• Tidak ada hasil yang ditemukan

dummy LAPORAN PENDAHULUAN RIPPDA KABU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "dummy LAPORAN PENDAHULUAN RIPPDA KABU"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN RENCANA INDUK

PENGEMBANGAN PARIWISATA

DAERAH (RIPPDA)

Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten

Buru, Provinsi Maluku

LAPORAN

PENDAHULUAN

Tahun Anggaran

2014

(2)

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya dokumen LAPORAN PENDAHULUAN sebagai dokumen awal bagi kegiatan Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.

LAPORAN PENDAHULUAN ini secara umum merupakan sebuah laporan awal dari keseluruhan rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan selama kurang lebih 3 (tiga bulan) pekerjaan, di mana di dalam dokumen ini kurang lebih berisikan mengenai Pendahuluan, Tinjauan Kebijakan, Pendekatan dan Metodologi Gambaran Umum Wilayah, dan Rencana Kerja sebagai dasar dari kegiatan pengembangan pariwisata daerah ini

Dalam penyusunan LAPORAN PENDAHULUAN ini, pihak konsultan menyadari kemungkinan masih adanya kekurangan dan kesalahan, untuk itu pihak konsultan mengharapkan adanya kritik dan masukan yang konstruktif dari berbagai pihak terkait sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi kegiatan selanjutnya (yaitu penyusunan LAPORAN ANTARA dan LAPORAN AKHIR) sebagai keseluruhan rangkaian kegiatan yang akan dilakukan.

Pada akhirnya tim konsultan mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian pekerjaan ini

Ambon, Agustus 2014

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.4.1 Ruang Lingkup Pekerjaan ... 2

1.4.2 Ruang Lingkup Lokasi ... 2

1.5 Dasar Hukum ... 2

1.6 Sistematika Pembahasan ... 3

BAB II TINJAUAN KEBIJAKAN 2.1 Landasan Teori ... 1

2.1.1 Pengertian Produk Pariwisata ... 1

2.1.2 Pengertian Kebudayaan ... 2

2.1.3 Pengertian Karakteristik Wisatawan ... 3

2.1.4 Pemberdayaan Masyarakat Pariwisata ... 4

2.1.5 Pariwisata Berwawasan Lingkungan ... 4

2.1.6 Kawasan Pariwisata ... 5

2.1.7 Pemasaran Pariwisata ... 6

2.1.8 Sistem Kepariwisataan ... 6

2.1.9 Analisis Sediaan dan Permintaan dalam Sistem Kepariwisataan ... 6

2.1.10 Komponen Sediaan dan Permintaan Pariwisata ... 7

2.1.11 Obyek Wisata ... 7

2.1.12 Sarana Pariwisata ... 8

2.1.13 Jasa Pariwisata ... 10

2.1.13.1 Biro Perjalanan Wisata (Tour and Travel) ... 10

2.1.13.2 Pusat Informasi ... 11

2.1.13.3 Penukaran uang dan fasilitas keuangan ... 11

2.1.13.4 Penyediaan perlengkapan wisata ... 11

2.1.13.5 Pemandu Wisata ... 12

2.1.13.6 Pengawas Pantai ... 12

2.1.14 Prasarana dan Sarana Lingkungan ... 12

2.1.15 Wisata Alam ... 13

2.1.16 Wisata Budaya ... 13

2.1.17 Komponen Pengembangan Pariwisata ... 14

(4)

2.1.19 Perencanaan Pariwisata ... 16

2.1.20 Implikasi Pariwisata terhadap Perekonomian... 17

2.1.21 Ananlisis SWOT ... 19

2.1.22 Analisis Cluster ... 19

2.2 Tinjauan Kebijakan ... 20

2.2.1 Kabupaten Buru Dalam Kebijakan Penataan Ruang Nasional (RTRWN) ... 20

2.2.1.1 Kebijakan Struktur Ruang ... 20

2.2.1.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional ... 23

2.2.2 Kabupaten Buru Dalam Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Maluku Kebijakan pembangunan provinsi Maluku tertuang dalam rencana Tata Ruang Wilayah provinsi Maluku untuk kurun waktu 2007 – 2027. ... 26

2.2.2.1 Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi Maluku... 26

2.2.2.2 Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Wilayah... 30

2.2.2.3 Rencana Sistem Prasarana Wilayah ... 34

2.2.3. Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi ... 38

2.2.3.1 Rencana Pengembangan Kawasan Lindung ... 38

2.2.3.2 Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya ... 40

2.2.4 Rencana Pengembangan Ekonomi ... 42

2.2.5 Rencana Kependudukan ... 42

2.2.5.1 Rencana Pengaturan Pertumbuhan Penduduk ... 44

2.2.5.2 Rencana Pengaturan Penyebaran dan Kepadatan Penduduk ... 44

2.2.5.3 Rencana Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia ... 45

2.2.6 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kabupaten Buru ... 45

2.2.6.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Buru ... 45

2.2.6.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Buru ... 52

2.2.7 Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Wilayah Kabupaten Buru ... 54

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1 Metodologi Pendekatan ... 1

3.1.1 Pendekatan Dasar ... 1

3.1.2 Pendekatan Fakta dan Analisis ... 2

3.2 Metoda Pendekatan dan Metoda Analisis ... 4

3.2.1 Metode Pendekatan... 4

3.2.2 Metode Pendekatan Perumusan Konsep... 6

3.3 Metode Analisis ... 7

3.3.1 Analisis Kualitatif (Deskriptif) ... 7

3.2 Analisis Kuantitatif ... 8

3.4 Metoda Pengumpulan Data ... 8

3.4.1 Survey Data Primer ... 8

(5)

BAB IV GAMBARAN UMUM

4.1 Profil Kabupaten Buru ... 1

4.1.1 Kondisi Geografis ... 1

4.1.1.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi ... 1

4.1.1.2 Kondisi Geomorfologi dan Hidrogeologi ... 2

4.1.1.3 Kondisi Fisografi dan Topografi Wilayah ... 3

4.1.1.4 Kondisi Kemiringan Tanah ... 4

4.1.1.5 Klimatologi ... 5

4.1.1.6 Geologi ... 7

4.1.1.7 Penggunaan Lahan ... 9

4.1.2 Sumberdaya Alam ... 11

4.1.2.1 Pertanian ... 11

4.1.2.2 Perkebunan ... 13

4.1.2.3 Kehutanan ... 15

4.1.2.4 Peternakan ... 15

4.1.2.5 Perikanan ... 15

4.1.2.6 Terumbu Karang, Mangrove dan Lamun ... 16

4.1.2.7 Pertambangan ... 17

4.2 Profil Pariwisata Pulau Buru ... 17

4.2.1 Jikumerasa ... 17

4.2.2 Waprea ... 20

4.2.3 Namniwel ... 20

BAB V RENCANA KERJA 5.1 Rencana Kerja ... 1

5.1.1 Waktu Pelaksanaan Kegiatan ... 1

5.1.2 Tahapan Kegiatan... 1

5.1.3 Rencana Pelaksanaan Pekerjaan ... 1

5.1.4 Keluaran Pekerjaan ... 2

5.2 Organisasi Pelaksana Kegiatan ... 2

5.2.1 Susunan Tenaga Ahli ... 2

5.2.2 Jadwal Penugasan Tenaga Ahli ... 3

(6)

Tabel 2.1 Gusus Pulau, Fungsi dan Prioritas Pengembangan dan

Rencana Pengembangan Infrasrtuktur ... II-28 Tabel 2.2 Rencana Fungsi Pusat Permukiman Provinsi Maluku ... II-28 Tabel 2.3 Kawasan Andalan Kabupaten Buru... II-30 Tabel 2.4 Rencana Pemanfaatan Kawasan Lindung di Provinsi Maluku... II-39

Tabel 4.1 Luas Daerah Kabupaten Buru ... IV-2 Tabel 4.2 Suhu Udara Rata-Rata Kabupaten Buru 2013-2014 ... IV-6 Tabel 4.3 Kelembaban Udara dan Penyinaran Matahari di Kabupaten Buru

2013-2014 ... IV-6 Tabel 4.4 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan ... IV-6 Tabel 4.5 Kondisi Angin Kabupaten Buru ... IV-7 Tabel 4.6 Kolom Strategrafi Susunan batuan di Kabupaten Buru ... IV-8 Tabel 4.7 Hasil Pertanian Kabupaten Buru ... IV-12 Tabel 4.8 Luas Areal dan Produksi Kelapa Kabupaten Buru ... IV-13 Tabel 4.9 Luas Areal dan Produksi Kopi Kabupaten Buru ... IV-13 Tabel 4.10 Luas Areal dan Produksi Kakao Kabupaten Buru ... IV-13 Tabel 4.11 Luas Areal dan Produksi Jambu Mete Kabupaten Buru ... IV-14 Tabel 4.12 Luas Areal dan Produksi Cengkih Kabupaten Buru ... IV-14 Tabel 4.13 Luas Areal dan Produksi Pala Kabupaten Buru ... IV-14 Tabel 4.14 Populasi Ternak Kabupaten Buru ... IV-15 Tabel 4.15 Produksi Perikanan Laut Kabupaten Buru ... IV-16 Tabel 4.16 Distribusi, dan Luas Tutupan Mangrove Kabupaten Buru ... IV-16 Tabel 4.17 Potensi Pertambangan Kabupaten Buru ... IV-17

(7)

Gambar 2.1 Komponen Pariwisata ... II-7

(8)

1.1 LATAR BELAKANG

Jikumerasa menyuguhkan pesona alam pantai kepada setiap orang yang ingin melepaskan kepenatan dalam rutinitas kerja, Berada di Kecamatan Namlea dengan hanya berjarak kurang lebih 10 KM dari kota namlea menjadikan Jikumerasa primadona Kabupaten Buru.

