• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluasi Atas Keberhasilan Pelaksanaan Kawin... Afghan Arif Arandi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 EVALUASI ATAS KEBERHASILAN PELAKSANAAN KAWIN PERTAMA SETELAH BERANAK PADA SAPI PERAH DI KPBS

PANGALENGAN

EVALUATION ON THE SUCCESS OF THE FIRST MATE AFTER CALVING IN DAIRY CATTLE IN KPBS PANGALENGAN

Afghan Arif Arandi*, Hermawan**, Didin S. Tasripin** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363 *Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2016

**Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran e-mail : afghan.arandi@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen pencatatan reproduksi dan tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan. Metode penelitian yang digunakan adalah sensus, data dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan adalah data reproduksi dari tahun 2010 sampai tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pencatatan di KPBS Pangalengan masih kurang baik karena data reproduksi yang valid hanya sebesar 69,35%. Tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama tertinggi di KPBS Pangalengan dicapai pada hari ke 161-180 setelah beranak dengan persentase sebesar 68,48%. Keberhasilan pelaksanaan kawin pertama dilihat dari pejantan yang digunakan berkisar antara 47%-87%. Persentase rata-rata keberhasilan kawin pertama petugas inseminasi di KPBS Pangalengan adalah sebesar 64,35%. Selama enam tahun terakhir, tahun 2013 memiliki persentase keberhasilan kawin pertama yang paling tinggi yaitu sebesar 69,15%.

Kata Kunci: kawin pertama, manajemen pencatatan reproduksi, pejantan, petugas inseminasi, persentase keberhasilan

ABSTRACT

This research have the purposes to find out the reproductive recording management and the succes rate of the first mate after calving in KPBS Pangalengan. The research method used census and the result was analyzed descriptively. The result of research showed that KPBS Pangalengan need to improve their reproductive recording management because the valid data only about 69.35%. Most succesful rate of the first mate if we look from the interval between the first mate and calving is on the day 161-180 with the percentage 68.48%. Succesful rate of the bull is about 47%-87%. The average succesful rate of the inseminator in KPBS Pangalengan is 64.35%. On the 2013, KPBS Pangalengan has the highest succesful first mate rate with 69.15%.

(2)

2 Keywords: first mate, reproductive recording management, bull, inseminator,

succesful rate

PENDAHULUAN

Sistem tata laksana reproduksi yang tepat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat keberhasilan produksi suatu usaha peternakan sapi perah, karena reproduksi merupakan faktor utama atas terjadinya laktasi pada ternak. Proses pembentukan air susu dalam tubuh ternak akan terjadi dengan adanya serangkaian proses reproduksi ternak, mulai dari kawin, bunting dan partus. Oleh karena itu manajemen reproduksi menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam usaha peternakan sapi perah.

Manajemen reproduksi pada sapi perah mempunyai tingkat pencapaian performa sifat-sifat reproduksi, diantaranya masa banyaknya kawin per kebuntingan (S/C), masa kosong (days open) dan selang beranak (calving

interval). Perkawinan pada usaha peternakan sapi perah di Indonesia sebagian

besar dilakukan secara tidak alami, yakni menggunakan teknik inseminasi buatan. Inseminasi buatan dilakukan untuk menghilangkan biaya pemeliharaan pejantan, sehingga peternak dapat fokus pada usaha pemeliharaan sapi perah betina yang menghasilkan susu. Keuntungan lain dari inseminasi buatan adalah pelaksanaan kawin lebih dapat dikontrol oleh peternak daripada kawin alam yang tidak dapat dikontrol oleh peternak.

Keberhasilan inseminasi buatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pejantan atau semen yang digunakan, inseminator, ketepatan deteksi berahi betina yang menerima semen, dan waktu pelaksanaan perkawinan. Catatan reproduksi di peternak atau koperasi dapat menjadi bahan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan inseminasi buatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan hewan yang melakukan inseminasi buatan. Selain menilai kinerja inseminator, dengan catatan reproduksi juga peternak dapat menilai kualitas semen yang digunakan dan selang waktu kawin pertama setelah beranak yang memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi.

