja Peran perempuan dalam angkatan kerja (penduduk berusia > 15 tahun) di provinsi Sulawesi Utara , Gorontalo, dan Sulawesi Tengah pada tahun 2014 tercermin dalam Tabel 4.2. dan dapat disimpukan sebagai berikut: Provinsi Sulawesi Utara • Total angkatan kerja pada tahun 2014 ada 1.060.752 orang atau 59,99% dari penduduk usia kerja, terdiri dari 342.513 perempuan (32,29%) dan 718.239 laki-laki (67,71%). • Jumlah angkatan kerja yang bekerja ada 980.756 orang (92.46%) , terdiri dari 305.821 perempuan (31,18%) dan 718.239 laki-laki (68,82%).

• Sebanyak 707.410 orang (40,00%) penduduk usia kerja bukan angkatan kerja dan terdiri dari 525.181 perempuan (74,24%) dan 182.229 laki-laki (25,76%).

• Dari 707.410 orang yang bukan angkatan kerja, 420.168 orang (59,40%) diantaranya bekerja mengurusi rumah tangga, terdiri dari 398.154 perempuan (94,76%) dan 22.014 laki-laki (5,24%). Provinsi Gorontalo • Total angkatan kerja pada tahun 2014 ada 500.056 orang atau 62,83% dari penduduk usia kerja, terdiri dari 178.833 perempuan (35,76%) dan 321.223 laki-laki (64,24%). • Dari angkatan kerja tersebut, 479.137 orang (95,82%) diantaranya bekerja , terdiri dari 170.398 perempuan (35,56 %) dan 308.739 laki-laki (64,44%).

• Ada 295.761 orang (37,16%) penduduk usia kerja bukan termasuk angkatan kerja, terdiri dari 221.634 perempuan (74,94%) dan 74.127 laki-laki (25,06%).

• Dari 295.761 orang yang bukan angkatan kerja, 174.438 orang (58,98%) diantaranya mengurusi rumah tangga, terdiri dari 163.757 perempuan (93,88%) dan 10.681 laki-laki (6,12%).

Provinsi Sulawesi Tengah

• Total angkatan kerja pada tahun 2014 ada 1.342.615 orang atau 66,76% dari penduduk usia kerja, terdiri dari 473.787 perempuan (35,29%) dan 868.828 laki-laki (64,71%).

• 1.293.226 orang (96,32%) dari angkatan kerja tersebut memang bekerja, terdiri dari 451.620 perempuan (34,92%) dan 841.606 laki-laki (65,08%). • Ada 668.439 orang (33,24%) penduduk usia kerja yang bukan angkatan kerja, terdiri dari 511.002 perempuan (76,45%) dan 157.437 laki-laki (23,55%). • Dari 668.439 orang yang bukan angkatan kerja, 414.728 orang (62,04%) diantaranya mengurusi rumah tangga, terdiri dari 388.749 perempuan (93,74%) dan 25.979 laki-laki (6,28%).

(16)

13 Dapat disimpulkan bahwa, pada tahun 2014, ada kesenjangan yang nyata dalam tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan dan laki-laki di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah; dimana TPAK perempuan hanya berkisar antara 39,47 – 48,11% sementara, TPAK laki-laki ada di kisaran 79,76 – 84,66%. Tabel 4.2. Peran angkatan kerja perempuan di provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah (2014)

No. Uraian Total Sulawesi Utara P L Total Gorontalo P L Total Sulawesi Tengah P L 1. Penduduk usia kerja 1.768.162 867.694 900.468 795.817 400.467 395.350 2.011.054 984.789 1.026.265 2. Angkatan kerja 1.060.752 342.513 718.239 500.056 178.833 321.223 1.342.615 473.787 868.828 a. Bekerja 980.756 305.821 674.935 479.137 170.398 308.739 1.293.226 451.620 841.606 b. Tidak bekerja 79.996 36.692 43.304 20.919 8.435 12.484 49.389 22.167 27.222 3. Bukan angkatan kerja 707.410 525.181 182.229 295.761 221.634 74.127 668.439 511.002 157.437 a. Sekolah 173.111 86.448 86.663 84.448 44.554 39.894 171.035 88.462 82.573 b. Urus rumah tangga 420.168 398.154 22.014 174.438 163.757 10.681 414.728 388.749 25.979 c. Lain-lain 114.131 40.579 73.552 36.875 13.323 23.552 82.676 33.791 48.885 4. Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) 59,99 39,47 79,76 62,84 44,66 81,25 66,76 48,11 84,66 5. Tingkat pengangguran terbuka (%) 7,54 10,71 6,03 4,18 4,72 3,89 3,68 4,68 3,13 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi (2015) c. Perempuan vs PNS dan DPRD Tabel 4.3. PNS perempuan di provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah (2014) Provinsi Total Jumlah Perempuan % Jumlah Laki-laki %

Sulawesi Utara

• PNS 5.338 2.582 48,37 2.756 51,63

• DPRD Provinsi N/A N/A N/A N/A N/A

Gorontalo • PNS 3.155 1.481 46,94 1.674 53,06 • DRPD Provinsi 45 12 26,67 33 73,33 • DPRD Kota/Kab 160 29 18,12 131 81,88 Sulawesi Tengah

• PNS 6.620 N/A N/A N/A N/A

• DPRD Provinsi 45 7 15,56 38 84,44

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi (2015)

Angka-angka pada Tabel 4.3. memberi gambaran tentang partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Laki-laki masih mendominasi PNS di provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo meskipun perbedaan dengan perempuan tidak signifikan.

