• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan seperti berikut.

5.1 Perencanaan Kawasan

Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian. Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 23 kawasan konservasi di Indonesia disajikan dalam Gambar 16.

-1 2 3 4 5 P er lindungan k ehat i K et er kai tan dengan as et k ehat i K ons is tens i P em aham an pengel ol a D uk ungan m as yar ak at P er lindungan huk um R eso lu si ko nf lik T at a bat as K et iadaan k lai m lahan S D M dan k euangan K es es uai an t em pat Lay out P em anf aat an s ek itar k aw as an Z onas i K et er kai tan k aw as an l ai n N il ai P er en can aan

Tujuan Kepastian Hukum Desain Tapak

Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari 3. Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak. Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam

(2)

penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah.

Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 16. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan Taman Nasional yaitu Keputusan Menteri, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain.

Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik

adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi.

Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah.

Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi. Lemahnya aspek perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini.

0 3 6 9 12 B er bak S em bi lang W ay K am bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G unung Palung R aw a A opa W at um ohai Wa su r Lor ent z U jung K ul on Ka rim un Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k C endr aw as ih K epul auan Se rib u K om odo B unak en Ta ka B oner at e W ak at obi Si be ru t Ba lu ra n Al as P ur w o M eru B et iri M anupeu T anadar u d h t N ila i Per e ncana a n

Rawa Pantai dan Mangrove Terumbu KarangMangrove- Terumbu Karang Hutan Pantai

Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi. Huruf “d” merupakan desain kawasan, “h” kepastian hukum, dan “t” untuk penetapan tujuan.

(3)

Sebagian besar kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini masih lemah dalam hal perencanaan pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 17. Kawasan konservasi yang perencanaannya sudah relatif baik yang lain adalah dari kelompok terumbu karang dan kelompok gabungan terumbu karang dan mangrove. Hal ini disebabkan karena kelompok ini telah bisa memformulasi tujuan pembentukan kawasan dengan baik. Sebaliknya kawasan dengan nilai rata-rata perencanaan yang paling lemah adalah kelompok hutan pantai disebab oleh karena lemahnya desain tapak kawasan.

Secara individual, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bali Barat, Komodo, Taka Bonerate, dan Wasur adalah kawasan konservasi yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain. Kawasan konservasi yang nilai perencanaannya paling lemah terdapat pada kelompok hutan pantai dan rawa mangrove yaitu masing-masing adalah Taman Nasional Siberut dan Tanjung Puting.

Gambaran tersebut diatas sekilas menunjukkan adanya kebutuhan yang berbeda pada masing-masing type kawasan dengan satu satu kesamaan yaitu bahwa formulasi tujuan pembentukan kawasan telah dibuat lebih baik dibandingkan penegakan/ perlindungan hukum dan desain tapak kawasan. Prioritas penanganan lebih lanjut akan sangat bergantung pada seberapa jauh faktor-faktor ini terkait atau mempengaruhi efektifitas pengelolaan secara umum.

Hasil RAPPAM di negara tropis berkembang lain memiliki kebutuhan yang cenderung berbeda dalam tahapan perencanaan kawasan. Kamboja misalnya telah cukup memadai dalam menyusun desain tapak kawasan, tapi lemah dalam perencanaan dimana pembentukan kawasan tidak sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati, kawasan konservasi lahan basah pesisir tidak mewakili lahan basah pesisir yang ada di Kamboja, dan banyak dari kawasannya belum memiliki

kepastian hukum penetapannya (Lacerda et.al. 2005). Kondisi yang relatif lebih baik

ditunjukkan oleh hasil RAPPAM di Brazil dimana perencanaan kawasan telah sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan desain tapak dirancang dengan baik sehingga kebutuhan intervensi dalam dua komponen ini relatif kecil (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Perbedaan keduanya terletak pada

(4)

pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil.

5.2 Masukan

Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan pengelolaan. Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan. Nilai masing-masing kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut.

-1 2 3 P eni lai an k iner ja P el at ihan K et er am pila n Ju m la h sta ff K ondi si k er ja K om uni ka si k e m as yar ak at P er al ata n ko m un ika si D at a bi o, s os ek P er al at an s ur vey A na lis is d at a T rans por tas i P er al at an l apa ngan F as ilit as s ta f F as ilit as pengu nj ung P er aw at an per al at an A lok as i P enge lol aan k eu angan D ana 5 t ahun k edepan D ana 5 t ahun t er ak hi r S ta bilit as jangk a pa nj ang N ila i M a s u k a n

staff komunikasi infrastruktur keuangan

Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi

Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai (nilai>3) untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Kelompok komponen yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai.

Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai “modal” suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan

(5)

perawatan terhadap peralatan. Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat.

Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi. Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi seluruh Indonesia.

0 2 4 6 8 10 12 B er bak S em bi lang Wa y K am bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G unung Palung R aw a A opa W at um ohai Wa su r Lor ent z U jung K ul on Ka rim un Ja w a Ba li B ara t Te lu k C endr aw as ih K epu lauan Se rib u K om odo B unak en Ta ka B oner at e W ak at obi S iber ut Ba lu ra n Al as P urw o M eru B et iri M anupeu T an adar u f i k u Ni la i M asuka n

Rawa Pantai dan Mangrove

Mangrove-Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai

Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hurup “f” menunjukkan pegawai, “i” untuk infrastruktur, “k” untuk komunikasi, dan “u” anggaran.

Gambar 19 menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang nilai masukannya sudah relatif lebih baik dibandingkan kawasan konservasi lainnya adalah dari kelompok terumbu karang. Secara individual Taman Nasional Bunaken, Kepulauan Seribu, Bali Barat, Wakatobi, Alas Purwo, Way Kambas dan Wasur adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai masukan yang lebih baik. Kawasan konservasi yang nilai masukannya paling rendah adalah Taman Nasional Lorentz dan Manupeu Tanadaru. Kelima kawasan konservasi pertama yang memiliki masukan relatif baik tersebut umumnya memiliki potensi wisata laut yang terkenal sedangkan dua kawasan

(6)

konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi

kawasan upland.

Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada. Meski demikian terdapat kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif

dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS.

Pemenuhan kebutuhan akan “masukan” memiliki isu yang relatif sama di Kamboja (Asia), Brazil (Amerika), Kwazulu Natal (Afrika Selatan) yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17% akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50% terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan (staf, infrastruktur, keuangan) dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai “mengalami kekurangan yang kronis” disetiap level pengelola

(Lacerda et. Al. 2005). Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal

yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan (Goodman, 2003)

5.3 Proses Pengelolaan

Proses pengelolaan adalah tahapan dalam siklus pengelolaan yang merupakan tindak lanjut perencanaan dan desain kawasan konservasi berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Penilaian proses pengelolaan ditujukan untuk mengetahui apakah proses tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan kawasan konservasi. Terdapat tiga kelompok yang menjadi penilaian terhadap proses pengelolaan yaitu: (1) perencanaan pengelolaan; (2) pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; (3) penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan.

(7)

-1 2 3 4 5 R enc ana peng el ol aan A na lis is a nc am an P en dat aan R en cana k er ja de tai l P em ant au an Ke te rb uk aa n Or gani sa si in te rnal K ol abo ras i dgn m as yar ak at P ar tis ipas i m as yar ak at K om un ik as i ef ek tif P enel iti an e kol ogi s P en cat at an d am pak P em anf aat an m oni tor ing A ks es has il pe nel iti an P en elit ia n is u s os ek N il ai P ro ses P en g el o laa n

perencanaan pengelolaan praktek-praktek pelaksanaan monitoring evaluasi

Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi

Rendahnya nilai pada komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 18 menyebabkan kita sulit untuk berharap bahwa dalam tahapan siklus pengelolaan selanjutnya yaitu “proses pengelolaan” akan diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 15 komponen proses yang diamati, ternyata hanya ada 3 komponen yang dinilai cukup memadai yaitu struktur organisasi internal, keterbukaan dalam pengelolaan, dan kolaborasi dengan masyarakat seperti ditunjukkan dalam Gambar 20.

Gambar 20 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, komponen-komponen proses pengelolaan memiliki nilai capaian yang sangat rendah dengan nilai dibawah 2 yang berarti bahwa sebagian besar kondisi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Proses pengelolaan yang relatif lebih baik adalah pada kelompok praktek-praktek pelaksanaan, terutama pada komponen organisasi internal pengelola, keterbukaan dalam pengelolaan, dan upaya-upaya kolaborasi dengan masyarakat. Secara umum, bagian paling lemah dalam kegiatan proses pengelolaan adalah monitoring dan evaluasi terutama pada penelitian-penelitian isu sosial ekonomi.

Dua dari tiga kelompok komponen dalam proses pengelolaan yang memiliki nilai yang sangat rendah yaitu kelompok perencanaan dan kelompok monitoring dan

(8)

evaluasi. Lemahnya proses perencanaan biasanya disebabkan oleh hambatan teknis seperti ketiadaan data dan informasi, pendekatan proyek yang dilakukan oleh konsultan, dan terbatasnya waktu pelaksanaan. Akibatnya banyak kawasan konservasi yang tidak menyelesaikan rencana pengelolaannya, kalaupun ada karena difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya hanya berupa dokumen yang tersimpan sebagai arsip tanpa adanya upaya implementasi.

