• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERHATIAN MUHADDISIN TERHADAP KRITIK HAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERHATIAN MUHADDISIN TERHADAP KRITIK HAD"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PERHATIAN MUHADITHI<N TERHADAP KRITIK HADIS

Makalah

Diajukan Untuk Seminar Kelas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hadis

Dosen Pengampu

Prof. DR. H. Zainul Arifin, MA

Oleh

M. Syukrillah NIM. F08213256

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya—bukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’a>n.1

Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Qur’an,2 hadis membentuk hubungan simbiosis mutualismdengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.Bersama al-Qur’an, hadis merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitabdan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis.3

Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif terhadap pengembangan metodologinya.

1Abdullah Hasan al-Hadi>thi, Athar al-H{adi>th al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> (Beirut :

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3

2Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah

menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubu>t, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang

z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>rymenetapkan hal tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke

Yaman. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H), 37-38

3Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kritik Hadis (Naqd al-Hadi>th) 1. Tinjauan Etimologis

Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al-hadi>th.4 Kata naqd secara bahasa adalah meneliti dan membedakan (tingkat

kualitas) dirham (mata uang perak) dan memisahkan yang palsu darinya (

زييتم وه

اهنم فيزلا جارخإو مهاردلا

).5Sehingga, dari hasil naqd atau tamyi>z, uang dirham

tersebut sah atau valid untuk diserahterimakan kepada seseorang atau dapat

digunakan dalam transaksi keuangan (

اهُذْخأو انامسْنإ اهؤاطعإو .مِهامرَّدلا زيِيْمتم

).6 Dalam

proses naqd ini, ditampakkan mana yang cacat dan mana yang baik (

اممهيف امم رهظأ

نسح ومأ بيع نم

).7

Jika dirangkum, naqd secara etimologis antara lain mencakup arti to examine critically (menguji secara kritis), to criticize (mengecek), find fault (menemukan kesalahan), take exception (mengambil sikap pengecualian atau keberatan), to show up the shortcomings (menunjukkan suatu kelemahan atau

4 Idri,Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, cet.2, 2013), 275 5Ibnu Manzhur,Lisa>n al-‘Arab, Vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H), 425

6Muhammad bin Ahmad al-Azhary al-Harawy, Tahdhi>b al-Lughah. Vol. 9 (Beirut: Dar ihya’ al

-Turath, cet. 1, 2001), 50, Al-Murtada al-Zabidy, Ta>j al-‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s .Vol. 9 (t.t.: Dar al-Hidayah, t.th.), 230, Zain al-din Abu Abdillah al-Razi, Mukhta>r al-Shiha>h (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M), 317. Di kalangan ulama hadis generasi awal (mutaqaddimi>n), penggunaan istilah naqd secara etimologis untuk kritik hadis dapat ditemui dalam ungkapan mereka seperti al-Auza’y (w. 156 H) sebagai berikut:

ِبامحْصمأ ىملمع ُهُضِرْعم نم ف مثيِدمْلْا ُعممْسمن اَّنُك .امنْكمرم ت اوُرمكْنمأ امممو ،امنْذمخمأ ُهْنِم اوُفمرمع امممف ،ُفْيَّزلا ُممهْرِّدلا ُضمرْعُ ي امممك امن

“Kami mendengar suatu hadis maka kami paparkan kondisinya kepada teman-teman kami (ahli hadis) sebagaimana dirham yang palsu disingkap kepalsuannya. Apabila mengetahui (validitas)

hadis tersebut, maka hadisnya kami ambil, apabila mereka mengingkari maka kami buang”. Al-Baihaqi>, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atha>r. Vol. 1.ed. ‘Abd al-Mu’thi Amin Qal’ajy. (Beirut: Dar

Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M), 143

(4)

kekeliruan).8Selaras dengan makna tersebut, kata “kritik” dalam Bahasa Indonesia berkonotasi pada sifat tidak lekas percaya, tajam dalam menganalisa, ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu karya.9

Dengan demikian, secara etimologis kritik (naqd) bisa diartikan sebagai suatu upaya untuk menentukan mana yang benar (asli) dan mana yang salah (palsu/tiruan).Kandungan maknanya mencakup kritik atau penilaian positif (al-naqd al-ijabi>) dan makna kritik negatif (al-(al-naqd al-salabi>).

2. Tinjauan Terminologis

Naqd secara terminologis, menurut Abubakar Ka>fi> adalah studi tentang perawi dan apa yang diriwayatkannya dengan tujuan untuk menyeleksi perawi

dan periwayatan yang berkualitas baik dari yang berkualitas rendah (

ةاورلا ةسارد

اهئيدر نم اهديج زييمتل تايورلماو

).10 Senada dengan itu Mustafa al-A’zami>

mendefinisikan naqd ialah membedakan dan menyaring atau menyeleksi hadis-hadis yang sahih dari hadis-hadis-hadis-hadis yang d{a’i>f dan menghukumi (menilai) para perawi dengan nilai positif atau negatif (

مكلْاو ةفيعضلا نم

ةحيحصلا ثيداحلأا زييتم

ايحرتجو اقيثوت ةاورلا ىلع

).11

Sebagai disiplin ilmu, kritik hadis adalah :

احرج اتهاور ىلع مكلْاو اهللع نايبو , ةفيعضلا نم ةحيحصلا ثيداحلأا زييتم في ثحبي ملع

.نفلا لهأ دنع ةمولعم لئلاد تاذ ,ةصوصمخ ظافلأب لايدعتو

“Ilmu yang membahas tentang cara menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang

d}a’i>f dan menjelaskan ‘illat-nya serta menetapkan status hukum atas para

8Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen & Unwin Ltd.,

1970), 990

9Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988), 466

10 Abubakar Ka>fy,Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Ta’li>liha. (Beirut: Dar

Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M), 37

11Muhammad Mustafa al-A’zamy, Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-‘Ummariyah,

(5)

perawinya baik dalam bentuk jarh atau ta’dil dengan ungkapan atau istilah khusus yang menunjukkan makna tertentu yang dipahami oleh ahlinya.”12

نوتم في رظنلاو هلهأ دنع ةمولعم لئلاد تاذ ةصاخ ظافلأب لايدعت وأ ايحرتج ةاورلا ىلع مكلْا

نم لاكشم ادب امع لاكشلإا عفرلو ,اهفيعضت وأ اهحيحصتل اهدنس حص تيلا ثيداحلأا

ةقيقد سياقم قيبطتب ,اهنيب ضراعتلا عفدو اهحيحص

“Penetapan status cacat atau adil pada periwayat hadis dengan menggunakan

idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan

dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail”.13

B. Tujuan, Objek dan Nilai Guna Penelitian (Kritik) Hadis

Pada dasarnya, kritik hadis tidak diorientasikan untuk menguji kapasititas dan otoritas hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang telah disepakati (al-mujma’

‘alaihi) sebagai sumber ajaran Islam utama dan terpenting setelah al-Quran.

