• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

II.1 Auditing

Auditing menurut Alvin A. Arens dan James K. Loebbecke yang diterjemahkan oleh Yusuf (1997: 1) dalam edisi bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

“Auditing adalah proses pengumpulan, dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen untuk dapat melaporkan dan menentukan kesesuaian informasi yang dimaksud yang dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.”

Ditinjau dari sudut lain, Mulyadi (2002) meninjau dari sudut Akuntan publik, yaitu:

“Auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.”

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang penting dalam auditing, yaitu:

(2)

12 a. Seseorang yang melaksanakan audit (auditor) harus orang yang memiliki

kompeten dan independen

b. Seorang auditor harus melakukan pengumpulan informasi, dokumen

pendukung dan mengevaluasi bukti audit untuk mendukung opini nya.

c. Informasi-informasi yang dikumpulkan dan dievaluasi harus sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.

d. Pemeriksaan atas laporan keuangan harus dilakukan secara objektif.

e.

Hasil akhir dari pekerjaan auditor adalah laporan audit yang harus disampaikan kepada para pengguna laporan.

II.1.1 Standar Auditing

Standar auditing berbeda dengan prosedur auditing, yaitu “prosedur” berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan “standar” berkaitan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut, dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur tersebut. Standar auditing, yang berbeda dengan prosedur auditing, berkaitan dengan tidak hanya kualitas pelaksanaan auditnya dalam laporannya.

Standar auditing yang terlah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) adalah sebagai berikut:

1. Standar Umum

i) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

(3)

13 ii) Dalam semua hal yang berkaitan dengan perikatan, independensi dalam sikap

mental harus dipertahankan seorang auditor.

iii) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

2. Standar Pekerja Lapangan

i) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika menggunakan asisiten harus disupervisi dengan semestinya.

ii) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk

merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup penyajian yang akan dilakukan.

iii) Bukit audit kompeten yang cukup harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan 3. Standar pelaporan

i) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun dengan prinsip akuntansi umum yang berlaku di Indonesia

ii) Laporan auditor harus menunjukan atau menyatakan, jika ada,

ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode berikutnya.

iii) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang

memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor

iv) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan

keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat

(4)

14 diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

Standar – standat tersebut diatas dalam banyak hal saling berhubungan dan saling bergantung satu dengan lainnya. Keadaan yang berhubunga dengan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. “Materialitas” dan “risiko audit” melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.

II.1.2 Kantor Akuntan Publik

Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah tempat penyediaan jasa profesi akuntan publik bagi masyarakat. Sedangkan akuntan publik atau auditor adalah akuntan yang berpraktik dalam KAP yang menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam SPAP dan melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis, yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam SPAP.

Dalam melakukan jasanya, auditor harus berada dalam suatu badan hukum yang biasa disebut KAP. Auditor dapat bertindak baik sebagai partner maupun sebagai pegawai pemeriksa dalam KAP tersebut dan KAP dapat berbentuk KAP perseorangan, yang terdiri dari seorang partner, maupun KAP persekutuan, yang terdiri dari beberapa partner.

Pola umum dari struktur hirarki personal dalam KAP adalah sebagai berikut : 1. Partner,

(5)

15 3. Supervisor,

4. Auditor senior, 5. Auditor junior.

II.1.2.1 Kantor Akuntan Publik Berafiliasi

Di Indonesia peraturan mengenai kententuan KAP berafiliasi diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 Tentanga Akuntan Publik pasal 35 samapi pasal 37dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 Tentang Jasa Akuntan Publik pasal 27 sampai pasal 29. Kantor akuntan publik berafiliasi adalah kantor akuntan publik yang melakukan kerjasama secara langsung dengan satu Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA). Kerja sama yang dilakukan bersifat berkelanjutan yaitu tidak terbatas hanya untuk penugasan tertentu yang dinyatakan dalam perjanjian kerja sama.kerja sama yang dilakukan paling sedikit mencakup bidang jasa audit umum atas laporan keuangan yang dinyatakan dalam perjanjian kerja sama. KAP yang melakukan kerja sama dengan KAPA atau OAA dapat mencantumkan nama KAPA atau OAA bersama-sama dengan nama KAP pada nama kantor, kepala surat, dokumen, dan media lainnya setelah mendapat persetujuan Sekretaris Jenderal atas nama Menteri. Terdapat reviu mutu paling sedikit sekali dalam 4 tahun oleh KAPA atau OAA yang dinyatakan dalam perjanjian kerja sama. KAPAharus lolos syarat-syarat administratif terlebih dahulu sebelum bisa melakukan kerja sama dengan KAP di Indonesia. KAP tidak boleh menggunakan nama KAP atau OAA yang sedang digunakan oleh KAP lain.