Jikumerasa sendiri masih dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan sajian rujak khas Maluku dan hamparan pasir putih serta udaranya yang sejuk sangatlah pas tatkala kita menghabiskan waktu sembari menyantap rujak, untuk menikmati Pantai Jikumerasa dapat digunakan perahu rakyat yang disediakan oleh masyarakat setempat

Kondisi kepariwisataan Jikumerasa sampai saat ini, berkembang dengan sendiri, tidak didukung dengan suatu perencanaan sehingga objek wisata yang satu dengan yang laintidak saling mendukung. Kondisi demikian akan berdampak pada perkembangan sector yang tidak seimbang pada masa yang akan datang, maka diperlukan konsep perencanaan yang benar-benar terukur. Untuk itu melalui APBD Tahun Anggaran 2014 pemerintah daerah Kabupaten Buru telah menetapkan kegiatan “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi

Maluku”

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

1.2.1 Maksud Kegiatan

Maksud kegiatan ini adalah membuat konsep pengembangan sektor pariwisata di

Kecamatan Namlea Kabupaten Buru, sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengembangkan pantai Jikumerasa

1.2.2 Tujuan Kegiatan

Tujuannya adalah membangun pariwisata pantai, mendorong pemerataan

(9)

1.3 SASARAN KEGIATAN

Adapun sasaran pekerjaan ini antara lain meliputi

1. Pengembangan tempat-tempat yang berpotensi untuk dijadikan tujuan wisata di pantai Jikumerasa beserta sarana dan parasarananya.

2. Tersusunnya RIPPDA Pantai Jikumerasa yang up to date dan baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy.

1.4 RUANG LINGKUP

1.4.1 Ruang Lingkup Pekerjaan

Secara umum, ruang lingkup kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut : 1. Tahapan persiapan Survey Lapangan :

Pengumpulan berbagai buku, jurnal dan laporan yang relevansi dengan ekonomi pariwisata, budaya, arus wisatawan, sarana dan prasarana pendukung dan nantinya dapat dicocokkan dengan data lapangan.

2. Tahapan Analisa

Analisa bidang pasar wisata, analisa perencanaan dan engeneering, analisa social ekonomi, analisa bisnis dan hokum

3. Tahapan Rencana

a. Rencana pengembangan tujuan wisata b. Rencana sarana dan prasaran

c. Rencana tahapan pelaksanaan (indikasi Program) d. Rencana Pengelolaan

1.4.2 Ruang Lingkup Lokasi

Lokasi pekerjaan kegiatan RIPPDA yaitu berlokasi di wilayah Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

1.5 DASAR HUKUM

Adapun dasar hukum dan literatur kebijakan yang diadikan sebagai bahan acuan dalam “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai

Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku” adalah

(10)

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

4. Peraturan Daerah Kabupaten Buru Nomor ……. Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Buru Tahun Anggaran 2014

1.6 SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Dalam penyusunan Laporan Pendahuluan untuk kegiatan “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea

Kabupaten Buru, Provinsi Maluku”, terdiri dari 6 (enam) bab pembahasan, yaitu 1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang kegiatan, maksud dan tujuan kegiatan, serta sasaran dan ruang lingkup dari kegiatan “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku”

2. BAB II TINJAUAN KEBIJAKAN

Bab ini berisikan mengenai tinjauan kebijakan yang dijadikan sebagai acuan dan dasar pendekatan dan metodologi dalam “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku”.

3. BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Bab ini berisikan mengenai pendekatan dan metodologi dalam melakukan “Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku”

4. BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

(11)

5. BAB V RENCANA KERJA

Bab ini berisikan mengenai program kerja berikut struktur dan komposisi dari tim konsultan beserta masing-masing tanggung jawabnya.

6. BAB VI PENUTUP

(12)

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Pengertian Produk Pariwisata

Produk pariwisata menurut Burkart dan Medilik yang dikutip oleh Oka A Yoeti (1996:64) mengemukakan pengertian produk wisata sebagai berikut : ” ....The tourist product may be seen as composite product, as an amalgan of attractions, transport accommodation and of entertainment” Dalam pengertian produk tersebt diatas lebih menekankan kepada satu strata produk yang satu sama lain saling memiliki ketergantungan yang terdiri dari obyek wisata, atraksi wisata, transportasi, akomodasi, dan rekreasi hiburan umum, dimana masingmasing jenis usaha dipersiapkan oleh masing-masing perusahaan.

Sedangkan pendapat Medik dan Meddelton yang dikutip oeh Oka A. Yoeti (1996:164) mengenukakan pengertian produk pariwisata sebagai berikut : “as far as the touist concerned the product convers the complete experience from the time the leaves home to time has returns to it” Pendapat Medik dan Meddelton lebih menekankan kepada keterpaduan seluruh unsur bisnis (usaha) pariwisata yang disusun dalam satu bentuk paket wisata yang satu sama lain memiliki unsur pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan dan sejak berangkat meninggalkan rumah sampai kembali ketempat asal.

Dalam kaitan pengertian tersebut, maka produk wisata lebih cenderung kepada pengelolaan usaha-usaha pariwisata yang memilki tiga unsur penting sebagai bentuk wisata pada satu daerah tujuan wisata yaitu :

1. Atraksi dan citra pembentuk satu daerah tujuan wisata;

2. Sarana dan prasarana yang mendukung keberadaan produk wisata tersebut; 3. Aksesibilitas di suatu daerah tujuan wisata

Undang-undang No. 9 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1996 membagi 3 bagian pengusahaan produk wisata kedalam bentuk pengelolaan dan jenis-jenis usaha sebagai berikut :

1. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata

(13)

pantai, gunung, danau dan sebagainya yang telah ditetapkan sebagai obyek dan daya tarik wisata untuk dijadikan sasaran wisata;

b. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya, setiap hasil karya, karsa, cipta manusia yang membentuk berbagai jenis benda, kegiatan, seperti seni olah makanan dan minuman, seni tari, seni tembang, seni karawitan, seni musik, nilai-nilai tradisi, seni rupa, kepurbakalaan, sastra, kerajinan, bahasa, sejarah dan lain-lain sebagai usaha pemanfaatan seni budaya bangsa yang telah ditetapkan sebagai obyek dan daya tarik wisata untuk dijadikan sasaran wisata;

c. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam atau potensi seni budaya seperti wisata goa, panjat tebing, diving, windsurfing, sport, pengenalan budaya suku-suku dan lain-lain untuk dijadikan sasaran wisata bagi wisatawan yang mempunyai minat khusus. 2. Usaha jasa pariwisata

Usaha jasa pariwisata yang meliputi penyediaan jasa perencanaan, jasa pelayanan dan jasa penyelenggaraan pariwisata dengan

a. Jenis usaha jasa pariwisata sebagai berikut : i. Jasa biro perjalanan wisata

ii. Jasa agen perjalanan wisata iii. Jasa impresariat

iv. Jasa konsultan pariwisata dan v. Jasa informasi pariwisata b. Usaha sarana pariwisata, dapat berupa :

i. Penyediaan akomodasi

ii. Penyediaan makanan dan minuman iii. Penydiaan angkutan wisata

iv. Penyediaan sarana wisata

v. Penyediaan sarana wisata tirta dan vi. Penyelenggaraan kawasan pariwisata

2.1.2 Pengertian Kebudayaan

(14)

berkaitan dengan kesenian atau hal-hal yang berkaitan dengan seni, maka kita sering berbicara tentang seni budaya sebagai bagian dari kebudayaan.