Kawin pertama setelah beranak memegang peranan penting dalam manajemen reproduksi karena semakin jauh selang waktu kawin pertama dengan beranak, maka akan semakin memperlebar days open dan calving interval. Semakin besar nilai days open dan calving interval maka dapat mempengaruhi efektivitas dan produktivitas produksi sapi perah. Selang waktu kawin pertama dengan beranak juga berpengaruh terhadap lama laktasi sapi perah

Salah satu daerah penghasil susu terbesar di Jawa Barat adalah Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) di Kecamatan Pangalengan yang berada di Kabupaten Bandung. Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan 12.513 ekor dengan produksi susu sebanyak 81.240 kg per hari. Kondisi cuaca yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah adalah salah satu alasan Kecamatan Pangalengan memiliki populasi sapi perah yang cukup banyak sehingga jumlah susu yang

(3)

3 dihasilkan dapat dikatakan sebagai salah satu yang terbanyak di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis melakukan penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan. Penelitian dilakukan di KPBS Pangalengan karena memiliki data reproduksi yang cukup lengkap dan KPBS Pangalengan merupakan salah satu koperasi peternakan terbesar yang berada di daerah Jawa Barat sehingga penelitian yang dilakukan dapat berpengaruh terhadap banyak peternak di daerah Jawa Barat pada umumnya dan khususnya peternak anggota KPBS Pangalengan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian dalam penelitian ini adalah data reproduksi ternak sapi perah yang telah beranak dan telah diinseminasi kembali oleh inseminator dan telah dilakukan pemeriksaan kebuntingan oleh inseminator di KPBS Pangalengan. 2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kasus di KPBS Pangalengan menggunakan metode sensus dan akan dianalisis secara deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh catatan reproduksi sapi perah yang telah diinseminasi kembali setelah beranak kemudian dilakukan validasi data yang dapat dipergunakan dalam penelitian.

2.1 Analisis Data

Rumus yang digunakan :

% Keberhasilan kawin pertama = × 100%

a. Persentase keberhasilan kawin pertama akan dikelompokkan dan dihitung berdasarkan selang kawin pertama dengan tanggal beranak, pejantan yang digunakan dan inseminator untuk menganalisis tingkat keberhasilan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan.

b. Persentase keberhasilan kawin pertama dihitung berdasarkan tahun untuk menganalisis perkembangan keberhasilan kawin pertama setiap tahun dari tahun 2010 sampai tahun 2015 di KPBS Pangalengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Manajemen Pencatatan Reproduksi

Pencatatan reproduksi sapi perah di KPBS Pangalengan dilakukan dengan cara komputerisasi. Peternak yang membutuhkan petugas untuk melakukan inseminasi akan menghubungi langsung petugas yang bersangkutan melalui short

message service (sms) atau dengan mengisi kartu laporan birahi yang ada di

komda. Petugas pelaksana inseminasi yang datang ke kandang peternak akan melakukan pengecekan birahi pada

(4)

4 Di dalam kartu laporan sapi birahi hanya mencantumkan nama peternak yang memiliki sapi yang sedang birahi, lokasi peternakan, kelompok, dan komda. Tidak tercatatnya ID sapi yang birahi dan waktu mulai birahi sapi dapat menyebabkan keterlambatan waktu pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas inseminasi sehingga berpengaruh terhadap persentase keberhasilan kawin yang akan dilakukan. Menurut Tophianong dkk. (2014), panduan waktu IB pada tingkat peternak apabila gejala estrus timbul pada pagi hari maka IB dilakukan pada siang atau sore hari pada hari yang sama, jika gejala estrus timbul pada siang hari maka IB dilakukan pada sore hari atau pagi hari pada hari berikutnya.

Berdasarkan hasil penelitian, data reproduksi yang tercatat di KPBS Pangalengan masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya terdapat data sapi perah yang dikawinkan sebelum sapinya beranak, data sapi perah yang dikawinkan setelah beranak kurang dari 36 hari, dan data kawin pertama setelah beranak sapi perah yang tercatat dua kali pada periode laktasi yang sama. Kekeliruan pada data yang tercatat di KPBS Pangalengan dapat terjadi karena kesalahan pada saat proses input data ke dalam komputer yang dilakukan oleh petugas koperasi.