Menteri dapat mencabut persetujuan pencantuman nama KAPA atau OAA apabila kerja sama antara KAP dengan KAPA atau OAA berakhir, status terdaftar

(6)

16 KAPA atau OAA dibekukan, atau setatus terdaftar KAPA atau OAA dibatalkan. Sturktur hirarki dan jasa yang diberikan oleh KAPA tidak berbeda dengan jasa yang diberikan KAP.

II.1.3 Bukti Audit

Mulyadi (2002) mendefinisikan bukti audit sebagai :

“Segala informasi yang mendukung angka-angka atau informasi yang disajikan dalam laporan keuangan, yang dapat digunakan oleh auditor sebagai dasar menyatakan pendapatnya. Bukti audit yang mendukung laporan keuangan terdiri dari data akuntansi dan semua informasi penguat (corroborating information) yang tersedia bagi auditor.”

Menurut Arens, Elder dan Beasley (2005 : 162) mendefinisikan bukti audit sebagai “informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi kuantitatif yang sedang diaudit disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan”. Luasnya informasi sangat bervariasi dalam meyakinkan auditor apakah laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Bahan bukti mencakup informasi yang meyakinkan seperti perhitungan auditor atas efek-efek (marketable securities) dan informasi yang kurang meyakinkan seperti jawaban pegawain perusahaan klien atas pernyataan yang diajukan. Penggunaan bahan bukti tidak hanya khusus dilakukan oleh auditor. Bahan bukti juga digunakan secara ekstensif oleh ilmuwan, pengacara dan sejarawan.

(7)

17 Materialitas merupakan satu di antara faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas maka semakin besar jumlah bukti yang diperlukan dan begitu juga sebaliknya. Semakin besar atau semakin signifikan suatu saldo akun, semakin banyak jumlah bukti yang diperlukan.

II.2 Profesionalisme

Dalam kamus kata – kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia, karangaan JS Badudu (2003), definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti (1) bersifat profesi (2) memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, (3) beroleh bayaran karena keahlian nya itu. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme memiliki dua kriteria pokok, yaitu keahlian dan pendapatan (bayaran). Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Perilaku profesionalisme merupakan cerminan dari sikap profesionalisme, demikian pula sebaliknya sikap profesionalisme tercermin dari perilaku yang profesional.

Hall R (1968) mengemukakan terdapat lima dimensi profesionalisme yaitu meliputi :

1. Pengabdian pada profesi (dedication), yang tercermin dalam dedikasi profesional melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Sikap ini adalah ekspresi dari penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekadar sebagai alat untuk

(8)

18 mencapai tujuan. Penyerahan diri secara total merupakan komitmen pribadi, dan sebagai kompensasi utama yang diharapkan adalah kepuasan rohaniah dan kemudian kepuasan material.

2. Kewajiban sosial (Social Obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya peran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3. Kemandirian (Autonomy Demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang

profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain.

4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (Belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

5. Hubungan dengan sesama profesi (Profesional Community Affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok – kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional ini membangun kesadarannya.

Berdasarakan kelima dimensi profesionalisme tersebut, seorang auditor membangun sikap profesionalisme mereka agar dapat memenuhi kewajiban mereka dengan baik dan sungguh – sungguh.

(9)

19 Didalam standar auditing yang terdapat pada Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan bahwa : “Dalam Pelaksanan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama (SPAP :2011)” Pernyataan diatas menunjukan bahwa dalam setiap kegiatan pelaksanaan audit termasuk penentuan materialitas setiap auditor diwajibkan untuk menggunakan kemahiran profesional nya. Ini membuktikan bahwa profesionalisme sangat berperan besar dalam kegiatan audit laporan keuangan.

II.2.2 Etika Profesi

Jika berbicara mengenai profesionalisme, maka sangat erat kaitannya nya dengan etika profesi. Menurut Arens & Loebbecke (2003 : 71) Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Masing masing orang memiliki perangkat niliai, sekalipun tidak dapat diungkapkan seara eksplisit.

Dalam usaha untuk mewujudkan perilaku profesional akuntan publik memiliki cara untuk mewujudkannnya melalui Ikatan Akuntan Indonesia membuat “Kode Etik Akuntan Indonesia”. Kode etik tersebut dibuat untuk menerapkan standar perilaku bagi para akuntan, terutama akuntan publik.

