• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Kelompok

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari suatu kegiatan komunikasi, yang berguna untuk menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Sejak manusia lahir hingga akhir hidupnya, manusia tidak bisa melakukan segala sesuatunya seorang diri, manusia membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup (Rohim, 2009:86). Dan komunikasi adalah bentuk konsekuensi dari hubungan sosial (Effendy, 2003:308). Komunikasi dipahami sebagai bentuk pertukaran informasi dimana komunikator menyampaikan suatu pesan kepada komunikan yang nantinya akan memberikan umpan balik. Harold Lasweel menyatakan cara tepat untuk mendefinisikan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyan siapa yang menyampaikan pesan, pesan apa yang disampaikan, melalui media apa, untuk siapa pesan disampaikan, dan apa pengaruhnya (Effendy, 2008:29-30).

Dalam penelitian ini, anggota kelompok perempuan lajang tipe voluntary stables singles menjadi komunikator dan komunikan. Pesan yang mereka sampaikan adalah mengenai pertimbangan tidak menikah dan hal-hal seputar memutuskan untuk tidak menikah. Komunikator menyampaikan pesan melalui nongkrong bersama, sehingga anggota kelompok atau komunikan membentuk keputusan untuk tidak menikah.

Komunikasi dimulai dari paling sedikit dua orang atau lebih, dimana mereka berinteraksi, saling mempengaruhi, serta berbagi informasi, yang dinamakan kelompok. (Liliweri, 2014:19). Kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dimana kelompok adalah tempat manusia saling berbagi informasi dalam semua aspek kehidupan.

Komunikasi kelompok berarti proses interaksi yang dilakukan tiga orang atau lebih (tidak ada batasan khusus mengenai jumlah kelompok, namun tidak lebih dari 50) dimana interaksi tersebut bertujuan untuk berbagi informasi, pemeliharaan diri, dan pemecahan masalah (Michael Burgoon dalam Wiryanto, 2005: 308). Komunikasi kelompok biasanya terjadi secara

(2)

10

spontan, serta masing-masing anggotanya tidak memiliki tugas atau bagian yang terstruktur jelas (Rohim, 2009:87). Johson (2006) dalam Johnson (2012) menyampaikan bahwa komunikasi dapat dikatakan efektif apabila penerima pesan menafsirkan makna yang sama dengan pesan yang ingin disampaikan pengirim pesan. Setiap proses komunikasi dalam kelompok harus mampu menembus semua aspek dalam kelompok agar pesan dapat dipahami. Komunikasi dalam kelompok dikatakan terjadi saat anggota kelompok menerima, mengirim, mengartikan, dan menyimpulkan pesan diwaktu yang bersamaan.

Fungsi dari komunikasi kelompok mencakup fungsi hubungan sosial, fungsi pendidikan, fungsi persuasi, fungsi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, fungsi terapi (Daryanto dan Rahardjo, 2016:89-99). 1. Fungsi hubungan sosial, antar anggota kelompok melakukan aktifitas dan

interaksi secara informal.

2. Fungsi pendidikan, dapat diartikan anggota kelompok saling bertukar pengetahuan. Fungsi ini akan menjadi efektif apabila setiap anggota membawa informasi yang berguna untuk kelompoknya.

3. Fungsi persuasi, kelompok berfungsi untuk mempersuasi anggota kelompok agar melakukan atau tidak suatu hal. Anggota kelompok yang memberikan persuasi yang sangat bertentangan dengan norma kelompok akan terancam tidak diterima dalam kelompok terkait. Kelompok juga ada untuk membantu pemecahan masalah atau penemuan solusi yang digunakan untuk pembuatan keputusan.

4. Fungsi terapi, dalam hal ini kelompok ada untuk membantu anggotanya untuk berubah personalnya. Komunikasi dalam kelompok terapi berguna untuk pemulihan dirinya sendiri, dengan maksud dalam suasana yang mendukung dianjurkan untuk masing-masing individu mengungkapkan permasalahannya secara terbuka.