Tabel 1. Hasil rekapitulasi validasi data reproduksi kawin pertama setelah beranak periode 2010-2015 (jumlah data = 11.686)

Masalah Jumlah

data

Persentase

Kawin pertama < 36 hari 3.724 31,86

Kawin pertama > 1 kali Data valid

218 8.105

1,86 69,35 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa data pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan yang bermasalah atau tidak valid sebagian besar karena waktu pelaksanaan kawin pertama yang kurang dari 36 hari. Contohnya sapi dengan ID B 5519-KPBS milik Bapak Ohim yang beranak pada tanggal 3 Februari 2014 tetapi sudah dikawinkan kembali pada tanggal 14 Februari 2014 atau hanya berjarak 11 hari dari waktu beranak. Data tersebut dinyatakan tidak valid karena waktu pelaksanaan kawin pertama kurang dari 36 hari setelah beranak. Persentase data yang bermasalah karena waktu pelaksanaan kawin kurang dari 36 hari setelah beranak yaitu sebesar 31,86%. Menurut Toelihere (1993) induk membutuhkan waktu untuk involusi uterus setelah kelahiran sehingga induk baru dapat dikawinkan kembali setelah 36 hari pasca kelahiran. Kawin pertama yang dilakukan kurang dari 36 hari setelah beranak dapat terjadi akibat kelalaian petugas koperasi pada saat memasukkan data dari bukti pelayanan ke dalam komputer. Petugas dapat keliru memasukkan data tanggal kawin pertama setelah beranak karena terdapat perbedaan format penanggalan untuk tanggal beranak dan tanggal kawin pertama setelah beranak.

(5)

5 Data kawin pertama yang dilakukan lebih dari satu kali juga tidak dapat digunakan karena tidak dapat diketahui pelaksanaan kawin yang mana yang benar. Contohnya sapi dengan ID C 5839-KPBS milik Bapak Gugun yang tercatat dikawinkan pada tanggal 2 Juni 2010 dengan petugas pelaksana Bapak Ikhsan Santika, namun sapi tersebut memiliki catatan kawin lain pada tanggal 6 Juni 2010 dengan petugas pelaksana yang berbeda yaitu Bapak Witana Sopian. Maka kedua data tersebut dinyatakan tidak valid. Dalam hal ini, persentase data yang bermasalah tidak terlalu besar yaitu hanya sebesar 1,86%. Terjadinya data kawin pertama yang dilakukan lebih dari satu kali juga dapat disebabkan oleh kelalaian petugas koperasi yang memasukkan data ke komputer karena kesalahan pencatatan ID sapi atau periode laktasi.

Berdasarkan keseluruhan data reproduksi yang tercatat di KPBS Pangalengan dari tahun 2010-2015, data yang dapat dikatakan valid hanya sebesar 69,35%. Hal ini menunjukkan pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan masih memerlukan perbaikan sehingga pelaksanaan reproduksi untuk sapi perah milik peternak anggota KPBS Pangalengan dapat lebih optimal. Dengan memperbaiki manajemen pencatatan di tingkat peternak dan koperasi, kekeliruan dalam pencatatan akan berkurang dan data reproduksi yang dimiliki koperasi dapat lebih akurat.

2 Keberhasilan Kawin Pertama

Keberhasilan kawin pertama setelah beranak akan dilihat berdasarkan selang kawin pertama setelah beranak, periode laktasi, pejantan yang digunakan dan petugas yang melakukan inseminasi. Persentase keberhasilan kawin pertama didapatkan dari jumlah kawin yang berhasil atau jumlah sapi yang bunting dari total keseluruhan kawin yang dilakukan.