II.2.3 Kecakapan Profesional Akuntan Publik

Mulyadi (2002) dalam Kode Etik Akuntan Indonesia Bab II kecakapan profesional dicantumkan dua pasal. Pasal 2 dalam kode etik tersebut mengatur:

1. Kewajiban baik setiap anggota IAI untuk melaksanakan pekerjaannya

(10)

20 2. Kewajiban bagi setiap anggota IAI untuk mengikat orang orang lain yang bekerja dalam pelaksanaan tugas profesionalnya untuk mematuhi Kode Etik Akuntan Indonesia.

3. Kewajiban bagi setiap anggota IAI untuk senantiasa meningkatkan kecakapan profesionalnya.

4. Kewajiban untuk menolak setiap penugasan yang tidak sesuai dengan kecakapan

profesionalnya.

II.3 Materialitas

Boynton, Johnson & Kell (2001:286) dalam bukunya mendefinisikan materialitas sebagai berikut :

“The magnitude of an amission or misstatement of accounting information that, in the

light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgement of reasonable person relying on the information would have been change or influenced by the omission or misstatement”

Definisi lain dari materialitas menurut Arens & Loebbecke (2003:42) dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf mendefinisikan materialitas sebagai berikut :

“Suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional”

(11)

21 “Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.”

Berdasarkan definisi – definisi diatas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besaran jumlah nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan para pegguna laporan keuangan.

Dalam audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Auditor tidak dapat memberikan jaminan karena ia tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya ke dalam laporan keuangan. Jika auditor diharuskan untuk memberikan mengenai keakuratan laporan keuangan, hal ini tidak mungkin dilakukan karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi manfaat yang dihasilkan. Disamping itu tidaklah mungkin seseorang menyatakan keakuratan laporan keuangan, mengingat bahwa laporan keuangan sendiri berisi pendapat, estimasi, dan pertimbangan dalam proses penyusunannya, yang seringkali pendapat, estimasi dan pertimbangan tersebut tidak tepat atau akurat seratus persen.

Oleh karena itu menurut Mulyadi (2002), dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan jasa assurance berikut ini :

(12)

22 1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah – jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan dan dikompilasi.

2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit

kompeten yang cukup sebahgai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.

3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat, bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan.

II.3.1 Langkah – langkah dalam Penentuan Tingkat Materialitas

Dalam melakukan penentuan tingkat materialitas maka diperlukan langkah yang sistematis agar proses yang dilakukan dapat efektif dan effisien. Di dalam bukunya Arens & Loebbecke (2003) menggambarkan bagaimana langkah – langkah yang dilakukan oleh auditor dalam menentuan tingkat materialitas pada proses audit laporan keuangan

Tabel 2.1 Langkah Penentuan Materialitas

Langkah 1 Tentukan pertimbangan awal mengenai

materialitas

Perencanaan

Langkah 2 Alokasi pertimbangan awal mengenai

materialitas kedalam segmen

Langkah 3 Estimasikan total salah saji didalam

segmen

Pelaksanaan Audit

Langkah 4 Estimasikan salah saji gabungan

Langkah 5 Bandingkan estimasi dengan

(13)

23 II.3.2 Tingkat Materialitas

Dalam menerapkan definisi diatas, menurut Arrens & Loebbecke (2003 : 42) digunakan tiga tingkatan materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat. Tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Jumlahnya Tidak Material

Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. Dalam hal ini pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan. 2. Jumlahnya Material Tetapi Tidak Mengganggu Laporan Keuangan Secara

Keseluruhan

Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Untuk memastikan materialitas jika terdapat kondisi yang menghendaki adanya penyuimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian, auditor harus mengevaluasi segala pengaruhnya terhadap laporan keuangan,

3. Jumlah Sangat Material atau Pengaruhnya Sangat Meluas Sehingga Kewajaran Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Diragukan

Tingkat materialitas tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Dalam kondisi kesalahan sangat material, auditor harus memberikan pernyataan tidak memberi pendapat atau pendapat tidak wajar, tergantung pada kondisi yang ada. Dalam menentukan materialitas suatu

(14)