Pendapat tersebut di atas juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Muhammad (2011), bahwa fungsi atau tujuan komunikasi dalam kelompok kecil diantaranya adalah hubungan sosial. Kita sering terlibat dalam komunikasi kelompok kecil agar dapat bergaul dengan orang lain.

(3)

11

Misalnya minum kopi bersama-sama, pesta atau tempat orang berkumpul bersama-sama dan bercakap-cakap satu sama lain. Bila kita berkumpul pada kelompok kecil untuk tujuan hubungan sosial, tujuan kita adalah memperkuat hubungan interpersonal dan menaikkan kesejahteraan kita. Kelompok-kelompok yang demikian memenuhi kebutuhan interpersonal kita untuk kasih sayang dan merasa diikutsertakan.

Selain tujuan hubungan sosial, tujuan komunikasi kelompok kecil adalah penyaluran. Kelompok kecil memberikan kemungkinan untuk menyalurkan perasaan kita, termasuk perasaan kecewa, perasaan takut, keluhan, maupun harapan dan keinginan kita. Bila kita mempunyai satu kesempatan membiarkan orang lain mengetahui perasaan kita tentang sesuatu, kita sering merasa lega atau bebas dari ketegangan. Tujuan ini biasa dilakukan dalam suasana yang mendukung adanya pertukaran pikiran atau pertengkaran sengit atau dalam diskusi keluarga dimana keterbukaan diri adalah tepat (Muhammad, 2011).

Tujuan lainnya, yaitu belajar. Salah satu tujuan atau alasan umum orang mengikuti kelompok kecil adalah belajar dari orang lain. Belajar terjadi dalam bermacam-macam setting. Asumsi yang mendasari belajar kelompok adalah ide dari dua arah (Muhammad, 2011)

Ditambahkan oleh Muhammad (2011), tentang keanggotaan kelompok kecil, pada dasarnya mereka terbuka dalam menerima anggota baru. Kemudian tentang norma, norma adalah satu set asumsi atau harapan yang dipegang oleh anggota kelompok atau oraganisasi mengenai tingkah laku yang benar atau yang salah, baik atau buruk,cocok atau tidak cocok, diizinkan atau tidak diizinkan. Pada kelompok kecil, seperti halnya pada kelompok besar, dapat menerapkan secara eksplisit dan implisit norma-norma mereka.

Tidak setiap orang berkerumun dapat dikatakan sebagai kelompok. Diperlukan kesadaran pada anggota kelompok bahwa mereka memiliki ikatan yang mempersatukan mereka, untuk bisa disebut sebagai kelompok (Rahkmat, 2013:139). Para ahli sudah mengembangkan klasifikasi kelompok sebagai berikut:

(4)

12 1. Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder

Kelompok primer adalah kelompok yang memiliki keakraban anggotanya. Dalam kelompok primer, pesan yang disampaikan mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Hubungan antar anggota kelompok juga bersifat personal, dalam arti yang terpenting adalah siapa dia, sehingga posisi anggota tidak dapat dipindahkan atau digantikan. Sedangkan komunikasi sekunder, kelompok para anggotanya tidak akrab, karena anggota hanya mengenal bagian luar kepribadian anggota lainnya serta apa yang dibicarakan terbatas pada hal-hal tertentu saja.

2. In-group dan Out-group

Dalam klasifikasi ini, dasar pembagian kelompok merujuk pada in-group adalah kelompok kami dan out-group adalah kelompok mereka.

3. Kelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan

Kelompok keanggotaan hakikatnya anggota-anggotanya adalah mereka yang secara administratif dan juga fisik menjadi anggota kelompok terkait. Kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai diri sendiri. Apabila kelompok tersebut digunakan sebagai teladan maka kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif, dan sebaliknya menjadi kelompok rujukan negatif apabila kelompok tersebut digunakan sebagai teladan untuk tidak bersikap.

4. Kelompok Deskriptif dan Kelompok Preskriptif

Kelompok deskriptif dilihat dari cara pembentukan kelompok secara alamiah. Sedangkan kelompok preskriptif dibentuk setelah anggotanya melalui langkah-langkah rasional untuk mencapai tujuannya.

