• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 PEMBERLAKUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

DALAM KONTEKS

PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

Prof. Dr. HM. LAICA MARZUKI, S.H.

PENDAHULUAN

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan tidak menyampingkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Secara mutatis mutandis, hanya perlu diadakan penyesuaian (aanpassing) terhadap UU Nomor 30/2014 dimaksud sepanjang berkaitan dengan kekhususan prosedural daripadanya. Asas lex posterior derogat legi priori (= undang-undang yang datang kemudian menyampingkan undang-undang terdahulu) tidak relevan dengan pemberlakuan UU Nomor 30/2014.

PERLUASAN KOMPETENSI

UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperluas kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana kami catatkan berikut ini.

(2)

2

1. Menteri Kehakiman RI, ISMAIL SALEH, SH dalam sambutannya,

mewakili Pemerintah, di hadapan Sidang DPR RI, tanggal 30 Desember 1986, atas persetujuan DPR RI terhadap RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengemukakan 3 macam perbuatan tata usaha negara (bestuurshandeling):

1) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan/K.TUN (= beschikkingsdaad van de administratie);

2) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam membuat dan mengeluarkan Peraturan (= regelend daad van de administratie);

3) Perbuatan Materil Tata Usaha Negara (= materieele daad van de administratie);

Dikatakan bahwa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, kelak dikenal dengan UU Nomor 5/1986 (= LN-RI Tahun 1986 Nomor 77) adalah berkenaan dengan Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan/K.TUN (= beschikkingsdaad van de administratie).

Kurang lebih 28 tahun kemudian, di kala pemberlakuan UU Nomor 30/2014 (= LN-RI Tahun 2014 Nomor 292), kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara diperluas, mencakupi pula Perbuatan Materil Tata Usaha Negara (= materieele daad van de administratie) dikenal dengan penamaan: Tindakan Administrasi Pemerintahan (= Tindakan). Pasal 1 angka 8 UU Nomor 30/2014 merumuskan Tindakan Administrasi Pemerintahan (juga disebut Tindakan) adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan

dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sehubungan dengan pemberlakuan UU Nomor 30/2014 adalah memeriksa, mengadili dan memutus:

(3)

3 - Perbuatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan

Keputusan Administrasi Pemerintahan/K.TUN (beschikkingsdaad)

- Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/faktual (materieele daad).

Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya berkenaan dengan perbuatan penguasa yang melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad) menurut Pasal 1365 BW Ind tidak lagi menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum tetapi telah menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (= Pasal 85 UU Nomor 30/2014)

2. UU Nomor 30/2014 memperluas cakupan peran subjek

Penggugat/Pemohon serta subyek Tergugat/Termohon. Subyek

Penggugat/Pemohon meliputi Warga Masyarakat, lebih luas cakupannya atas pemaknaan orang dan badan hukum perdata yang selama ini hanya terkait perannya sebagai pihak yang mengajukan gugatan. Pasal 1. Angka 15 UU Nomor 30/2014 merumuskan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 7. Ayat (2), huruf f dan g UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal 7. ayat (2), huruf i UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

(4)

4 Pasal 21. ayat (2), (3) UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan permohonan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Pasal 21. ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor 30/2014 menetapkan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bakal diputus hakim banding paling lama 21 hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Putusan banding bersifat mengikat.

Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.

UU Nomor 30/2014 memperluas subyek Tergugat/Termohon, meliputi pihak penyelenggara negara lainnya, disamping Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, kesemuanya selaku unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan.

3. Pasal 62. ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 30/2014

memungkinkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyampaikan Keputusan (K.TUN) melalui sarana elektronis. Penjelasan Pasal 62. ayat (1) UU Nomor 30/2014 memaksudkan sarana elektronis, antara lain faksimile, surat elektronik, dan sebagainya. Dalam proses beracara, suatu Keputusan (K.TUN) yang disampaikan kepada Warga Masyarakat melalui sarana elektronik, berkekuatan sebagai bukti surat. Keputusan (K.TUN) yang diumumkan melalui media elektronik mulai berlaku paling lama 10 hari sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam kaitannya

(5)

5 pengirimannya, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan.