2.1 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Waktu Pelaksanaan Kawin Pertama Setelah Beranak

Selang kawin pertama setelah beranak dapat menentukan tingkat keberhasilan kawin pertama yang akan dilakukan oleh peternak inseminator. Waktu pelaksanaan kawin yang tepat akan memperbesar kemungkinan keberhasilan kawin yang dilakukan. Selang kawin pertama setelah beranak yang memiliki persentase keberhasilan paling besar di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak

Waktu Pelaksanaan IB Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan …. hari < 41 41-61 …. ekor 200 1.176 …. ekor 113 710 …. % 56,50 60,37

(6)

6 Waktu Pelaksanaan IB Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan 61-80 1.464 917 62,63 81-100 1.356 876 64,60 101-120 121-140 141-160 161-180 >180 1.164 851 656 422 816 789 544 441 289 544 67,78 63,92 67,22 68,48 66,66 Total 8.105 5.223 64,44

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan selang kawin pertama dengan beranak yang paling tinggi adalah pada hari ke 161 hingga hari ke 180. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Barret dan Larkin (1974) yang mengatakan masa kosong yang optimal adalah 85 hari. Namun pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan besar pada persentase keberhasilan di setiap selang kawin setelah beranak di KPBS Pangalengan. Hal ini menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan tidak berpengaruh banyak pada persentase keberhasilan, namun perlu diperhatikan juga bahwa banyaknya kawin pertama yang dilakukan setelah ternak beranak lebih dari 100 hari menunjukkan bahwa manajemen kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan masih belum optimal.

Makin (2012) menyatakan bahwa rataan kawin pertama setelah beranak pada sapi perah FH yang dilakukan di daerah Jawa Barat adalah sebesar 86,45 ±20,64 hari dengan kisaran antara 42-150 hari. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan yang memiliki rataan kawin pertama setelah beranak pada kisaran 102,6 hari. Besarnya nilai rataan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan disebabkan oleh banyaknya kawin pertama yang dilakukan lebih dari 100 hari setelah beranak. Hal ini dapat menyebabkan kerugian untuk peternak baik dari segi waktu dan juga dari segi ekonomi karena akan memperpanjang masa laktasi dan memperlebar calving interval.

Menurut Setiawan dkk., (2014) beberapa peternak berpendapat bahwa menginseminasi pada bulan kedua atau ketiga setelah melahirkan, dimana produksi susu tinggi akan menurunkan produksi susu, sehingga peternak memilih untuk menunda inseminasi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini juga terjadi di KPBS Pangalengan sehingga banyak pelaksanaan kawin pertama setelah beranak yang dilakukan lebih dari 100 hari. Rukayah (2012) berpendapat bahwa semakin panjang selang beranak mengakibatkan pendapatan aktual semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya biaya input yang dikeluarkan mengingat masa kosong ikut bertambah. Setiap penambahan masa kosong, ada penambahan biaya terutama biaya layanan inseminasi buatan dan keswan.

(7)

7 Selang kawin pertama setelah beranak dapat dikelompokkan berdasarkan periode laktasi untuk mengetahui perbedaan pelaksanaan kawin pertama yang optimal pada setiap periode laktasi. Persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama berdasarkan selang kawin pertama dengan beranak pada setiap periode laktasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat keberhasilan kawin pertama berdasarkan periode laktasi Periode Laktasi Jumlah sapi

yang di IB Keberhasilan 1 2 3 4 5 6 7 8 …. ekor 1.402 2.589 1.612 997 591 296 201 131 …. % 62,53 64,11 73,82 64,69 65,31 61,48 67,16 71,42

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan selang kawin pertama setelah beranak pada setiap periode laktasi memiliki nilai yang berbeda. Periode laktasi 2 dan 3 adalah puncak produksi pada ternak sapi perah sehingga seharusnya keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak pada laktasi 2 dan 3 lebih tinggi daripada periode yang lain. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa periode laktasi 3 memiliki persentase keberhasilan yang paling tinggi.

Menurut Norman et al. (2009), kawin pertama setelah beranak pada sapi FH adalah 78-92 hari dan sapi berusia lebih tua mempunyai jarak waktu kawin pertama setelah beranak lebih panjang daripada sapi berusia lebih muda. Berdasarkan Tabel 3 dapat dinyatakan bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan sesuai dengan pernyataan Norman (2009) karena semakin tua induk maka besarnya persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama berada pada selang yang lebih jauh.