2.2 Pola Komunikasi

Dalam penelitian ini, peneliti akan fokus pada pola komunikasi yang terjadi antar anggota kelompok melalui media tertentu seperti nongkrong, atau memiliki pekerjaan yang sama sehingga mereka bersama-sama memiliki keputusan untuk tidak menikah.

Komunikasi sebagai pola merupakan suatu konsep dimana komunikasi diartikan sebagai proses pertukaran pesan atau gagasan secara

(5)

13

terus menerus dengan berbagai cara. Sehingga pola komunikasi dapat dipahami sebagai hubungan dua orang atau lebih yang saling bertukar pesan (pengirim dan penerima) dengan cara yang tepat, dengan harapan pesan yang dimaksud dipahami (Djamarah, 2004:1).

Di bawah ini akan dijelaskan serta diuraikan beberapa model teori pola komunikasi, yaitu pola komunikasi primer, pola komunikasi sekunder, pola komunikasi linear, dan pola komunikasi sirkular (Jiwanto, 1987)

1. Pola Komunikasi Primer

Pola komunikasi primer merupakan suatu proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu simbol (symbol) sebagai media atau saluran. Dalam pola ini terbagi menjadi dua lambang yaitu lambang verbal dan lambang nirverbal. Lambang verbal yaitu bahasa sebagai lambang verbal yaitu paling banyak. dan paling sering digunakan, karena bahasa mampu mengungkapkan pikiran komunikator. Lambang nirverbal yaitu lambang yang digunakan dalam berkomunikasi yang bukan bahasa, merupakan isyarat dengan anggota tubuh antara lain mata, kepala, bibir, tangan dan Jari. Selain itu gambar juga sebagai lambang komunikasi nonverbal, sehingga dengan memadukan keduanya maka proses komunikasi dengan pola ini akan lebih efektif.

2. Pola Komunikasi Sekunder

Pola komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian Pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama. Komunikator menggunakan media kedua ini karena yang menjadi sasaran komunikasi yang jauh tempatnya, atau banyak jumlahnya. Dalam proses komunikasi secara sekunder ini semakin lama akan semakin efektif dan efisien, karena didukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih. 3. Pola Komunikasi Linear

Linear di sini mengandung makna lurus yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus, yang berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Jadi dalam proses komunikasi ini biasanya terjadi dalam komunikasi tatap muka (face to face), tetapi juga

(6)

14

adakalanya komunikasi bermedia. Dalam proses komunikasi ini pesan yang disampaikan akan efektif apabila ada perencanaan sebelum melaksanakan komunikasi.

4. Pola Komunikasi Sirkular

Komunikasi sirkular adalah model dasar komunikasi yang ditandai adanya unsur feadback. Hal ini berarti proses komunikasi tidak berawal dari satu titik dan berakhir pada titik yang lain (Jiwanto, 1987).

Tubbs dan Moss dalam Rahmat (1994)1, menyatakan bahwa pola komunikasi dapat dicirikan sebagai komplementaris dan simetris. Komplementer berarti terdapat perilaku dominan dan yang lainnya berperilaku tunduk. Beda halnya dengan simetris, yang berarti sama, anggotanya memiliki tingkatan yang sama dalam berkomunikasi. Dilihatnya pola komunikasi dalam kelompok, adalah dari proses interaksi yang akhirnya menciptakan struktur system, proses anggota merespon satu sama lain yang mampu menentukan jenis hubungan yang dimiliki oleh anggota. Terciptanya komunikasi kelompok yang efisien dan mudah, diperlukan pengaturan dalam proses komunikasi. Maka terbentuklah jaringan komunikasi yang merupakan susunan posisi komunikasi, siapa dapat berkomunikasi dengan siapa. Berikut struktur jaringan komunikasi menurut DeVito (2011:382-384).

