• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL BASICEDU Volume 5 Nomor 4 Tahun 2021 Halaman Research & Learning in Elementary Education

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL BASICEDU Volume 5 Nomor 4 Tahun 2021 Halaman Research & Learning in Elementary Education"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BASICEDU

Volume 5 Nomor 4 Tahun 2021 Halaman 1766 - 1777

Research &

Learning

in

Elementary Education

https://jbasic.org/index.php/basicedu

Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia

Aiman Faiz

1

, Bukhori Soleh

2

, Imas Kurniawaty

3

, Purwati

3

Universitas Muhammadiyah Cirebon, Indonesia1,2 Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia3

Universitas Pendidikan Indonesia, Tasikmalaya, Indonesia

4

E-mail: aimanfaiz@umc.ac.id1, Bukhori.soleh@umc.ac.id2, i.kurniawaty@upi.edu3,

Purwati_purwati@upi.edu4

Abstrak

Fokus artikel ini membahas tentang faktor penghambat dalam pendidikan karakter. Pemangku kebijakan sebenarnya sudah membuat regulasi yang dalam Undang-undang Sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003. Namun, terdapat kendala dalam pelaksanaan pendidikan karakter sehingga perlu diuraikan fakor penghambat apa saja. Library Research atau studi kepustakaan terkait topik yang dibahas adalah metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, sumber bacaan berasal dari buku, artikel penelitian terdahulu, adapun tambahan informasi didapatkan dari pengalaman dan informasi dari pakar pendidikan karakter. Hasil kritsalisasi pemikiran peneliti, setidaknya ada lima elemen yang menjadi kritik dan harus menjadi evaluasi kedepannya. Diantaranya adalah kesalahan peran orang tua dalam mendidik, kesalahan peran sekolah dalam mendidik, peran masyarakat yang belum memahami tanggung jawabnya, peran media yang mempertontonkan hal negatif dan kondisi terkini dengan kebiasaan baru yang mempengaruhi psikologis siswa. Lima elemen tadi jika memberikan peran negatif dari masing-masing tentu akan semakin membuat pendidikan karakter sulit tertanam dalam diri siswa. Kurangnya intervensi dan adanya habituasi ke arah negatif, akan memberikan dampak buruk bagi karakter siswa (bad character). Dapat ditarik kesimpulan, pendidikan karakter harus melalui proses intervensi dan habituasi secara continue, terinegrasi dan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh setiap elemen.

Kata Kunci: Hambatan, pendidikan karakter, analisis kritis.

Abstract

The focus of this article discusses the inhibitory factors in character education. The policyholders have actually made the regulation in the Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional number 20 of 2003. However, there are obstacles in the implementation of character education so it needs to be elaborated fakor any obstacles. Library Research or literature studies related to the topic discussed is a research method used by researchers., the source of reading comes from books, previous research articles, as for additional information obtained from experience and information from character education experts. The results of the cryalization of the researcher's thinking, there are at least five elements that become criticism and should be an evaluation in the future. Among them are the mistakes of the role of parents in educating, mistakes in the role of the school in educating, the role of the community that does not understand its responsibilities, the role of the media that shows negative things and current conditions with new habits that affect the psychological of students. These five elements if giving negative roles from each will certainly make character education difficult to ingrain in students. Lack of intervention and habituation in the negative direction, will have a bad impact on the student's character (bad character). Can be concluded, character education must go through the process of intervention and habituation continuously, terinegrasi and done with full awareness by each element.

Keywords: Inhibitory, character education, critical analysis.

Copyright (c) 2021

Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati

 Corresponding author :

Email : aimanfaiz@umc.ac.id ISSN 2580-3735 (Media Cetak)

(2)

1767 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia– Aiman Faiz,Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

PENDAHULUAN

Artikel ini adalah sebuah tinjauan analisis kritis terhadap pelaksanaan pendidikan karakter yang sampai saat ini masih menyimpan banyak PR. Sehingga para ahli pendidikan karakter memberikan asumsinya yang mengatakan bahwa pendidikan karakter dinilai gagal dalam membentuk karakter siswa. Salah satunya Profesor pendidikan Nilai dan Karakter UPI Bandung, Hakam (Budimansyah, 2012: 85) yang mengungkapkan salah satu faktor penyebab kegagalan pendidikan nilai dan karakter (moral & agama) disebakan oleh fokus sekolah yang masih mengutamakan dalam penyampaian pengetahuan moral, tetapi tidak sampai menyentuh tahapan menjadi manusia bermoral yang di mana anak secara continue mengimplementasikan perbuatan moralnya. Dalam implementasi program penguatan pendidikan karakter (PPK) yang telah dilaksanakan di sekolah, masih belum mencapai target yang di inginkan. Hasil penelitian tesis (Faiz, 2018 & Faiz, 2020) tentang “penguatan pendidikan karakter di Sekolah masih belum mencapai tujuan”. Hal ini karena dalam tatanan pelaksanaan, para stakeholder belum memahami teori dan konsep yang harusnya dilaksanakan sesuai dengan aturan yang diinginkan.

Secara teoritis, jika menelaah Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, cita-cita dan tujuan penyelenggaraan pendidikan dengan muatan karakter sangatlah baik. Nuansa pendidikan karakter yang terkandung dalam Uu Sisdiknas memiliki konsep yang mengedepankan harapan terciptanya inividu yang memiliki nilai karakter atau akhlak mulia. Secara teoritis, sudah tentu rumusan cita-cita dan tujuan tersebut sangatlah baik, namun secara empiris dan faktual, cita-cita dan tujuan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 masih terkendala berbagai hal. Peneliti merangkum beberapa kasus yang bertolak belakang dengan cita-cita dalam Uu Sisdiknas. Tahun 2019 misalnya, ada seorang siswa SD ditangkap karena mencuri ponsel. Siswa tersebut mencuri ponsel karena membutuhkan biaya untuk terus sekolah (Mappiwali, detikNews, 2019). Masih pada kasus serupa, Polisi melakukan penangkapan terhadap siswa kelas 4 SD saat mereka sedang bermain. Diketahui anak tersebut melakukan perbuatan mencuri alat ibadah di Vihara demi untuk bermain game online, siswa SD tersebut nekat mencuri (Nur, iNewsSulsel.id, 2020). Selanjutnya kejadian pada 18 Februari 2021 anak dibawah umur nekat mencuri buku paket sekolah demi bermain game online (TribunNews, 2021). Kasus lain misalnya, seorang siswa SD kelas V melakukan aksi kriminal, dengan mencuri motor (curanmor). Anak tersebut sudah 3 Kali Mencuri Motor, namun bukan untuk dijual, melainkan anak tersebut hanya ingin menaiki kendaraan saja, jika bensinnya sudah habis maka akan ia tinggal untuk mencari motor lain (TribunNews, 2021).