2.3 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Pejantan yang Digunakan

Pejantan yang digunakan memiliki peran penting dalam keberhasilan pelaksanaan kawin pertama yang dilakukan di KPBS Pangalengan. Persentase keberhasilan masing-masing pejantan yang digunakan di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan pejantan yang digunakan

(8)

8 No Pejantan Jumlah sapi

yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan 30687 30686 30781 31084 30780 308107 30775 307105 30698 307104 30695 309109 30693 30664 307101 10499 308103 30697 31087 312110 97HO7826 30667 30691 31089 30694 …. ekor 2.338 1.818 1.393 838 732 333 181 158 97 39 34 24 15 14 14 13 12 8 8 8 8 6 6 5 3 …. ekor 1.625 1.214 857 516 401 211 121 90 46 22 23 17 10 9 10 10 9 6 7 5 6 1 2 3 2 …. % 69,50 66,67 61,52 61,57 54,78 63,36 66,85 56,96 47,42 56,41 67,64 70,83 66,67 64,28 71,42 76,92 75,00 75,00 87,50 62,50 75,00 16,66 33,33 60,00 66,67

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan masing-masing pejantan yang digunakan di KPBS Pangalengan berkisar antara 47%-87%. KPBS Pangalengan memiliki kebijakan untuk menggunakan pejantan yang sama dalam satu tahun pelaksanaan. Jika peternak menggunakan pejantan yang disediakan oleh KPBS Pangalengan tersebut maka peternak tidak perlu membayar biaya inseminasi yang dilakukan karena biaya tersebut sudah termasuk dalam dana kesehatan ternak yang disediakan oleh koperasi. Pejantan yang digunakan dalam satu tahun tersebut memiliki persentase keberhasilan yang cukup baik yaitu berkisar antara 55%-70%.

Peternak dapat menggunakan pejantan lain selain yang disediakan oleh KPBS Pangalengan namun ketersediaan semen pejantan lain tersebut lebih sedikit dan peternak harus membayar biaya straw tersebut sebesar Rp 8.000,00 karena biaya tersebut tidak termasuk dalam dana kesehatan ternak yang disediakan oleh koperasi. Pejantan yang digunakan oleh beberapa peternak di KPBS Pangalengan memiliki persentase keberhasilan antara 70%-87% atau dapat dikatakan lebih baik daripada persentase keberhasilan pejantan yang disediakan oleh koperasi. Tingginya persentase keberhasilan tersebut sesuai dengan biaya yang harus

(9)

9 dikeluarkan oleh peternak sehingga peternak dapat mempersingkat masa kosong ternak yang dimilikinya.

2.4 Keberhasilan Kawin Pertama berdasarkan Petugas Inseminasi Petugas inseminasi memiliki pengaruh pada keberhasilan pelaksanaan kawin pertama yang dilakukan di KPBS Pangalengan. Keterampilan dan pengalaman petugas inseminasi menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kawin pertama. Persentase keberhasilan masing-masing petugas inseminasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase keberhasilan kawin pertama berdasarkan petugas inseminasi

Petugas Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan Dadang Permana Witana Sopian Ajang Suwandi Ikhsan Santika Sopian Wijaya Supari Yayat Ruchiat Tedi Mulyadi Hadi Kusmayadi Asep Rohmat …. ekor 662 563 546 510 494 461 451 408 399 392 …. ekor 430 302 374 327 349 303 316 261 292 273 …. % 64,95 53,64 68,49 64,11 70,64 65,72 70,06 63,97 73,18 69,64 Pendi Sugandi 375 250 66,66 Ayep Waslimin 356 207 58,14 Rodiana Toto Arianto Asep Supriatna Dida Rosida Uman Suherman Yayan T Andang Suryana Budi Susanto Asep Rukman Dolih Suryana Nana 337 329 302 293 273 236 209 203 165 107 29 205 175 211 169 168 151 135 135 108 68 14 60,83 53,19 69,86 57,67 61,53 63,98 64,59 66,50 65,45 63,55 48,27 Rata-rata 289 186 64,35

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan jika dilihat berdasarkan petugas inseminasi memiliki rata-rata keberhasilan 64,35%. Keberhasilan petugas inseminasi dipengaruhi oleh keterampilan, pengalaman, dan juga ketepatan waktu dalam melakukan inseminasi (Hastuti, 2008). Hal ini dibuktikan dengan tingginya

(10)

10 persentase keberhasilan petugas yang melakukan inseminasi lebih banyak jika dibandingkan dengan petugas yang melakukan inseminasi lebih sedikit.