1. Struktur Lingkaran

Struktur ini tidak memiliki pemimpin, kedudukannya sama, setiap anggota dapat berkomunikasi dengan dua anggota lainnya disisinya.

1Dimas Angger Pratolo, Skripsi: “Pola Komunikasi Kelompok Motor Pattimura Brothers Salatiga

(7)

15 2. Struktur Roda

Struktur roda memiliki pemimpin yang posisinya di pusat. Pemimpin dapat menerima dan mengirim pesan pada semua anggotanya, tapi apabila anggotanya ingin menyampaikan pesan kepada anggota lain harus melalui pemimpin.

3. Struktur Y

Struktur Y juga memiliki pemimpin yang bisa menerima dan mengirim pesan ke anggotanya. Salah satu anggota menjadi pemimpin kedua yang dapat berkomunikasi dengan dua orang lainnya. Tiga orang lainnya hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang disisinya.

4. Struktur Rantai

Struktur rantai tidak berbeda jauh dengan struktur lingkaran. Hanya saja pada struktur rantai, anggota yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang disisinya.

5. Struktur Semua Saluran

Struktur semua saluran disebut juga sebagai pola bintang. Dalam struktur ini, semua anggota adalah sama dan memiliki kekuatan yang sama. Struktur ini memungkinkan semua anggotanya saling berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya.

(8)

16 2.3 Kohesivitas Kelompok

Forsyth (2010) mengatakan kelompok adalah dua atau lebih individu yang dihubungkan dengan dan dalam hubungan sosial. Selain itu, jika dilihat secara menyeluruh, kelompok seperti satu kesatuan yang dibentuk dimana dorongan interpersonal yang mengikat anggota bersama-sama dalam satu unit dengan batas-batas yang menandai yang berada dalam kelompok dan diluar kelompok. Kualitas dalam hubungan dalam kelompok tersebut dinamakan kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok dapat diklaim untuk menjadi teori yang paling penting dalam group dynamic (dinamika kelompok). Tanpa adanya kohesivitas kelompok, individu akan menarik diri dari kelompoknya. Selain itu kohesivitas kelompok menjadi indikasi dari keberhasilan dalam kelompok.

Mcshane & Glinow (2003) mengatakan kohesivitas kelompok merupakan perasaan daya tarik individu terhadap kelompok dan motivasi mereka untuk tetap bersama kelompok dimana hal tersebut menjadi faktor penting dalam keberhasilan kelompok. Sementara menurut Forsyth (1999) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok, menikmati interaksi satu sama lain, dan memiliki waktu tertentu untuk bersama dan di dalamnya terdapat semangat kerjasama yang tinggi.

Berdasarkan definisi tentang kohesivitas tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok dimana adanya rasa saling menyukai, membantu, dan secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok kerja dalam mencapai satu tujuan. Maka dapat dikatakan bahwa kohesivitas merupakan suatu hal yang penting bagi kelompok karena

(9)

17

kohesivitas dapat menjadi sebuah alat pemersatu anggota kelompok agar dapat terbentuknya sebuah kelompok yang efektif.

Menurut McShane & Glinow (2003) faktor yang mempengaruhi kohesivitas kelompok, yaitu :

1. Adanya kesamaan

Kelompok yang homogen akan lebih kohesif dari pada kelompok yang heterogen. Kelompok yang homogen dimana memiliki kesamaan latar belakang, membuat mereka lebih mudah bekerjasama secara objektif, dan mudah menjalankan peran dalam kelompok.

2. Ukuran kelompok

Kelompok yang berukuran kecil akan lebih kohesif dari pada kelompok yang berukuran besar karena akan lebih mudah untuk beberapa orang untuk mendapatkan satu tujuan dan lebih mudah untuk melakukan aktifitas kerja. 3. Adanya interaksi

Kelompok akan lebih kohesif bila kelompok melakukan interaksi berulang antar anggota kelompok.

4. Ketika ada masalah

Kelompok yang kohesif mau bekerja sama untuk mengatasi masalah. 5. Keberhasilan kelompok

Kohesivitas kelompok kerja terjadi ketika kelompok telah berhasil memasuki level keberhasilan. Anggota kelompok akan lebih mendekati keberhasilan mereka dari pada mendekati kegagalan.