Dari beberapa kasus tersebut peneliti hanya mengambil contoh kasus yang terjadi pada siswa SD sebagai pelakunya. Hal ini memberi gambaran bahwa, pada tatanan pendidikan dasar saja, ternyata pendidikan karakter memiliki banyak sekali PR yang harus diselesaikan. Jika di bahas satu persatu, sudah tentu setiap wilayah memiliki kasus yang mungkin serupa, namun dalam artikel ini peneliti bukan untuk melaporkan kasus serupa di setiap daerah. Akan tetapi, memberikan sedikit gambaran terkait dengan kasus kejadian yang menimpa pelajar yang notabene mendapatkan bimbingan dan didikan dari para guru terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

Selain belum adanya pembiasaan yang menyentuh tahapan moral being sebagaimana yang diungkapkan Hakam pada awal tulisan ini. Herlambang, (2018: 7-8) menungkapkan dalam perspektif lain, bahwa dunia saat ini konsep pendidikan masih memiliki tujuan yang sempit dan pragmatis dengan mencetak manusia yang hanya dipersiapkan untuk pemenuhan kebutuhan industrial yang artinya hanya berupaya memuaskan kebutuhan material, bukan pada pengembangan kapasitas manusia. Hal ini diperburuk oleh paradigma masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan merupakan sarana untuk memperoleh keterampilan tertentu sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan. Idealnya pendidikan menjadi tempat yang tidak hanya mampu mengembangkan keterampilan semata, namun juga menjadi tempat untuk pengembangan kapasitas manusia secara performance karakter mengingat urgensi pendidikan karakter yang semakin menantang di tengah pergolakan zaman (Faiz & Kurniawaty, 2020: 163).

(3)

1768 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia– Aiman Faiz,Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

Hal lain yang menjadi persoalan terkait tidak maksimalnya pendidikan karakter adalah, kurang kompaknya pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan karakter masih terfokus dalam pendidikan formal atau pada lingkup sekolah. Jika mengacu pada grand desain kemendiknas pembudayaan pendidikan karakter mencakup lingkup satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat, berikut ilustrasinya:

Gambar1: Grand Desain Pendidikan Karakter Kemendiknas (Budimansyah, 2010: 56)

Grand desain yang dirumuskan Kemendiknas tersebut diperkuat oleh pernyataan Tilaar (2016: 15) terkait pendidikan harus terintegrasi dengan tiga lingkup yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat yang dinamakan tripusat pendidikan. Sudah barang tentu ketiga lingkup tersebut memiliki peran besar terhadap proses pembentukan karakter siswa/ individu. Tripusat pendidikan merupakan pondasi yang harus dibangun antar elemen agar saling menguatkan. Sebagaimana diungkapkan Hidayati (2016: 222) yang mengungkapkan hubungan ketiganya dari Tripusat pendidikan ibarat mata rantai yang saling menguatkan atau mempengaruhi. Apabila pada salah satu elemen mengalami penurunan, maka akan memberi dampak lain pada elemen lain.

METODEPENELITIAN

Dalam penelitian ini, konsep yang digunakan untuk menyusun data adalah melalui konsep pendekatan kualitatif dengan metode library research atau studi kepustakaan untuk mengumpulkan, membaca, mencatat, mengolah dan menganalisis faktor hambatan apa saja yang menjadi problema dalam pendidikan karakter. Untuk itu, literatur yang sesuai dengan topik penelitian yang bersumber dari buku, artikel dan para ahli pendidikan karakter di analisis untuk disimpulkan menjadi konsep pemikiran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dewasa ini, pendidikan karakter selalu memberikan hal yang menarik bagi para akademisi, untuk dikaji dan diyakini sebagai sumber pemecah berbagai persoalan yang ada. Penanaman dan pembentukkan karakter memang sangatlah penting, karena menyangkut dengan kualitas suatu bangsa sebagaimana diungkapkan oleh Faiz (2019: 1) bahwa merupakan pondasi yang penting bagi keberlangsungan peradaban sebuah bangsa, karena kulitas karakter menentukan eksistensi sebuah bangsa. Namun saat ini, pendidikan karakter telah memasuki era dan tantangan baru, selain adanya efek domino dari kondisi kemajuan zaman

(4)

1769 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia– Aiman Faiz,Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

dan teknologi, pendidikan karakter juga menghadapi kondisi pandemi covid-19 yang menghambat pelaksanaan dan pembentukan karakter siswa. Berdasarkan hasil studi pustaka yang bersumber dari buku, artikel dan para ahli pendidikan karakter, setelah mengumpulkan, membaca, mencatat, mengolah dan menganalisis. Maka dapat diilustrasikan hasil analisis kritis terkait faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam penanaman dan pengembangan pendidikan karakter:

Bagan 1. Faktor Penanaman dan Pengembangan Pendidikan Kararkter Sumber: Hasil kristalisasi pemikiran peneliti (2021)