Keberhasilan pelaksanaan inseminasi oleh petugas juga dapat dipengaruhi oleh waktu pelaksanaan kawin yang tepat. Jika pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas inseminasi tidak pada puncak birahi maka persentase keberhasilan kawin tersebut akan mengecil. Peran peternak dalam melaporkan sapi yang sedang birahi juga berpengaruh terhadap waktu pelaksanaan kawin yang dilakukan oleh petugas. Jika peternak tidak segera melaporkan pada saat tenak birahi maka petugas inseminasi akan terlambat datang dan melewatkan puncak birahi sehingga pelaksanaan kawin akan terlambat dilakukan.

Laporan dari peternak melalui kartu laporan birahi di KPBS Pangalengan kurang efektif karena tidak terdapat waktu birahi sapi sehingga dapat terjadi keterlambatan pelaksanaan inseminasi yang dilakukan oleh petugas pelaksana inseminasi yang memperbesar kemungkinan kegagalan inseminasi. Hal yang sama juga berlaku jika peternak melaporkan melalui short message service (SMS) karena peternak hanya mencamtumkan informasi bahwa ternaknya sedang birahi dan tidak menyebutkan perkiraan mulai birahinya. Untuk mengatasi masalah ini sebaiknya KPBS Pangalengan memberikan penyuluhan kepada peternak agar memberikan informasi lebih lengkap terutama mengenai waktu mulai birahi sapinya.

2.5 Perkembangan Keberhasilan Kawin Pertama

Keberhasilan pelaksanaan kawin pertama sebaiknya menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Kenaikan persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama menunjukkan bahwa ada perbaikan manajemen reproduksi yang dilakukan baik oleh peternak dan juga KPBS Pangalengan. Persentase keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setiap tahunnya pada periode 2010-2015 dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase keberhasilan kawin pertama peroide 2010-2015 berdasarkan tahun pelaksanaan

Tahun Jumlah sapi yang di IB Sapi bunting hasil IB Keberhasilan 2010 …. ekor 923 …. ekor 529 …. % 57,31 2011 1.230 752 61,13 2012 1.389 881 63,42 2013 2014 2015 1.738 1.861 964 1.202 1.276 583 69,15 68,56 60,53 Total 8.105 5.223 64,44

(11)

11 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 terjadi peningkatan persentase keberhasilan kawin pertama. Tahun 2013 memiliki persentase keberhasilan kawin pertama yang paling tinggi yaitu sebesar 69,15%. Pada tahun 2014 terjadi penurunan persentasi keberhasilan kawin pertama menjadi 68,56% namun penurunan ini tidak signifikan dari tahun sebelumnya sehingga hal ini tidak menjadi masalah.

Persentase keberhasilan kawin pertama pada tahun 2015 cukup rendah yaitu sebesar 60,53%. Hal ini dapat terjadi karena banyak ternak yang telah dikawinkan pada tahun 2015 tetapi belum dilakukan pemeriksaan kebuntingan sehingga persentase keberhasilan di tahun ini menurun jauh dari tahun sebelumnya. Perlu diperhatikan juga bahwa belum dilakukannya pemeriksaan kebuntingan hingga penelitian ini dilakukan menunjukkan masih perlu perbaikan manajemen reproduksi di KPBS Pangalengan pasca dilakukannya perkawinan.

Rata-rata keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan selama 6 tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 adalah sebesar 64,44%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan kawin pertama di KPBS Pangalengan masih perlu ditingkatkan agar siklus reproduksi sapi perah dapat berjalan dengan lebih baik dan produksi susu sapi perah anggota KPBS Pangalengan optimal.