6. Tantangan

Kelompok kohesif akan menerima tantangan dari beban peran yang diberikan. Tiap anggota akan bekerja sama menyelesaikan tugas yang diberikan, bukan menganggap itu sebagai masalah melainkan tantangan.

Forsyth (1999) mengemukakan bahwa ada empat dimensi kohesivitas kelompok, yaitu :

1. Kekuatan sosial

Keseluruhan dari dorongan yang dilakukan oleh individu dalam kelompok untuk tetap berada dalam kelompoknya. Dorongan yang menjadikan anggota

(10)

18

kelompok selalu berhubungan dan kumpulan dari dorongan tersebut membuat mereka bersatu.

2. Kesatuan dalam kelompok

Perasaan saling memiliki terhadap kelompoknya dan memiliki perasaan moral yang berhubungan dengan keanggotaannya dalam kelompok. Setiap individu dalam kelompok merasa kelompok adalah sebuah keluarga, tim dan komunitasnya serta memiliki perasaan kebersamaan.

3. Daya tarik

Individu akan lebih tertarik melihat dari segi kelompoknya sendiri daripada melihat dari anggotanya secara spesifik.

4. Kerja sama kelompok

Individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok.

Dijelaskan oleh Treadwell (2001), kohesivitas kelompok memiliki efek positif dalam tingkah laku kelompok dan fungsinya, diantaranya meningkatkan komunikasi di antara anggota kelompok, meningkatkan pemecahan masalah. Sedang dampak negatif ketika kelompok menjadi kohesif, mereka mengisolasi kelompok mereka, mengurangi pengaruh dari luar dan memungkinkan munculnya “groupthink”.

2.4 Perempuan Lajang Tipe Voluntary Stables Singles

Perlu dipahami bahwa kategori dari perempuan lajang ada dua, yaitu lajang atas dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan lajang secara permanen (sementara dan tetap) (Stein, 1976)2.

Perempuan yang sengaja melajang sementara (voluntary temporary singles) terdiri dari orang-orang lajang (belum menikah atau sudah pernah menikah), mereka masih membuka diri untuk menikah tapi hal tersebut bukan menjadi prioritas utama, melainkan yang diutamakan adalah pendidikan, karir, politik maupun pengembangan dirinya. Perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables singles) merupakan perempuan yang sengaja melajang seterusnya, kelompok ini terdiri dari perempuan lajang yang

2 Francisca Putri D. W. S. Loc.Cit, hal. 1-15

(11)

19

sengaja tidak ingin menikah atau melakukan perkawinan. Sedangkan perempuan yang tidak sengaja melajang sementara (involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum menikah tapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan pasangan yang tepat. Terakhir adalah perempuan yang tidak sengaja melajang seterusnya (involuntary stables singles) adalah perempuan lajang yang berusia tua yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah menerima status singlenya.

Dalam penelitian ini perempuan lajang yang menjadi subjek penelitian adalah perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables singles). Menurut hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian dalam Suryani (2005), bahwa umumnya status melajang yang dimiliki wanita dewasa madya lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja. Hasil dari penelitian yang dilakukan Wong (2005) juga mengatakan hal yang sama, bahwa penundaan pernikahan bisa terjadi karena wanita dewasa tersebut mempertimbangkan karir, pendidikan, dan finansial sebagai prasyarat dalam melakukan pernikahan.