4. Pasal 53. ayat (1), (2), (3) UU Nomor 30/2014 menentukan batas

waktu kewajiban bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna menetapkan Keputusan (K.TUN) serta batas waktu kewajiban bagi Pejabat

Pemerintahan untuk melakukan suatu Tindakan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan. Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban daripadanya maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan (K.TUN) dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Tidak salah kiranya manakala hal dimaksud dinamakan Keputusan Fiktif Positif.

Pasal 53. ayat (4), (5), (6) UU Nomor 30/2014 meluangkan Warga Masyarakat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memperoleh Keputusan Fiktif Positif. Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara prosesuil, putusan pengadilan dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) namun tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksud.

(6)

6 Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan.

Diadopsinya konsep Keputusan Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dipandang telah menolak mengeluarkan suatu K.TUN manakala dalam batas waktu tertentu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan. UU Nomor 30/2014 tidak menyampingkan atau membatalkan Pasal 3 UU Nomor 5/1986. Hal dimaksud tepergantung sejauhmana Pasal 3 UU Nomor 5/1986 masih merupakan kebutuhan hukum bagi pencari keadilan (justiciabel) dalam praktek upaya hukum administrasi. Lagipula, Pasal 3 UU Nomor 5/1986 berkenaan dengan Keputusan Fiktif Negatif tidak dapat diterapkan bagi pengajuan pemohonan dilakukannya (= atau tidak dilakukannya) Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan.

UU NOMOR 30/2014: FOKUS PADA KEWENANGAN PEMERINTAHAN

Pembuat UU Nomor 30/2014 memfokus pengaturan normatifnya pada Kewenangan Pemerintahan, diatur pada Bab V, Pasal 8 s/d Pasal 39 UU Nomor 30/2014.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta penyelenggara negara lainnya dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan (K.TUN) dan dalam hal Pejabat Pemerintahan melakukan (atau tidak melakukan) Tindakan Administrasi Pemerintahan didasarkan pada wewenang (= Bevoegdheden) yang dimilikinya.

(7)

7 Pasal 1. angka 5 UU Nomor 30/2014 merumuskan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan. Pasal 1. angka 6 UU Nomor 30/2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan (selanjutnya disebut Kewenangan) adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

Kewenangan (= bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt). Tanpa Jabatan tidak bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah badan (= orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan Kewenangan. Dalam menfungsikan Kewenangan yang melekat padanya, Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat Pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (= bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh Pejabat (ambtsdrager).

Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (atau penyelenggara negara) yang memiliki Wewenang, yang dapat mengeluarkan Keputusan (K.TUN), dan hanya Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat melakukan (atau tidak melakukan) suatu Tindakan Konkret/Faktual.

Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau daerah berlakunya Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu.

(8)

8 UU Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang. Pasal 17, 18 UU Nomor 30/2014, menetapkan, Larangan Penyalahgunaan Wewenang berupa:

a. Larangan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

- melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;

- melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang;

- bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Larangan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

- di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; - bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

c. Larangan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

- tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

- bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan a. peraturan perundang-perundangan. b. AUPB (ABBB) (Pasal 8. ayat (2) UU Nomor 30/2014).

(9)

9 Pasal 11 UU Nomor 30/2014 menetapkan Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab berada pada Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 30/2014, Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

Delegasi (Delegation of Authority) adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima delegasi. Tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu.

Pelimpahan Kewenangan yang diperoleh melalui mandatum, Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada mandator. Dalam melaksanakan wewenangnya, mandataris wajib mencantumkan dirinya selaku pelaksana on behalf of mandator.

Pasal 66. ayat (1) UU Nomor 30/2014, menetapkan Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:

a. wewenang;

b. prosedur; dan/atau c. substansi.

(10)

10 CATATAN KRITIS

Perlu kiranya membubuhkan catatan kritis pada beberapa ketentuan prosedural, pasal-pasal UU Nomor 30/2014 berikut ini:

1. Pasal 13. ayat (5) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada umunya, tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui Delegasi, pemberi Delegasi kehilangan kewenangan itu. Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih seluruhnya pada penerima delegasi. Pemerintah Pusat tidak dapat menggunakan lagi Kewenangan atas dasar delegation of authority kepada daerah-daerah otonom.