Adapun bentuk-bentuk kesenian/seni menurut Djaka Soeryawan (1984:1) : 1. Seni rupa/arsitektur

2. Seni musik/karawitan 3. Seni tari dan padalangan 4. Seni teater

5. Kepurbakalaan dan permuseuman 6. Sastra dan bahasa

7. Filsafat

Dalam perkembangannya di Indonesia kesenian pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk yaitu yang disebut seni tadisional dan seni modern. Pada seni tradisional ditemukan kesenian-kesenian klasik, sedang dalam kesenian modern timbul seni yang disebut kontemporer. Djaka Soeryawan (1984:1) memberikan pendapat mengenai kepurbakalaan atau arkeologi adalah bahan sejarah yang tidak bertulisan diantaranya, bangunan seni pahat/patung, hasil kerajinan, alat-alat kerja, alat-alat angkutan, senjata, perhiasan, baik yang ada dipermukaan bumi atau yang terpendap dalam tanah. Benda-beda yang ada kaitannya dengan kepurbakalaan dan perkembangan sejarah kehidupan bangsa dibagi 3 kelompok yaitu:

1. Beda purbakala yaitu suatu hasil karya pada masa silam berbentuk benda; 2. Benda (peninggalan) sejarah, beda-benda yang ada kaitannya dngan sejarah 3. Benda budaya baik dilihat dari segi struktural dan lain-lain

2.1.3 Pengertian Karakteristik Wisatawan

Karakteristik wisatawan dimaksud adalah yang berkaitan dengan berbagai aspek yang melatarbelakangi perjalanan seseorang (wisatawan) sebagai penentuan dan penyediaan kebutuhan mereka dimasa mendatang sejalan dengan pengalaman mereka ke satu daerah wisata. Beberapa aspek yang perlu diketahui sehubungan dengan perjalanan adalah :

1. Asal wisatawan (negara, benua, daerah) 2. Jenis kelamin/umur

3. Jenis pekerjaan 4. Pendidikan

(15)

8. Frekuensi kunjungan 9. Tujuan perjalanan 10.Pola konsumsi makan 11.Penghasilan wisatawan 12.Jenis cinderamata yang dibeli

2.1.4 Pemberdayaan Masyarakat Pariwisata

Ambar Teguh Sulistiyani berpendapat, secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan, dengan demikian maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai satu proses menuju berdaya atau satu proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memilki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kekuatan/kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya (2004:77)

Pemberdayaan masyarakat pariwisata dimaksud adalah sebagai satu pendekatan yang mengikutsertakan dan meletakan masyarakat sebagai pelaku penting dalan berbagai kegiatan pariwisata. Dalam pemberdayaan dikenal beberapa unsur yang menjadi penggrak agar masyarakat mampu berperan aktif antara lain :

1. Partisipasi (participation) 2. Motivasi (motivation) 3. Keberanian (enourage) 4. Perlindungan (protection) 5. Kesadaran (awareness) 6. Berkembang (enabling)

2.1.5 Pariwisata Berwawasan Lingkungan

Pariwisata berwawasan lingkungan dimaksud adalah penyelenggaraan pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan dengan memperhatikan :

1. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

2. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya;

3. Nilai-nilai agama, adat istiadat, pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;

(16)

5. Keamanan dan ketertiban masayarakat

Hal tersebut diatas ditunjang pula oleh ketentuan pasal 5 undang-undang No.5 Tahun 1990; bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 3. Pemanfaatan secara lestari dumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

2.1.6 Kawasan Pariwisata

Chuk Y Gee (1981:29) mengemukakan pengertian mengenai kawasan (resor) sebagai berikut : ” a resort is considered for vocation travelers, as such, it must have a full compliment of amenities, services products and recretional facilities required by guest. The development of the resort similar type of problems, economic, social, and envirovmental-ecountered ini urban development” Satu resor atau kawasan adalah merupakan satu tempat tujuan wisatawan untuk berlibur, didalamnya dilengkapi dngan berbagai fasilitas, pelayanan, produk wisata dan tempat rekreasi secara terpadu yang dibutuhkan wisatawan.

Menurut Surat Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi RI No.59/PW002?MPPT/85, yang dimaksud dengan kawasan pariwisata adalah : “Kawasan pariwisata adalah setiap usaha komersial yang lingkup kegiatannya menyediakan sarana dan prasarana untuk mengembangkan pariwisata”

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah RI No.67 tahun 1996, tentang penyelenggaraan kepariwisataan disebutkan dalam pasal 96, kegiatan usaha kawasan pariwisata meliputi :

1. Penyewaan lahan yang telah dilengkapi dengan prasarana sebagai tempat untuk menyelenggarakan usaha pariwisata;

2. Penyewaan fasilitas penduduk lainnya;

3. Penyediaan bangunan-bangunan untuk menunjang kegiatan usaha pariwisata dalam kawasan pariwisata.

(17)

2.1.7 Pemasaran Pariwisata

Pengertian pemasaran pariwisata menurut Salah Wasahb, Phd. Yang diterjemahkan oleh Frans Gromag (1988:156) adalah sebagai berikut : Upaya-upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan oleh organisasi pariwisata nasional dan atau badan-badan usaha pariwisata pada taraf internasional, nasional dan lokal, guna memenuhi kepuasan wisatawan baik secara kelompok maupun pribadi dengan maksud meningkatkan pertumbuhan pariwisata.

2.1.8 Sistem Kepariwisataan

Secara umum untuk merumuskan sistem kepariwisataan yang dapat berfungsi dengan baik, inti dari keseluruhan proses pembangunan dan operasional pariwisata terdiri dari dua komponen utama, yaitu sisi permintaan dan sisi sediaan (Gunn, 1988:69). Sub-bab ini akan menjelaskan secara rinci mengenai sediaan dan permintaan pariwisata, terdiri atas penjelasan mengenai analisis sediaan dan permintaan dalam sistem kepariwisataan, komponen sediaan dan permintaan pariwisata, serta penjelasan mengenai input survey dan analisis dalam pengembangan pariwisata.

2.1.9 Analisis Sediaan dan Permintaan dalam Sistem Kepariwisataan

(18)

Gambar 2.1 Komponen Pariwisata

2.1.10 Komponen Sediaan dan Permintaan Pariwisata

Ada banyak literatur yang dapat digunakan dalam merumuskan dan mengidentifikasi komponen-komponen pariwisata. Gunn mengidentifikasi komponen produk pariwisata ke dalam 4 komponen, yaitu atraksi, fasilitas pelayanan, transportasi dan promosi informasi (Gunn, 1988:71). Mill dan Morrison (1992:2) melakukan sedikit kombinasi dengan memasukkan komponen atraksi dan pelayanan ke dalam komponen ”tujuan” (Gunn, 1988:69).

2.1.11 Obyek Wisata

Dalam rangka mensurvey dan mengevaluasi obyek wisata, sangat penting untuk memahami jenis-jenis daya tarik dan aktivitas wisata yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan wisata, dan bagaiman hal ini dapat dikategorikan untuk tujuan analisis (Inskeep, 1991:76). Oleh International Council of Societies of Indusatrial Design (ICSID, 1977), ada beberapa komponen yang dapat menarik kedatangan para wisatawan ke lokasi wisata, atau menarik minat penduduk setempat untuk turut menikmati atraksi yang ditawarkan oleh obyek wisata tersebut, yaitu :

(19)

2. Aktivitas, misalnya kegiatan berburu, menembak, memancing, berselancar, mendaki gunung, bersepeda, berperahu kano, ski air, hiking, tea-walk, dan sebagainya.

3. Struktur buatan manusia, misalnya etnis dan agama, bangunan-bangunan yang megah dan taman-taman yang indah, arsitektur dan arkeologi, galeri dan museum, dan sebagainya.

4. Peristiwa atau acara khusus, seperti misalnya kontes olahraga, pagelaran seni dan budaya, pameran, dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata untuk periode yang singkat (Inskeep, 1991:88)

5. Fisik alam, biasanya merupakan obyek wisata alam seperti gunung, sungai, laut, hutan, flora dan fauna, danau, pantai, lembah, kawah, dan lain-lain.

2.1.12 Sarana Pariwisata

Sarana pariwisata dalam Pembuatan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Pantai Jikumerasa Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku ini meliputi :

1. Akomodasi

Informasi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan akomodasi adalah lokasi, jumlah kamar atau jumlah unit akomodasi, kualitas pelayanan, karakteristik khusus dari fasilitas dan pelayanan yang ditawarkan, rata-rata hunian kamar, rata-rata peluang menginap dalam periode 1 tahun, atau untuk periode musiman. Penilaian terhadap penyediaan akomodasi harus dilakukan baik terhadap rencana fisik dan jenis fasilitas dan pelayanan yang ditawarkan maupun kualitas pelayanan (Inskeep, 1991:115). 2. Tempat-tempat Makan

(20)

dapat diantarkan dalam kondisi yang segar, lezat, dan dingin (Lawson dan Baud-Bovy, 1998:35).