Hasil penelitian Dariyo (2004) juga mengatakan, bahwa seseorang yang melajang dapat dikarenakan terlanjur memikirkan karir, dan ingin menjalani hidup secara bebas. Sementara itu Hurlock (2002) mengatakan, bahwa saat berusia dua puluhan wanita yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada waktu usianya mencapai tiga puluh, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidupnya ke arah nilai, tujuan, dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan. Lebih jauh dijelaskan, bahwa pada usia dewasa madya dapat menjadi usia yang berbahaya, sebab pada masa tersebut seseorang mengalami kesusahan fisik yang salah satunya diakibatkan dari terlalu banyak bekerja, dan kurang memperhatikan kehidupan, termasuk kesiapannya untuk menikah. Dijelaskan pula bahwa masa dewasa madya merupakan masa berprestasi dalam pekerjaan, hal ini menyebabkan terlupakannya atau tidak memikirkan untuk menikah. Sekaligus juga merupakan masa evaluasi termasuk terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Jika sukses atau berhasil

(12)

20

maka akan merasa senang dan puas, serta tetap ingin merealisasikan atau mencapai cita-cita dan ambisi kerja lainnya. Jika gagal maka akan merenungi dan terus mencari sumber kesalahan atau kegagalan dalam pekerjaan sehingga tidak terpikirkan untuk menikah (Hurlock, 2002).

Selain masalah kesibukan bekerja, Hurlock (2002) juga mengungkapkan faktor lainnya yang mendorong seseorang untuk melajang, yaitu gaya hidup yang menggairahkan dan kebebasan dalam mengubah gaya hidup, dan mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh dalam kondisi lajang.

2.5 Perkawinan

Undang-Undang No.1 Tahun 1974, pasal 1, yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Hogg (2002) mengatakan menikah adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam menjalani kehidupan bersama di masa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan. Dengan kata lain, pernikahan adalah suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal.

Hurlock (2002) mengatakan, bahwa pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan teman-teman untuk menikah. Pendapat tersebut juga sejalan dengan pendapat Syadiida (2005), bahwa pernikahan merupakan fitrah dan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial dan sebagai nilai ibadah bagi seseorang yang melakukan pernikahan. Abraham H. Maslow dalam teori hierarki kebutuhan, menempatkan nikah pada urutan pertama, artinya menikah merupakan kebutuhan utama setingkat dengan kebutuhan makan. Kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa mengalaminya.

(13)

21

Hanafi (2008) juga menjelaskan, bahwa dengan menikah maka seseorang akan mendapatkan ketenteraman di dalam hidupnya. Secara fitrah manusia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman di dalam hidupnya jika mereka hidup sendirian tanpa didampingi oleh seseorang lawan jenisnya dan dari jenisnya sendiri. Gove dan Umberson dalam Oishi (1998) juga mengemukan, bahwa pernikahan memberikan arti positif yang kuat dari identitas dan harga diri.

Blood (1978) dalam Putri (2009) mengatakan, bahwa kesiapan menikah meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam kesiapan situasi adalah kesiapan finansial dan kesiapan waktu.

Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap untuk mengasuh anak (Duvall & Miller, 1985). Jika seseorang telah memiliki kesiapan maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami-istri.

Menurut Havighurst dalam Hurlock (2002), bahwa adanya wanita dewasa awal maupun madya yang belum juga menikah atau melajang menghambat individu tersebut untuk menjalankan tugas perkembangannya. Menurut Duffy & Atwater (2005), tugas perkembangan utama dari periode dewasa awal antara lain, yaitu: membangun hubungan dekat seperti pernikahan, dan mulai membentuk keluarga sendiri. Sementara menurut Havighurst, tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa madya, diantaranya, yaitu: membantu anak-anak remajanya belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia, dan menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai seorang individu.

(14)

22 2.6 Kajian Hasil Penelitian Terkait

Tabel 2.1

Kajian Hasil Penelitian Terkait Judul

Penelitian

Peneliti Hasil Metode

Pola Komunikasi Waria Sebagai Bentuk Identitas Diri (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Waria Sebagai Bentuk Identitas Diri Dilingkungan Masyarakat Kota Salatiga-Jawa Tengah) Risna Septiyanti Amheka Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2016 Pola komunikasi kelompok waria adalah pola bintang atau semua saluran, dimana semua anggota memiliki kekuatan yang sama untuk saling mempengaruhi. Kelompok waria juga memiliki simbol mereka sendiri untuk saling berinteraksi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian deskriptif, hanya menggambarkan fenomena secara sistematis. Pola Komunikasi Kelompok Motor Pattimura Brothers Salatiga dalam Membangun Solidaritas Dimas Angger Pratolo Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2016 Pola komunikasi kelompok Pattimura Brothers adalah pola bintang, memungkinkan untuk semua anggota saling berkomunikasi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian deskriptif yang bersifat interpretif (penafsiran).