Peran Orang Tua

Faktor penghambat yang pertama adalah kurangnya peran orang tua dalam menanamkan nilai karakter kepada siswa. Dalam hal ini pola asuh menjadi hal yang paling utama bagi pembentukan karakter anak/ individu. Namun terkadang orang tua menerapkan pola asuh yang keliru. Mungkin menurut perspektif orang tua tujuannya bagus, namun secara implementatif caranya keliru. Pola asuh yang keliru tentu akan membawa dampak negatif bagi siswa/ individu. Seorang pakar psikologi anak Elly Risman (dalam Sukanda, 2016), mengatakan dalam pola asuh terdapat 12 gaya populer yang sebaiknya dihindari, hal tersebut diantaranya; 1) memerintah, kalimat yang bernada perintah akan menimbulkan pengabaian atau penentangan dari anak. Anak lebih menyukai kalimat yang menunjukkan rasa penghargaan ketimbang kalimat perintah; 2) meyalahkan, kalimat menyalahkan seperti “makanya ayah/ ibu bilang jangan berlarian, jadi jatuh kan”, kalimat seperti itu akan membuat anak takut dan sulit menerima tantangan. Ketika anak membuat kesalahan, bantu anak untuk memperbaikinya agar anak bangkit; 3) meremehkan, kalimat yang meremehkan akan mematahkan semangatnya; 4) membandingkan, kalimat membandingkan akan membuat anak tidak percaya diri dan kurang bersyukur; 5) memberi label, kalimat memberi label yang negatif akan merusak harga diri anak; 6) mengancam, kalimat ancama akan melahirkan sikap pembangkang dalam diri anak, daripada kalimat ancaman, orang tua bisa memberikan pengertian mengapa anak tidak boleh begitu; 7) menasehati, dalam memberikan nasehat, ungkapkan hal-hal yang tidak kita sukai dengan jelas dan simpel. Memberikan penghargaan ketika anak mulai memperbaiki sikapnya; 8) berbohong, anak adalah peniru yang handal, kebohongan akan membuatnya sulit menerima kenyataan dan bersikap realistis; 9) menghibur, kalimat menghibur akan memberikan kesan ketidakpedulian, orang tua lebih baik bertanya tentang apa yang terjadi dan membantu anak mencari solusi atas permasalahannya; 10) mengkritik, kalimat kritikan akan membuat anak kehilangan rasa percaya diri. Hargai setiap usahanya untuk mendorong anak berbuat lebih baik lagi; 11) sindiran, kalimat menyindir akan melemahkan semangatnya. Gantilah kalimat sindiran dengan memberikan

(5)

1770 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

sikap apresiatif agar motivasinya meningkat; 12) menganalisa, sikap ini akan membuat anak merasa bersalah, tidak mampu dan rendah diri. Dampingi dan bimbing mereka karena mereka memiliki kemampuan dan bakatnya masing-masing

Selain gaya pola asuh yang keliru, lebih jauh lagi Braumrind (Yusuf, 2012: 52) mengungkapkan gaya pola asuh yang berpengaruh pada perilaku individu diantaranya; (1) jika individu mendapatkan pola pengasuhan yang authoritarian, maka akan memiliki kecenderungan sikap yang memberontak dan bermusuhan; (2) jika individu mendapatkan pola asuh permisif cenderung memiliki sikap berprilaku bebas (tidak memiliki kontrol); (3) jika individu yang mendapatkan pola asuh authoritative memiliki kecenderung untuk menghindari dirinya dari hal-hal yang bisa membuatnya gelisah dan perilaku yang nakal karena memiliki self control lebih baik.

Dengan demikian, peran orang tua yang memahami pola asuh yang benar tentu akan mampu mengembangkan karakter anak/ individu pada kematangan moral dan karakternya. Kegagalan dalam menanamkan dan mengembangkan karakter anak saat usia dini, dapat membentuk karakter individu yang bermasalah saat usia dewasa (Muslich, 2010: 35). Artinya, apabila orang tua memahami pola asuh yang tepat, karakter anak terbentuk dengan baik, karena orang tua memegang peran penting sebagai pondasi yang utama dalam pendidikan.

Faktor kedua yang menjadi penghambat pendidikan karakter melalui peran orang tua adalah faktor ekonomi. Disadari atau tidak, status ekonomi turut mempengaruhi karakter anak/ individu. Yusuf (2012: 53-54) mengatakan bahwa, orang tua yang hidup dalam keadaan finansial dan ekonomi rendah cenderung memiliki pola asuh yang otoriter dan mengalami depresi. Selain itu, konflik keluarga juga akan timbul sehingga dapat mempengaruhi anak/ individu seperti kurang harga diri, prestasi belajar rendah, tidak dapat bergaul dengan teman, mengalami masalah penyesuaian diri (karena depresi dan agresi). Sejalan dengan Yusuf, Fagan (dalam Hyoscyamina, 2011: 146) mengungkapkan bahwa faktor ekonomi turut mempengaruhi pembentukan karakter anak. Munculnya permasalahan karena faktor ekonomi dalam keluarga akan meningkatkan tingkat stres yang menimbulkan pertengkaran bahkan kekerasan dalam keluarga yang berdampak negatif terhadap karakter anak.

Dengan demikian, salah satu indikator pendidikan karakter tercapai atau tidak salah satunya adalah faktor ekonomi. Artinya, bukan setiap orang tua harus menjadi kaya raya, namun orang tua harus sadar dan tidak abai dalam mengajarkan hal-hal kecil seperti rasa syukur terhadap apa yang dimilikinya sehingga bisa mengatasi hal negatif karena faktor ekonomi yang tidak stabil.