Bagian lain dari proses pengelolaan yang lemah adalah pada kelompok monitoring dan evaluasi. Saat ini sistem monitoring dan evaluasi yang dikembangkan masih belum memadai. Akibatnya, informasi yang diperoleh dari kegiatan monitoring sulit untuk diakses pihak lain yang berkepentingan dan sering tidak dimanfaarkan untuk menjadi masukan bagi siklus pengelolaan selanjutya. Gambaran ketidakmemadaian ini bisa dilihat pada produk informasi Taman Nasional yang dipublikasikan Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) Departemen Kehutanan melalui websitenya http://li.defined.net/cgi-bin/pika.exe. Hingga saat penulisan hasil penelitian ini dilakukan (Desember 2006), informasi mengenai taman nasional yang ditampilkan dalam website tersebut praktis masih berupa tabel-tabel yang sebagian besar dalam keadaan kosong. 0 3 6 9 12 15 Be rb ak S emb ila ng Wa y K am ba s T anj un g Pu tin g Ku ta i G unu ng P al ung Ra wa A op a W at um ohai Wa su r Lor ent z U jung K ul on Ka rim un Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k Cend ra w as ih K epu la ua n Se rib u Ko m od o Bu na ke n Ta ka Bo ne ra te Wa ka to bi Si be ru t Ba lu ra n Ala s P ur w o M er u B eti ri M anu pe u T ana da ru m p e N ilai P ro ses

Rawa Pantai dan Mangrove Terumbu KarangMangrove - Terumbu Karang Hutan Pantai

Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi. Hurup “m” pada keterangan gambar menunjukkan rencana pengelolaan, “p” untuk praktek pelaksanaan, dan “e” untuk evaluasi.

(9)

Seperti halnya dalam siklus-siklus pengelolaan sebelumnya, Taman Nasional Bali Barat, Komodo, Wakatobi, dan Bunaken tetap merupakan kawasan konservasi yang relatif lebih baik dalam proses pengelolaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 21. Sedangkan kawasan konservasi yang proses pengelolaannya masih lemah antara lain Taman Nasional Lorentz, Gunung Palung, Kutai, Baluran, dan Sembilang.

Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki nilai proses pengelolaan yang lebih baik dibandingkan kelompok kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan konservasi kelompok rawa/mangrove memiliki nilai proses yang lebih lemah dibanding kelompok lainnya.

Hasil RAPPAM di tiga negara tropis yang sedang berkembang menunjukkan kesamaan yang dialami di Indonesia. Kamboja, Brazil, maupun Kwazulu Natal memiliki kelemahan dalam penyusunan rencana detail pengelolaan, penelitian, monitoring dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan praktek-praktek pelaksanaan telah dijalankan dengan baik seperti keterbukaan, kolaborasi dengan masyarakat, dan komunikasi yang efektif.

5.4 Keluaran

Penilaian terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi. Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus pengelolaan mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan pengelola seperti disajikan dalam Gambar 22.

(10)

-1 2 3 Pe ni ng ka ta n kepe du lian P el at iha n s taf Ma na je me n sta f H as il pe nel iti an dan m oni to ring P er enc an aan da n inv ent ar is as i H ab ita t d an sat w a l iar P en ceg ah an an ca m an P eng em ban gan in fr as tr uk tu r P eng el ol aan pe ng unj ung Up ay a re st ora si N ila i K elu ar an Jenis-jenis Keluaran

Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi

Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari pengelolaan kawasan konservasi Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<3, Gambar 22). Hasil yang paling lemah adalah upaya restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan komponen keluaran yang relatif lebih baik adalah peningkatan kepedulian.

0 1 2 3 4 5 Be rb a k S e m b ila n g W a y K a m bas Tan jung Pu tin g Ku ta i G un ung P a lung Ra wa Ao p a W a tum o hai Wa su r Lor e nt z U jun g K u lon Ka ri m u n Ja w a Ba li Ba ra t Tel u k Ce n d ra w a si h K epul a uan Se ri b u Ko m o d o B unak en Tak a Bo n e ra te W ak at obi S iber u t Ba lu ra n Al a s P u rw o M e ru B e tiri M anu peu Tanad ar u N ila i K elu ar an

Rawa Pantai dan Mangrove

Mangrove-Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai

Gambar 23. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 23 kawasan konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing kawasan konservasi memberikan hasil yang bervariasi satu sama lain seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 23. Kawasan konservasi keluaran yang lebih baik dalam pengelolaanya adalah Taman

(11)

Nasional Bali Barat dan Komodo. Sedangkan nilai keluaran yang rendah dapat ditemukan pada Taman Nasional Lorentz dan Rawa Aopa, Gunung Palung, dan Karimun Jawa. Penyebab perbedaan ini kompleks karena status masing-masing kawasan konservasi sangat berbeda demikian pula dengan tingkat masukan, proses, dan monitoring pengelolaannya.

Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki keluaran yang lebih baik dibanding kelompok lainnya dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove memiliki nilai keluaran yang paling rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penilaian terhadap proses pengelolaan seperti disajikan dalam Gambar 21 dimana kelompok terumbu karang umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok lain dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove umumnya memiliki nilai rendah.

Nilai keluaran yang diperoleh dari hasil RAPPAM di Kamboja, Brazil, dan Kwazulu Natal juga masih jauh dari memuaskan. Laporan RAPPAM dari ketiga negara tropis sedang berkembang terus meyakini bahwa lemahnya input menyebabkan keluaran yang diperoleh juga menjadi lebih rendah dari tujuan-tujuan pengelolaan

(Lacerda et.al. 2005; Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005;

dan Goodman 2003).

5.5 Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan

Efektivitas Pengelolaan merupakan akumulasi penilaian terhadap seluruh siklus pengelolaan mulai dari perencanaan, masukan, proses, dan keluaran seperti yang disajikan pada Gambar 24. Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Indonesia sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan sebagian besar masih dikelola dengan tidak efektif yang ditunjukkan oleh nilai dibawah 9. Gambaran ini merupakan pembenaran terhadap isu yang sudah diketahui secara luas oleh publik pemerhati pengelolaan kawasan konservasi bahwa pengelolaan kawasan konservasi secara umum berjalan tidak efektif.

(12)

0 3 6 9 12 15 B er bak S em bi lang W ay K am bas T anj ung Pu tin g Ku ta i G unung Palung Raw a A opa W at um ohai Wa su r Lor ent z Uj ung K ul on Ka rim un Ja w a Ba li Ba ra t Te lu k Cendr awas ih K epul au an Se rib u K om odo B unak en Ta ka B oner at e W ak at obi S iber ut Ba lu ra n Al as Pu rw o M eru B et iri M anupe u T anadar u

keluaran proses masukan perencanaan

N ila i E fek ti vi ta s P en g el o la an

Rawa dan Mangrove Mangrove - Terumbu Karang Terumbu Karang Hutan Pantai

Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 23 kawasan konservasi Terlepas dari rendahnya nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan, secara umum kawasan konservasi yang nilai efektivitasnya cenderung tinggi dibanding kelompok lain adalah kelompok terumbu karang. Sebaliknya kelompok yang nilai efektivitasnya cenderung rendah adalah kelompok rawa dan mangrove.

Terdapat paling tidak 2 kawasan konservasi yang pengelolaannya sudah efektif yaitu Taman Nasional Bali Barat, Komodo. Sedangkan Bunaken, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu tergolong dalam kategori pengelolaan yang cukup efektif. Gambar 24 juga memberikan kita informasi bahwa kawasan konservasi yang paling tidak efektif dalam pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz, Tanjung Puting, dan Rawa Aopa Watumohai.

Gambar

Gambar 16  Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi   Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan  konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif  lemah dimana nil
Gambar 17  Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi.  Huruf “d” merupakan  desain kawasan, “h” kepastian hukum, dan “t” untuk penetapan tujuan
Gambar 18  Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan  konservasi
Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan  konservasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tentang pengaruh NEM, motivasi dan kedisplinan terhadap prestasi belajar oleh [3] bahwa ada pengaruh antara NEM, tingkat kedisiplinan dan

Sehingga operabilitas kapal pada saat pelaksanaan survei seismik tidak dapat dilakukan operasi transfer muatan ataupun personil dari helikopter ke kapal, maupun

struktur menu pada website perlu diperbaharui karena kurangnya menu utama website ini berupa menu wisata yang terdiri dari wisata bahari, wisata alam, wisata

Tujuan dari penulisan projek akhir PKL ini adalah untuk merancang dan membangan sebuah sistem Internet of Things sederhana dengan menggunakan sensor suhu , sensor

Agar pembangunan fisik kota dapat lebih terarah sesuai dengan penataan ruang, kepada masyarakat sebelum membangun atau mendirikan bangunan dapat meminta penjelasan- penjelasan

Untuk pekerja lepas/freelancer dan mereka yang belum bekerja, kriteria tempat kerja alternatif yang ingin digunakan adalah tempat yang memilki desain interior yang

Berbagai permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran tersebut peneliti terdorong untuk melakukan penelitian yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar matematika

yang bener-bener bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan benar. Usaha ini bisa mendukung program pemerataan penduduk dan memperluas kesempatan kerja di