3. Tempat Parkir

Perlu disediakan ruang parkir di luar jalan untuk menangani kendaraan-kendaraan yang berhenti di tempat makan, penginapan, atau tempat belanja, supaya jalan tidak padati oleh kendaraan yang parkir, terutama pada jam-jam ramai (Inskeep, 1991:317). Tempat parkir dapat berupa parkir terbuka atau parkir tertutup, dan berdasarkan letaknya, tempat parkir dapat dibuat bertingkat pada gedung parkir khusus, atau tidak bertingkat (sebidang) pada lahan yang merupakan bagian dari lahan bangunan fasilitas tertentu. Lokasi dan rancangan parkir di luar jalan harus dapat menimbulkan perhatian khusus bagi pemarkir yang akan menggunakannya (Ditjen Perhubungan Darat, 1995:116).

4. Fasilitas Perjalanan

Berbelanja merupakan salah satu aktivitas kegiatan wisata, dan sebagian pengeluaran wisatawan didistribusikan untuk berbelanja. Karenanya fasilitas terhadap aktivitas belanja perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata, bukan hanya sebagai pelayanan wisata, namun juga sebagai obyek wisata yang memiliki daya tarik (Inskeep, 1991:86). Fasilitas dan pelayanan belanja disediakan bagi pengunjung yang ingin membell barang-barang seni, kerajinan tangan, suvenir, barang-barang khas seperti pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Penilaian dalarn penyediaan fasilitas belanja ini perlu dilakukan terhadap ketersediaan barang-barang dan pelayanan yang memadai, lokasinya yang nyarnan dan akses yang baik, serta tingkat harga yang relatif terjangkau (Inskeep, 1991:117).

5. Sarana Pergerakan

(21)

6. Fasilitas umum

Selain sarana yang telah disebutkan di atas, juga diperlukan fasilitas umum sebagal sarana pelengkap. Dalam studi ini fasilitas umum yang akan dikaji meliputi fasilitas-fasilitas umum yang biasa tersedia di tempat-tempat rekreasi di Indonesia, yaitu :

a. Telepon umum b. WC umum c. Tempat ibadah

2.1.13 Jasa Pariwisata

Jasa pariwisata, sebagaimana jasa lainnya memiliki sifat khas, yaitu tidak bisa ditimbun dan akan dikonsumsi pada saat Jasa tersebut dihasilkan (Yoeti, 1996:80). Dari sifat ini dapat pula dikatakan bahwa jasa pariwisata adalah pelayanan wisata yang diberikan kepada wisatawan. Analisis terhadap pelayanan wisata merupakan hal penting karena pengeluaran yang dihabiskan oleh wisatawan untuk membayar pelayanan memberikan input utama dalam analisa ekonomi kepariwisataan (Gunn, 1988:71). Jasa Pariwisata meliputi jasa perencanaan, jasa pelayanan, dan Jasa penyelenggaraan pariwisata (UU No. 9 Tahun 1990 Pasal 8). Komponen pelayanan jasa wisata yang akan dikaji dalam studi ini meliputi:

2.1.13.1 Biro Perjalanan Wisata (Tour and Travel)

Biro perjalanan wisata diperlukan untuk memudahkan wisatawan dalam mendapatkan layanan informasi, transportasi, dan juga pemandu wisata, sebagai suatu paket perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata melibatkan agen-agen khusus yang menawarkan program-program tur wisata, sekaligus menangani kebutuhan wisatawan, misalnya dalam hal pelayanan transportasi, tiket perjalanan, pemesanan hotel, dan pelayanan di dalam dan di luar lingkup travel itu sendirl (Inskeep, 1991:116). Fungsi biro periklanan wisata, atau kadang disebut juga dengan agen travel, salah satunya adalah sebagai organisator. Disini agen travel berusaha menciptakan daerahdaerah tujuan baru dan mengorganisir orang-orang untuk melakukanperjalan wisata ke daerah tujuan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Tailor-made, agen travel menyiapkan suatu rencana tur atas permintaan langganannya. 2. Ready-made tour, agen travel membuat rencana tur untuk dijual kepada langganan

yang sama sekali belum dikenalnya dan dijual secara bebas.

(22)

a. Sumber informasi bagi calon wisatawan tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi serta sarana wisata yang tersedia di dalamnya,

b. Memberi saran pada calon wisatawan tentang macam-macam daerah tujuan dan program yang akan diikuti,

c. Menyiapkan transportasi serta pengurusan barang-barang yang akan dibawa, d. Memberikan pelayanan setelah sampai, di tujuan wisata seperti membantu

langganan dalam reservasi penginapan, merencanakan tur, mengantar ketempat penukaran uang dan bank bagi wisatawan asing, dan sebagainya (Yoeti,1996:119-123).

2.1.13.2 Pusat Informasi

Dalam. pengelompokan komponen-komponen pariwisata yang dibuat oleh Gunn, informasi dan promosi merupakan pelayanan yang sejalan. Dengan adanya informasi, orang dapat memberikan penilaian yang berkaitan dengan pengalaman dari perjalanan wisata yang akan mereka lakukan, dan penilaian ini akan mempengaruhi keputusan pilihan tujuan wisata mereka (Gunn, 1988:71). Karenanya untuk menarik minat orang untuk berwisata ke suatu tempat, informasi yang diberikan harus memberikan nilai promosi yang menggambarkan daya tarik obyek wisata. Untuk memudahkan promosi, dapat digunakan jenis-Jenis material promosi seperti brosur, booklets, guide-book, folder, leaflets, dan sebagainya (Yoeti, 1996:192-193). Material promosi ini juga bisa disediakan oleh biro perjalanan wisata untuk menciptakan koordinasi dan sinkronisasi antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya.

2.1.13.3 Penukaran uang dan fasilitas keuangan

Untuk pariwisata yang memiliki target pasar mancanegara, adanya fasilitas penukaran uang terntu merupakan hal penting untuk mensolusikan masalah perbekalan mata uang antar negara. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan layanan penukaran uang adalah jenis mata uang yang harus disediakan. Untuk itu perlu diadakan evaluasi terhadap wisatawan mancanegara, dari negara mana saja mereka berasal (Inskeep, 1991:118).

2.1.13.4 Penyediaan perlengkapan wisata

(23)

(Gunn, 1988:134-135). Karena itu perlu disediakan perlengkapan wisata dalam penyelenggaraan pariwisata, agar memudahkan pengunjung untuk melakukan aktivitas wisata.

2.1.13.5 Pemandu Wisata

Untuk bentuk-bentuk tertentu, dalam sistem kepariwisataan mungkin memerlukan jenis-jenis fasilitas dan pelayanan wisata khusus. Untuk tiap area dan jenis pariwisata, fasilitas dan pelayanan yang spesifik perlu diidentifikasikan (Onskeep, 1991:119). Berkaitan dengan wilayah studi yang memiliki daya tarik wisata berupa aktivitas jelajah cagar alam, diperlukan suatu jasa pemandu wisata yang berperan sebagai penunjuk jalan bagi pengunjung yang melakukan aktivitas penjelajahan tersebut.

2.1.13.6 Pengawas Pantai

Pertimbangan terhadap perlunya penyediaan pengawas pantai ini mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Pariwisata (1991, pasal 2) yang menyatakan bahwa setiap usaha pariwisata yang memilki kawasan/resor dan obyek wisata di laut, pantai, darat termasuk danau, sungai, hotel berbintang/hotel melati yang memilki kolam renang, kesemuanya digolongkan mengandung resiko kecelakaan tinggi yang dapat menimpa wisatawan/pemakai jasa sehingga diwajibkan menyediakan tenaga pemandu keselamatan.

2.1.14 Prasarana dan Sarana Lingkungan

Prasarana yang memadai merupakan sesuatu yang penting bagi keberhasilan pengembangan pariwisata, dan pada umumnya, juga menjadi faktor kritis di negara atau wilayah yang belum berkembang, yang seringkali memiliki keterbatasan untuk infrastruktur (Heraty dalam Inskeep, 1991:119). Prasarana dasar yang melayani komunitas penduduk lokal di suatu area seringkali juga bisa melayani kegiatan pariwisata hanya dengan sedikit penambahan jumlah pelayanan. Demikian sebaliknya prasarana yang dibangun untuk kegiatan pariwisata dapat melayani kebutuhan.