Merujuk definisi terminologis naqd al-h}adi>th, maka naqd al-h}adi>th bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah secara historis suatu hadis dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.14 Dengan demikian, penelitian (kritik) hadis diorientasikan untuk menguji otentitas dan validitas informasi hadis dalam proses periwayatannya.15

Sementara objek kajiannya adalah sanad ruwa>t) dan matan hadis (al-marwiya>t).16Kritik sanad disebut kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji>).Sementara kritik matan disebut juga kritik internal (al-naqd al-da>khili>).

Adapun nilai guna penelitian hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk pendalilan hukum(istidla>l) dan

12Muh}ammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary. Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania:

Dar al-Nafa’is, tth), 11

13 Muh}ammad T{ahir al-Jawabi, Juh}ud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f (Tunisia: Mu’assasah Abd al-Karim, 1986), 94

14 Idri, Studi Hadis, 276

15 Hal ini karena kegiatan transfer informasi (riwayat) hadis melibatkan banyak orang dengan

berbagai kualitasnya dalam mata rantai periwayatan yang relatif panjang dengan proses kodifikasi dalam kurun waktu yang relatif lama.

16Muhammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary, Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania:

(6)

penarikan kesimpulan hukum (istinba>t}) dalam ijtihad dalam berbagai persoalan keagamaan, (2) menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah,17 (4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.18

C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian (Kritik) Hadis

Kritik hadis bukan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk memuaskan hasrat ilmiah semata.Akan tetapi ada latar belakang dan motivasi yang lebih dalam dan kuat.Dalam hal ini dorongan nilai spiritual dan orientasi transcendental sangat berperan. Penjagaan terhadap otentitas dan orisinalitas serta validitas sumber referensi keagamaan menjadi hal utama karena akan menjadi landasan bagi pemahaman dan pengamalan syari’at. Hal ini membutuhkan upaya penelitian dan kecermatan dalam transfer sumber referensi tersebut.19

Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pentingnya kritik hadis adalah:

1. Pertimbangan teologis

Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Isla>mi>) setelah al-Qur’a>n. Hal ini berbeda dengan

17Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Ra>wy min Taqri>b al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa

al-Nashr, ttt), 18

18Nur al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

H/1998 M), 29-30

19Muhammad Mustafa al-A’zamy, Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-‘Ummariyah,

(7)

anggapan kelompok inka>r al-sunnah atau munkir al-sunnah.20 Terdapat landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan marja>’ (rujukan) bagi ajaran Islam, antara lain sebagai berikut;

1. Dalil Al-Quran

1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.21 Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri.22 Kalau al-Qur’an adalah wahyu matluw, maka sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw.23

2) Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri>’) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.24 Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan25 Keputusan hukum Nabi yang tidak memberi ruang alternatif pilihan lain bagi orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu.26 Penegasan otoritas hukum pada diri Rasulullah ini disertai ancaman penegasian iman27 dan penetapan sifat hipokrit (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,28 serta ancaman keras

20 Mereka adalah orang-orang yang skeptis baik secara secara totalitas ataupun parsial terhadap

otoritas hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam. Di antara tokohnya di India; Ahmad Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di Indonesia misalnya; Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di Malaysia, seperti Kassim Ahmad. Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114

21Al-Qur’an, 16: 44

22Imam al-Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Qur’an dan al

-hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu Al-Qur’an, 4:

113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Sha>fi’i, Al-Risalah . ed. Ahmad Shakir (Mesir: Maktabah al-H{alaby, Cet. 1, 1358 H/1940 M) 73-76

23 Al-Qur’an, 53: 3-4, Abu Muhammad ‘Ali Ibn Hazm al-Andalusy. Al-Ihka>m fi Us}u>l al-Ahka>m.

Ed. Ahmad Muhammad Shakir. Vol. 1(Beirut: Dar al-A<fa>q al-Jadi>dah, T.tp), 97

24Al-Qur’an, 24: 63, 4: 65, 59: 7 25 Ibid., 4: 59

26 Ibid., 33:36. Menurut Imam al-Shafi’i, al-hikmah adalah keputusan (qad}a>’) Rasulullah dalam

bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Ibid, 83

(8)

berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.29

3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut

sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT.30 Tentunya, menaati

Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis. 4) Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan

diikuti perikehidupannya,31 disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang layak diteladani.32 Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .33

2. Dalil Hadis

1) Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang teguh.

ِهِّيِبمن مةَّنُسمو ِهَّللا مبامتِك اممِِبِ ْمُتْكَّسممتم امم اوُّلِضمت ْنمل ِنْيمرْممأ ْمُكيِف ُتْكمرم ت

“Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya”.34

2) Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>’). Hal ini untuk membantah pendapat munki>r al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan muncul.

29Ibid., 3:115

30Lihat al-Qur’an, 3: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 31 Ibid., 33:21

32 Ibid., 68:4 33 Ibid., 3: 31

34Ma>lik bin Anas al-Madany, al-Muwa>t}a, Vol. 3, ed. Muhammad Must}afa al-A’z}amy (Abu> Z{aby:

(9)

متِك ْمُكمنْ يم بمو امنم نْ يم ب ُلوُقم يم ف ِهِتمكيِرمأ ىملمع ٌئِكَّتُم موُهمو ِّنِّمع ُثيِدمْلْا ُهُغُلْ بم ي ٌلُجمر ىمسمع ْلمه ملامأ

“Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian berkata “Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah yang diharamkan”. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang diharamkan Allah”.35

3) Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu Allah.

ُهمعمم ُهملْ ثِممو مبامتِكْلا ُتيِتوُأ ِّنِِّإ ملامأ

.

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah)”.36

4) Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran (sunnah)

Rasulullah SAW.

مم ملامق مبَْأمي ْنمممو ِهَّللا ملوُسمر امي اوُلامق مبَمأ ْنمم َّلاِإ مةَّنمْلْا منوُلُخْدمي ِتيَّمُأ ُّلُك

مةَّنمْلْا ملمخمد ِنِّمعامطمأ ْن

مبَمأ ْدمقم ف ِنِّامصمع ْنمممو

“Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; ‘Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?’. Rasulullah

35Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan al-Tirmidhi, Vol. 5. Ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qy (Mesir: Sharikah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet. 2, 1395 H/1975 M), 38. Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Majah, Vol. 1, ed. Shu’aib al-Arnauwt} (Beirut: Da>r al-Risalah al-‘Ilmiyah, 1430 H/2009 M), 9. Hadis nomor 21. Abu ‘Abd Allah Ahmad

bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 28. Ed. Shu’aib al-Arnauwt},

dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risalah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 429. Sahih, merujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15

36 Ibn Ma>jah, SunanIbn Ma>jah.Vol. 7, 13.Hadis nomor. 4604. Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny,

(10)

bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang

mendurhakaiku maka berarti dia enggan”.37

5) Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para al-khulafa>’ al-Ra>shidin.

ُهَّنِإمف اًّيِشمبمح اادْبمع ْنِإمو ِةمعاَّطلامو ِعْمَّسلامو ِهَّللا ىموْقم تِب ْمُكيِصوُأ

Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian

berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin yang

mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bid’ah

dan setiap bid’ah adalah sesat”. 38

3. Dalil Al-Ijma>’

Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat Islam.39 Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.40 Dalam tataran realitas, terdapat ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat,41tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.42

37Al-Bukhari,Al-Ja>mi’ al-S{ahi>h, Vol. 9, 92. Hadis terdapat dalam Kitab al-I’tis}a>m hadis no. 7280. 38HR. Abu Dawud no. 3991. Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m

Ahmad bin Hanbal. Vol. 36. Ed. Shu’aib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risa>lah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 561

39S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-‘Ilm al

-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 291

40Ash-Shaukany. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, vol. 1 (Riyadh: Dar Fadilah,

cet. 1, 1421 H/2000), 187

41 Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang

kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa

(11)

4. Dalil Logika (al-Ma’qu>l)

Dalil al-Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.43 Bahkan, menurut

al-Auza’y (w. 157 H)44, al-Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada

sebaliknya (al-Kita>b ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b).45 Yahya bin Abi Kathi>r (w. 129 H)46 menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ‘ala> al-Kita>b).47 (2) Jika perbuatan Nabi mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati (ikht}iya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban,48 (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.49

Otoritas hadis sebagai sumber syari’ah (al-adillah al-shar’iyyah) semakin

bertambah dengan kuatnya relasi fungsional antara hadis dengan al-Quran dalam

melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihka>m fi Usu>l al-Ahka>m, Vol. 1, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify

(Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 206

42Wahbah al-Zuhaily, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir, 1419 H/1999 M),

40

43Ibid,.

44Abu ‘Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya

menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Ja’far al-Ba>qir, ‘At}a bin Abi Raba>h},

Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al-Thaury, Syu’bah dan Imam Malik. Lihat Siyar

A’la>m Nubala>. vol. 7, ed. Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405), 107-108

45 Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Tashri>’ al-Isla>mi> (Beirut: al-maktab al-Islamy,

cet.3, 1402 H/1982 M), 387

46Seorang imam ha>fiz}. Yang menjadi muridnya antara lain al-Auza’y, Ma’mar bin Rasyid, Aban

bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim) di Kota Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy.

Mausu’ah Mawa>qif al-Salaf fi al-‘Aqi>dah.,vol. 2(Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), 219

47 Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, 189

48Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat

fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya.

(12)

wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis memiliki beberapa fungsi terhadap al-Qur’an, yaitu:

1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu, durhaka kepada orang tua50 menegaskan dan memperkuat larangan tersebut dalam Al-Quran.51

2- Hadis sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat52 yang diperintahkan dalam Al-Quran53, (b) mengkhususkan (lex specialis) petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran. Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa54 sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 2455. Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyi>d kata ‘yadd’ dalam Al-Quran 5:38. (d)

3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis

“La was{iyyah li wa>rith” sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.56

50Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar min Umu>r

Rasu>l Allah S{alla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayya>mih.Vol. 3, ed. Muhammad Zuhair bin Na>s}ir al-Na>s}ir (t.t. : Da>r T{uruq al-Naja>h, cet. 1, 1422 H), 171, hadis no. 2653 ;

امرْشِْلإا ملامق ِرِئامبمكْلا ْنمع ممَّلمسمو ِهْيملمع ُهَّللا ىَّلمص ُِّبَِّنلا ملِئُسملامق ُهْنمع ُهَّللا ميِضمر ٍسمنمأ ْنمع ِروُّزلا ُةمدامهمشمو ِسْفَّ نلا ُلْتم قمو ِنْيمدِلاموْلا ُقوُقُعمو ِهَّللاِب ُك

51Sebagai contohal-Qur’an, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa.

52Lihat hadis-hadis dalam Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h pada

juz 1 mulai Kitab al-Wudhu’ sampai Kitab al-Sahwi

53al-Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll

54Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’…., Vol. 7, 12.Hadis no. 5108 dan 5109

مق ُهْنمع ُهَّللا ميِضمر اارِبامج معِمسَ ِِّبِْعَّشلا ْنمع ٌمِصامع امنمرم بْخمأ ِهَّللا ُدْبمع امنمرم بْخمأ ُنامدْبمع امنم ثَّدمح ْومأ امهِتَّممع ىملمع ُةمأْرممْلا محمكْنُ ت ْنمأ ممَّلمسمو ِهْيملمع ُهَّللا ىَّلمص ِهَّللا ُلوُسمر ىمهم نملا

امهِتملامخ

55Di antara penggalan ayatnya :

ْمُكِلمذ مءامرمو امم ْمُكمل َّلِحُأمو

(13)

4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh

al-Qur’an (h}adi>th tashri>’). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran

dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati oleh para ulama menurut Ash-Sha>tiby. Contohnya; hukuman rajam bagi pezina muhs}an, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.57 Dalilnya; secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan sifat ma’shu>m dan tugas menyampaikan syari’at. Adapun secara nash, Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum termasuk terhadap sunnah istiqla>liyyah (independen)-nya.58

Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya adalah hal yang sangat penting. Imam Al-Nawawi rah}imahullah menjelaskan posisi strategis studi hadis ini sebagai berikut:

“Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir,dstnya.” Al-Nawawi

berargumen bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan

sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunah-sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah

furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya

terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 59

Generasi salaf al-s}a>leh memberikan perhatian serius dalam bentuk

menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan

57Muhammd bin ‘Ali al-Shauka>ny, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, ed. Shaikh Ahmad ‘Azw ‘Ina>yah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, cet. 1, 1419 H/1999 M),96

58Al-Qur’an., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Siba’i, al-Sunnah, 382

59 Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,

(14)

mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at, menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.60

Dalam konteks ini, para ulama hadis mengambil tanggung jawab utama dan peran khusus dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman ke zaman. Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan kandungan hukum dan hikmahnya.61

2. Pertimbangan Historis-Dokumenter

Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup. Hal ini berbeda dengan status periwayatan al-Quran yang mutawa>tir dan qat}’iy al-wuru>d.62 Pada masa Nabi SAW, metode pemeliharan atau penjagaan hadis (al-hifz}) yang dilakukan oleh sahabat dilakukan dengan tiga cara yaitu penjagaan secara hafalan (hifz} fi al-s}udu>r) dan penjagaan secara tertulis (hifz} fi al-sutu>r) serta penjagaan secara praktik (hifz} fi al-tat}bi>q al-‘amali>). Ketiga metode tersebut saling menunjang dan saling menyempurnakan.

Metode yang umum dipakai oleh mayoritas sahabat adalah metode hafalan dan praktek. Namun demikian, para sahabat yang menggunakan metode tulisan atau catatan tidaklah sedikit. Menurut ‘Itr, jumlah para sahabat yang mencatat hadis jumlahnya mencapai status muta>watir.63 Dalam penelitiannya, A’zamy menyampaikan data sebanyak 99 orang sahabat yang menulis hadis serta catatan hadis yang diriwayatkan dari mereka.64

Pencatatan hadis di masa Nabi SAW secara umum ada dua macam, yaitu:

60 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah

al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6.

61Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad

Abu Zahwu,Al-H{adi>th wa al-Muhaddithu>n (al-Riyadh: al-Riasah al-’ammah li idarah al-buhuth al-‘Ilmiyah wa al-ifta’, 1404 H/1984 M), Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, 51-80.

(15)

Pertama, pencatatan dibawah perintah Nabi yaitu berupa dokumen resmi dan formal kenegaraan seperti kontrak sosial wathi>qah), surat perjanjian

(al-mu’a>hadah), surat kenegaraan yang dikirim kepada raja-raja (al-risa>lah).65

Diantara contohnya adalah piagam Madinah (Wathi>qah al-Madi>nah) yang merupakan dokumen kenegaraan yang memuat aturan hubungan antarwarga negara di atas prinsip toleransi beragama dan kerjasama sosial. Piagam perjanjian dengan kaum Nasrani Najran Demikian pula tata aturan hukum pidana, keuangan negara, dll.66 Demikian pula catatan tentang khutbah Nabi saat Fath al-Makkah untuk salah seorang penduduk Yaman yang hadir yang bernama Abu Shah.67

Kedua, pencatatan berdasarkan ijin Nabi SAW. Diantara mereka yang mendapatkan ijin adalah;

(a) Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (w. 63 H). Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash

adalah sahabat yang biasa menemani Rasulullah SAW karena beliau juga termasuk salah seorang pencatat wahyu (al-Qur’an). Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash meminta ijin kepada Rasulullah untuk menulis hadis dan Nabi

mengijinkannya. Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash menulis langsung

dihadapan Nabi setiap hadis yang didengarnya sehingga ditegur salah seorang tokoh tetapi setelah dikonfirmasi kepada Rasulullah, sikap

Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dibenarkan oleh beliau. Bahkan banyaknya

catatan Ibn Amr bin al-Ash diakui oleh Abu Hurairah. Catatan hadis yang

dikumpulkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dikenal dengan nama

al-S{ahi>fah al-S{a>diqah.68

(b) ‘Ali bin Abi T{alib RA yang mendokumentasikan hadis dalam s}ah}i>fah

kecil yang berkaitan dengan masalah diyat dan tawanan perang.

65 Sebagaimana yang diteliti oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmu’ah al-Watha>’iq al

-Siyasiyah li al-‘Ahd al-Nabawy (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 6, 1987), 57. Ta>rikh Tadwi>n al-Sunnah, 35. Itr, Manhaj al-Naqd, 47-48

66Bukhari, Vol. 1, 449. Hadis no. 1454 mengenai aturan zakat di zaman Abubakar yang merujuk

ketentuan Rasulullah SAW. Demikian pula sahifah Amr bin Hazm yang memuat tentang aturan zakat yang dicatat saat beliau diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Ta>rikh Tadwi>n….., 37

(16)

(c) S{ah}i>fah Sa’ad bin ‘Ubadah yang berisi tentang keputusan hukum yang ditetapkan saat bertugas di Yaman. Sebagaimana hal ini tersebut oleh al-Tirmidzi dalam sunannya.69

Terkait sejarah awal pencatatan hadis ini, muncul polemik tentang hukum mencatat hadis di masa Nabi SAW karena adanya beberapa hadis yang dinilai kontradiktif antara melarang dan membolehkan.Di antara hadis yang melarang

adalah hadis dari Abu Sa’id al-Khudry RA bahwa Nabi SAW bersabda:

َّيملمع مبمذمك ْنمممو مجمرمح ملامو ِّنِّمع اوُثِّدمحمو ُهُحْمميْلم ف ِنآْرُقْلا مرْ يمغ ِّنِّمع مبمتمك ْنمممو ِّنِّمع اوُبُتْكمت ملا

ٌماَّممَّ ملامق

ِراَّنلا ْنِم ُهمدمعْقمم ْأَّوم بمتميْلم ف اادِّممعم تُم ملامق ُهُبِسْحمأ

.

“Janganlah kalian menulis dariku (selain al-Qur’an).Barangsiapa yang

menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaklah

menghapusnya.Sampaikan hadis dariku dan tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku—Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda—maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.70

Sementara hadis lain yang menunjukkan kebolehan adalah hadis dari Abu Hurairah RA:

ُهْنمع ااثيِدمح مرم ثْكمأ ٌدمحمأ ممَّلمسمو ِهْيملمع ُهَّللا ىَّلمص ِِّبَِّنلا ِبامحْصمأ ْنِم امم

ِنْب ِهَّللا ِدْبمع ْنِم منامك امم َّلاِإ ِّنِِّم

ُبُتْكمأ ملامو ُبُتْكمي منامك ُهَّنِإمف وٍرْممع

“Tidak ada seorang sahabat Nabi SAW pun yang lebih banyak hadisnya dari padaku selain Abdullah bin ‘Amr, karena dia menulis (hadis) sementara saya tidak menulis”.71

Juga hadis dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA:

ُ ق ِنِّْتمهم نم ف ُهمظْفِح ُديِرُأ ممَّلمسمو ِهْيملمع ُهَّللا ىَّلمص ِهَّللا ِلوُسمر ْنِم ُهُعمْسَمأ ٍءْيمش َّلُك ُبُتْكمأ ُتْنُك

70Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal denganSa>h}ih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Turath al-‘Araby, t.th.), 2298. Hadis

no. 3004.

71Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad, Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam

(17)

kemudian melarang saya melakukannya dan berkata: “Apakah kamu hendak menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW padahal beliau (juga) seorang manusia yang bisa saja bersabda dalam keadaan marah atau senang. Maka akupun menahan diri (untuk tidak menulis) hingga aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian sambil berisyarat menunjuk bibirnya, Beliau bersabda: “Tulislah, maka demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar darinya

selain kebenaran”.72

Juga hadis tentang permintaan seorang pria dari Yaman yang bernama Abu Shah yang meminta catatan teks pidato Nabi SAW saat Fath al-Makkah kemudian Nabi bersabda:

ٍنملاُف ِبِمِلأ اوُبُتْكا

“Tulislah untuk Abu Fulan (yaitu Abu Syah)” 73

Sejalan dengan pendapat ‘Itr, bahwa keberadaan hadis-hadis baik yang

menetapkan larangan mencatat hadis ataupun sebaliknya yang memberikan ijin, sama-sama valid, sehingga dari aspek thubu>t keduanya tidak diragukan kesahihannya.74

Secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh sejumlah ulama hadis adalah metode al-jam’u wa al-tawfiq (kompromi) dan metode na>sikh wa al-mansu>kh (abrogasi).75Namun, pendekatan yang paling tepat dalam masalah ini adalah al-jam’u wa al-tawfiq (mengkompromikan).76 Dengan melihat bahwa masalah ini bukan terkait dengan ubudiyah dan larangan penulisan itu bukanlah keharaman pada substansi perbuatannya. Jika larangan menulis bersifat substansial, maka tidak akan ada ijin dipihak lain untuk menulisnya. Oleh karena itu, larangan dan ijinbersifat kondisional berkaitan dengan faktor sebab (illat) tertentu. Sementara hukum itu yadu>ru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman. Menurut pendapat yang dipilih oleh ‘Itr sebabnya adalah kekhawatiran terhadap melemahnya perhatian dan konsentrasi kepada penjagaan dan periwayatan

72Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 3, 318. Hadis ini terdapat

dalamKitab al-‘Ilm bab Kitabah al-‘Ilm no. 3646.

73Al-Bukhari.Al-Jami al-Sahih.Vol.1, 56. Hadis nomor 112

74 Itr,Manhaj al-Naqd, 41. Muhammad Ajaj al-Khatib.menyebut 3 hadis tentang larangan menulis

hadis dan 8 hadis tentang ijin dan kebolehan menulis. Lihat Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 303-305

75Metode tarjih tidak ditempuh oleh para ulama hadis karena dari aspek thubut setara

validitasnya.

(18)

Qur’an.77A’zamy juga menguatkan sebab larangan pendapat ini dengan menyebut bahwa illat-nya adalah masalah iltibas catatan selain al-Qur’an dengan

al-Qur’an.Agumennya adalah; (a) Adanya penulisan al-Qur’an dan hadis yang

berlangsung dengan imla>’ (dikte) dari Nabi. Aktivitas penulisan hadis berlangsung secara mutawa>tir di kalangan sahabat, seperti ketika Nabi meng-imla>’-kan surat-surat dan dokumen administrasi kenegaraan. Ini menunjukkan bahwa larangan tidak bersifat umum untuk seluruh penulisan hadis, tetapi hanya bentuk peringatan untuk tidak menulis sesuatu bercampur dengan penulisan al-Quran seperti catatan berkaitan dengan tafsirnya agar tidak terjadi iltibas.(b) Adanya pembolehan pencatatan hadis oleh Nabi dalam sejumlah hadis sahih.78

Pendapat kedua pakar tersebut dapat dibenarkan melihat perbedaan ijtihad para sahabat dan ulama berikutnya dalam menetapkan adanya illat ini pada realitas (wa>qi’) setelah Rasul wafat. Para ulama yang tidak setuju penulisan apa saja selain al-Qur’an agar berkosentrasi sepenuhnya difokuskan kepada penulisan dan penjagaan Quran dan agar tidak terjadi percampuran teks

al-Qur’an dengan teks lainnya dalam catatan naskah yang sama.79 Pada masa Nabi,

para sahabat mencatat untuk keperluan pribadi dan diwariskan kepada keluarganya serta tidak dipublikasikan secara umum. Setelah, masa kodifikasi al-Qur’an sukses dan telah menyebar secara massif, mulailah sahabat yang mencatat hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.80

Setelah Nabi SAW wafat (11 H/632 M), sejarah perkembangan periwayatan hadis memasuki era pencermatan dan pembatasan periwayatan (al-tathabbut wa al-iqla>l min al-riwa>yah) pada masa Khulafa’ al-Rasyidin (sekitar 11 H sampai 40 H). Para sahabat yang diamanahi kepemimpinan umat yaitu Abubakar As-S}iddiq (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 23 H), Usman bin

‘Affan (w. 35 H) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) menerapkan kebijakan

tersebut didasari pertimbangan antara lain; fokus dan perhatian utama pada pembukuan dan otentitas periwayatan al-Qur’an, peringatan bagi para sahabat yang menjadi guru (nara sumber) hadis untuk bersikap waspada dalam aktivitas

77Ibid., 43

(19)

periwayatan agar tidak terkena ancaman Rasulullah terhadap orang yang berdusta dan menyelewengkan hadis, dan pelajaran bagi generasi pelanjut

(tabi’in dan seterusnya) untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam menjaga

otentisitas periwayatan hadis.81

Setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin masa kodifikasi al-Qur’an sukses

dan telah menyebar secara massiv, mulailah sahabat yang mencatat hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.82 Dalam masa pascakhalifah al-Rasyidin, muncul para tabi’in senior (kiba>r al-Tabi’i>n) yang bekerja sama dengan para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat yang masih hidup setelah periode al-Khulafa’ al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis di antaranya 'Ais‘ah RA (w. 68 H), Abu Hurairah (w. 58 H), Abdullah bin Abbas RA (w. 68), Abdullah bin

‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H), dan Jabir bin Abdullah (w. 78 H).

Penyebaran hadis tersebut seiring dengan penyebaran sahabat secara geografis mengikuti perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di antara beberapa kota yang menjadi pusat periwayatan hadis dan menjadi tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis (rihlah li talab al-h}adi>th) yaitu Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib, Yaman dan Khurasan. Masa ini disebut juga dengan masa penyebaran periwayatan hadis (Intis}a>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r).

Kebutuhan terhadap penulisan atau dokumentasi hadis semakin meningkat pada masa ini karena semakin luasnya Daulah Islamiyah dan semakin meningkatnya kekhawatiran terhadap hilangnya sunnah Rasulullah SAW dengan meninggalnya para sahabat yang menjadi saksi mata, nara sumber periwayatan dan para pelaku sejarah yang pernah hidup dan berjuang bersama Rasulullah SAW. Terlebih lagi dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap usaha-usaha orang-orang fasik yang ingin menyusupkan hadis-hadis palsu dalam kondisi

81 Lihat Abu Zahu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 63-79. Patut diakui bahwa kebijakan tersebut

sangat penting sebagai upaya penjagaan dan pemeliharaan otentisitas hadis. Bahkan, sikap memuliakan hadis Nabi, kecermatan dan hati-hati dari kekeliruan periwayatan dan menjaganya dari upaya pemalsuan yang dicontohkan oleh para sahabat tersebut diteladani dan diwariskan oleh murid-murid mereka yang thiqa>t pada generasi ta>bi’in dan seterusnya. Walaupun demikian, di sisi lain sikap tersebut berdampak negatif terhadap periwayatan hadis yaitu mayoritas sanad hadis berstatus ahad pada t}abaqa>tperawi di era sahabat dan tabi’in ini.

(20)

fitnah politik dan aliran bid’ah83 serta tindakan bodoh para pendongeng (al-Qas}a>s}) yang menyisipkan hadis-hadis yang tidak ada asalnya (la as}la lah) dalam nasehat targhi>b wa tarhi>b.84

Sementara itu, pada abad awal kedua Hijriyah, kodifikasi (tadwi>n) baru dimulai secara formal atas perintah dari Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz (w. 101/7\19). Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz meminta Abubakar bin Muhammad bin Hazm, seorang Qa>d}i yang bertugas di Madinah untuk menuliskan untuknya hadis-hadis yang diriwayatkannya dari gurunya ‘Amrah binti ‘Abdurrahman al -Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar (w. 106 H):

ِللها ِلوسر ِثيدح نم مناك ام رظنا

ملسو هيلع للها ىلص

ِملعلا مسورد ُتفخ نِّإف ُهبتكاف

ءاملعلا مباهذو

“Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan catatlah. Saya khawatir hilangnya ilmu itu dan wafatnya ulama (pakar yang menguasainya)”.85

Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz memerintahkan para pegawai dan ulama seluruh dunia Islam supaya mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah.

ُهوُعمْجْامف ِللها ِلوُسمر ِثيِدمح ملَِإ اوُرُظْنا

“Kalian Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan kumpulkanlah.”86

Perhatian besar jugadiberikan oleh Umar bin ‘Abdul Aziz dalam penyebaran naskah catatan hadis. Umar bin Abdul ‘Aziz meminta kepada pakar hadis terkemuka di zaman tersebut yaitu Ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H) untuk mengkodifikasifan hadis untuk disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Al-Zuhri berkata:

83Seperti firqoh Khowarij, syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dll yang memproduksi hadis

palsu untuk kepentingan aliran ideologinya.

84DR. Yasir al-S{amaly,Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhadithi>n (Oman: Maktabah al-Hamid, cet. 2,

2006 M), 19

85 Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Maka>natuha fi al-Tasyri’ al-Islamy (Beirut: Maktab

al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Burhanuddin Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’I, Al-nukat al-Wafiyah bima fi Syarh Alfiyah. Ed. Mahir Yasin al-Fahl. Vol. 2 (Maktabah al-Rusyd Nasyirun, cet. 1, 1428 H/2007 M), 129, Abu Zahu. Al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 244

(21)

مل ٍضْرمأ ِّلُك ملَِإ مثمعم بم ف ،اارم تْ فمد اارم تْ فمد امهامنْ بمتمكمف ِنمنُّسلا ِعْممِبِ ِزيِزمعْلا ِدْبمع ُنْب ُرممُع امنمرمممأ

ٌنامطْلُس امهْ يملمع ُه

اارم تْ فمد

“Kami diperintah oleh Umar bin ‘Abdul Aziz untuk mengumpulkan sunah-sunnah Nabi. Maka kamipun menulisnya dalam naskah-naskah catatan. Kemudian, masing-masing naskah tersebut dikirimkan kepada

seluruh pelosok negeri dibawah pemerintahannya.”87

Setelah era al-Zuhri, kodifikasi hadis oleh ulama generasi berikutnya semakin menyebar luas. Di antara para ulama yang terkemuka adalah Ibnu Jurai>j (w. 150 H) dan Ibnu Ish}a>q (w. 156 H) di Kota Makkah, Sa’i>d bin ‘Arubah (w. 156 H), al-Rabi>’ bin S{abi>h (w. 160 H) dan Imam Ma>lik (w. 179 H) di Kota Madinah. Di Kota Basrah, dipelopori oleh Hama>d bin Salamah (w. 167 H). Di Kota Kufah, di antaranya Sufya>n al-Tsaury (w. 161 H), di Syam Abu ‘Amr al

-Auza’y (w. 157 H), di Wasit} ada Husyaim (w. 173 H), di Khurasan ada Abdullah

bin al-Mubarak (w. 181 H), Ma’mar (w. 154 H) di Yaman, Jarir bin ‘Abd al -Hamid (w. 188 H) di Ray. Demikian pula terdapat tokoh-tokoh hadis seperti

Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Syu’bah bin al

-Hajjaj (w. 160 H).88

Kebanyakan buku (kitab hadis) dalam periode ini belum diberi judul atau nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Hampir semua buku-buku mereka pada periode ini kini sudah tidak ada lagi. Yang tinggal adalah isi kandungan dan nama-nama mereka dalam isna>d hadis yang terdapat dalam buku-buku (kitab hadis) yang ada kemudian.89

Dengan demikian, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi SAWtelah memakan waktu yang sangat panjang.Dalam konteks periodesasi penulisan hingga era kodifikasi yang massif dan sempurna telah melewati tiga periode.Pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke akhir abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n ; kira-kira dari awal abad kedua sampai pertengahan abad itu. Dan ketiga, periode Tas}ni>f ; kira-kira dari

87Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abd al-Barr al-Qurt}uby, Ja>mi’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lih, Vol. 1, ed. Abu

Ashba>l al-Zuhairy (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Da>r Ibn al-Jauzy, Cet. 1, 1414 H/1994 M), 331

88 Must}afa al-Siba>’I,Al-Sunnah wa Maka>natuha.., 105

89Ugi Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”, Majalah Islamia, Thn. I No. 2

(22)

pertengahan abad kedua hingga seterusnya.90Oleh karena itu, mata rantai periwayatan menjadi cukup panjang yang semakin membuka peluang kemungkinan masuknya para perawi “bermasalah” dalam silsilah sanad.

Realitas ini menjadi semakin kompleks dengan fenomena pemdokumentasian hadis ke dalam kitab-kitab hadis ternyata menggunakan berbagai metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi. Memasuki abad ke-3 H, gerakan massif di bidang pendokumentasian hadis dalam kitab-kitab hadis membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-mus}annafa>t, al-jawa>mi’, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al-Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis-hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu. Beragamnya metode dan pendekatan pengumpulan, penyusunan dan kodifikasi sunnah ini melahirkan upaya penelitian dan kritik terhadap kualitas hadis-hadis dalam berbagai kitab hadis tersebut. Pada abab ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang kritik hadis, kritik hadis beriringan dengan lahirnya produk-produk keilmuan yang unggul berupa kutub al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama bagi para ulama di bidang keilmuan Islam lainnya.91

3. Pertimbangan Praktis

Fenomena munculnya pemalsuan hadis merupakan pertimbangan penting yang melatarbelakangi upaya para ulama hadis melakukan penelitian dan kritik hadis. Fenomena pemalsuan hadis ini mulai semarak di saat perpecahan politik di

90Periode taqyi>d adalah periode ketika hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah; booklet) oleh para Sahabat dan Tabi’in. Jumlah risalah dan catatan kecil mengenai hadis mencapai ratusan

jumlahnya. Periode tadwi>n, dimulai dengan perintah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz (w. 101 H) yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis Rasulullah SAW. Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Adapun periode tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al-Muwat}t}a’ susunan Imam

Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}annaf oleh

‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi’ al-S{{ah}i>h} oleh Imam Bukhari (w. 256 H). Ugi

Suharto, “Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”, 82-84

91Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubh

al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Mu’as{iri>n- wa yali>hi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah

(23)

kalangan umat Islam muncul semenjak masa ‘Ali bin Abi Thalib (35-40 H). Krisis ini berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan dibuatnya hadis-hadis palsu untuk mendukung faksi masing-masing. Di samping itu peran golongan zindik dari musuh-musuh Islam berusaha merusak akidah Islam dan sunnah Rasulullah dengan menyebarkan hadis palsu.92

Tidak sedikit hadis yang dibuat oleh pemalsu hadis yang dapat meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam sehingga bila tidak dilakukan koreksi, klarifikasi dan dokumentasi khusus, dapat berakibat pada kehancuran ajaran Islam.Para ahli hadis berperan penting melalui ilmu kritik hadis untuk menjaga

eksistensi sumber syariat dalam “matan-matan riwayat”. Rasulullah SAW

bersabda:

ْنِم ممْلِعْلا امذمه ُلِمْميح

مليِوْأمتمو ، مينِلِطْبُمْلا ملامحِتْنامو ، مينِلامغْلا مفيِرْمتَ ُهْنمع منوُفْ نم ي ، ُهُلوُدُع ٍفْلمخ ِّلُك

مينِلِهامْلْا

“Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi.

Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bid’ah dan interpretasi (ta’wi>l) dari orang-orang bodoh”.93

Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi seluruhnya, pemalsuan hadis belum menjadi masalah besar di era al-Khulafa’ al -Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.94 Al-Barra’ bin ‘Azib berkata:

م ب ُبِّذمكُي ْنُكمي ْملَ ْنِكملمو ،ممَّلمسمو ِهْيملمع ُللها ىَّلمص ِهَّللا ِلوُسمر ْنِم ُهامنْعِمسَ ُثِّدمُنُ امم ُّلُك مسْيمل

ااضْعم ب امنُضْع

“Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah

SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi (kami dengar

92 Idri,Studi Hadis, 257-259

93 Sulaima>n bin Ahmad al-T{abary. Musnad Al-Sa>miyyin. Vol. 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid

as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), 344. Hadis hasan ghari>b, lihat

catatan Abu Mu’adz dalam Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh taqri>b al-Nawawi>, Vol. 1, (al-Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H), 511

94Akram Dhiya’ al-‘Umary. Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi Manhaj

(24)

dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami tidak pernah saling

meriwayatkan berita dusta”.95

Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.Dari perpektif perkembangan hadis, realitas fitnah ini berpengaruh negatif berupa muncul dan berkembang pesatnya pemalsuan hadis.Bahkan informasi jumlah penyebaran hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar. Hammad bin zaid menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan tidak kurang dari 14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-‘Auja>’ mengaku telah membuat 4.000 hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan hal-hal yang halal.96

Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bid’ah tersebut ternyata berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah.Sehingga, para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah tertentu.Menurut al-Khatib al-Baghdady bahwa peta penyebaran hadis berdasarkan urutan negeri yang paling valid jalur sanad hadis-hadisnya adalah al-Haramain (Makkah dan Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam. Jalur sanad dari para perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur sanad yang paling sahih periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir tidak pernah ada kasus pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para perawi di kalangan penduduk Yaman dimana referensi (marja’) sanadnya kepada penduduk Hijaz (ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi secara kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit. Adapun para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah dengan sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi secara kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang

95Muhammad Abu Zahu. Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby), 157 96Nur al-Di>n ‘Itr,Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

(25)

terbebas dari ‘illat.97Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk Syam—yaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah, Yordania, Palestina dan Libanon—kebanyakan berstatus mursal dan maqt}u>’. Namun, jika riwayat mereka muttas}il dan para perawinya thiqa>t, hadisnya bernilai s}a>lih (sahih).Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>’iz).98

Sejalan dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibnu Taimiyah menegaskan:

ِةمرْصمبلا ُلْهمأ َُّثُ ،ِةمنيِدملما ُلْهمأ ُهامومر امم ِثيِدامحملأا َّحمصمأ َّنمأ ىملمع ِثيِدملْاِب ِمْلِعلا ُلْهمأ مقمفَّ تا

،

ِماَّشلا ُلْهمأ َُّثُ

“Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah

hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk

Basrah dan kemudian penduduk Syam.”99

Respon para sahabat yunior (s}igha>r) terhadap perkembangan situasi keagamaan dengan bersikap hati-hati dalam menerima riwayat hadis. Muhammad Ibnu Sirin menginformasikan:

ِإ ُرمظْنُ يم ف ،ْمُكملامجِر امنمل اوُّمسَ :اوُلامق ،ُةمنْ تِفْلا ِتمعم قمو اَّمملم ف ،ِدامنْسِْلإا ِنمع منوُلمأْسمي اوُنوُكمي ْملَ

ملَ

ِلْهمأ ملَِإ ُرمظْنُ يمو ،ْمُهُ ثيِدمح ُذمخْؤُ يم ف ِةَّنُّسلا ِلْهمأ

ْمُهُ ثيِدمح ُذمخْؤُ ي ملامف ِعمدِبْلا

“Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad. Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka berkata: “Sebutkan para perawi hadis kalian”. Maka dilihat hadisnya, jika perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat

perawinya dari ahli bid’ah maka tidak diambil hadis mereka.”100

97Imam Syafi’i menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang tidak

memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak dapat diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). T{a>wus bin Ki>san berpendapat bahwa 99 % hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b Al-Rawy, 63

98Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Rawy, 63

99S{ubhi al-S}a>lih, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-‘Ilm al

-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 154

100 Muslim bin al-Hajja>j. al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, Ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd

(26)

Realitas ini mendorong upaya penyempurnaan metodologi ilmu hadis riwayatan dan dirayah.101 Dengan berkembangnya ilmu isnad, rija>l al-hadi>th dan

jarh wa ta’di>l, dll yang sangat penting artinya dalam bidang kritik hadis. Di

antara para sahabat yang membicarakan tentang jarh wa ta’di>l adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H), Aisyah (52 H), ‘imran bin Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).102 Demikian pula, perkembangan teori dan praktek nadq al-hadi>th semakin berkembang pada era setelah itu.

4. Pertimbangan Teknis

Masalah secara teknis terkait periwayatan hadis, paling tidak terkait dua aspek. Pertama, masalah tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan integritas pribadi (‘ada>lah) orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis. Kedua, masalah tingkat akurasi dalam pengutipan dan pencatatan hadis. Tidak semua orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis memiliki kualifikasi tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan integritas pribadi (‘ada>lah) yang tinggi. Beragamnya tingkat kualitas dan kualifikasi tersebut menuntut adanya parameter atau acuan (qawa>id wa d}awa>bit}) dan metode penelitian (manhaj al-naqd) yang tepat.

Al-‘ada>lah menurut Ibnu Sholah (w. 643 H) adalah syarat disepakati oleh jumhur ulama ahli hadis dan ahli fiqh. Seorang perawi memiliki sifat ‘ada>lah yaitu jika memenuhi syarat muslim, ba>ligh, berakal, dan tidak fasik serta terjaga sifat muru’ah-nya.103Menurut Ibnu Hajar, sifat ‘ada>lah yaitu karakter pribadi yang senantiasa menjaga ketakwaan, muruah dan marwah. Adapun takwa adalah

101Hasan Fauzy Hasan Al-S{a>’idy. “Al-Manhaj al-Naqdy ‘Ind al-Mutaqaddimi>n min

al-Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj”. (Tesis—Ja>ami’ah ‘Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94 102Muhammad Luqman Al-Salafy. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa

(27)

konsistensi menjauhi perbuatan buruk berupa kesyirikan, kefasikan, dan

bid’ah.104

Adapun d{abt} adalah syarat yang penting dalam penerimaan informasi dari seorang perawi. Terpenuhinya syarat ‘adalah diniyah (Kesalehan dan integritas moral) tidak mencukupi untuk kesahihahan riwayatnya, sebelum memenuhi syarat ini.Seorang perawi dikatakan memiliki sifat d{abt} apabila ia sadar sepenuhnya dalam periwayatan, tidak lalai (dengan ragu atau lupa), menghafal dengan baik jika menyampaikan hadis dari hafalan, penulisannya teliti dan valid jika meriwayatkan dengan catatan atau kitab. Jika meriwayatkan secara makna maka disyaratkan harus memahami hal yang bisa merusak kandungan makna hadis yang diriwayatkannya.105

D{abt}, di kalangan ahli hadis, ada dua macam; d{abt} s}adr dan d{abt} al-kitab. D{abt} al-s}adr adalah kekuatan dan ketepatan perawi dalam menjaga hadis yang didengarnya melalui kemampuan hafalannya dan mampu disampaikan kapan saja diinginkan. Adapun D{abt} al-Kita>b adalah ketelitian dan ketepatan perawi untuk menjaga catatan hadisnya semenjak didengarnya dan dicatatnya sampai waktu disampaikan. Ibnu S{ala>h menyatakan bahwa seorang perawi ditolak periwayatannya karena diketahui dia tashahul (meremehkan ketelitian) saat mendengar hadis dan menyampaikannya seprti sering keliru, banyak keganjilan (shadh dan munkar karena tidak tepat sesuai riwayat yang thiqah) dalam periwayatan.106

Ke-d{a>bit}-an seorang perawi diketahui dengan melakukan menguji dan membandingkan periwayatannya (muqa>ranah) dengan periwayatan dari para perawi lain yang telah diakui luas ke-thiqa>h-an, kekuatan dan ketelitian hafalannya atau membandingkan dengan catatan yang shohih dalam kitab. Banyak sedikitnya perbedaan (mukha>lafah) menentukan ukuran ke-d{a>bit}-annya.107

104Abu al-Fad}l Ibn Hajar al-‘Asqala>ny, Nuzhah al-Naz}r fi Tawd}i>h Nukhbah al-Fikar fi Must}alah

Ahl Athar , ed. ‘Abd Allah bin Yusuf bin D{aif Allah al-Ruhaily (Riyad} : Mat{ba’ah Safi>r, cet. 1,

1422 H), 69

(28)

Sebab-sebab yang mengeluarkan seorang perawi dari sifat D{abt} antara lain:

a. Banyak meriwayatkan hadis atas dugaan dan perkiraan (al-wahm), seperti menyambung isnad yang mursal, me-marfu>’-kan athar yang mauqu>f, dll. b. Banyak terbukti menyelisihi atau tidak tepat sesuai dengan perawi yang lebih

thiqah baik secara kualitas maupun jumlah (mukha>lafah)

c. Lemahnya hafalan. Sulit di-tarji>h (ditentukan mana yang tepat) periwayatannya karena merubah-rubah periwayatan disebabkan kelemahan hafalan.

d. Sering lalai (al-gaflah), ketidakmampuan perawi dalam menyeleksi, meneliti dan menentukan mana periwayatnya yang benar dan mana yang keliru.

e. Keliru yang berat. Lebih sering keliru dalam menyampaikan dibandingkan benarnya.

f. Ketidaktahuan perawi terhadap kandungan hadis. Ketidaktepatan dalam meriwayatkan hadis secara makna sehingga mengurangi atau merusak makna hadis.

g. Bersikap meyepelekan (tasa>hul) dalam proses periwayatan, penghafalan dan pencatatan hadis. 108

Ke-d}a>bt}-an para perawi hadis berbeda-beda. Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali>, klasifikasinya ada empat jenis : (1) perawi yang tertuduh berdusta, (2) perawi yang bukan tertuduh tetapi mayoritas hadisnya didasari perkiraan (wahm) dan keliru (al-ghalat). (3) perawi yang shodiq (jujur), cukup wahm dalam hadisnya, tetapi tidak mendominasi, (4) perawi ha>fiz} yang sangat jarang terkena wahm atau sedikit melakukan kesalahan dalam periwayatan. Jenis pertama, hadisnya disepakati untuk ditinggalkan atau tidak diriwayatkan dan hadisnya tidak boleh dijadikan dalil. Jenis terakhir, disepakati hadisnya dijadikan hujah dan dalil. Sementara, jenis kedua, mayoritas ahli hadis tidak berhujah denganya. Adapun jenis perawi ketiga, para ahli hadis berbeda pendapat.109

Adapun dari aspek pengutipan dan pencatatan, secara teknis sejumlah hadis mengalami beberapa permasalahan dalam proses penyadurannya. Di

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah penyimpanan entres jati pada media pelepah pisang ambon selama enam hari mampu mempertahankan persentase keberhasilan okulasi sebanyak 66,67%,

Dalam studi ini dilakukan suatu analisa trade off antara kepentingan pemenuhan kebutuhan untuk air baku (termasuk irigasi) dan pembangkitan tenaga lis- trik yang

Tujuan dari penelitian ini, yaitu menentukan pengaruh perbedaan konsentrasi rumput laut, kolagen dan interaksi keduanya terhadap sifat fisiko-kimia serta mutu sensoris

Bagian belanja APBD yang digunakan untuk anggaran DPRD. dan

Dari hasil analisa dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu penulis dapat menarik kesimpulan sehubungan dengan perancangan Sistem Pengolahan Data

Mata kuliah ini membahas tentang konsep dasar teori bimbingan dan konseling anak usia dini,tujuan dan jenis bimbingan dan konseling anak usia dini, jenis

Beberapa hadits yang terhimpun dalam kajian ini di antaranya mengenai kemapanan ekonomi Rasululllah saw., politik ekonomi yang dijalankan, seperti kebijakan tentang

Beberapa penelitian tentang nama orang dan nama keluarga yang telah dilakukan sebelumnya yang memiliki kaitan dengan topik ini, yaitu:.. ³1DPD .HOXDUJD GDODP %DKDVD