2. Pasal 64. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan, Keputusan pencabutan dapat dilakukan oleh Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan. Tidak lazim, Atasan Pejabat mencabut Keputusan Pejabat bawahan. Pada umumnya, Atasan Pejabat yang membatalkan Keputusan Bawahan melalui upaya banding administratif.

3. Pasal 66. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan,

Keputusan pembatalan dapat dilakukan oleh Pejabat

Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Tidak lazim, Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan membatalkan Keputusan-nya sendiri. Pejabat Pemerintahan dimaksud hanya dapat mencabut Keputusan yang dikeluarkannya melalui prosedur keberatan (= bezwaarschriften procedure) pada upaya administrasi.

(11)

11 4. Pasal 76. ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 30/2014, menetapkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas

penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan, Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada Atasan Pejabat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Prosedur upaya administratif dimaksud berbeda dengan prosedur administratif menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Ditetapkan, dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh

atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk

menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus

diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara dimaksud jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

UU Nomor 5/1986 mensyaratkan penyelesaian upaya

administratif secara menyeluruh dan tuntas (uitputten).

Pasal 76. ayat (2) dan (3) UU Nomor 30/2014, mensyaratkan penyelesaian upaya administratif terbatas kepada Atasan Pejabat melalui banding administratif. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,

(12)

12 Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 51. ayat (3) dan (4) UU Nomor 5/1986, menetapkan bahwasanya penyelesaian justisil bagi penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kasasi. Pembentuk UU Nomor 5/1986, memandang seluruh tahapan upaya administratif merupakan bagian penyelesaian justisil, sehingga tahapan selanjutnya pada acara pemeriksaan peradilan berada pada kewenangan (kompetensi) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Lebih tepat kiranya hal dimaksud dipertanyakan guna diuji melalui upaya judicial review atau legislative review.

PENUTUP

UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah menjadi bagian hukum administrasi, juga berdampak pada perkembangan kompetensi peradilan tata usaha negara. Bagai pepatah, “De teerling is geworpen (= dadu telah dibuang)!”, para hakim peradilan administrasi seyogianya menyambut pemberlakuan UU Nomor 30/2014 dengan semangat JUDGES MADE LAW.

(13)

13

BIODATA

H.M. LAICA MARZUKI

Lahir di Tekolampe, Sinjai, Sulawesi Selatan, pada tanggal 5 Mei 1941, adalah Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar.

Mantan Hakim Agung, dan sejak bulan Agustus 2003, menjadi Hakim Konstitusi, kelak memegang jabatan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi hingga memasuki masa purna bakhti pada tanggal 1 Juni 2008. Pernah menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum ( Magister ) Pascasarjana UNHAS, dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum LPPM, UNHAS.

Lulus Fakultas Hukum UNHAS, Makassar pada bulan Agustus 1979, lalu menempuh studi lanjutan dalam rangka Sandwich Program di Leiden, Negeri Belanda ( 1984-1985 ) dan penyusunan buku Hukum Administrasi di Utrecht ( 1989-1990 ), Negeri Belanda, kemudian menyelesaikan studi Doktor ( S3 ) pada Pascasarjana, Universitas Padjadjaran ( UNPAD ), Bandung, di kala tanggal 5 Juli 1995.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan variabel moderating karena adanya ketidakkonsistenan hasil dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pramudita (2010) yang menyatakan bahwa

<is>Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan iireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

(4) Rawat inap sehari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis,

Dalam suatu  definisi  rekursif,  kita bedakan  antara sebuah  aturan  dasar  ( rule   base )  dan  aturan  rekursif  ( recursive   rule ).  Aturan  dasar  dari 

Untuk meningkatkan komunikasi yang beretika pada subyek dengan guru, maka tindakan selanjutnya peneliti melakukan perlakuan atau treatment terhadap ke enam

Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur, bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur

Berdasarkan manajemen pemberian pakan pada keempat daerah, yaitu pada itik di daerah A diberikan pakan tambahan berupa eceng gondok ( Eichornia crassipes) , daerah