Penduduk lokal secara umum (Eukeep, 1991:120). Prasarana kegiatan pariwisata yang akan dibahas dalam studi ini mencakup:

1. Jalan 2. Air bersih 3. Air buangan

(24)

5. Drainase

6. Sarana kegiatan nelayan.

2.1.15 Wisata Alam

Gunn (1994) mengutarakan wisata alam adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya alam yang terdiri dari 5 bentukan dasar alam yaitu : air, topografi, flora, fauna, dan iklim. Bentuk sumberdaya alam yang sangat umum untuk dikembangkan adalah air, seperti telaga warna, danau, laut, sungai, air terjun, dan sebagainya. Potensi alam seperti daerah yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu dan mengalami modifikasi lanskap akan sangat menarik bagi wisata. Flora dan fauna endemik yang sangat bervariatif banyak menarik wisatawan, bentuk wisata mulai dari kegiatan viewing, watching, hingga berburu (hunting) hewan. Bahkan perbedaan iklim pun dapat membuka peluang industri pariwisata.

Harold (1997) mengutarakan pariwisata alam mencakup kegiatan memasarkan bentang alam dan kehidupan liar kepada pengunjung dan wisatawan. Taman Nasional dan kawasan lindung merupakan sumber daya utama bagi pariwisata alam, yang semakin meningkat arti ekonominya, karena menghasilkan devisa dan manfaat ekonomi bagi pelestarian habitat alam dan spesies yang hidup didalamnya. Menurut Gunn (1994) peningkatan kepedulian terhadap sumberdaya alam secara universal menyebabkan timbulnya bentuk kegiatan wisata yang berbasis kepada alam. Salah satu bentuk kegiatan wisata alam tersebut adalah ekowisata atau ecotourism. Barnesetal (1992) mengutarakan kegiatan ekowisata dapat di identifikasikan sebagai penggunaan daerah alam oleh pengunjung berjumlah kecil yang memiliki kemampuan dan pengetahuan dengan tujuan untuk mempelajari suatu pengalaman baru. Menurut Jacobs (1995) ekowisata adalah salah satu bentuk pendekatan kegiatan wisata yang bertujuan untuk meminimalkan kerusakan dan menggunakan pendekatan masyarakat lokal. Motivasi dalam melakukan perjalanan wisata adalah untuk kesenangan, kekuasaan, pengalaman spiritual, maupun komersial.

2.1.16 Wisata Budaya

(25)

Bentuk kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dari sumberdaya wisata budaya antara lain dengan membuat interpretasi pengunjung dan melakukan kunjungan pada taman pra-sejarah dan perlindungan, pusat kebudayaan, taman bersejarah, festival kebudayaan, festival pendidikan, pusat konvensi, pusat kesehatan, lain sebagainya. Berdasarkan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS, 1999) warisan/peninggalan (heritage) merupakan konsep yang luas dan meliputi baik lingkungan alam dan lingkungan budaya. Konsep tersebut mencakup lanskap, tempat bersejarah, tapak dan lingkungan buatan, maupun keanekaragaman hayati, hasil koleksi, masa lalu dan kegiatan kebudayaan yang masih dilakukan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Warisan merupakan hasil rekaman dan ekspresi dari suatu proses panjang pengembangan sejarah, memperlihatkan inti dari keragaman bangsa, wilayah, identitas penduduk asli dan lokal dan merupakan bagian yang integral dengan kehidupan modern. Warisan tertentu dari setiap komunitas merupakan hal tak dapat digantikan dan sangat dasar penting untuk pengembangan sekarang dan masa depan, merupakan titik referensi dinamik instrumen positif untuk pertumbuhan dan perubahan. Disebutkan pula bahwa tiga alasan melakukan kegiatan wisata budaya, yaitu : memperoleh pengalaman wkatu atau tempat, belajar, dan membagi pengetahuan dengan orang lain. Berdasarkan ICOMOS (1999) kegiatan wisata memberikan pengalaman pribadi, tidak hanya dari hasil yang diperoleh dari masa lalu tetapi juga dari kehidupan kontemporer dan masyarakat lain.

2.1.17 Komponen Pengembangan Pariwisata

Dalam pengembangan pariwisata, untuk memenuhi keinginan wisatawan agar memperoleh kepuasan dalam rangka perjalanan wisatanya, diperlukan pelayanan dan fasilitas sejak keberangkatan, ditengah perjalanan serta ditempat tujuan. Pelayanan dimaksud bisa melibatkan sektor-sektor dalam berbagai bidang, baik yang berdiri sendiri atau satu rangkaian yang mencakup berbagai bidang sehingga merupakan suatu paket atau suatu industri (pariwisata), seperti transportasi, akomodasi, restoran, katering, toko-toko cinderamata, pos, dan telekomunikasi (Kaelany HD, 2002).

Untuk itu pariwisata harus dilihat sebagai sistem keterkaitan antara komponen permintaan (demand) dan sediaan (supply). Komponen permintaan terdiri atas wisatawan domestik atau wisatawan mancanegara, sedangkan komponen sediaan pariwisata terdiri atas aksesibilitas, obyek dan daya tarik wisata, fasilitas dan utilitas, keamanan, dan komponen lainnya.

(26)

Wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata terdiri dari para wisatawan menginap dan tidak menginap. Besarnya proporsi antara pengunjung yang menginap dan tidak mnginap dipengaruhi oleh aksesibilitas daerah wisata tersebut terhadap pasar/daerah asal wisatawan, ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, jumlah dan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata (ODTW), ketersediaan fasilitas akomodasi dan lain-lain.

Wisatawan yang berkunjung dapat juga dibagi menjadi wisatawan domestik (nusantara) dan wisatawan mancanegara. Jumlah masing-masing jenis wisatawan sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk wisata yang dikembangkan di daerah tersebut.

Prosentase antara wisatawan mancanegara yang datang langsung kedaerah tersebut dengan yang kedatangannya melalui daerah lain dipengaruhi oleh tingkat kemudahan pencapaian daerah tersebut dari negara lain, apakah mempunyai pelabuhan udara atau pelabuhan laut sebagai pintu gerbang untuk masuk ke daerah wisata tersebut.

2. Aksesibilitas

Aksesibilitas merupakan fungsi dari jarak atau tingkat kemudahan untuk mencapai daerah wisata dengan berbagai kawasan tujuan wisatanya. Dalam pariwisata konsumen (wisatawan) harus datang ke daerah dimana terdapat produk wisata untuk mengkonsumsi produk-produk wisata tersebut terutama obyek dan daya tarik wisata. Oleh karena itu tingkat kemudahan pencapaian ke daerah wisata tersebut dari daerah dan negara lain asal wisatawan akan mempengaruhi perkembangan daerah wisata tersebut. Jarak dan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi ke daerah wisata tersebut juga akan mempengaruhi jumlah kedatangan wisatawan. Kenyamanan selama perjalanan menuju daerah wisata dan kawasan tujuan wisata tersebut harus diperhatikan.

2.1.18 Obyek dan Daya Tarik Wisata

Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) merupakan faktor utama yang mempengaruhi atau mendorong seseorang meninggalkan daerah asal untuk mengunjungi suatu daerah. ODTW yang dapat dikembangkan di suatu daerah wisata tergantung pada potensi yang terdapat didalamnya antara lain berupa potensi sumber daya alam dan potensi budaya. ODTW yang akan dikembangkan bisa terdiri dari site (tapak) dan event (kegiatan).

(27)

obyek mempunyai potensi menjadi daya tarik, tetapi daya tarik tersebut baru terbentuk bila obyek tadi ditunjang oleh unsur-unsur lain seperti aksesibilitas dan fasilitas penunjang (Pusat Penelitian Kepariwisataan Lembaga Penelitian ITB, 1997).

Daya tarik tidak tercipta hanya oleh suatu obyek dan fasilitas, sarana dan prasarana pendukung saja, namun lingkungan dimana obyek tersebut berada sangat menentukan apakah obyek dan segala penunjangnya dapat menjadi daya tarik. ODTW dapat berupa alam, budaya, tata hidup dan sebagainya, yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi atau menjadi sasaran bagi wisatawan. Adapun yang dimaksud daya tarik wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat atau disaksikan, seperti danau, pemandangan, pantai, gunung, candi, monumen, dan lain-lain (Yoeti, 1985). Elemen dasar dari komponen sumberdaya alam yang dapat dikembangkan menjadi ODTW terdiri atas iklim, udara, bentang alam, flora dan fauna, pantai, pantai, keindahan alam, keanekaragaman biota laut, pertanian, dan lain-lain. Berbagai ragam kombinasi dari elemen sumberdaya alam dapat membentuk suatu lingkungan yang dapat menarik wisatawan. Kualitas sumberdaya alam harus selalu dijaga untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan permintaan untuk pariwisata. Komponen atau kekayaan budaya yang memungkinkan untuk menarik wisatawan datang berkunjung ke daerah wisata meliputi kesenian, pola kehidupan sosial masyarakat, daya tarik sosial budaya yang lainnya.