(17)

14

• Dominasi laki-laki lebih nyata dalam bidang legislatif. Untuk tingkat provinsi misalnya, anggota DPRD perempuan berkisar antara 16% (Sulawesi Tengah) hingga 27% (Gorontalo). • Dominasi laki-laki di DPRD Kota/Kabupaten juga sangat nyata di provinsi Gorontalo dimana anggota DPRD perempuan hanya 18% dibanding laki-laki (82%). • Menarik untuk dicermati adalah komposisi PNS di provinsi Gorontalo dimana PNS Golongan III didominasi oleh perempuan (53%) meskipun golongan IV masih didominasi oleh laki-laki (65%); dapat diharapkan bahwa dengan berjalannya waktu, Golongan IV akan didominasi oleh perempuan mulai titik waktu tertentu apabila proses suksesi berjalan alami. 4.2.2. Indeks pembangunan gender (IPG) a. Pendahuluan

IPG digunakan unuk mengukur pencapaian dimensi dan variabel yang sama seperti IPM (Indeks Pembangunan Manusia) oleh perempuan dan laki-laki. Karena itu, IPG seperti halnya IPM didasarkan pada indeks Angka Harapan Hidup (AHH), Pengetahuan (HLS dan RLS) dan standar hidup layak (Pengeluaran per kapita yang disesuaikan). HLS adalah harapan lama sekolah dan RLS adalah rata-rata lama sekolah. IPG adalah rasio antara IPM perempuan dengan IPM laki-laki atau IPG = IPM perempuan IPM laki-laki IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) dipakai untuk menggambarkan peran aktif perempuan dan laki-laki dalam kehidupan ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan dengan mengukur ketimpangan gender yang terjadi. Indikator peran gender yang digunakan adalah: i) keterwakilan di parlemen, ii) pengambilan keputusan (proporsi manajer, staf, profesional dan teknisi), dan iii) distribusi pendapatan (upah buruh non-pertanian perempuan dan laki-laki). b. Perkembangan IPG Indonesia Pemerintah telah berupaya membangun keseteraan dan keadilan gender melalui berbagai kebijakan dan implementasi program pembangunan yag mencakup, antara lain: peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai proses pembangunan, penguatan peran di masyarakat, peningkatan kualitas kelembagaan berbagai instansi pemerintah, organisasi perempuan dan lembaga-lembaga lainnya. Dasar hukum perumusan berbagai program pembangunan terkait gender adalah UUD 1945 Pasal 28, UU No. 5 Tahun 2000 tentang program pembangunan nasional, Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUE, UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dll. Namun demikian, berbagai tantangan masih harus dihadapi dalam menunjukkan hasil kebijakan dan program sehingga upaya yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang maksimal meskipun sudah menunjukkan peningkatan yang berarti. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, IPG nasional meningkat dari 89,42 pada tahun 2010 menjadi 90,34 pada tahun 2014 seiring dengan peningkatan IPM, yang meningkat dari 66,53 menjadi 68,90 untuk periode yang sama. Perlu dicatat bahwa nilai IPG yang diharapkan dicapai adalah 100 ketika nilai IPM perempuan dan laki-laki setara atau sama; artinya ketika indeks komponen IPM yakni kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak perempuan dan laki-laki menjadi setara. c. IPG provinsi lokasi Proyek E-PASS Data yang ada menunjukkan bahwa nilai IPG provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah pada tahun 2014 berturut-turut mencapai 94,58; 85,09; dan 92,49 sementara nilai IPG nasional adalah

(18)