(15)

23 dan terciptanya partisipasi secara optimal. Solidaritas kelompok terbantun karena pengaruh semangat kelompok yang tinggi, kesetiakawanan, hubungan yang akrab. Pola Komunikasi Single Professional Women dalam Memenuhi Kebutuhan Seksual Arinda Primandari Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2014 Menurut hasil penelitian, kelompok SPW adalah kelompok yang tertutup, terlebih mereka kedatangan dua berondong untuk memenuhi kebutuhan seksual, sehingga rahasia ini harus dijaga bersama-sama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penelitian deskriptif.

Penelitian yang dilakukan peneliti adalah berhubungan dengan pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok perempuan lajang tipe voluntary stables single. Yang ingin dilihat peneliti adalah pola komunikasi yang

(16)

24

mereka terapkan sehingga dalam kelompok tersebut anggotanya yakin akan keputusan yang mereka ambil dan bahkan membuat keputusan tidak menikah.Peneliti akan melihat bagaimana mereka dapat mempengaruhi satu sama lain sehingga mereka tidak ragu atas keputusan yang mereka ambil. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, seperti contoh pada penelitian Pola Komunikasi Single Professional Women dalam Memenuhi Kebutuhan Seksual dimana kelompok melibatkan orang ketiga dari luar kelompok yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka. Dalam penelitian ini, kelompok tidak melibatkan orang luar kelompok untuk mereka membentuk keputusan tidak menikah.

2.7 Kerangka Berpikir

Gambar 6

Model Kerangka Berpikir

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kehidupan bahagia seolah terjadi ketika seseorang telah menikah dan berkeluarga, dan bahkan banyak candaan yang menyebutkan terlalu banyak memilih justru belum menikah dan menjadi perawan tua. Namun disisi lain banyak perempuan yang telah matang atau mandiri secara ekonomi dan mereka tidak mementingkan mengenai pernikahan. Hingga muncul sekelompok perempuan lajang dimana

Pandangan masyarakat mengenai kehidupan bahagia dalam

pernikahan

Perempuan mandiri secara ekonomi dan sosial

Keputusan tidak menikah Pola komunikasi Kelompok perempuan tipe

(17)

25

anggotanya memilik pekerjaan yang mapan dan mereka belum menikah. Penulis akan menganalisi bagaimana pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok tersebut sehingga mereka memiliki keputusan untuk tidak menikah.

Referensi

Dokumen terkait

State Institute of Islamic Studies (IAIN) of Tulungagung. Advisor: Dr.H Mashudi, M.Pd.I. Keywords : Effectiveness, Collaborative Writing Method, Teaching Writing, and Pre

Sedangkan Istarani (2011: 15) model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran yang

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu penulis panjatkan atas nikmat, taufik dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Aktivitas Fisik Sehari-hari Dengan

Data primer diperoleh dengan cara mengikuti beberapa kegiatan teknis lapang secara langsung bersama petugas Dinas Agribisnis Bidang Usaha Peternakan Kota Bogor dan

Walaupun, karakteristik perguruan kedua perguruan tinggi tersebut cukup berbeda, namun berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh bahwa tidak ada perbedaan persepsi

Bila pasien pulang diluat jam kerja untuk urusan administrasi akan dilakukan di hari berikutnya Untuk Jam pulang pasien rawat inap hanya bisa dilakukan di jam kerja kasir :. -

Tabel di atas menggambarkan eksposur maksimum atas risiko kredit bagi Bank Mandiri dan Anak Perusahaan pada tanggal 31 Desember 2012 dan 2011, tanpa memperhitungkan agunan