2.1.19 Perencanaan Pariwisata

Menurut Gunn (1994) perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan komuniti dengan dampak negatif minimal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perencanaan yang lebih baik dan terintegrasi pada semua aspek pengembangan wisata. Keberadaan suatu aset sumberdaya alam dan linkungan memberi suatu wilayah kemampuan atau peluang untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Penentuan kawasan wisata sangat erat dengan wilayah dari lokasi atraksi yang menjadi andalan utama tersebut, sehingga perlu dilakukan suatu cara untuk penetapannya.

(28)

pengunjung lebih menjadi tolak ukur kesuksesan dari suatu daerah tujuan wisata dibanding dari kuantitas atau jumlah pengunjung. Daerah kunjungan harus memperhatikan atraksi dan pelayanan yang akan dapat meningkatkan pengalaman dan kepuasan pengunjung. Lebih lanjut dalam Gunn (1994) diutarakan bahwa perencanaan untuk wisata harus dilakukan pada tiga skala, yaitu :

1. Skala tapak (site scale), yang telah banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti resort, marina, hotel, taman dan tapak wisata lainnya.

2. Tujuan (destination scale), dimana atraksi-atraksi dan obyek wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah daerah, dan sektor swasta yang dilibatkan. 3. Wilayah atau bahkan negara (region scale), dimana pengembangan lebih terarah pada

kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumberdaya yang harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.

Perencanaan wisata pada kawasan yang dilindungi diperlukan untuk menghindari dampak samping yang tidak diinginkan, seperti pandangan penduduk lokal mengenai kawasan tersebut ditetapkan bagi keuntungan orang asing bukan untuk mereka, rusaknya kawasan, keuntungan ekonomi tidak sesuai harapan sehingga dibuat bentuk alternatif yang tidak menjaga kelestarian kawasan, serta pembangunan tidak tepat yang dilakukan pemerintah. Pengembangan dan perencanaan di kawasan taman nasional adalah salah satu upaya untuk meningkatkan keberdaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Mackinnon et al, 1993).

2.1.20 Implikasi Pariwisata terhadap Perekonomian

Keberhasilan dari suatu kegiatan pariwisata salah satunya dapat dipandang dari sisi perekonomian. Artinya, sejauh mana pariwisata memberikan implikasi positif di bidang perekonomian dapat dimaksimumkan dan sejauh mana dampak negatifnya dapat diantisipasi, dikurangi bahkan dihilangkan. Adapun dampak positif yang diberikan oleh kegiatan pariwisata (Soekadijo, 1995) adalah memberikan pendapatan yang besar (devisa dan pajak) bagi suatu negara yang mengembangkan pariwisata sebagai industri. Kemudian, memberikan “multiplier effect” yang besar, misalnya : bagi pekerja transport, petani sebagai supplier sayuran dan buah-buahan serta nelayan sebagai supplier ikan yang dikonsumsi hotel, atau tempat peristirahatan lainnya, pegrajin souvenir dapat memasarkan hasil kerajinannya, dan lain-lainnya.

(29)

ekonomi dan standar hidup masyarakat lokal serta pembangunan ekonomi regional maupun nasional. Sedangkan dampak negatifnya adalah terpuruknya ekonomi suatu daerah yang menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan dalam PAD karena dipengaruhi oleh ekonomi dan keamanan global dalam suatu negara. Kemudian, ketidaksiapan suatu daerah yang memiliki banyak obyek dan daya tarik wisata (ODTW) dalam pengembangannya mengakibatkan terjadi banyak utang daerah dan kebocoran yang dipengaruhi oleh letak geografis, struktur perekonomian, ukuran negara, dan lainlain.

Pengaruh langsung dampak ekonomi pada kawasan wisata adalah pengeluaran wisatawan. Wisatawan mengeluarkan uang untuk penggunaan makanan, minum, belanja, pakaian, photografi, pertunjukan dan souvenir. Keuntungan yang ditimbulkan dengan pembangunan paiwisata adalah menyediakan lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah (Mc Intosh, 1990, Gunn, 1998). Salah satu peluang bagi masyarakat sekitar suatu obyek wisata alam adalah kesempatan kerja pada obyek wisata baik sebagai staff maupun tenaga buruh kerja. Dikembangkannya suatu obyek wisata akan memberi dampak positif bagi kehidupan perekonomian masyarakat yaitu membuka kesempatan berusaha seperti penyediaan makanan, minuman dan usaha transportasi baik tradisional maupun konvensional (Supriana, 1996). Disamping terbukanya kesempatan usaha tersebut diharapkan terjadi interaksi positif antara masyarakat dan obyek wisata alam. Peran serta masyarakat dapat terwujud oleh karena manfaatnya dapat secara langsung dirasakan melalui terbukanya kesempatan kerja dan usaha jasa wisata yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

Partisipasi masyarakat sekitar obyek wisata alam dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa baik di alam maupun di luar kawasan obyek wisata, antara lain : jasa penginapan, penyediaan/usaha warung makanan dan minuman, penyediaan toko souvenir/cindera mata dari daerah tersebut, jasa pemandu/penunjuk jalan, menjadi pengawas perusahaan/penguasaan wisata alam dan lain-lain (Supriana,1996).

(30)

Berdasarkan dampak ekonomi positif dari pariwisata di atas maka peranan pariwisata dapat menyumbang terhadap pembangunan daerah menurut Rosyidie (1995), pariwisata dapat menyumbang terhadap pembangunan wilayah melalui peran positif berikut :

1. Dengan meningkatkan pendapatan, pariwisata meningkatkan pemenuhan dari kebutuhan dasar penduduk setempat, ditingkat nasional melalui perolehan devisa pariwisata mengurangi ketergantungan ekonomi luar.

2. Pariwisata mengurangi ketidakmerataan pendapatan antar wilayah.

3. Menciptakan pekerjaan dengan keramah tamahan dan sektor transportasi, pariwisata dapat mengurangi masalah pengangguran.

4. Pariwisata dapat mendorong sektor yang lain, seperti menaikkan produksi pertanian lokal, meningkatkan produksi perikanan, merangsang sektor industri dan bangunan. 5. Pariwisata meningkatkan prasarana dan sarana untuk penduduk setempat.

6. Pariwisata meningkatkan akses terhadap pusat pasar oleh jaringan jalan regional dan negara.

2.1.21 Ananlisis SWOT

Analisis SWOT merupakan analisis yang menggunakan metoda analisis deskriftif kualitatif. Dalam menganalisisnya menggunakan interpretasi dari apa-apa yang ada disuatu daerah baik dari potensi, masalah, kendala dan tantangan yang nantinya dapat membantu dalam pembuatan konsep dan rencana.

2.1.22 Analisis Cluster

Analisis cluster merupakan pengelompokan suatu obyek atau variabel menjadi satu atau beberapa kelompok yang mempunyai kesamaan dalam satu kelompok. Pengelompokan/pemisahan dilakukan berdasarkan similarity (kesamaan) antarobyek similaritiy (kesamaan) diperoleh dengan meminimalkan jarak antarobyek dalam kelompok (within cluster) dan memaksimalkan jarak antar kelompok (between cluster). Terdapat dua metode pembentukan cluster yang sering digunakan, yaitu :

1. Metode hierarki (Hierarchical Methods) 2. Metoda partisi (Partitioning Methods)

(31)

Pada metoda partisi, posisi obyek di dalam suatu cluster tidaklah tetap. Artinya, meskipun suatu obyek telah masuk ke dalam suatu cluster, obyek tersebut dapat mengalami relokasi (pengelompokkan kembali) ke dalam cluster lain apabila ternyata karakteristik awal pengelompokkan tidak akurat.

2.2 TINJAUAN KEBIJAKAN

2.2.1 Kabupaten Buru Dalam Kebijakan Penataan Ruang Nasional (RTRWN)

Arahan pembangunan nasional Indonesia ditekankan pada pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Pembangunan di sektor yang lain pada dasarnya merupakan penunjang bagi peningkatan perekonomian nasional dan peningkatan kondisi sosial masyarakat. Di bidang fisik, pembangunan fisik pada dasarnya merupakan penunjang dari arahan kedua pembangunan yang telah disebutkan yaitu pertumbuhan ekonomi dan sosial. Dengan kata lain untuk tercapainya arahan kebijaksanaan pembangunan sosial dan ekonomi perlu adanya pembangunan fisik.