24

pengecualian, harus dipertimbangkan sejauh mana pegeceualian itu

mempengaruhi bagian – bagian lain laporan keuangan. Ini disebut kemeluasan (pervasiveness). Salah klasifikasi antara kas dan piutang hanya akan mempengaruhi dua akun itu dan oleh karenanya tidak mempengaruhi akun lain. Di pihak lain, kelalaian mencatat penjualan yang material sangat akan mempengaruhi penjualan, piutang usaha, beban pajak penghasilan, utang pajak penghasilan, dan laba ditahan yang pada gilirannya mempengaruhi aktiva lancer, total aktiva, kewajiban lancer, total kewajiban, kekayaan pemilik marjin kotor dan laba operasi. Semakin meluas pengaruh suatu salah saji, kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada pendapat wajar dengan pengecualian. Selain itu, tanpa mempedulikan berapa jumlah materialitas nya, pernyataan untuk tidak memberikan pendapat harus diberikan apabila auditor tidak independen. Ketentuan ketat ini mencerminkan betapa pentingnya independensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor.

II.3.3 Pertimbangan Awal Tentang Materialitas

Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena keadaan yang melingkupi berubah, informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.

(15)

25 Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubugan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut. Berikut ini adalah contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor dalam memepertimbangkan materialitas.

II.3.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Awal Materialitas

Menurut Mulyadi (2002) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini:

a. Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan

b. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini:

Materialitas pada tingkat laporan keuangan, auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksaaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.

(16)

26 Oleh karena itu auditor haru mempertimbangkan dengan baik penaksiran materialitas pada tahap perencaan audit. Jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya, jika auditor mnentukan jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi, auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang berisi salah saji material.

Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau ketidakberesan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tesebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum, penympangan dari fakta, atau penghilang informasi yang diperlukan.

Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bershi setelah pakal. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham.

Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp 2 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp 4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini,

(17)

27 auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp 4 juta juga berdampak terhadap laporan laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk mencapai tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.

Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan Sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternative, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, sepeti keadaan ekonomi umum dan trend industri.

Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik:

a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak.

b. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva.

c. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva

(18)

28 d. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah

saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto

Materialitas pada tingkat saldo akun, Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keunagan auditee. Oleh karena itu, taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun laporan keuangan secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima ( tolerate misstatement) untuk akun tertentu.

Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah ukuran saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkatidan dengan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibangdingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelugatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya.

(19)

29 Dalam memeprtimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbakan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.

II.3.4 Keputusan Mengenai Materialitas

Sebagai konsep, pengaruh materialitas terhadap jenis opini yang diberikan mudah sekali ditetapkan. Dalam penerapannya, mempertimbangkan materialitas dalam situasi tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada petunjuk sederhana dan jelas yang dapat membantu auditor untuk memutuskan apakah sesuatu tidak material, material, atau sangat material.

Terdapat perbedaan dalam menerapkan materialitas untuk memutuskan apakah kegagalan mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum berdampak material dibandingkan dengan memutuskan apakah pembatasan lingkup berdampak material. Berikut ini adalah pembahasan berkenaan dengan mengambiil keputusan materialitas dalam dua situasi tersebut.

II.3.4.1 Kaitan Dengan Prinsip Akuntansi yang Berterima Umum

Jika seorang auditee tidak menerapkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan benar laporan audit dapat wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian,

(20)

30 atau tidak wajar, tergantung kepada materialitas dari penyimpangan tersebut. Harus dipertimbangkan beberapa aspek dari materialitas.

Jumlah rupiah dibandingkan terhadap tolak ukur tertentu, Cara yang paling lazim untuk mengukur materialitas, jika seorang klien telah menyimpang dari prinsip akuntansi yang berlaku umum, adalah dengan membandingkan nilai uang dari kesalahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji kealahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji sebesar Rp20 juta mungkin sangat berarti bagi perusahaan kecil, tetapi tidak bagi perusahaan besar. Karena itu, salah saji yang terungkap harus dibandingkan terlebih dahulu terhadap beberapa dasar ukuran sebelum keputusan dapat dibuat mengenai materialitas penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum tersebut. Tolak ukur yang lazim digunakan adalah laba bersih, jumlah aktiva lancar dan modal kerja.

Untuk mengevaluasi materialitas keseluruhan, auditor harus mencari semua salah saji individual yang belum diperbaiki, yang bila digabungkan dapat menimbulkan pengaruh yang cukup berarti terhadap laporan keuangan.

Pada saat membandingkan salah saji potensial dengan tolak ukuru tertentu, auditor harus mempertimbangkan dengan hati-hati semua akun yang dipengaruhi oleh suatu salah saji.

Daya ukur, Nilai uang yang terkandung pada beberapa salah saji tidak dapat diukur secara akurat. Sebagai contoh, keengganan klien untuk mengungkapkan adanya gugatan hukum atau akuisisi perusahaan anak yang baru setelah tanggal penutupan neraca sulit atau malah tdak mungkin, untuk diukur dalam nilai uang. Tingkatan materialitas harus dievaluasi auditor dalam situasi semacam ini bergantung pada

(21)

31 pengaruh dari tidak diungkapkannya penjelasan tersebut untuk membantu keputusan yang dibuat oleh pada pemakai laporan keuangan.

Sifat salah saji, Keputusan para pemakai laporan keuangan dapat pula dipengaruhi oleh jenis salah saji yang terdapat di dalam laporan keuangan. Salah saji berikut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan, dan demikian juga akan mempengaruhi pendapat auditor, dengan cara yang berbeda dari salah saji yang lazim terjadi.

1. Transaksi-transaksi adalah melanggar hukum.

2. Sesuatu pos yang dapat mempengaruhi periode mendatang, meskipun jumlahnya

tidak berarti jika hanya periode sekarang yang diperhitungkan.

3. Sesuatu yang menimbulkan akbat “psikis”.

4. Sesuatu yang dapat menimbulkan konsekuensi penting bila dibandingkan dari segi kewajiban kontrak.

II.3.4.2 Kaitan Dengan Pembatasan Lingkup Audit

Besar kecilnya salah saji yang mungkin terjadi akibat pembatasan lingkup audit penting untuk diperhatikan dalam menentukan jenis pendapat yang sesuai, yaitu apakah laporan wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian atau pernyataan tidak memberikan pendapat.

Umumnya jauh lebih sulit untuk mengevaluasi materialitas dari salah saji yang diakibatkan adanya ruang lingkup audit daripada pelanggaran terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum atau penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum secara tidak

(22)

32 konsisten dapat diketahui. Tetapi yang berasal dari pembatasan lingkup audit biasanya harus diukur secara subjektif untuk melihat kemungkinan terjadinya salah saji.

II.4 Pengaruh Dimensi Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas

Dalam penelitian ini yang menjadi variable dependen adalah pertimbangan tingkat materialitas. Penelitian ini akan membahas pengaruh dimensi profesionalisme auditor terhadap pertimbangan materialitas yang dilakukannya. Dalam melakukan audit dibutuhkan akurasi-akurasi prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila mungkin meminimalkan unsur risiko dalam suatu audit. Disinilah sikap profesionalisme auditor dibutuhkan dalam menentukan materialitas dari laporan keuangan yang diaudit.

Soekrisno Agoes (2007:125) dalam bukunya menerangkan sebagai berikut materialitas dan risiko audit dipertimbangkan oleh auditor saat perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan standar auditing yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di dalam PSA No.25, sebagai berikut :

1. Risiko audit dan materialitas, bersama dengan hal-hal lain perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur tersebut.

2. Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau keseluruhan, adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, sedangkan beberapa hal lainnya adalah tidak penting. Frasa “menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di

(23)

33 indonesia” menunjukan keyakinan auditor bahwa laporan keuangan secara keseluruhan tidak mengandung salah saji material.

3. Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual maupun keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajiar, dalam hal semua yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan yang keliru prinsip akuntans tersebut, penyimpangan fakta, atau dihilangkannya informasi yang diperlukan.

4. Dalam perencanaan audit, auditor berkepentingan dengan masalah – masalah yang mungkin material terhadap laporan keuangan, auditor tidak bertanggung jawab untuk merencakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa salah saji, yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan, tidak material terhadap laporan keuangan

5. Pada waktu mempertimbangkan tanggung jawab auditor memperoleh keyakinan

memadai bahwa laporan keuangan bebas salah saji material, tidak ada perbedaan penting antara kekeliruan dan kecurangan. Namun, terdapat perbedaan, dalam hal tanggapan auditor terhadap salah saji yang terdeteksi. Umumnya kekeliruan yang terisolasi, tidak material dalam pengolahan data akuntansi atau penerapan prinsip akuntansi yang tidak signifikan terhadap audit. Sebaliknya, bila kecurangan dideteksi, auditor harus mempertimbangkan implikasi integritas manajemen atau karyawan dan kemungkinan dampaknya terhadap aspek audit. 6. Dalam mengambil kesimpulan mengenai materialitas dampak suatu salah saji,

(24)

34 mempertimbangkan sifat dan jumlahnya dalam hubungan dengan sifat nilai pos laporan keuangan yang sedang diaudit

7. Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan

profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangkan kualitatif dan kuantitatif.

Seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama saat melakukan proses audit dan penyusunan laporan keuangan. Untuk itu seorang auditor harus membuat perencanaan audit sebelum memulai proses audit. Auditor diharuskan menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin seirang auditor itu profesional maka semakin auditor tersebut dalam menentukan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor tersebut dapat diukur melalui: pengabdiian auditor terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan dengan sesama profesi.

(25)

35 II.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti ditunjukan berikut ini:

No Nama Peneliti Judul Penelitian Kesimpulan

1. Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah (2006) Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan

A. hasil penelitian menunjukan

bahwapengabdian pada profesi

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas.

B. kewajiban sosial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas.

C. kemandirian mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas

D. hasil penelitian menunjukan bahwa

kepercayaan terhada profesi

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas

E. hubungan dengan sesama profesi mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap penentuan tingkat

materialitas 2. Syafina Khairiah (2009) Pengaruh Profesionalisme dan Pengalaman Auditor BPK Perwakilan Provinisi Sumatera Utara Terhadap Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah

Profesionalisme dan pengalaman

auditor BPK perwakilan Sumatera Utara

berpengaruh simultan dan parsial

terhadap tingkat materialitas laporan keuangan pemerintah 3. Iftitah Anggraini (2010) Profesionalisme Auditor Eksternal Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Untuk

Tujuan Audit Laporan Keuangan Klien (Studi Empiris Pada KAP di

Wilayah Surabaya

Pusat dan Timur)

Pengabdian pada profesi dan

kemandirian berpengaruh positif dan

signifikan terhadap pertimbangan

tingkat materialitas, sedangkan

kewajiban sosial dan keyakinan

terhadap profesi berhubungan positif dan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

(26)

36 4. Hasan Basri (2011) Pengaruh Dimensi Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan

(studi empiris pada

auditor KAP Kota

Makassar)

Pengabdian pada profesi, kewajiban

sosial, kebutuhan untuk mandiri,

hubungan dengan sesama profesi dan keyakinan terhadap peraturan profesi tidak berpengaruh terhadp pertimbangan tingkat materialitasi auditor kecuali variabel kemandirian

II.6 Hipotesis

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang sejenis dan yang telah disebutkan diatas, tinjauan teoritis, perumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini berdasarkan pemikiran atas hubungan dimensi profesionalisme dengan pertimbangan materialitas :

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi

pengabdian pada profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas H2 : Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi

pengabdian kewajiban sosial secara parsial terhadap pertimbangan tingkat materialitas

H3 : Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi

kemandirian terhadap pertimbangan tingkat materialitas

H4 : Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi

keyakinan terhadap profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas H5 : Terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel profesionalisme dimensi

hubungan dengan sesama profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

(27)

37 H6 : Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan pengabdian profesi,

kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan sesama rekan seprofesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

II.7 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Pengabdian pada profesi Y Tingkat materialitas X Profesionalisme Hubungan dengan sesama proesi Keyakinan terhadap peraturan profesi Kemandirian Kewajiban sosial

Gambar

Tabel 2.1 Langkah Penentuan Materialitas
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melihat kegiatan-kegiatan tarekat Muqtadiriyah yang biasa dilakukan oleh Khalifah Hadi beserta jamiyahnya beliau memiliki pandangan bahwa apa yang dilakukan

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan,. Sekolah

Pembelajaran sejarah berbasis situs-situs sejarah Bima dengan menggunakan metode Inkuiri pada siswa kelas XI IPS 1 MAN 2 Kota Bima yang dilaksanakan dalam tiga siklus

Hasil penelitian menunjukkan (1) perangkat pembelajaran yang dikem- bangkan telah dinyatakan valid oleh validator dengan skor rata-rata 4,37 untuk skor maksimum 5,00; dan (2)

Kebiasaan yang sering dilakukan oleh kebanyakan remaja baik remaja putra maupun remaja putri mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi misalnya seperti es, coklat,

Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Sosiologi kelas X IIS 2 SMAN 8 Surakarta tahun pelajaran 2014/2015 melalui

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH NOMOR 1 TAHUN 2014. TANGGAL 16 JANUARI

Pada penelitian ini didapatkan stadium klinis pada penderita polip hidung sebelum mendapatkan terapi fluticasone furoate berdasarkan tampilan overekspresi