15 90,34. Artinya, nilai IPG provinsi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah sudah lebih tinggi sementara IPG Gorontalo masih lebih rendah dibanding rata-rata nasional dan menunjukkan kenyataan bahwa ketimpangan pencapaian pembangunan gender antar wilayah masih belum bisa diatasi. Nilai IPG nasional pada tahun 2014 adalah 90,34 dengan DKI Jakarta memiliki IPG tertinggi (94,60), diikuti oleh Sulawesi Utara (94,58), dan DI Yogyakarta (94,31). Adapun IPG terendah dimiliki oleh Papua (78,57), Papua Barat (78,57) dan Kalimantan Barat (84,72). Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, tanpa Myanmar dan Vietnam, nilai IPG Indonesia berada pada posisi ketiga terendah setelah Timor Leste dan Kamboja. Per definisi, IPG adalah rasio antara IPM perempuan dan IPM laki-laki. Untuk provinsi Sulawesi Utara misalnya, dengan nilai IPG sebesar 94,58 tampaknya IPM perempuan sudah mendekati IPM laki-laki. Namun, pada saat yang bersamaan data yang ada menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam bekerja masih cukup tinggi. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) misalnya, hanya 39,47% untuk perempuan dibanding 79,76% untuk laki-laki sementara tingkat pengangguran terbuka perempuan mencapai 10,71% dibanding 6,03% untuk pria. Karena TPAK diyakini mempengaruhi penghasilan per kapita, salah satu indikator esensial dari IPM, timbul spekulasi apakah nilai IPG Sulawesi Utara sebesar 94,58 sudah mencerminkan kenyataan kesetaraan gender di lapangan. Spekulasi serupa juga berlaku untuk provinsi Sulawesi Tengah dengan nilai IPG sebesar 92,49 serta TPAK perempuan 48,11% dan tingkat pengangguran terbuka perempuan yang mencapai 4,68%. 4.2.3. Hasil pengamatan profil gender di lapangan a. Survei profil gender Informasi tentang profil gender di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah dihimpun menggunakan kuesioner seperti pada Lampiran 2, yang disebarkan pada 6 desa terpilih. Informasi terhimpun selengkapnya disajikan pada Lampiran 3 dan 4, dan dapat disimpulkan sebagai berikut: i. Edukasi • Sebagian besar penduduk tidak lulus SMP • Tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki relatif sama • Angka melek huruf sangat tinggi ii. Sumber penghasilan • Tidak tergantung sumber daya hutan tetapi berkebun • Lahan hutan perlu untuk perluasan kebun • Khusus masyarakat sekitar Kota Bitung, sumber penghasilan adalah memanfaatkan kawasan KPHK secara tidak langsung melalui kegiatan terkait ekowisata iii. Kesadaran akan konservasi sumber daya hutan • Hutan rusak akan mengakibatkan erosi dan banjir sehingga harus dilindungi • Masyarakat peduli dengan kegiatan ilegal di kawasan hutan (perambahan, penambangan liar, penebangan liar, dll) • Di Sulawesi Tegah sudah ada kelompok-kelompok perempuan yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam iv. Tingkat partisipasi dalam konservasi sumber daya hutan • Sudah ada perempuan yang terlibat dalam kegiatan pertanian namun sebagian besar masih mengurusi rumah tangga • Diskusi tentang konservasi sumber daya hutan di tingkat rumah tangga sangat jarang

(19)

16

Tabel 4.4. Gambaran umum tentang kesenjangan gender dalam pengelolaan kawasan konservasi berdasar FGD di Manado, Kotamobagu dan Palu

Elemen

Keterlibatan KPHK Tangkoko TN Bogani Nani Wartabone TN Lore Lindu

Akses akan sumber daya (hutan, ekonomi, informasi, teknologi) • Kegiatan pengelolaan homestay dan hasil tangkapan nelayan didominasi perempuan • Akses akan modal dan pasar handicrafts terbatas • Informasi tentang fungsi dan manfaat KPHK terbatas • Kegiatan di dalam areal KPHK dilarang • Akses pada TN cukup terbuka dan menimbulkan kegiatan-kegiatan ilegal • Penyuluhan tentang konservasi sumber daya hutan masih terbatas • Sumber informasi yang utama adalah TV • Ada 76 desa sekitar yang punya akses tinggi pada kawasan TN • Perburuan dan perdagangan satwa liar cukup tinggi • Sosialisasi konservasi terbatas, sumber informasi yang utama adalah TV Partisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi • Perempuan berani, pekerja keras, mampu melakukan pekerjaan laki-laki • Perempuan yang terlibat langsung dalam kegiatan konservasi masih terbatas • Ada forum masyarakat yang menolak perburuan satwa dan mendukung penangkaran • Perempuan bersedia ikut patroli hutan bila dibekali keterampilan • Perempuan pada umumnya belum terlibat langsung dalam kegiatan konservasi • Masyarakat kurang memiliki kesadaran dan keterampilan konservasi • Nilai-nilai budaya dan agama masih membatasi partisipasi perempuan • Perempuan perlu diberdayakan dalam kegiatan konservasi • Partisipasi perempuan dalam perencanaan dan operasi konservasi masih rendah karena masalah keterampilan • Kawasan konservasi yang sangat luas membatasi kegiatan ekonomi masyarakat Decision making & control • Suami mengizinkan istri bekerja di luar rumah tapi sebaiknya paruh waktu • Ada 5 lurah perempuan dan pernah ada yang menjadi Camat • Institusi Pemda untuk pemberdayaan gender masih lemah (anggaran, SDM, dll) • Anggota DPRD 20% perempuan, PNS 30-40% perempuan • Peran perempuan cukup tinggi namun disalurkan melalui suami • PNS perempuan sekitar 30% • Ada biro Pemda untuk pemberdayaan gender tetapi tidak ada Perda Decision making masih didominasi laki-laki karena suami adalah sokoguru ekonomi keluarga • Nilai-nilai budaya masih membatasi kontrol perempuan atas sumber daya • Gender mainstreaming diinstrusikan gubernur tanpa dukungan dana • Laki-laki mendominasi decision making karena secara ekonomi kuat • Kemampuan perempuan dalam proses decision making masih rendah

(20)

17 Manfaat kawasan konservasi • Manfaat kawasan bagi masyarakat adalah melalui pasar pariwisata lokal • Keterampilan perempuan dalam handicrafting, bisnis kuliner dan pengelolaan bisnis kecil masih terbatas • Potensi anggrek lokal cukup besar tetapi keterampilan masyarakat dalam penangkaran anggrek sangat terbatas • Alokasi dana desa menimbulkan masalah baru dalam upaya konservasi • Manfaat hutan yang utama adalah untuk menjamin irigasi dan energi • Keterampilan masyarakat untuk memanfaatkan HHBK masih rendah • Ada pemanfaatan HHBK oleh perempuan secara terbatas • Perumusan CCA harus melibatkan perempuan dan mencakup areal hutan yang terbuka bagi masyarakat • Keterampilan untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara lestari harus ditingkatkan

(21)

18

• Perempuan jarang aktif dalam pertemuan-pertemuan perlindungan hutan di tingkat desa dan partisipasi dalam konservasi sumber daya hutan masih rendah; umumnya oleh laki-laki

• Masyarakat umumnya sadar akan fungsi hutan untuk pertanian dan sumber air untuk energi v. Budaya lokal • Umumnya masyarakat menganut sistem patriarki • Suami tidak melarang istri untuk melakukan kegiatan non rumah tangga • Membunuh satwa atau merusak sumber daya hutan tidak diperkenankan • Generasi muda sudah jarang yang mengetahui legenda tentang satwa seperti waleo dan babi rusa vi. Teknologi • Hampir semua responden menggunakan telepon genggam dan sepeda motor • Aksesibilitas kawasan konservasi umumnya bagus • Masyarakat umumya punya akses luas pada informasi melalui televisi vii. Aspirasi

• Responden perempuan berharap untuk dapat memanfaatkan HHBK (rotan, daun, dll) sebagai bahan kerajinan tangan • Sumber daya hutan perlu diselamatkan sebagai sumber energi dan pencegah banjir • Partisipasi kelompok perempuan dalam konservasi sumber daya hutan perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan keterampilan dalam pemanfaatan HHBK b. Profil gender berdasar FGD

Berbagai kelompok stakeholder terlibat dalam 3 diskusi kelompok tentang isu gender yang diselenggarakan di Manado, Kotamobagu dan Palu; mereka termasuk Pemda, BKSDA, LSM, universitas dan kelompok masyarakat lainnya yang terkait pembangunan sumber daya alam. Hasil-hasil FGD yang penting terkait pengelolaan kawasan konservasi adalah seperti dirangkum pada Tabel 4.4.

4.3. Analisis Kebutuhan SDM Proyek E-PASS

4.3.1. Desain Proyek E-PASS

Tujuan atau obyektif dari proyek E-PASS adalah memperkuat efektivitas dan kesinambungan pendanaan sistem kawasan konservasi di Sulawesi guna merespon berbagai ancaman pada keanekaragaman hayati yang bernilai sangat penting secara global. Proyek ini terdiri dari 3 komponen yang saling terkait, yaitu:

1. Menguatnya sistem dan kapasitas institusi dalam perencanaan dan pengelolaan sistem kawasan konservasi di Sulawesi.

2. Terjaminnya keberlanjutan pendanaan untuk kawasan konservasi di Sulawesi.

3. Menurunnya ancaman dan meningkatnya pengawasan kolaboratif atas sistem kawasan konservasi di kawasan konservasi target.

Sasaran Komponen 1 akan dicapai melalui realisasi 4 outputs dan eksekusi 12 kegiatan; sasaran Komponen 2 melalui realisasi 3 outputs dan eksekusi 9 kegiatan; dan sasaran Komponen 3 melalui realisasi 3 outputs dan eksekusi 16 kegiatan. Adapun target kawasan konservasi adalah: Cagar Alam Tangkako di provinsi Sulawesi Utara, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di provinsi Sulawesi Utara dan Taman Nasional Lore Lindu di provinsi Sulawesi Tengah. Proyek akan dilaksanakan selama 5 tahun (2015-2020) dengan bantuan hibah dari GEF dan UNDP dan dana pendamping dari Pemerintah dan NGO Indonesia.

(22)

19

Untuk menjamin konsistensi pengenalan kegiatan yang dibicarakan, maka setiap kegiatan diberi 3 digit pengenal yang berbeda. Misalnya, Activity 1.1.1. adalah kegiatan dari Output 1 dan Komponen 1; Activity 2.3.4. adalah kegiatan no. 4 dari Output 3 di bawah Komponen 2; Activity 3.3.3 adalah kegiatan no. 3 dari Output 3 di bawah Komponen 3.

4.3.2. Menaksir Kebutuhan GSA akan SDM

Dalam bagian ini dicoba memberi indikasi kebutuhan GSA akan SDM berdasar sifat kegiatan karena volume kegiatan belum diketahui.

i. Act 1.1.2. Training for enhanced law enforcement

• Deskripsi kegiatan: pengamanan kawasan konservasi dari berbagai ancaman termasuk perambahan hutan, pemungutan dan perdagangan ilegal hidupan liar serta kegiatan ilegal lainnya. • Input SDM yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan: − Pengelola program pelatihan (manajer dan staf) − Pengajar − Peserta pelatihan • SDM perempuan layak dilibatkan sebagai pengelola maupun pengajar pelatihan dengan kualifikasi dasar sebagai berikut: Ø Pengelola program • Lulusan S1 yang berpengalaman dalam pengelolaan pelatihan dan/atau praktisi dengan pengalaman yang relevan minimal 10 tahun • Menguasai teknik dan administrasi pengelolaan program pelatihan Ø Pengajar

• Minimal lulus S1 hukum dengan pengalaman kerja yang relevan terkait pengelolaan sumber daya alam.

• Memiliki minimal 5 tahun pengalaman dalam penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan kasus kriminal

Ø Peserta

• Minimal lulus SMA agar mampu mencerna materi pelatihan • Menyenangi kerja lapangan seperti patroli hutan

• Dapat mengakomodasi penduduk lokal dalam jumlah besar, baik perempuan maupun laki-laki

ii.

Act 1.1.4

Clear and well-tested guidelines for community engagement and co-management

• Deskprisi kegiatan: menyiapkan dan menguji coba pedoman teknis perumusan CCA dan penyelenggaraan management. Untuk formulasi CCA dan ketentuan-ketentuan co-management, dialog intensif antara Resort dengan masyarakat lokal mutlak dilakukan, dimana perempuan dan laki-laki harus diberi kesempatan yang sama untuk ambil bagian. Dialog perlu menggunakan strategi khusus untuk mendorong perempuan berani menyampaikan pendapat. Dialog di tingkat desa dapat mengakomodasi perempuan dalam jumlah besar.

(23)

20

− Untuk uji coba pedoman teknis, seluruh atau sebagian peserta dialog dapat dilibatkan.

− Memiliki kualifikasi khusus bagi peserta dalam hal pendidikan formal maupun keterampilan teknis.

• Bentuk capacity building: learning by doing

iii.

Act 2.3.4

Awareness and capacity building for decision makers, local government officials and local and indigenous communities

• Deskripsi kegiatan: untuk menjamin kesinambungan pengadaan dan pengembangan jasa lingkungan melalui penggunaan lahan yang ramah lingkungan. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki): − Ahli perencanaan pelatihan dan ahli konservasi hutan, termasuk menyiapkan modul penyuluhan/pelatihan.

− Peserta program, terdiri dari: i) decision makers, ii) pejabat Pemda, dan iii) wakiil masyarakat lokal. • Masyarakat sebaiknya diwakili oleh: pemimpin masyarakat baik formal maupun informal dari setiap desa di lokasi proyek, dengan memberi kesempatan luas pada perempuan. • Kegiatan ini dapat mengakomodir peserta masyarakat lokal dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan formal yang beragam; prasyarat peserta adalah adanya minat untuk mendukung konservasi dan memiliki keterampilan teknis. • Bentuk capacity building: dialog, diskusi, dll.

iv.

Act 3.1.3. Participatory locally PA boundary maintenance using means such as native salak palm with thorns as well as edible fruits to act as a thick natural boundary wall

• Deskripsi pekerjaan : pengamanan batas kawasan konservasi dengan membangun pagar hidup.

• Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki):

− Kebtuhan SDM sangat tergantung pada target panjang batas (km) yang akan dipelihara. − Penyiapan materi tanam. − Penanaman. − Pemeliharaan tanaman. • Kualifikasi SDM: terbiasa dengan kegiatan pertanian atau rehabilitasi hutan dan lahan. • Capacity building: on-the-job training.

v. Act 3.1.4. Establishment and/or revitalization of community managed conservation areas

• Deskripsi kegiatan: dukungan dalam tata batas dan perencanaan kawasan konservasi untuk dikelola masyarakat dan penguatan kapasitas pengelolaan guna mendapatkan insentif dari skema REDD+ dan skema pendanaan lainnya. Kegiatan ini dapat mengakomodasi partisipasi perempuan dalam jumlah besar. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki): − Tergantung pada banyaknya unit konservasi yang di target dan luasnya. − Perlu ahli pengelolaan kawasan konservasi. − Peserta pelatihan terdiri dari pimpinan dan anggota masyarakat. − Pelaksana pelatihan. • Kualifikasi SDM: − Tenaga ahli: Sarjana konservasi hutan.

(24)

21 − Peserta : penduduk lokal usia kerja, sebaiknya telah lulus SLTP, dan terbiasa dengan kondisi perhutanan. • Capacity building: learning by doing

vi. Act 3.2.1. Implementation of resort based management (RBM) at selected sites

• Deskripsi kegiatan:

− Berupa penguatan kapasitas institusi kawasan konservasi.

− RBM menciptakan kesempatan untuk melibatkan masyarakat lokal karena staf Balai TNLL rencananya akan disebar dari Palu ke 18 resort di titik-titik strategis sekitar perbatasan taman nasional; dengan terbentuknya resort, kesempatan akan terbuka untuk pelibatan SDM lokal dalam co-management.

− Agar tujuan pembentukan resort berhasil, panduan untuk community-based initiatives dan co-management harus dirumuskan dan implementasinya dipantau. Untuk mendukung kegiatan ini dan meningkatkan koordinasi beneficiaries dan partners, komitmen dan kepercayaan atas kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sangat penting.

• Input SDM (untuk setiap 1 Resort; Perempuan & Laki-laki): − Manajer dan staf administrasi resort

− Polhut, PEH dan tenaga fungsional

− Pimpinan dan anggota masyarakat lokal sebagai partner untuk mengenali inisiatif lokal dan merumuskan ketentuan-ketentuan untuk co-management

− Operasionalisasi co-management − Monitoring operasi co-management

Program pelatihan diperlukan untuk pimpinan dan anggota masyarakat guna perumusan CCA dan SOP management maupun penyelenggaraan dan monitoring co-management.

Jumlah SDM yang diperlukan berbanding lurus dengan banyaknya Resort dan luas areal konservasi yang dicakup co-management.

Capacity building: on-the-job training.

vii. Act 3.2.6. Restoration of fragmented and degraded ecosystem

• Deskripsi kegiatan : meningkatkan partisipasi masyarakat dalam operasi restorasi • Inputs SDM yang dibutuhkan (Perempuan & Laki-laki): − Tergantung pada luas areal restorasi. − Ahli management planning untuk restorasi . − Tenaga penyuluh dan pelatihan teknis . − Tenaga kerja restorasi . • Pelatihan teknis diperlukan dan dapat diikuti SDM perempuan dalam jumlah besar tanpa kualifikasi khusus. • Capacity building: on-the-job training

viii. Act 3.2.8 Capacity need assessment and training for local partners & community.

• Deskripsi kegiatan : kajian kebutuhan pelatihan untuk penyelenggaraan co-management, inspeksi tapak tambang, pengenalan jenis utama dan monitoring kondisi habitat. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki): − Ahli capacity need assessment dan praktisi untuk pengkajian kapasitas . − Peserta pelatihan dalam jumlah besar baik perempuan maupun laki-laki.

(25)

22

− Peserta tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan/pengalaman khusus.

ix. Act. 3.3.1 Building on, adapting and replicating the CCA establishment process.

• Deskripsi kegiatan : dukungan pada pengembangan CCA. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki):

− Ahli untuk evaluasi capaian dan masalah yang dihadapi oleh 30 CCA yang sudah terbentuk dan mengenali CCA yang baru.

− Peserta perumus CCA dan SOP co-management. − Peserta pelatihan pengelolaan co-management CCA . • Kualifikasi SDM:

− Perumus CCA dan co-management; pemimpin dan anggota masyarakat ; dan penduduk lokal, sebaiknya lulusan SLTP.

− Peserta pelatihan: usia kerja, penduduk lokal, terbiasa dengan lingkungan hutan, sebaiknya lulusan SLTP. • Capacity building: learning by doing x. Act 3.3.3. Establishment of village education centre for awareness building related to the role and state of wildlife and the value of healthy ecosystem. • Deskripsi kegiatan : outreaching dan awareness raising. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki): − Tenaga ahli untuk mendesain pusat awareness raising di tingkat desa. − Banyaknya SDM tergantung pada banyaknya pusat yang akan dibangun. − Setiap pusat membutuhkan: Ø Personil pengelola . Ø Staf teknis dan administrasi (P & L). Ø Tenaga harian pendukung • Capacity building: on-the-job training.

xi. Act 3.3.4. Micro-capital grants to support small income-generating and/or conservation schemes.

• Deskripsi kegiatan : pengembangan sumber penghasilan lestari berdasar CCA melalui sistem co-management. • Inputs SDM (Perempuan & Laki-laki): − Ahli untuk perumusan target serta rencana aksi maupun tupoksi co-management. − Ahli untuk mengenali sumber livelihood potensial yang sustainable termasuk bisnis HHBK seperti peternakan lebah, pemungutan dan pengelolaan biji palma, tanaman kakao skala kecil dan ekotourisme serta untuk merumuskan rencana bisnis . − Ahli untuk pelatihan pengelolaan bisnis HHBK dan teknis pemanfaatan HHBK. − Peserta pelatihan terdiri dari pimpinan dan staf Resort dan pemimpin serta anggota masyarakat di target area co-management . • Kualifikasi SDM: − Ahli/praktisi pembangunan ekonomi pedesaan. − Peserta pelatihan: usia kerja, berpengalaman dalam kegiatan farming tertentu dan terbiasa bekerja pada lingkungan hutan. • Capacity building: learning by doing

(26)

23

Kesimpulan:

Proyek E-PASS membutuhkan SDM perempuan dan laki-laki dalam jumlah terbatas; namun harus memiliki keterampilan khusus yang perlu dibangun melalui program pelatihan, baik dalam bentuk

learning by doing atau on-the-job training, dan dialog maupun diskusi.

4.4. Analisis Ketersediaan SDM di Sekitar Lokasi Proyek

Potensi SDM yang ada di sekitar lokasi proyek adalah penduduk usia kerja yang tergolong angkatan kerja tetapi tidak bekerja (PAKTB) atau menganggur ditambah penduduk usia kerja yang tidak tergolong angkatan kerja khususnya yang bekerja mengurusi rumah tangga (PUKRT). Dari angka-angka pada Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa potensi SDM yang ada di sekitar lokasi proyek adalah 1.159.638 orang, terdiri dari 1.017.954 perempuan (88%) dan 241.684 laki-laki (12%).

Tabel 4.2. Jumlah SDM potensial untuk berpartisipasi (SDMPP) dalam proyek E-PASS

Provinsi Jumlah SDMPP % Jumlah PAKTB % Jumlah PUKRT % Sulut Perempuan 434.846 87 36.692 46 398.154 95 Laki-laki 65.318 13 43.304 54 22.014 5 Total 500.164 100 79.996 100 420.168 100 Gorontalo Perempuan 172.192 88 8.435 40 163.757 94 Laki-laki 23.165 12 12.484 60 10.0681 6 Total 195.357 100 20.919 100 174.438 100 Sulteng Perempuan 410.916 89 22.167 45 388.749 94 Laki-laki 53.201 11 27.222 55 25.979 6 Total 464.117 100 49.389 100 414.728 100 Sekitar Lokasi Perempuan 1.017.954 88 67.294 45 950.660 94 Laki-laki 141.684 12 83.010 55 58.674 6 Grand total 1.159.638 100 150.304 100 1.009.334 100 Sumber: diolah dari data statistik Provinsi (2014) Dari sisi jumlah dapat dipastikan bahwa SDM perempuan usia kerja sangat tersedia di lokasi proyek karena dapat dipastikan bahwa jumlah SDM perempuan yang dibutuhkan atau dapat berpartisipasi dalam proyek jauh lebih kecil dari 1.017.954 orang. Pertanyaannya adalah “Apakah SDM perempuan tersebut seluruhnya memiliki kesempatan untuk berpartisipasi?”. Beberapa faktor pembatas partisipasi yang utama adalah: i) tingkat pendidikan, ii) budaya, dan iii) keputusan suami atau orang tua di tingkat rumah tangga. i) Tingkat pendidikan • Rata-rata lama sekolah (RLS) perempuan di lokasi proyek berkisar antara 7,22 sampai 8,86 tahun, terendah di Gorontalo (7,22 tahun) dan tertinggi di Sulawesi Utara (8,83 tahun). Artinya, rata-rata perempuan Sulawesi Utara hampir lulus SLTP sementara di Gorontalo dan Sulawesi Tengah tidak menyelesaikan kelas 8. Apakah tingkat pendidikan ini mengurangi kesempatan berpartisipasi? Jawabannya cenderung “ tidak” karena banyak di antara GSA yang tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi seperti kegiatan pemeliharaan batas kawasan, kegiatan terkait restorasi hutan, kegiatan terkait pengembangan mata pencaharian, dll.

(27)

24

• Tidak tersedia data terpilah untuk penduduk usia kerja menurut tingkat pendidikan sehingga sulit untuk menggambarkan potensi partisipasi perempuan dalam GSA yang membutuhkan pendidikan formal tertentu, seperti tenaga ahli, manager, maupun peserta pelatihan untuk bidang tertentu. Hal yang sudah pasti berdasar statistik tingkat pendidikan di provinsi lain adalah adanya penduduk usia kerja yang telah lulus SLTP, SLTA, dan universitas; yang tidak jelas adalah “berapa banyak”.

• Statistik pendidikan nasional dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016) menunjukkan bahwa lulusan SMA di provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah berturut-turut ada 16.808, 7.939, dan 20.115 orang; masing-masing terdiri dari perempuan sebanyak 7.951 orang (47%), 3.112 orang (39%), dan 10.160 orang (51%). Artinya, di sekitar lokasi proyek, terdapat 44.862 lulusan SMA pada tahun 2015 saja, diantaranya 21.223 orang (47%) adalah perempuan. Artinya, total jumlah perempuan lulusan SMA di sekitar lokasi proyek pasti jauh melebihi 21.223 orang, jumlah yang diyakini melebihi kebutuhan proyek E-PASS akan perempuan yang lulus SMA.

ii) Budaya dan agama

Di lokasi tertentu seperti di sekitar Taman Nasional BN Wartabone, nilai-nilai budaya dan agama melekat kuat pada masyarakat dan membatasi partisipasi perempuan bagi sebagian keluarga dan individu. Di beberapa lokasi sekitar taman nasional, dimana penduduk umumnya memeluk agama Islam, perempuan biasanya menggunakan kerudung namun hal ini tidak mengurangi minat perempuan untuk bekerja di luar rumah karena umumnya mereka memiliki watak turunan pekerja keras yang mampu melakukan berbagai pekerjaan di luar rumah bahkan pekerjaan laki-laki sekalipun di dalam hutan. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa, secara umum budaya dan agama tidak merupakan kendala bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.

iii) Keputusan suami atau orang tua di tingkat rumah tangga dan kelompok

Di tingkat rumah tangga: suami masih mendominasi pengambilan keputusan keluarga karena alasan ekonomi maupun budaya. Para suami pada umumnya tidak melarang istri untuk bekerja di luar rumah asalkan tidak sepanjang hari. Menurut nilai budaya lokal, umumnya suami memperlakukan istri sebagai partner sehingga perlu dimintai pendapat tentang berbagai isu menyangkut keluarga dan lingkungan.

Pada umumnya, masyarakat di sekitar lokasi menganut sistem patriarki dimana laki-laki mendominasi pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga maupun kelompok. Pada saat bersamaan, istri/suami ditempatkan oleh suami/istri sebagai partenr seperti tercermin dari adanya istilah “tetendean” (tempat bersandar), “asende” (teman makan), dan “siesa” (belahan sebelah, teman hidup) yang melekat di kalangan suku Minahasa.

Secara umum, laki-laki atau suami adalah yang sangat produktif secara ekonomi; hal ini jelas terlihat dari angka-angka TPAK laki-laki yang jauh lebih tinggi dibanding perempuan. Tidak mengherankan bahwa para istri sangatlah tergantung pada para suami secara ekonomi dengan konsekuensi logis bahwa pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga didominasi oleh suami.

Di tingkat kelompok: para istri adalah “silent power” karena mereka menyalurkan aspirasi melalui suami. Hal ini terjadi karena keterampilan dan percaya diri para istri yang rendah untuk berbicara mengemukakan pendapat secara terbuka.

Gambar

Tabel	4.4.	Gambaran	umum	tentang	kesenjangan	gender	dalam	pengelolaan	kawasan	konservasi	berdasar	FGD	di	Manado,	Kotamobagu	dan	Palu
Tabel	4.2.	Jumlah	SDM	potensial	untuk	berpartisipasi	(SDMPP)	dalam	proyek	E-PASS
Tabel		5.1.	Program	pemberdayaan	gender	pada	Proyek	E-PASS

Referensi

Dokumen terkait

(2) Menteri atau gubernur yang diberikan delegasi oleh Menteri untuk memberikan izin pembuangan air limbah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara

Permainan ular tangga adalah permainan tradisional yang menggunakan papan untuk anak-anak yang dimainkan oleh 2 orang atau lebih.Tujuan dari penelitian ini adalah membangun

collaborative action research , yaitu peneliti beserta guru berkolaborasi dalam pelaksanaan laynan bk yang terintegrasi dengan PBM. Penelitian dilakukan dalam tiga siklus

Sebelum terbentuk IPTN, terdapat lima hal yang menjadi faktor berdirinya IPTN pada saat itu, yaitu keinginan untuk membuat pesawat dan mengembangkan sebuah industri pesawat di

Permasalahan kedua bagi para industri genteng beton adalah kualitasnya yang kurang baik dari segi sifat fisik, kuat lentur, rembesan dan daya serap air, sehingga perlu

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel nisbah bagi hasil berpengaruh positif terhadap simpanan mudharabah dan dalam uji MRA walaupun kontribusi interaksi

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 186 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) ada kebutuhan dan kepentingan siswa terhadap pengembangan kesiapan kerja menurut siswa, orang tua, dan guru BK berdasarkan hasil kajian