Berdasarkan hal tesebut maka pembangunan fisik perlu diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Arahan pembangunan fisik nasional pada dasarnya ditekankan pada pembangunan fisik yang bersifat spasial/keruangan. Strategi nasional pengembangan pola tata ruang akan dikembangkan melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial di masing-masing daerah. Rencana Tata Ruang daerah yang disusun atas dasar strategi tersebut akan memegang peranan yang penting dalam koordinasi pembangunan di daerah, sehingga perlu dimantapkan dan disempurnakan serta selalu diikuti ketentuan-ketentuannya. Perencanaan tata ruang sendiri dilaksanakan dalam beberapa tingkatan sesuai dengan lingkup wilayah dan kedalaman tinjauan pemanfaatan ruang. Pada tingkat tertinggi perencanaan tata ruang dilakukan dalam ruang lingkup nasional atas dasar tinjauan pemanfaatan ruang secara makro. Hasilnya diwujudkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang selanjutnya diwujudkan lagi dalam lingkup wilayah yang lebih kecil hingga ke dalam ruang lingkup kawasan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur dan pola ruang.

2.2.1.1 Kebijakan Struktur Ruang

(32)

1. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhirarki;

2. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional

Rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi : 1. Sistem perkotaan nasional;

2. Sistem jaringan transportasi nasional; 3. Sistem jaringan energi nasional;

4. Sistem jaringan telekomunikasi nasional; 5. Sistem jaringan sumber daya air.

1. Sistem Perkotaan Nasional

Sistem perkotaan nasional terdiri atas PKN, PKW, dan PKL. PKN dan PKW ditetapkan dalam PP no 26 tahun 2008, PKL ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan menteri. RTRWN juga mengatur penentuan wilayah-wilayah yang merupakan kawasan yang memiliki sifat strategis bagi kepentingan nasional (PKSN) seperti kepentingan ekosistem, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, kawasan lindung dan kawasan tertinggal. yaitu wilayah di perbatasan.

PKN ditetapkan dengan kriteria :

1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;

2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan atau

3. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi.

PKW ditetapkan dengan kriteria :

1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN;

2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala provinsi atau yang melayani beberapa kabupaten; dan atau

3. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi skala provinsi atau melayani beberapa kabupaten.

(33)

1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala kabupaten atau beberapa kecamatan;

2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Berdasarkan RTRWN, untuk provinsi Maluku, kota Ambon merupakan PKN dan untuk kabupaten Buru yang termasuk dalam struktur perkotaan nasional adalah di Kota Namlea (PKW) dengan tahap pengembangan II yaitu tahun 2015 – 2019 dengan program utama pengembangan dan peningkatan fungsi.

2. Sistem Jaringan Transportasi Nasional

Sistem jaringan transportasi nasional menurut RTRWN terdiri atas sistem jaringan transportasi darat, sistem jaringan transportasi laut dan sistem jaringan transportasi udara. Rencana pengembangan sistem tarnsportasi yang akan dikembangkan untuk provinsi maluku adalah jaringan jalan lintas dan penyebrangan kepulauan Maluku yang direncanakan dilaksanakan tahun 2008 – 2019.

3. Sistem Jaringan Energi Nasional, Sistem Jaringan Telokomunikasi Nasional Dan Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Sistem jaringan energi nasional terdiri dari jaringan pipa minyak dan gas bumi, pembangkit listrik dan jaringan transmisi tenaga listrik. Sistem jaringan telekomunikasi nasional terdiri dari jaringan teresterial dan jaringan satelit. Berdasarkan RTRWN kebijakan yang ditetapkan dalam pengembangan sistem energi nasional adalah pengembangan jaringan transmisi di kepulauan maluku yang direncanakan dilakukan dalam periode 2015 – 2024.

Kebijakan pengembangan sistem telekomunikasi nasional untuk provinsi Maluku adalah pengembangan jaringan pelayanan feeder dan pulau-pulau di Nusa Tenggara-Maluku Papua yang akan dilaksanakan dalam periode 2020 – 2024, pelayanan feeder di pulau-pulau Maluku- Maluku Utara- Papua Barat – Papua yang akan dilaksanakan pada periode 2015 – 2019. Sistem jaringan air nasional di provinsi Maluku terdiri dari wilayah sungai:

1. pulau Buru;

2. pulau Ambon – Seram; 3. Kepulauan Kei – Aru;

4. Kepulauan Yamdena – Wetar.

(34)

2.2.1.2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional

Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang meliputi : 1. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung; 2. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya;

3. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional.

1. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Lindung Kawasan lindung nasional terdiri atas :

1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya yang mencakup kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air;

2. kawasan perlindungan setempat mencakup sempadan pantai, sungai, kawasan sekitar danau atau waduk dan ruang terbuka hijau kota;

3. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya yang mencakup : kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan margasatwa laut, cagar alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut, taman wisata alam dan taman wisata laut, taman hutan raya, dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

4. Kawasan rawan bencana alam terdiri atas kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir;

5. kawasan lindung geologi terdiri atas kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam geologi dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap tanah; 6. kawasan lindung lainnya, mencakup cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan

perlindungan plasma nutfah, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.

Dalam kebijakan RTRWN kawasan lindung yang terdapat di Provinsi Maluku meliputi :

1. Suaka margasatwa: Pulau Baun, Pulau Kobror dan tanimbar;

2. cagar alam : Pulau Nustaram, Pulau Nuswotar, Masbait, Daab, Pulau; Larat, Bekau Huhun, Tafermaar, Gunung Sahuwai, Masarete, Tanjung Sial;

3. Cagar alam laut: Kepulauan Aru Tenggara, Laut Banda; 4. Taman nasional Manusela;

5. taman wisata alam laut banda, p. kasa, p. Masegu dan p. Pombo.

(35)

rehabilitasi dan pemantapan fungsi kawasan hutan lindung nasional, rehabilitasi dan pemantapan fungsi serta pengembangan pengelolaan kawasan taman buru nasional.

2. Kebijakan Pengembangan Kawasan Budidaya

Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan kawasan budi daya terdiri atas kawasan peruntukan hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman dan peruntukan lainya.

Kebijakan pengembangan kawasan budi daya meliputi :

1. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya; 2. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung

dan daya tampung lingkungan.

Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi :

1. menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya lam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;

2. mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta prasaran secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya;

3. mengembnagkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;

4. mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional;

5. mengembangkan pulau-pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skal ekonomi, dan

6. mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan/atau landas kontinen untuk meningkatkan perekonomian nasional.

(36)

1. membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; 2. mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan

pemanfaatan ruang secara vertikal dan kompak;

3. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% dari luas kawasan perkotaan;

4. membatasi perkembangan kawasn terbangun di kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya, dan

5. Mengembangkan kegiatan budi daya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau kecil.

3. Kebijakan Pengembangan Kawasan strategis nasional

Kawasan strategis nasional adalah kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional dan disebut sebagai kawasan andalan. Kawasan strategis nasional ditetapkanberdasarkan kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan SDA dan/atau teknologi dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan andalan terdiri atas kawasan andalan darat dan kawasan andalan laut.

Berdasarkan RTRWN di propinsi Maluku terdapat 5 kawasan andalan yaitu:

1. Kawasan seram dengan sektor unggulan pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan dan pariwisata;

2. Kawasan Kei-Aru – Pulau Wetar-Pulau Tanimbar dengan sektor unggulan perikanan, pertanian, kehutanan, perkebunan dan industri;

3. Kawasan Buru dengan sektor unggulan perkebunan, perikanan, pertanian dan pariwisata;

4. Kawasan andalan laut Banda dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan dan pariwisata;

5. Kawasan andalan laut arafuru dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan laut, pertambangan dan pariwisata.

(37)

dan kawasan yang direncanakan pada periode 2020 – 2024, dan untuk pariwisata kebijakan berupa pengembangan kawasan yang direncanakan pada periode 2015-2019.

Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional meliputi :

1. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional;

2. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara

3. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional;

4. Pemanfaatan SDA dan/teknologi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

5. Pelestarian dan peningkatan sosial budaya bangsa;

6. Pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer dan ramsar, dan

7. Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.

2.2.2 Kabupaten Buru Dalam Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)

Maluku Kebijakan pembangunan provinsi Maluku tertuang dalam rencana Tata Ruang

Wilayah provinsi Maluku untuk kurun waktu 2007 – 2027.

2.2.2.1 Rencana Struktur Ruang Wilayah Provinsi Maluku

Rencana Struktur Ruang Wilayah diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan wilayah seperti sistem pusat-pusat perkotaan dan perdesaan, pusat-pusat permukiman, hirarki sarana dan prasarana wilayah, seperti sistem jaringan transportasi.