KESIMPULAN

1. Manajemen pencatatan reproduksi di KPBS Pangalengan masih perlu ditingkatkan, karena masih terdapat banyak kesalahan dalam pencatatan sehingga data reproduksi yang dimiliki koperasi kurang akurat, dengan tingkat validasi data hasil pencatatan kawin pertama setelah beranak sebesar 69,35%,

2. Tingkat keberhasilan pelaksanaan kawin pertama setelah beranak di KPBS Pangalengan berdasarkan waktu pelaksanaan perkawinan hasil tertinggi dicapai pada hari ke 161-180 hari (68,48%), berdasarkan pejantan yang digunakan berkisar antara 47%-87%, dan berdasarkan petugas pelaksana inseminasi di KPBS Pangalengan memiliki persentase keberhasilan rata-rata sebesar 64,35%.

3. Tingkat keberhasilan kawin pertama setelah beranak dari tahun 2010 sampai tahun 2015 berkisar antara 57%-69%, dan prestasi terbaik didapat pada tahun 2013 (69,15%).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada pembimbing utama Ir. Hermawan, MS. dan pembimbing anggota Dr. Ir. Didin S. Tasripin, M.Si yang telah memberikan banyak masukan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Ayahanda Aun Gunawan, S.E dan Ibunda Yulis Artati, yang selalu memberikan doa, dukungan, perhatian, dan kasih sayang untuk penulis.

(12)

12 DAFTAR PUSTAKA

Barret, M. A and P. J. Larkin. 1974. Milk and Beef Production in the Tropics. Oxford University Press. Oxford.

Hastuti, Dewi. 2008. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong

Ditinjau dari Angka Konsepsi dan Service per Conception. Mediagro.

Semarang.

Hastuti, Dewi., Sudi Nurtini, dan Rini Widiati 2008. Kajian Sosial Ekonomi

Pelaksanaan Inseminasi Buatan Sapi Potong di Kabupaten Kebumen.

Mediagro. Semarang.

Makin, Moch. dan Dwi Suharwanto. 2012. Performa Sifat-Sifat Produksi Susu

dan Reproduksi Sapi Perah Fries Holland di Jawa Barat. Jurnal Ilmu

Ternak Vol. 12 No. 2. Sumedang.

Rukayah, Dewi Siti. 2012. Potensi Kerugian Finansial Akibat Abnormalitas

Selang Beranak pada Usaha Ternak Sapi Perah. Fakultas Peternakan

Unversitas Padjadjaran. Sumedang.

Setiawan, Rangga., Kundrat Hidajat., dan Dwi Cipto Budinuryanto. 2014. Studi

Asosiasi antara Masa Kosong (Days Open) Terhadap Produksi Susu dan Kerugian Ekonomi pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Garut.

Jurnal Ilmu Ternak Vol. 1 No. 4. Sumedang.

Toelihere, MR. 1993. Ilmu Kebidanan dan Kemajiran Pada Ternak Sapi dan

Kerbau. Penerbit Angkasa. Bandung.

Tophianong, Tarsisius Considus., Agung B., dan Arif Maha N. 2014. Tinjauan

Hasil Inseminasi Buatan Berdasarkan Anestrus Pasca Inseminasi Pada Peternakan Rakyat Sapi Bali di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p-value 0,6168 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan antara telur nyamuk yang terperangkap pada perangkap telur standar dan

Teknik Pengumpulan Data ... Analisa

Tindakan selanjutnya adalah bank menggunakan haknya untuk menagih pelunasan sekaligus atas utang nasabah dan nasabah tidak dapat memenugi kewajibannya membayar

Tindakan Rektor yang tidak memperpanjang masa tugas Dekan FKUI juga telah mengabaikan arahan Dirjen Dikti tanggal 16 Januari 2012 yang menyatakan bahwa Dekan sebagai

Diduga, kondisi media tumbuh yang berupa tanah gambut dan tanah mineral yang diberi pupuk majemuk yang tidak kuat pengaruhnya terhadap pertambahan jumlah daun dan

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam skripsi ini dengan judul “ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN

Responden 8: Hari-hari biasa ni errrrr kalau lah bila rasa terganggu apa orang kata jiwa dan raga tu kadang-kadang kita nak masuk facebook sebab errrr macam saya kata

Menguasai pengetahuan operasional dasar perangkat kerja animasi, prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan proses produksi animasi, sehingga mampu melaksanakan