Faktor lain yang dapat menjadi penghambat dalam penanaman dan pengembangan pendidikan karakter masih berkaitan dengan faktor ekonomi. Jika keadaan finansial sebuah keluarga dalam keadaan yang tidak bagus, maka tentu akan mempengaruhi asupan gizi bagi perkembangan tubuh dan otaknya. Nency, Y., & Arifin, (2005: 63) mengungkap pengaruh gizi yang tidak tercukupi bagi organ dan system tubuh. Akibatnya pertumbuhan anak akan terhambat dan sangat merugikan performance anak (stunting). Yang lebih memprihatinkan lagi akan menghambat perkembangan mental dan otaknya. Apabila asupan gizi tidak tercukupi pada masa golden age (usia 0-3 tahun), sangat mungkin anak tersebut tidak dapat berkembang sebagaimana anak yang tercukupi asupan gizinya. Dampak dari terhambatnya pertumbuhan otak ini menjadi hal yang sangat penting karena otak adalah aset bagi anak untuk dapat menjadi individu yang berkualitas dan berkarakter di masa yang akan datang. Para peneliti mengungkapkan hal buruk (jangka pendek) yang terjadi apabila anak kekurangan asupan gizi diantaranya anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara, dan gangguan perkembangan lainnya. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori dan tentu saja prestasi akademik. Maka tidak heran apabila asupan gizi tidak diperhatikan maka akan mengancam bagi individu dan bangsa itu sendiri karena mempengaruhi kemampuan penalaran otaknya dalam menentukan karakter yang baik dan buruk.

(6)

1771 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

Dengan demikian, peran orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam pembentukan karakter. Karakter dapat terbentuk dari adanya kebiasaan yang dipengaruhi orang tua tentang hal yang baik dan buruk. Anak merupakan prioritas utama karena peran orang tua sebagai pondasi pembentukan intelektual dan moral anak. Mengesampingkan pembentukan karakter anak merupakan kesalahan terbesar orang tua.

Peran Sekolah

Selain peran orang tua, sekolah juga harus menjadi iklim pendidikan moral dan karakter yang harus di jalankan dengan baik. Akan tetapi, ada saja guru yang kurang memahami pentingnya membangun iklim moral di dalam sekolah. Berdasarkan pengalaman peneliti yang pernah menjadi pendidik, setidaknya terdapat 3 faktor yang menjadi penghambat pembentukan karakter di sekolah, diantaranya: 1) guru yang terlalu galak, 2) guru yang acuh, 3) sering mempermalukan/ menjatuhkan harga diri siswa. Jika diambil benang merahnya, tentu ketiga faktor tersebut karena pemahaman ilmu mendidik (pedagogik) yang harusnya dikuasai guru sebelum menjadi guru profesional, tidak tercapai dengan baik. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dari ketiga faktor tersebut.

Faktor penghambat pertama adalah guru yang terlalu galak, pengalaman peneliti ketika menjadi guru, banyak guru yang salah konsep antara tegas dan galak. Hal ini, membuat siswa menjadi tidak terbuka karena takut disalahkan. Praktek pendidikan yang seperti ini, membuat karakter siswa cenderung penurut namun kemampuan siswa jadi terbatasi karena takut mengungkapkan ide dan gagasannya karena guru selalu merasa benar. Dari sudut pandang psikologis juga, guru yang terlalu galak turut menyumbangkan perilaku kekerasan kepada anak. Mungkin saja banyaknya tawuran, perkelahian antar pelajar adalah hasil dari kekeliruan guru dalam menanamkan pendidikan karakter kepada siswa.

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2012 yang mengatakan masih ada kekeliruan guru dalam hal kedisiplinan untuk membentuk karakter siswa. KPAI menyimpulkan bahwa terdapat 39% responden pernah mengalami kekerasan non verbal seperti dicubit oleh guru, dan 34% mendapatkan kekerasan verbal berupa ucapan dengan nada tinggi. Hal tersebut dilakukan dengan inisiatif untuk memberikan efek jera agar siswa disiplin (Christiana, 2019: 60). Kemudian pada tahun 2017 KPAI juga mengungkapkan sebanyak 84% anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan di sekolah. Hasil tersebut membuat Indonesia berada di peringkat tertinggi kasus kekerasan di Sekolah (KPAI, 2017). KPAI pun merilis hasil terbaru pada tahun 2019, yang menerima aduan kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah. Data KPAI menunjukkan 44% pelaku kekerasan merupakan guru atau kepala sekolah kepada murid (Wıdadıo, 2019).

Jika kondisi demikian terus terjadi maka sudah pasti jika siswa tidak mendapatkan kualitas moral yang baik. Sebagaimana dikatakan oleh Megawangi bahwa guru harus memberikan udara moral yang sehat agar siswa menghirup udara moral sehat agar menyehatkan paru-paru siswa karena anak akan berada dikelas sepanjang hari, apabila guru mampu memberikan udara kasih sayang dan penghormatan kepada siswa, maka karakter anak akan baik (Megawangi, 2016: 181).

Memang hal yang wajar apabila guru mengoreksi perilaku siswa yang salah, salah satunya dengan reinforcement negatif agar siswa tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Namun terkadang, respon yang diberikan guru tidak proporsional. Maksud tidak proporsional disini artinya, apabila siswa melakukan kesalahan di level 3 (rentang 1-10), maka berikanlah respon di level yang sama pula agar proporsional. Jangan sampai ketika siswa melakukan kesalahan di level 3, guru merespon perilaku siswa tersebut pada level 8, maka hal ini tidak proporsional dan tidak menyehatkan bagi iklim moral di sekolah atau di kelas tersebut.

Selain guru yang terlalu galak, guru yang acuh/ abai pun menjadi salah satu faktor penghambat dalam pendidikan karakter. Tidak dibenarkan apabila seorang guru memiliki sikap acuh terhadap siswa yang melakukan kesalahan. Bahkan hal demikian bisa menimbulkan sikap tidak empati sehingga hal demikian dapat merusak hubungan interpersonal yang harusnya bisa dibangun antara guru dan siswa melalui respon emosi (Faiz et al., 2020: 52). Peneliti pernah mengalami sendiri ada guru yang tidak peduli kepada siswanya,

(7)

1772 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

salah satunya ketika ada siswa yang terlihat sedang membuli temannya, ada guru yang mengucapkan “biarkan saja bukan anak saya ini, mau ini itu terserah mereka”. Sikap sebagian guru yang memiliki pemikiran demikian tentu tidak dibenarkan. Idealnya, para guru yang mendapat amanah untuk menjadi pendidik, tidak dibenarkan untuk memiliki pemikiran demikian. Apalagi guru (PNS) yang sudah mendapat gaji dari negara, ketika mereka memiliki pemikiran tersebut, maka itulah sebuah penghianatan guru kepada negara karena tidak amanah.

Hal yang harus dilakukan seorang guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan, minimal memberi nasehat dengan pendekatan humanis. Melakukan pendekatan humanis secara psikologis tentu sangat diperlukan bagi siswa. Apabila kedekatan psikologis sudah terjalin dengan baik, maka mudah bagi guru dalam mengoreksi atau memberikan nasihat kepada siswa. Bagi siswa tentu akan mudah menuruti nasihat moral yang diberikan guru tersebut (Lickona, 1991).

Yang terakhir dalam bagian ini adalah, terkadang seorang guru mempermalukan siswa di depan rekan-rekannya. Ketika seorang guru mengoreksi perilaku siswa yang keliru sebaiknya hindari memarahi siswa tersebut di depan teman-temannya. Hal tersebut untuk menghindari reaksi yang berlebihan dari siswa tersebut, bahkan bisa saja siswa tersebut berontak karena merasa tidak di hargai oleh gurunya. Meskipun berposisi sebagai anak didik, namun pada hakikatnya siswa memiliki hak sebagai individu yang ingin dihormati oleh orang lain termasuk oleh gurunya. Pendekatan yang sifatnya personal perlu dilakukan untuk menasehati siswa tersebut dengan mengajaknya bicara baik-baik (Raka dan Butuantara, 2020), karena itu akan lebih memposisikan siswa sebagai individu yang memiliki potensi memperbaiki perilakunya, ketimbang memperlakukannya seperti seorang tahanan.

Dengan demikian, meski sentuhan pengaruh dalam pembentukan karakter yang dilakukan oleh guru tidak terlihat banyak, namun nilai-nilai pendidikan antara guru dan siswa perlu dibangun dengan keterhubungan yang baik. Jika siswa merasakan bahwa guru mereka tidak memberikan rasa hormat dan peduli, maka siswa akan sulit menerima nilai-nilai pendidikan karakter yang di ajarkan oleh guru. Pentingnya keterlibatan langsung antar guru dan siswa tentu perlu didukung oleh kesadaran guru yang memiliki konsep visi moral yang diperlukan dari interaksi moral. Guru juga perlu membayangkan efek jangka panjang apabila melakukan hal baik atau buruk dari sikapnya kepada siswa, dimana intervensi seorang guru mungkin akan berakibat positif atau negatif beberapa tahun kemudian yang disebut sleeper effect (Lickona, 2012: 135). Peran Masyarakat

Faktor penghambat pembentukan karakter selanjutnya adalah peran masyarakat yang di dalamnya terdapat faktor teman sebaya, budaya dan kebiasaan masyarakat, dan kekerasan di masyarakat. Peneliti mengawali pembahasan faktor teman sebaya yang berperan penting bagi karakter siswa. Penelitian Suparmi, S., & Isfandari, 2016) tentang teman sebaya yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan sosialnya. Oleh sebab itu, apabila peran teman sebaya membawa ke hal negatif, kemungkinan individu yang termasuk dalam kelompok tersebut kemungkinan ikut melakukan perilaku yang negatif pula. Suparmi dan Isfandari juga mengungkapkan bahwa teman sebaya memberikan kontribusi terhadap meningkatnya perilaku negatif seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol. Individu dengan kecenderungan negatif cenderung memilih rekan dengan perilaku serupa. Menggunakan istilah Singelman dan Shaffer (dalam Yusuf, 2012: 59) individu yang cenderung mencari rekan sebaya dengan motif yang sama, sesuai hobi dan kebiasaan teman sebayanya disebut konformitas. Dengan demikian, sangat memungkinkan peran teman sebaya dapat memberikan intervensi negatif bagi pembentukan karakter siswa.

Faktor kedua dalam peran masyarakat adalah budaya dan kebiasaan yang bisa menjadi penghambat pembentukan karakter siswa. Kondisi sisial, budaya dan adat yang heterogen turut mempengaruhi karakter siswa/ individu. Di satu sisi budaya dan kebiasaan tersebut menjadi nilai keunggulan tersendiri, namun di sisi lain menjadi penghambat dalam pembentukan karakter siswa/ individu. Dalam hal ini, peneliti menyoroti perilaku masyarakat yang memiliki kebiasaan negatif namun menjadi nilai yang dijunjung tinggi bagi

(8)

1773 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

penganut budaya tersebut. Peneliti pernah membaca salah satu buku yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia tahun 2011. Dalam budaya tersebut, terdapat kebiasaan/ tradisi sekelompok masyarakat meminum minuman keras berjenis “Tuak” yang sudah menjadi budaya di masyarakat tersebut. Sangat disayangkan, dalam tradisi itu banyak anak-anak yang belum cukup umur ikut meminum minuman keras tradisional tersebut. Selain bertentangan dengan nilai religius, kebiasaan tersebut juga setidaknya akan membawa pengaruh pada perilaku-perilaku menyimpang lainnya karena hilangnya kesadaran yang diakibatkan pengaruh alkohol. Sebagaimana diungkapkan Suparmi, S., & Isfandari (2016) bahwa, mengkonsimsi alkohol memiliki kontribusi terhadap peningkatan perilaku seks pra-nikah dikalangan remaja.

Dengan demikian, faktor budaya dan kebiasaan masyarakat yang mungkin masih terjaga sampai saat ini, sudah tentu memberikan hambatan dalam pembentukan karakter siswa/ individu. Memang tradisi harus dijaga, namun apabila tradisi tersebut membawa dampak yang negatif, tentu perlu di tinjau ulang tradisi tersebut agar pembentukan karakter bisa di optimalkan.

Yang terakhir hal yang bisa menjadi penghambat pada bagian peran masyarakat adalah adanya kebiasaan yang menggunakan kekerasan di masyarakat. Secara realitas, masih banyak ditemukan dari berita yang berbentuk media elektronik maupun cetak yang memberitakan tentang masyarakat yang melakukan tidak kekerasan seperti perkelahian, tawuran, penyerangan dan lain sebagainya. Motifnya tentu berbeda-beda, namun yang perlu di garis bawahi, sebagaian kekerasan terjadi adalah untuk menyelesaikan masalah atau dendam kepada kelompok lain. Hal ini tentu akan sangat berbahaya karena secara tidak langsung mungkin anak akan meniru hal tersebut karena anak adalah peniru yang handal.

Peran Media

Peran penghambat selanjutnya adalah adanya peran media yang terkadang membawa hal negatif. Kehadiran teknologi seperti dua mata pisau, disatu sisi bisa menambah ilmu pengetahuan, di sisi lain justru memberikan dampak negatif bagi para siswa. Disadari atau tidak, bahwa peran media dengan menampilkan public figure di dalamnya dapat berpengaruh pada karakter siswa. Pengalaman peneliti saat menjadi guru, menemukan fakta bahwa siswa yang sering melihat public figure di media sosial turut mempengaruhi perilakunya di sekolah karena jargon-jargon dari public figure tersebut merusak nilai kesantunan berbahasa siswa saat berkomunikasi dengan guru. Disadari atau tidak, kebiasaan meniru public figure yang membawa kepada hal negatif lambat laun akan mempengaruhi perilaku dan karakter siswa.

Faktor penghambat selanjutnya dari bagian peran media adalah, tayangan kekerasan yang sering muncul baik di media televisi maupun media sosial memberikan dampak buruk terhadap perilaku siswa/ individu. Menurut Lickona (1991) dalam satu dekade terakhir film menjadi pengaruh moral yang tidak sehat bagi anak-anak maupun remaja yang diwarnai dengan kekerasan, percintaan, penggunaan bahasa yang salah, lagu yang merendahkan orang lain, dan seolah menjadi hal yang normal atau wajar. Apabila orang tua tidak peduli, maka pergeseran nilai akibat dari rendahnya moralitas akan menjadi hal yang biasa saja. Peneliti sendiri pernah mengalami dampak yang kurang menyenangkan karena meniru tayangan kekerasan yang pernah ada di Televisi. Generasi kelahiran tahun 1990-an mungkin tidak asing dengan acara tinju atau Smackdown yang ditayangkan oleh stasiun televisi.

Dampak negatif dari melihat tayangan kekerasan tersebut, banyak anak-anak yang bermain peran karena hasil pengamatan dan mencontohkan atlet gulat tersebut sebagai modeling. Modeling dalam hal ini memiliki konotasi negatif karena mencontoh apa yang diperlihatkan orang lain. Bandura (Hakam & Nurdin, 2016: 109) menjelaskan bahwa perilaku yang dimodelkan oleh orang lain (model) dan keseluruhan prosesnya disebut modeling atau teori belajar dengan mengobservasi.

Sebuah penelitian dampak televisi terhadap anak dari Kaiser Family Foundation tahun 2006 mengungkapkan pengaruh televisi terhadap anak-anak mereka. Hasilnya hampir 70% orang tua melihat anak mereka suka meniru perilaku yang mereka lihat di televisi dan 23% meniru perilaku agresif (memukul dan

(9)

1774 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

menendang) (Nucci et al., 2014: 784). Dengan demikian, modeling yang demikian membawa pengaruh bagi perilaku siswa yang sering melihat tayangan-tayangan kekerasan tersebut sebagaimana Dixon (2008 dalam Apriliawati, 2019: 15) mengatakan bahwa dengan melihat media baik televisi maupun media sosial dapat mempengaruhi sikap dan persepsi, bahkan karakter individu yang menonton. Tentu kewaspadaan dan peran orang tua dalam mendampingi anak saat menonton televisi maupun saat melihat media sosial sehingga tayangan yang tidak tepat dapat dihindari.

Yang terakhir pada bagian peran media adalah adanya prinsip bad issue good news sementara semua orang menonton, menyimak dan mencerna berita tersebut. Mungkin diantara kita ada yang pernah menyaksikan berita di televisi terutama yang berkaitan dengan artis, baik itu perceraian, perselingkuhan, konflik sesama artis, membicarakan aib orang dan lain sebagainya. Selain hal tersebut, prinsip bad issue good news juga sering digunakan oleh sebagian oknum pembuat berita saat kondisi tertentu, contoh ketika pemilihan umum presiden dan wakil presiden, calon legislatif, kepala daerah dan lainnya. Maka tidak heran pendapat Cohen dan Tester (dalam (Hakam, 2011: 164) secara terang-terangan menyatakan bahwa media telah menjadi agen kebejatan moral.

Kondisi Terkini

Faktor penghambat yang terakhir adalah situasi dan kondisi, seperti yang saat ini sedang terjadi, pendidikan karakter mengalami kebuntuan karena adanya pandemi covid-19 yang mengakibatkan harus terhentinya proses pendidikan di sekolah. Sehingga pendidikan harus menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang baru, bahkan bukan hanya dunia pendidikan saja, seluruh masyarakat terkena imbas dari adanya pandemi covid-19. Kondisi pembelajaran dari rumah atau online membuat siswa dan orang tua tertekan. Hal ini bisa meningkatkan resiko kekerasan antara orang tua dan anaknya/ siswa. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau disingkat SIMFONI PPA. Sejak tanggal 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban. Kekerasan tersebut diakibatkan karena kejengkelan orang tua dalam mendampingi belajar online di rumah. Bahkan di Banten, seorang anak 8 tahun tewas karena dipukul oleh ibunya ketika mendampingi belajar online (Kompas, 2020).

Selain dapat meningkatkan resiko kekerasan, kondisi pandemi saat ini juga meningkatkan rasa kecurigaan. Jika dahulu manusia yang menggunakan masker akan dianggap mencurigakan, namun saat ini sebaliknya, jika tidak menggunakan masker maka akan diwaspadai, dicurigai bahkan di hukum. Mengacu pada pendapat Strong (1990: 249-259) terkait epidemic psychology yang berdampak pada fisik dan psikis. Strong mengungkapkan tiga tipe psikologi manusia dalam kondisi pandemi/ epidemi diantaranya rasa takut dan curiga, kedua adanya kebutuhan informasi terkait epidemi dan memandang dari sudut moral dan agama, yang ketiga berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat dalam menghadapi epidemi. Lebih jauh lagi Taylor (Agung, 2020: 70) dalam bukunya “The Pandemic of Psychology” mengungkapkan tentang pengaruh psikologis manusia secara luas dan masif, mulai dari cara berpikir, khawatir, cemas dan takut, serta perubahan perilaku yang menimbulkan prasangka dan diskriminasi yang berpotensi menimbulkan kebencian dan konflik sosial. Sebagai contoh, disadari atau tidak virus covid-19 ini identik dengan Wuhan di China, sehingga dapat menggiring opini kebencian dan diskriminasi terhadap warga China di beberapa negara seperti Australia dan Amerika.

Dengan demikian, adanya perubahan dari kondisi yang memaksa seperti pandemi/ epidemi ini telah merubah tatanan pola pikir, perilaku manusia sehingga sangat rentan perilaku-perlikau baru akan tercipta karena kondisi yang demikian. Hal ini pula yang bisa menghambat pembentukan karakter siswa/ peserta didik saat ini.

Entry Behaviour, Habituasi dan Karakter

Entry behaviour merupakan proses penanaman perilaku yang dicontohkan oleh individu hasil dari melihat, mendengar dan merasakan. Akan tetapi entry behaviour sangat bergantung pada stimulus yang

(10)

1775 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

diberikan oleh keluarga, masyarakat/ lingkungan, teman sebaya, peran media dan kondisi dimana individu itu hidup. Apabila entry behaviour yang masuk adalah hal-hal positif maka akan menghasilkan nilai yang baik, begitupun sebaliknya. Terkadang anak/ individu secara tidak sadar, mengambil standar atau nilai dari orang, kelompok, atau masyarakat lain dan menggabungkan mereka ke dalam sistem nilai sendiri (Superka, 1976: 1). Kondisi ini di dasari karena anak merupakan individu yang cukup peka untuk meniru dan merespon terhadap stimulus nilai dari luar. Pendidikan nilai dan karakter dari berbagai elemen akan berpengaruh terhadap kehidupan anak/ individu pada masa yang akan datang (Hakam, 2011: 160).

Dengan demikian, apabila Entry behaviour yang mengintervensi keseharian siswa dengan hal-hal yang negatif, kemudian terjadi pengulangan demi pengulangan dan menjadi habituasi, maka secara continue akan menjadi bad character bagi anak/ individu tersebut. Jika nilai-nilai negatif sudah menguasai karakter siswa/ individu, maka akan semakin sulit karakter tersebut dirubah. Ibarat pepatah yang mengatakan, merubah karakter seseorang ketika sudah dewasa ibarat menulis di atas air, tiada bekasnya. Oleh sebab itu, pendidikan karakter perlu dilakukan sedini mungkin.

KESIMPULAN

Pendidikan karakter merupakan sebuah proses intervensi dan habituasi secara continue, terinegrasi dan sadar. Intervensi dan habituasi merupakan pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sementara continue, terinegrasi dan sadar adalah prosesnya. Kekeliruan besar yang nampak dalam proses pembentukan karakter adalah menganggap bahwa pendidikan karakter merupakan tanggung jawab pendidikan formal. Sehingga diluar pendidikan formal, cenderung acuh dan tak mau peduli untuk mendukung pembentukan karakter tersebut. Ketidakpahaman elemen-elemen pendidikan karakter seperti orang tua yang menganggap pendidikan karakter adalah tanggung jawab sekolah, guru yang terlalu keras dalam mendidik siswa, peran teman sebaya dan masyarakat yang mengganggap tindakan tidak bermoral sesuatu yang wajar, peran media yang memperlihatkan hal-hal negatif, dan adanya kondisi faktual yang saat ini dialami oleh siswa di tengah pandemi covid-19 yang secara psikologis tentu merubah tatanan kehidupan manusia. Faktor-faktor penghambat yang telah dijelaskan di atas merupakan sebuah kristalisasi pemikiran kritis peneliti yang dirangkum dari pengalaman dan sumber bacaan. Dengan tujuan agar seluruh lapisan elemen pendidikan karakter menyadari fungsinya masing-masing untuk bersama memperbaiki karakter individu yang akan berimbas pada karakter bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Agung, I. M. (2020). Memahami Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi, 1(2), 68–84.

Apriliawati, S. (2019). Pengaruh Terpaan Berita Kasus Narkoba pada Kalangan Public Figure Ditelevisi terhadap Tingkat Kecemasan dan Sikap Proteksi Ibu Rumah Tangga (Studi Eksplanatif Kuantitatif di Desa Jatiyoso, Jatiyoso, Karanganyar). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Budimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Widya Aksara Press.

Budimansyah, D. (2012). Perencanaan Pembelajaran Berbasis Karakter seri pembinaan Profesionalisme Guru. Widya Aksara Press.

Christiana, E. (2019). Identifikasi Bentuk kekerasan dan Penangannya di Lingkungan Sekolah Dasar. Child Education Journal, 1(2), 58–64. https://doi.org/10.33086/cej.v1i2.1368

(11)

1776 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

karakter nasionalisme siswa (Studi pada kegiatan pembiasaan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan di SMPN 2 Sumber-Cirebon) [Universitas Pendidikan Indonesia]. http://repository.upi.edu/36821/

Faiz, A. (2019). Program Pembiasaan Berbasis Pendidikan Karakter Di Sekolah Aiman Faiz karena kualitas karakter menentukan. PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon, 5(20). https://doi.org/htps://doi.org/10.32534/jps.v5i2.741

Faiz, A. (2020). Evaluasi Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Program Pembiasaan Menyanyikan Lagu-Lagu. 8(3), 176–181.

Faiz, A., & Kurniawaty, I. (2020). Konsep Merdeka Belajar Pendidikan Indonesia Dalam Perspektif Filsafat Progresivisme. Konstruktivisme : Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran. https://doi.org/https://doi.org/10.35457/konstruk.v12i2.973

Faiz, A., Purwati, P., & Kurniawaty, I. (2020). Construction of Prosocial Empathy Values Through Project Based Learning Methods Based on Social Experiments (Study of Discovering Cultural Themes in the Sumber-Cirebon Society). Ta Dib : Jurnal Pendidikan Islam, 9(1), 51–62. https://doi.org/10.29313/tjpi.v9i1.6220

H.A.R Tilaar. (2016). Pedagogik teoritis untuk Indonesia. Kompas Media Nusantara.

Hakam, K. A. (2011). Pengembangan Model Pembudayaan Nilai-Moral dalam Pendidikan Dasar di Indonesia : Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri Bandungrejosari 1 Kota Malang , Jawa Timur. Sosiohumanika, 4(2), 159–184.

Hakam, K. A., & Nurdin, E. S. (2016). INTERNALISASI NILAI-NILAI. CV. Maulana Media Grafika. Herlambang, Y. T. (2018). Pedagogik Telaah Kritis Ilmu Pendidikan Dalam Multiperspektif. Bumi Aksara. Hermawan Mappiwali. (2019, November). Siswa SD di Makassar Curi HP, Ngaku buat Biaya Sekolah.

DetikNews. https://news.detik.com/berita/d-4772729/siswa-sd-di-makassar-curi-hp-ngaku-buat-biaya-sekolah

Hidayati, N. (2016). Konsep Integrasi Tripusat Pendidikan Terhadap Kemajuan Masyarakat. Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 11(1).

Hyoscyamina, D. E. (2011). Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Jurnal Psikologi, 10(2), 144. KPAI. (2017). Indonesia Peringkat Tertinggi Kasus Kekerasan di Sekolah. Komisi Perlindungan Anak

Indonesia.

Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books.

Lickona, T. (2012). Character Matters (Uyu Wahyudun dan Budimansyah (ed.)). PT. Bumi Aksara.

Megawangi. (2016). Pendidikan karakter solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Indonesia Heritage Foundation.

Mini Sukanda. (2016). Hindari Menerapkan 12 Gaya Populer Pada Anak. Momdaddy.Com. http://momdadi.com/momdadi/hindari-menerapkan-12-gaya-populer-pada-anak/

Muslich, M. (2010). Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional. PT. Bumi Aksara. Nency, Y., & Arifin, M. T. (2005). Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. Inovasi, 5, 61-64.

Nıcky Aulıa Wıdadıo. (2019). KPAI catat 153 kasus kekerasan fisik dan psikis di sekolah pada 2019. AnadoluAgency. https://www.aa.com.tr/id/nasional/kpai-catat-153-kasus-kekerasan-fisik-dan-psikis-di-sekolah-pada-2019/1688253#:~:text=Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI,di lingkungan sekolah sepanjang 2019.&text=Menurut dia%2C bentuk kekerasan itu,lapangan sekolah

Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of moral and character education. In Handbook of Moral and Character Education. https://doi.org/10.4324/9780203114896

(12)

1777 Tinjauan Analisis Kritis Terhadap Faktor Penghambat Pendidikan Karakter di Indonesia – Aiman Faiz, Bukhori Soleh, Imas Kurniawaty, Purwati Purwati

DOI :https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i4.1014

Nur, L. M. (2020). Polisi Tangkap 8 Bocah SD karena Mencuri di Vihara Makassar. INewsSulsel.Id. https://sulsel.inews.id/berita/polisi-tangkap-8-bocah-sd-karena-mencuri-di-vihara-makassar

Strong, P. (1990). Epidemic psychology amodel. (12(31), 249-259.

Suparmi, S., & Isfandari, S. (2016). Peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja laki-laki dan perempuan di Indonesia. Indonesian Bulletin of Health Research, 44(2), 139.

Superka, D. P. dkk. (1976). Values Education Sourcebook, Conceptual Approach, Material Analyses, and an Annotated Bibliography. Social Science Eucation Consortium Inc.

TribunNews. (2021). Bocah SD Curi Motor agar Terlihat Keren, Ditangkap saat Aksi Ketiga di Halaman Masjid. Tribun Jatim.Com. https://video.tribunnews.com/view/202587/bocah-sd-curi-motor-agar-terlihat-keren-ditangkap-saat-aksi-ketiga-di-halaman-masjid

Gambar

Gambar 1: Grand Desain Pendidikan Karakter Kemendiknas (Budimansyah, 2010: 56)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebelumnya (Roslina, 2018) Prototipe Lemari Pengering pakaian Otomatis, menggunakan ATMEGA328 sebagai control”, dan penelitian (M. Mahrush Febrianto, 2017)

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat peningkatan yang signifikan antara hasil belajar kognitif siswa dalam pembelajaran fisika pada materi pokok Perpindahan Kalor dan

Perbandingan cosecan untuk sudut 330 0 bernilai negatif karena kuadran empat dengan kata “cosong” maka hanya perbandingan cosinus dan secan bernilai positif, nilai cosecan

Hasil perhitungan pada tabel diatas diperoleh pada tes akhir t hitung = 3,71 pada taraf ɑ = 0,05 diperoleh t tabel = 2,56 karena t hitung > t tabel sehingga H 0

Melalui pembacaan DIGITAL WELL ANALYZER dapat dilakukan monitoring ketinggian cairan / fluida yang berada di atas pompa (Fluid Above Pump), diidentifikasi ketinggian kolom cairan

Berikut adalah tabel hasil pengujian menggunakan beberapa jenis serangan yang sama dengan metode Hierarchical Clustering, K-Nearest Neighbor dan Fuzzy Neural

4. Memperhatikan kecendemngan pembinaan dosen senior terhadap yunior, kiranya perlu dikembangkan hubungan fungsional yang bermakna antara senior selaku pembina dan yunior sebagai

mahasiswa magang mengusai pengetahuan yang diajarkan.Hasil temuan tersebut sesuai dengan SKGP (Standar Kompetensi Guru Pemula) sekolah dasar Direktorat