(38)

1. Sistem Pusat Permukiman Perdesaan dan Perkotaan

Untuk kurun waktu 20 (dua puluh) tahun yang akan datang sesuai dengan dimensi waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, pengembangan kota-kota di Provinsi Maluku akan tetap mengacu pada hirarki fungsional sesuai RTRWN antara lain : Pusat Kegiatan Nasional/PKN, Pusat Kegiatan Wilayah/PKW, Pusat Kegiatan Lokal/PKL, Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN. Namun mengingat beberapa pusat gugus pulau mempunyai fungsi lebih tinggi daripada PKL, serta belum ditetapkan sebagai PKW dalam RTRWN, ditetapkan sebagai PKSP (Pusat Kegiatan Strategis Provinsi), dimasa datang diusulkan untuk menjadi PKW sesuai dengan perkembangannya serta skala pelayanannya.

2. Hierarki Kota-Kota

Berdasarkan kebijakan yang tertuang dalam RTRWN dan berdasarkan hasil analisis dan kecenderungan perkembangan pusat-pusat kegiatan di wilayah Provinsi Maluku, sistem hirarki perkotaan di Provinsi Maluku akan dikategorikan dalam 5 (lima) kelompok berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu :

1. Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional (PKN), yaitu kota atau perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan skala nasional, disamping merupakan pintu gerbang bagi keluar masuknya arus barang dan jasa, juga merupakan simpul perdagangan internasional;

2. Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW), yaitu kota atau perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan atau kabupaten;

3. Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan strategis nasional (PKSN), yaitu kota atau perkotaan yang mempunyai fungsi pelayanan khusus dalam menunjang sektor strategis nasional, menunjang pengembangan wilayah baru atau penyebaran kegiatan ekonomi dan berfungsi sebagai daerah penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat kegiatan yang sudah ada;

(39)

5. Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan lingkungan (PKL), yaitu kota atau perkotaan yang mempunyai fungsi pelayanan dalam melayani beberapa kota yang berhirarki lebih rendah.

Perwilayahan Pembangunan di Provinsi Maluku menggunakan konsep gugus pulau. Setiap gugus pula memiliki satu pusat dan wilayah pelayanan masing-masing. Dalam RTRW provinsi Maluku telah ditetapkan 12 gugus pulau dan Kabupaten Buru termasuk gugus pulau I.

Tabel 2.1 Gusus Pulau, Fungsi dan Prioritas Pengembangan dan Rencana Pengembangan Infrasrtuktur

Sistem kota-kota di provinsi Maluku dimantapkan berdasarkan hirarki dan fungsi kota. Dalam sistem kota tersebut kedudukan Kabupaten Buru adalah sebagai berikut

Tabel 2.2 Rencana Fungsi Pusat Permukiman Provinsi Maluku

Sumber : RTRW Provinsi Maluku 2007-2027 Keterangan :

a. Pusat administrasi provinsi b. Pusat administrasi kabupaten/kota c. Pusat perdagangan, jasa dan pemasaran d. Pusat perhubungan dan komunikasi e. Pusat produksi pengolahan

f. Pusat pelayanan sosial (kesehatan, pendidikan, dll) g. Pusat pendidikan tinggi

h. Pusat kegiatan pariwisata i. Pusat pertahanan dan keamanan

Rencana Kebijakan Pengembangan PKW :

1. Penataan ruang kota melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tata ruang kota;

2. Penyediaaan prasarana perkotaan dengan pendekatan program pembangunan prasarana kota terpadu;

(40)

4. Peningkatan aksesibilitas ke wilayah regional, nasional maupun internasional yang dilayani melalui pengembangan jaringan transportasi laut dan udara, khususnya bagi pusat-pusat pengembangan wilayah di masing-masing Gugus Pulau yang berfungsi sebagai Pintu Jamak (Multy Gate).

Rencana Kebijakan Pengembangan PKL :

1. Penyediaaan prasarana perkotaan dengan pendekatan program pembangunan prasarana kota terpadu;

2. Peningkatan aksesibilitas ke wilayah belakang yang dilayani melalui pengembangan jaringan jalan darat dan laut;

3. Penataan ruang kota melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tata ruang kota yang berbasis mitigasi bencana.

Penetapan Kawasan Strategis Provinsi

Kawasan strategis provinsi di Provinsi Maluku adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap :

1. Tata ruang di wilayah sekitarnya;

2. Kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya;. dan/atau 3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Jenis kawasan strategis, antara lain adalah :

1. Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, yang menjadi kewenangan pemerintah pusat;

2. Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; 3. Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya;

4. Kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi;

(41)

Tabel 2.3 Kawasan Andalan Kabupaten Buru

2.2.2.2 Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Wilayah

Pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi Propinsi Maluku mengacu pada tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah Provinsi Maluku yang pesat dalam lingkup antar wilayah (makro) dan tujuan untuk mencapai pertumbuhan yang serasi dalam lingkungan intra-wilayah (mikro) Provinsi Maluku.

Dalam rencana pengembangan sistem transportasi di Provinsi Maluku perlu memperhatikan gerbang-gerbang utama wilayah (multy gate) sebagai simpul wilayah atau pintu utama yang menghubungkan Provinsi Maluku dengan provinsi lain dan dengan luar negeri. Pola pengembangan sistem transportasi Provinsi Maluku adalah sistem transportasi yang terpadu antara transportasi laut, darat dan udara serta terintegrasi dengan tata ruang Provinsi Maluku yaitu:

1. Pola pokok penyebaran gerbang utama wilayah pada masa yang akan datang akan ditekankan penerapannya pada pusat-pusat pengembangan wilayah di masing-masing Gugus Pulau, diharapkan adanya pengembangan sarana dan prasarana berupa penambahan kapasitas dan pembangunan infrastruktur baru. Pengembangan gerbang utama wilayah yaitu melalui moda jalan darat: gerbang wilayah yang dikembangkan adalah pada seluruh kota dan ibukota kabupaten. melalui moda penyeberangan laut: gerbang wilayah pada Kota Ambon dan Kota-kota pelabuhan yang terdapat pada ke 12 (dua belas) Gugus Pulau. melalui Moda udara: pengembangan gerbang utama wilayah terdapat di Kota Ambon, Tual dan Saumlaki dan kotakota dengan bandara-bandara perintis lainnya;

2. Mengingat wilayah provinsi adalah kepulauan, dalam rangka meminimasi jarak tempuh, dilakukan melalui peningkatan peran transportasi udara yang melalui Kota Ambon, Tual, Saumlaki dan kota-kota dengan bandara-bandara perintis lainnya. Sistem transportasi udara ini diintegrasikan dengan transportasi penyeberangan, laut dan darat, sehingga membentuk satu kesatuan wilayah.

Rencana kebijakan pengembangan sistem transportasi wilayah antara lain :

(42)

pembangunan prasarana transportasi yang mendukung “Trans Maluku”. Sehingga seluruh wilayah terutama gugus pulau dapat terhubung satu sama lain;

2. Mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan transportasi Provinsi Maluku dengan kebijakan tata ruang wilayah nasional yang merupakan acuan pengembangan wilayah dan meningkatkan keterpaduannya dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam konteks pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (SISTRANAS) yang menjamin efisiensi pelayanan transportasi;

3. Mengembangkan rencana induk sistem jaringan prasarana transportasi berbasis kepulauan;

4. Mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan dan penyediaan prasarana transportasi;

5. Menyediakan jalur transportasi untuk evakuasi bila terjadi bencana alam;

6. Memperhatikan peran Alki III sebagai suatu peluang pengembangan Provinsi Maluku disamping perhatian dan komitmen pemerintah pusat untuk membangun kawasan timur Indonesia (KTI).

1. Sistem Transportasi Laut

Secara umum, kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan sistem prasarana transportasi laut di Maluku, yaitu :

1. Pengembangan dan pembangunan pelabuhan baru;

2. Pengembangan mobile seaport (terutama di Kabupaten SBT); 3. Peningkatan fasilitas bongkar muat;

4. Peningkatan fasilitas pendukung pelabuhan (telekomunikasi, pergudangan, air bersih, dan lain-lain);

5. Pengembangan keterkaitan dengan sistem prasarana transportasi lainnya (darat, penyeberangan dan udara).

Pengembangan pelabuhan laut diatas dicirikan berdasarkan peran dan fungsi pelabuhan laut dengan hirarki sebagai berikut (mengacu PP RTRWN 2008):

1. Pelabuhan internasional hub (utama primer); 2. Pelabuhan internasional (utama sekunder); 3. Pelabuhan nasional (utama tersier);

4. Pelabuhan regional; 5. Pelabuhan lokal..

Gambar

Gambar 2.1 Komponen Pariwisata
Tabel 2.4 Rencana Pemanfaatan Kawasan Lindung di Provinsi Maluku
Tabel 4.1  Luas Daerah Kabupaten Buru
Tabel 4.2 Suhu Udara Rata-Rata Kabupaten Buru 2013-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait