• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPO"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori

1. Pola Asuh Orang Tua

a) Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28B menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara rinci bagaimana perlindungan negara terhadap anak dapat dilihat dalam Undangundang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, pasal 1 ayat 2 menyebutkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pihak-pihak seperti orang tua, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, negara dan pemerintah berkewajiban melindungi anak dari kekerasan maupun diskriminasi.

(2)

their caretakers performing certain action and then imitate those action

themselves”.1

Oleh sebab itu orang tua harus berhati-hati dalam mendidik putra dan putrinya, karena orang tua-lah yang akan menentukan perilaku anak baik maupun buruk. Dalam satu hadits Rasulullah SAW bersabda “Setiap anak sebenarnya dilahirkan di atas fitrah (Islam). Kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Majusi atau Nasrani”

دلوي دولوم لك ملس و هيلع هللا ىلص يبنلا لاق

هناسجمي وأ هنارصني وأ هنادوهي هاوبأف ةرطفلا ىلع

Bedasarkan hadist tersebut jelas bahwa anak-anak akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang dilakukan orang tuanya didalam keluarga. Kebiasaan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak didalam sebuah keluarga biasa disebut dengan istilah pola asuh.

Menurut Baumrind, ada 4 (empat) gaya pola asuh yaitu “Authoritarian, Authoritative, Neglectful parenting, Indulgent parenting”.2 Masing-masing dari pola asuh tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap perilaku anak. Kesalahan dalam menerapkan pola asuh dapat memberikan efek buruk terhadap perilaku anak. Efek pola asuh permissive misalnya “perilaku anak diantaranya menjadi agresif”.3 Begitu pula anak yang di asuh dengan otoriter (Authoritarian), “anak tersebut akan berperiaku

1 Ann Jon Brewer, Introduction to Early Children Educationn Education sixth edition, (United State : Person, 2007), hal. 12

2 John W., Santrock, Life Span Development, Thirteenth edition, (New York: McGraw Hill: 2010), hal. 404-405

(3)

agresif”.4 Orang tua tentunya tidak mengharapkan bahwa anaknya berperilaku negatif, semuanya menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, dan selalu mengharapkan agar anaknya terhindar dari perilaku maupun sifat-sifat negatif.

Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya yang suci adalah subtansi yang berharga. Jika dibiasakan dengan kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan dan bahagia di dunia dan akhirat. Adapun jika ia dibiasakan dengan kejelekan dan diabaikan begitu saja seperti binatang maka ia akan sengsara dan celaka, maka dari itu, menjaga anak adalah dengan mendidik, mendisiplinkan, dan mengajarkannya akhlak terpuji.5 Ini tentu mengingatkan peranan orang tua yang mungkin disaat sekarang ini banyak yang tidak menyadari bahwa anak adalah sebagai titipan Tuhan yang harus di asuh dengan sebaik-baiknya.

Jika orang tua sudah sadar betul bahwa anak merupakan titip Tuhan, mungkin tidak ada lagi tindakan-tindakan yang dilakukan orang tua yang berakibat buruk pada perkembangan anak. Tindakan berakibat buruk yang dimaksud adalah bentuk tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya baik fisik maupun psikis, bahkan tidak jarang disaat sekarang ini tindakan kekerasan tersebut berujung pada kematian seperti yang sering kita saksikan di media televisi maupun media massa lainya.

Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung dan memberikan rasa aman pada anak-anaknya justru ini sebalikanya orang tua menjadi ancaman

4 Santrock., Ibid

(4)

bagi anak. Tentunnya hal ini menjadi preseden buruk yang harus dijadikan pelajaran bagi para orang tua dalam mengasuh para buah hatinya.

Interaksi dalam keluarga salah satunya terwujud dalam bentuk proses pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Hanya saja bagi budaya tertentu membahas persoalan pangasuhan tidak dapat dilakukan secara terbuka. Terkait dengan hal ini, Casmini menyatakan bahwa “persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengasuhan dalam keluarga menurut tradisi budaya masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) merupakan persoalan “tabu / aib” ketika didengar oleh keluarga lain di sekitarnya”.6

Pola asuh orang tua merupakan sebuah proses interaksi berkelanjutan yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan orang tua terhadap anak dalam rangka perkembangan anak.7 Lebih lanjut Idrus menjelaskan bahwa, sebagai sebuah interaksi maka akan dengan sendirinya terjadi proses saling pengaruh-mempengaruhi.8 Artinya, perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua akan dengan sendirinya mempengaruhi perilaku anaknya, dan sebaliknya perilaku yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya akan pula mempengaruhi perilaku orang tua. Casmini mengemukakan pola asuh orang tua merupakan upaya pemeliharaan seorang anak yakni bagaimana orang tua memperlakukan, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak yang meliputi cara orang tua

6 Casmini, Pola Asuh Orang Tua Ditinjau Dari Penghayatan Ayat-ayat Al-Quran & Hadist Yang Bernuansa Pendidikan, Jenis Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan. Tesis. (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2002)

7 M. Idrus, Kepercayaan Eksistensial Remaja Jawa, Disertasi. (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 2004)

(5)

memberikan peraturan, hukuman, hadiah, kontrol dan komunikasi untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang diharapkan masyarakat.9

Hetherington & Parke memaknai pola asuh orang tua sebagai suatu interaksi antara dua dimensi perilaku orang tua. Dimensi pertama adalah hubungan emosional antara orang tua dan anak. Dimensi kedua, adalah cara-cara orang tua dalam mengontrol perilaku anak-anaknya.10 Dimensi ini merupakan kontrol orang tua yang bersifat perlakuan orang tua terhadap anak yang diekspresikan.

Menurut Supartini, tujuan utama pengasuhan orang tua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya.11 Setiap orang tua memiliki gaya yang unik dalam mendidik maupun mengasuh anak-anak mereka.

Keunikan setiap orang tua dalam mengasuh atau mendidik anak didalam keluarga disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya yaitu seperti usia orang tua, keterlibatan ayah, pendidikan orang tua, pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak, stress orang tua, dan hubungan suami istri.12

9 Casmini., Ibid

10 Hetherington, E. M., & Parke, R. D., Child Psychology A Contemporary Viewpoint. Fourth Edition. (Tokyo: Mc Graw-Hill: 1989), hal. 123

11 Supartini, Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak, (Jakarta: EGC, 2004), hal. 35

(6)

Berdasarkan faktor-faktor tersebutlah maka terjadi adanya perbedaan dalam gaya pola asuh orang tua terhadap anak. Baumrind dalam Santrock mengidentifikasi ada empat gaya pola asuh yaitu “Authoritarian parenting, Authoritative parenting, Neglectful parenting, Indulgent parenting”.13 Baurmind dalam Arnet (ed), menyatakan; “authoritative parenting, Authoritarian parents, Permissive parents, neglectful parents”.14 M. Presley dan McCormick dalam bukunya Child and Adolescent Development for Educators mengungkapkan; “Authoritative parenting, Authoritarian parenting, Permissive parenting, uninvolved parenting”.15 Sementara itu, Fathi menyebutkan 3 macam pola asuh, yakni “Authoritarian, Authoritative dan Permissive”.16

Menurut Fathi, ketiga gaya pola asuh Baurmind, hampir sama dengan pola asuh menurut Hurlock, Hardy, dan Heyes yaitu “pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi dan pola asuh permisif”. Baurmind membagi karakteristik gaya pola asuh menjadi dua dimensi yaitu “the degree of parental responsiveness dan the degree of demand”.

Pola asuh authoritative menjadi pola asuh yang paling ideal dibandingkan dengan ketiga pola asuh lainnya, hal ini disebabkan karena adanya keseimbanganan antara tingginya permintaan orang tua yang dibarengi dengan tinggainya respon yang diberikan orang tua terhadap anak.

13 Santrock., op.cit.

14 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Encycolpedia of Children Adolescents and the Media, (London : Sage Publications, 2007), hal 643

15 Michael Pressley dan Christine B. McCormick., Child and Adolescent Development for Educators, (New York: Guilford, 2007), Hal. 305

(7)

Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative sangat senang dan mendukung dengan perilaku konstruktif anak, serta berharap anak bisa lebih matang, mandiri, dan berperilaku sesuai dengan usia perkembangannya.

Menurut Santrock Anak-anak yang diasuh dengan gaya authoritative

akan memiliki ciri seperti “often cheerful, self-controlled and selfreliant, and achievement oriented; they tend to maintain friendly relations with peers, cooperate with adults, and cope well with stress”.17 Gaya pola asuh Autoritarian. a restrictive, punitive style in which parents exhort the child to follow their directions and respect their work and effort. The authoritarian parent places fi rm limits and controls on the child and allows little verbal exchange. For example, an authoritarian parent might say, “You do it my way or else”.18

Pola asuh authoritarian atau otoriter lebih berorientasi pada adanya permintaan yang tinggi dari orang tua terhadap anak dan tidak dibarengi dengan tingginya respon orang tua terhadap anak, hal ini cenderung memperilihatkan kekuatan (power) orang tua terhadap anak. Pola asuh ini menerapkan disiplin keras yang sesuai dengan kehendak orang tua dan serta membatasi kebabasan anak untuk mengungkapkan perasaannya, hal ini akan memberikan efek buruk terhadap perilaku anak.

Menurut Santrock, efek dari gaya pola asuh authoritarian (otoriter) terhadap perilaku anak yaitu “often unhappy, fearful, and anxious about comparing themselves with others, fail to initiate activity, and have weak

17 Santrock, Ibid., hal. 305

(8)

communication skills. Ditambahkan oleh Hart & dkk. Sons of authoritarian parents may behave aggressively”.19

Menurut Arkoff dalam Fathi, menyebutkan bahwa “anak yang dididik secara otoriter atau ditolak akan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk yang merugikan”.20 Menurut Priyatna (2010: 51) pola asuh otoriter kelak cenderung memicu anak menjadi anak nakal saat dia mulai memasuki bangku sekolah. Gaya pola asuh Permissive (permisif). “in opposition to authoritarian parents. Permissive parents demonstrate a great deal of warmth and acceptance toward children but low levels of parent-child involvement and discipline”.21 Ditambahkan penjelasan menurut Presley dan McCormick. “Permissive parents allow children to make up their own mind about most daily events: snacks, tv viewing, going to bed, and so on. Permissive parent tend to be mildly warm to neutral in the effect they direct toward their children.22

Dalam gaya pola asuh permissive orang tua cenderung untuk mengikuti semua keinginan anak atau dalam istilah lain mungkin yang tepat yaitu memanjakan anak. Orang tua yang memiliki pola asuh permisif menurut Widyarini yaitu berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi pada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak mengatur

19 Santrock, Ibid

20 Fathi, Ibid., hal. 56

21 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Ibid., hal 643

(9)

aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.23

Gaya pola asuh neglectful. “a style in which the parent is very uninvolved in the child’s life”.24 “These parents stress neither responsiveness nor demandingness and exhibit low levels of all parenting practices. The style is characterized by high indifference to children’s needs and behaviors”.25

Kata lain pola asuh ini yaitu uninvolved, sesuai dengan artinya bahwa dalam pola asuh ini keterlibatan orang tua maupun respon orang tua terhadap anak sangat rendah. Orang tua cenderung mengabaikan atau membiarkan anak berkembang dengan sendiri. Anak dalam proses perkembanganya tentu membutuhkan pendamping untuk mengarahkan setiap perilaku dalam kehidupanya, namun tentu jika hal tersebut tidak terjadi maka ini akan mendorong terbentuknya perilaku buruk pada diri anak.

Berikut ini menurut Santrock efek anak yang mendapatkan pola asuh neglectful yaitu socially incompetent, poor self-control and don’t handle independence well. low self-esteem, are immature, and may be alienated from the family. In adolescence, they may show patterns of truancy and delinquency”.26

Orang tua dapat dikatakan sebagai pembentuk kepribadian dari seorang anak, karena sejak dari lahir orang tua lah yang bertanggung jawab bagaimana anak itu bertingkah laku. Ada pepatah yang mengatakan “Buah tak

23 M. Nilam Widyarini, Seri Psikologi Populer : Kunci Pengembangan Diri, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2009), hal. 11

24 Santrock, Ibid., hal. 405

25 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Ibid

(10)

jauh dari akarnya” yang sering diartikan bahwa tingkah laku dan sikap orang tua akan menurun kepada si anak. Maka dari itu sebagai orang tua maka haruslah dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi anaknya. Orang tua juga harus memperhatikan perkembangan jasmani anaknya yang menyangkut kesehatan dan kekuatan badan, ketrampilan otot, memberi pendidikan yang baik agar anak memiliki akal yang cerdas serta pandai, dan berkewajiban untuk menyekolahkan anak.

Kata pola asuh terdapat dua kata yaitu “pola” yang artinya adalah “pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap, sedangkan “asuh” yang artinya adalah dapat berati menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.

Pengertian pola asuh menurut Hetherington & Whiting menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti: proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar.27 Sugihartono dkk menyatakan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak.28 Semenara itu Chabib Thoha seperti yang dikutip oleh Metha S. mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.29 Jadi dapat

27 Heterington,M.E & Porke,R.D. (1999). Child Psychology A Contemporaryn New Point 4th. New York: Mc Graw Hill.inc. hal 281

28 Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Hal. 31

(11)

dikatakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal. Maka sebagai orang tua harus dapat memberikan contoh-contoh serta norma yang baik kepada si anak. Karena bagaimanapun tingkah laku orang tua sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak itu sendiri.

b) Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Tiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan pola asuh atau cara mendidiknya. Sugihartono dkk merumuskan tiga macam pola asuh orang tua, sebagai berikut:30

(1) Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter disini adalah suatu bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua agar si anak tersebut taat dan patuh pada apa yang dikatakan orang tua. Pada pola asuh otoriter ini orang tua bersikap tegas, jika anak melakukan jawab dan orang tua disini tidak banyak mengontrol tingkah laku anak. Dan dapat dikatakan orang tua tidak tahu bagaimana pergaulan si anak dengan teman-temannya.

(3) Pola asuh autoritatif

Pola asuh autoritatif disini adalah suatu bentuk pola asuh orang tua yang didalam pola asuh tersebut ada hak serta kewajiban dari orang tua dan anak itu sendiri dimana didalamnya orang tua dan anak saling melengkapi satu sama lain. Anak diajarkan untuk

(12)

bertanggung jawab sehingga orang tua dapat memberi kebebasan dan kepercayaan kepada anak.

Pola asuh yang dikemukakan oleh oleh Agus Dariyo seperti yang dikutip oleh Metha Silvana Yudha (2011:16) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu:

(1) Pola Asuh Otoriter (parent oriented)

Ciri-cri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak.

(2) Pola Asuh Permisif (children centered)

Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak.

(3) Pola Asuh Demokratis

Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral.

(4) Pola Asuh Situsional

Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.

Pola asuh orang tua memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan pribadi anak seperti yang diharapkan oleh setiap orang tua. Sementara itu, Idrus membedakan tiga macam cara pola pengasuhan orang tua, yaitu meliputi:

a) Pola asuh yang mendorong, dengan ciri-ciri sebagai berikut;

(1) Membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, yaitu orang tua Jawa membimbing anak-anak mereka dengan cara mengalihkan perhatian anak 7 dari hal-hal yang menurut orang tua belum layak disaksikan, ataupun tidak pantas dilihat anak. (2) Menunda kebutuhan sesaat, yaitu orang tua Jawa kerap

(13)

(3) Mengajarkan kepatuhan, yaitu orang tua Jawa sudah mulai mengenalkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak-anak mereka sejak bayi.

(4) Mengajarkan kesopanan, yaitu orang tua Jawa mengajarkan anak mereka untuk berlaku sopan baik terhadap orang tua, orang yang lebih tua, ataupun dengan orang lain sejak anak mereka masih bayi, meskipun anak tersebut belum sepenuhnya mengerti tingkah laku serta kata-kata orang yang ada di sekitarnya. Salah satu adat kesopanan yang diajarkan oleh orang tua Jawa adalah dengan mengajarkan kepada anak mereka sejak bayi untuk menerima maupun memegang sesuatu hanya dengan tangan kanan.

(5) Memberi perintah terperinci tanpa emosional, yaitu orang tua Jawa memberikan perintah terperinci, dan tidak emosional serta tanpa ancaman. Meskipun perintah yang diberikan dilakukan dengan rinci namun tidak didasari rasa emosi ataupun ancaman hukuman jika perintah-perintah tersebut tidak dilakukan oleh anak.

(6) Memberi hadiah, yaitu pemberian hadiah digunakan sebagai strategi orang tua Jawa untuk membiasakan perilaku yang diharapkan oleh mereka dan orang sekitar mereka.

b) Pola asuh yang menghambat, dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) Menakut-nakuti anak, yaitu orang tua Jawa menaku-nakuti

anak mereka melalui ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus. Namun model pengasuhan dengan menakut-nakuti ini didorong oleh keinginan orang tua agar anaknya berperilaku baik, dan orang asing akan berbuat jahat kepadanya jika dirinya tidak menunjukkan sikap dan perilaku yang baik.

(2) Memberi hukuman, yaitu dalam pemberian hukuman ini orang tua Jawa jarang memberi hukuman yang akan menghilangkan kasih sayang. Hukuman ini akan diberikan ketika anak sudah melakukan kesalahan atau tidak mematuhi perintah secara berulang, dan benar-benar telah membuat marah orang tua, orang tua tidak akan memberi hukuman ketika pertama kali anak melakukan kesalahan tetapi menuggu sampai datang kesempatan baru yang tepat untuk memberinya hukuman. Hukuman yang diberikan orang tua Jawa tidak selamanya berupa hukuman fisik, ataupun ungkapan verbal yang kasar lainnya, melainkan dengan tidak mengajak bicara atau disebut dengan disatru.

(3) Memusuhi (menyatru), yaitu makna harfiahnya adalah dimarahi atau dimusuhi biasanya dengan tidak diajak bicara. c) Pola asuh yang membiarkan, dengan ciri sebagai berikut;

(14)

(2) Ngelulu, yaitu membiarkan anak atau seseorang untuk bermacam-macam pola asuh seperti: pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, pola asuh permissif, pola asuh autoritatif, dan pola asuh situsional.

Baumrind seperti dikutip Maccoby membagi pola asuh orang tua menjadi dua dimensi control (Kontrol) dan Warmith (kehangatan).32

a) Dimensi kontrol

Dimensi ini berhubungan dengan sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntun kematangan serta tingkah laku yang bertanggung jawab dari anak. Tingkah laku dari orang tua yang bervariasi pada dimensi ini, ada yang menuntut ( restriktif) dan banyak berharap dari anak, sementara yang lain kurang menuntut dan permissif. Menurut Maccoby pengertian kontrol dapat mencakup aspek-aspek:

(1) Restrictiveness (pembatasan-pembatasan)

(15)

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orang tua bisa bermacam-macam: ada orang tua yang mengharapkan anak membantu tugas-tugas orang tua menuntut kesopanan dalam relasi interpersonal dan sebagainya. Tuntutan-tuntutan yang dibuat orang tua itu ada yang sedikit ada yang banyak.

(3) Strictness (keketatan)

Stricness dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan tegas dalam menjaga agar anak selalu mematuhi semua aturan atau memenuhi tuntutan. Orang tua yang menerapkan disiplin keras, tidak konsisten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentimen, kekerasan dan kecemasan pada anak.

(4) Intrusiveness (campur tangan)

Intrusiveness ini memperlihatkan suatu keadaan dimana orang tua melakukan intervensi terhadap anak dalam rencanarencananya, hubungan-hubungan ataupun dalam kegiatan lain. Campurtangan tersebut mengakibatkan sense of control, yaitu perasaan bahwa dirinya mempunyai control, yang tercermin melalui rasa optimistis dan percaya diri. Anak yang selalu mendapat campur tangan orang tua akan memperlihatkan rasa tidak berdaya, berupa sifat pasif, kurang inisiatif dan kehilangan motivasi.

Sebaliknya anak yang memiliki cence of control yang kuat akan merasa mampu mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuannya sehingga ia akan lebih aktif berinisiatif dan mandiri.

(5) Arbitrary vs Power assertion (penggunaan kekuasaan sewenang-wenang).

Orang tua yang menggunakan kekuasaan sewenangwenang, memiliki control yang tinggi dalam menegakkan aturanaturan dan batasan-batasan. Orang tua mungkin akan menggunakan hukuman bila tingkah laku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum anak, orang tua tidak memberikan penjelasan-penjelasan. Orang tua merasa ia memiliki hak khusus untuk menentukan sesuatu yang menyangkut anak dan anak pun harus mengakui hak tersebut. b) Dimensi warmth

(16)

responsif adalah orang tua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.

Maccoby menyebutkan beberapa ciri lain yang menunjukkan adanya wartmth (kehangatan), yaitu Orang tua yang menerima anak, memiliki perhatian yang besar terhadap anak serta memberikan kasih sayangnya. Orang tua juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengembangkan kemampuan serta minatminat anak.

(1) Memperhatikan kesejahteraan, meliputi:

a. Pemenuhan afeksi dan rasa memiliki atau dimiliki; b. Memberikan rasa aman dan pengakuan;

c. Mendorong kemandirian; d. Memberikan perhatian; dan

e. Memberikan kesempatan untuk berprestasi.

(2) Cepat tanggap materi; seperti pangan, sandang, tempat tinggal, kesehatan, waktu istirahat, dan aktivitas.

(3) Bersedia meluangkan waktu untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan.

(4) Siap untuk menanggapi kecakapan atau keberhasilan secara antusias dan siap menolong apabila diperlukan.

(5) Peka terhadap keadaan emosi.

(17)

nyaman. Anak akan menerima kesan yang tegas bahwa ia diterima dan diakui sebagai individu oleh orang tua. Sebaliknya orang tua yang tidak hangat sering kali mengkritik, menghukum atau mengabaikan anak. Orang tua tersebut jarang sekali menunjukkan pada anak bahwa ia mampu diterima.

Dari kedua dimensi tersebut kemudian berkembang menjadi tiga pola asuh orang tua seperti dikutip oleh Richard M Lerner dan David F Hultsch, yaitu:33

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah jenis pola asuh yang memiliki ciri-ciri: orang tua berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar mutlak perilaku. Orang tua jenis ini menekankan nilai ketaatan kepada anak-anaknya. Suka menghukum dengan hukuman fisik, sering terjadi konplik antara anak dan orang tua karena perbedaan sudut pandang, memperlakukan anak seperti bawahan, lebih menganut sruktur sosial tradisional, dan disiplin keras.

Orang tua yang otoriter tidak mendorong anak untuk mengemukakan pendapatnya, dan tidak menerima pendapat anak. Sebaliknya orang tua yang otoriter memperlakukan anak harus tunduk dan patuh pada aturan yang telah ditetapkannya.

Orang tua yang bersikap masa bodoh, kaku, kurang mempengaruhi kesejahteraan anak, dan menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak.

(18)

Pola pengasuhan jenis ini mengakibatkan perilaku anak menjadi agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh atau keras kepala, suka bertengkar, dan nakal), kurang dapat melaksanakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung, penakut, sulit bergaul, pendiam, sadis, inklusif, tidak dapat mengambil keputusan, nakal, dan selalu bersipat bermusuhan atau agresif.

b. Pola Asuh Permissif

Pola asuh ini adalah jenis pola asuh yang memiliki ciri-ciri: memberikan kebebasan untuk berfikir atau berusaha, selalu menerima gagasan atau pendapat, membuat anak merasa diterima dan merasa kuat, toleran dan memahami kelemahan anak, cenderung lebih suka memberi yang diminta anak dari pada menerima, orang tua selalu berkonsultasi dengan anak dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam keluarga, dalam menerapkan aturan selalu dijelaskan alasan-alasan tentang peraturan tersebut. Tetapi orang tua yang permissif tidak menjadikan dirinya sumber yang aktif dengan tanggungjawab untuk membentuk prilaku anak pada waktu sekarang dan yang akan datang. Orang tua memberikan kebebasan dalam perilaku anak, orang tua kurang mengontrol perilaku anak sehingga kadang-kadang perilaku anak tidak sesuai dengan standar sosial yang berlaku, orang tua selalu memberikan sesuatu yang diminta anak, dan membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah.

(19)

diri yang bagus, tetapi menjadi penuntut tidak sabaran, perilaku anak menjadi tidak patuh, tidak bertanggung jawab, agresif, teledor, bersikap otoriter dan terlalu percaya diri.

c. Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh jenis ini memiliki ciri-ciri: Orang tua berusaha untuk mengarahkan anaknya atau aktipitas anaknya yang berorientasi rasional, melalui penjelasan dan sesuai dengan daya nalar anak. Ada upaya orang tua untuk mempengaruhi perilaku anak, yaitu melalui penalaran dan penjelasan. Orang tua yang otoritatif berusaha mengendalikan anak, mendorong anak untuk mengemukakan pendapatnya karena itu memunginkan orang tua menerima pendapat anaknya dalam mengambil kebijakan. Walaupun orang tua melakukan kontrol yang kuat kepada anaknya tetapi tidak membebani anaknya sebaliknya kepentingan kebutuhan dan tahap perkembangan anak menjadi hal yang penting dalam memperlakukan anak.

Orang tua tetap menjaga hak sebagai orang tua dan hak anak sebagai anak. Orang tua selalu memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah, orang tua selalu mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak bersipat respek terhadap anak, mendorong anak untuk menyatakan perasaannya, dan pendapatnya, dan orang tua selalu berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya.

(20)

dan bersipat optimis mau menerima tanggung jawab, bersikap jujur, dapat dipercaya, memiliki perencanaan yang jelas untuk masa depan, dan bersikap

realistik (memahami kekuatan dan kelemahan dirinya secara obyektif).

Dari ketiga cara pola asuh diatas, pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan oleh orang tua. Pola asuh seperti ini ternyata memberikan kontribusi kepada perkembangan kepribadian anak yang sehat.

Mengkaji hal yang sama, Yusuf dan Nurihsan mengemukakan lima prinsip affective parenting, yaitu:34

a. Hendaknya orang tua menyusun standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami oleh anak. Dalam hal ini anak dapat diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.

b. Hendaknya orang tua selalu menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang. Namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.

c. Hendaknya orang tua menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika meminta anak untuk mengerjakan sesuatu.

(21)

d. Hendaknya orang tua mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain.

e. Hendaknya orang tua menegakkan aturan secara konsisten.

Maccoby telah membandingkan pola asuh kelas menengah dan atas dengan pola asuh kelas pekerja, hasilnya menunjukkan bahwa orang tua kelas bawahan atau pekerja cenderung: (a) sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, (b) lebih restritif (keras) dan otoriter, (c) kurang memberikan alasan kepada anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberi kasih sayang kepada anak.35

Pikunas mengemukakan pendapat tentang kaitan dengan kelas sosial dengan cara atau teknik orang tua dalam mengelola atau mengasuh anak yaitu:

a. Kelas bawah (lower class): cenderung lebih keras dalam toilet training, dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan orang tua dari golongan kelas menengah.Anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual;

b. Kelas menengah (middle class): cenderung lebih memberikan pengawasan, dan perhatiannya sebagai orang tua. Para ibunya merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekankan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau lahan profesional;

(22)

c. Kelas atas (upper class): cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya. Anak-anak cenderung memiliki sikap manipulasi aspek realitas.36 Sejalan dengan hal diatas, David dalam Moh. Shohib, mengatagorikan keluarga atau pola asuh keluarga kedalam beberapa jenis yaitu; keluarga seimbang, keluarga kuasa, keluarga protektif, keluraga kacau, dan keluarga simbotis.37

a) Kelurga seimbang

Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena didalam keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak akan merasa aman walaupun tidak selalu disadari. Diantara keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.

b) Keluarga Kuasa

36 Justin Pikunas, Human Development: an Emergent Science, 3rd edition, (Tokyo: Mr. Grow Hill Inc, 1976), hal. 209

(23)

Keluarga kuasa adalah keluarga yang lebih menekankan kekasaan dari pada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis.Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawasan tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengakan”.

c) Keluarga Protektif

Keluarga Protektif adalah keluarga yang lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidak cocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua itu lebih banyak pada upaya memberikan dukungan, perhatian dan garis-garis pedoman sebagai rujukkan kegiatan. Esensi dinamika keluarga adalah komunikasi dialogis yang didasarkan pada kepekaan dan rasa hormat.

d) Keluarga Kacau

Keluarga kacau adalah keluarga yang kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul komplik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak.

(24)

Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapat kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga.

Dinamika keluarga banyak hal sering menimbulkan kontradiksi karena pada hakikatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.

e) Keluarga Simbiotis

Keluarga simbiotis adalah keluarga yang ditandai oleh orientasi dan perhatian kelurga yang kuat dan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi keselamatan”.

Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Anak dewasa ini dalam keluarga ini belum memperlihatkan perkembangan sosialnya. Dalam kesehariannya dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja. Rumah dalam keluarga mendominasi para anggota keluarga.

Maurice Bolson mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya, yaitu adanya tiga perubahan dalam peran pengasuhan yang terbukti sangat sulit bagi orang tua, yang menyebabkan sebagian kita sulit menerima perubahan itu adalah karena kita cenderung memandangnya sebagai kekalahan dan bukan perubahan.38

(25)

Jika kita bisa memandang perubahan ini lebih positif dan lebih memahami mengapa penting bagi orang tua untuk membiarkannya terjadi, kita akan lebih mudah menerima dan menyesuaikan diri. Ketiga hal itu adalah: (a) Perubahan itu menjadi pusat perhatian dalam kehidupan anak menjadi hanya salah seorang dari banyak orang yang hanya dipedulikan anak, (b) Saat kita harus berubah dari mengendalikan kehidupan anak menjadi membantunya mengendalikan kehidupannya sendiri, dan (c) Perubahan dari berusaha membantu anak menjadi membiarkan anak menjadi dirinya sendiri.

Jelasnya semua perilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat-sifat tersebut diakui dipengaruhi oleh pendidikan atau pola asuh dalam keluarga. Dengan kata lain, pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Pola asuh orang tua bersentuhan langsung dengan tipe-tipe kepemimpinan orang tua dalam keluarga. Tipe-tipe kepemimpinan bermacam-macam, sehingga pola asuh keluargapun bermacam-macam. Pada garisnya besarnya tipe kepemimpinan itu adalah otoriter, demokratis dan campuran antara otoriter dan demokratis, sehingga pola asuh pun ada yang otoriter, permissif (demokratis), dan otoritatif (campuran antara otoriter dan demokratis).

(26)

(keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati), pengusaan teknis mendidik anak, ketegasan dalam mengambil keputusan, cerdas, memiliki kepercayaan diri.

c) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh mempunyai sejarah sendiri-sendiri dan latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Menurut Maccoby & Mc loby ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu: sosial ekonomi.

Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh status ekonomi.

Pendidikan: Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat memengaruhi pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya.

(27)

Kepribadian: Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak.39 Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.

Jumlah anak: Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan memengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.40

Menurut Hurlock ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:41

(1) Pendidikan orang tua

Hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan orang tua mempengaruhi dalam menetapkan pola asuh.

(2) Kelas sosial

Orang tua yang berada dalam kelas sosial menengah lebih menetapkan pola asuh permissif dibandingkan dengan orang tua yang memiliki kelas sosial bawah.

(3) Konsep tentang peran

39 Riyanto Bambang, Dasar-dasar pembelanjaan perusahaan, edisi 4, (Yogyakarta: BPFE, 2002), hal. 18

40 Okta Sofia, Pengaruh pola asuh orangtua, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 91

(28)

Orang tua yang memiliki konsep tradisional cenderung menetapkan pola asuh yang ketat terhadap anak dibandingkan dengan orang tua yang memiliki konsep nontradisional atau lebih modern dapat lebih memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan kegiatan yang disenanginya tapi masih masuk dalam kegiatan yang positif.

(4) Kepribadian orang tua

Dalam hal ini kepribadian oran tua mempengaruhi dalam menetapkan pola asuh orang tua.

(5) Kepribadian anak

Tidak hanya kepribadian orang tua yang mempengaruhi pola asuh orang tua tetapi juga keprbadian anak. Anak yang berpikiran terbuka akan lebih mudah menerima kritik, saran dan rangsangan dari luar sehingga lebih mudah untuk dikendalikan daripada anak yang bersifat tertutup.

6) Usia anak

Usia anak juga mempengaruhi bagaimana orang tua menetapkan pola asuh, terutama pada anak pra sekolah yang masih sangat membutuhkan perhatian dari orang tua tentu saja pola asuhnya akan berbeda dengan anak yang sudah remaja yang perlu sedikit kebebasan dalam bergaul dengan teman seusianya.

Pada kesempatan lainnya, Horlock berpendapat beberapa faktor yang memengaruhi pola asuh orang tua, yaitu:

a) Tingkat sosial ekonomi

Orang tua yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah lebih bersikap hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah.

b) Tingkat Pendidikan

`Latar belakang pendidikan orang tua yang lebih tinggi dalam praktek asuhannya terlihat lebih sering membaca artikel ataupun mengikuti perkembangan pengetahuan mengenai perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya mereka menjadi lebih siap karena memiliki pemahaman yang lebih luas, sedangkan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas, memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan dan perkembangan anak sehingga kurang menunjukan pengertian dan cenderung akan memperlakukan anaknya denga ketat dan otoriter.

c) Kepribadian.

Kepribadian orang tua dapat mempengaruhi penggunaan pola asuh. Orang tua yang konservatif cenderung akan memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.

d) Jumlah anak

(29)

orang tua dan anak lebih menekankan pada perkembangan pribadi dan kerja sama antar anggota keluarga lebih dperhatikan. Sedangakan orang tua yang memiliki anak berjumlah lebih dari lima orang (keluarga besar) sangat kurang memperoleh kesempatan untuk mengadakan kontrol secara intensif antara orang tua dan anak, karena orang tua secara otomatis berkurang perhatiannya pada setiap anak.42

Dari pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock dapat diambil kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh oran tua seperti pendidikan orang tua, kelas sosial orang tua, konsep tentang peran, kepribadian orang tua, kepribadian anak serta usia anak.

Dalam pola pengasuhan sendiri terdapat banyak faktor yang mempengaruhi serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan pada anak-anaknya. Menurut Manurung beberapa faktor yang memengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua adalah:

1) Latar belakang pola pengasuhan orang tua Maksudnya para orang tua belajar dari metode pola pengasuhan yang pernah didapat dari orang tua mereka sendiri.

2) Tingkat pendidikan orang tua Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

3) Status ekonomi serta pekerjaan orang tua Orang tua yang cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang menjadi kurang memperhatikan keadaan anak-anaknya. Keadaan ini mengakibatkan fungsi atau peran menjadi “orang tua” diserahkan

(30)

kepada pembantu, yang pada akhirnya pola pengasuhan yang diterapkanpun sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh pembantu.43

Sedangkan Santrock menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain:

1) Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya. Orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.

2) Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat antara dulu dan sekarang.44

Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi terbentuknya pola asuh orang tua dalam keluarga, diantaranya:

a. Budaya setempat Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat dan budaya yang berkembang di dalamnya.

b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua Orangtua yang mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung untuk menurunkan kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa nantinya nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembangkan oleh anak dikemudian hari.

c. Letak geografis dan norma etis. Penduduk pada dataran tinggi tentu memiliki perbedaan karakteristik dengan penduduk dataran rendah

43 Manurung, Manajemen Keluarga, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1995), hal. 53

(31)

sesuai tuntutan dan tradisi yang dikembangkan pada tiap-tiap daerah.

d. Orientasi religius Orangtua yang menganut agama dan keyakinan religius tertentu senantiasa berusaha agar anak pada akhirnya nanti juga dapat mengikutinya.

e. Status ekonomi Dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan pola asuh orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap orangtua sesuai.

f. Bakat dan kemampuan orangtua Orangtua yang memiliki kemampuan komunikasi dan berhubungan dengan cara yang tepat dengan anaknya cenderung akan mengembangkan pola asuh yang sesuai dengan diri anak.

g. Gaya hidup Gaya hidup masyarakat di desa dan di kota besar cenderung memiliki ragam dan cara yang berbeda dalam mengatur interaksi orangtua dan anak.

Soekanto secara garis besar menyebutkan bahwa “ada dua faktor yang mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu faktor eksternal serta faktor internal.” Faktor eksternal adalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik serta lingkungan kerja orang tua, sedangkan faktor internal adalah model pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.45

(32)

Secara lebih lanjut pembahasan faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam pola pengasuhan orang tua adalah:

1) Lingkungan sosial dan fisik tempat dimana keluarga itu tinggal. Pola pengasuhan suatu keluarga turut dipengaruhi oleh tempat dimana keluarga itu tinggal. Apabila suatu keluarga tinggal di lingkungan yang otoritas penduduknya berpendidikan rendah serta tingkat sopan santun yang rendah, maka anak dapat dengan mudah juga menjadi ikut terpengaruh.

2) Model pola pengasuhan yang didapat oleh orang tua sebelumnya. Kebanyakan dari orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola pengasuhan yang mereka dapatkan sebelumnya. Hal ini diperkuat apabila mereka memandang pola asuh yang pernah mereka dapatkan dipandang berhasil.

3) Lingkungan kerja orang tua Orang tua yang terlalu sibuk bekerja cenderung menyerahkan pengasuhan anak mereka kepada orang-orang terdekat atau bahkan kepada baby sitter. Oleh karena itu pola pengasuhan yang didapat oleh anak juga sesuai dengan orang yang mengasuh anak tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memepengaruhi pola asuh orang tua yaitu adanya hal-hal yang bersifat internal (berasal dalam diri) dan bersifat eksternal (berasal dari luar). Hal itu menentukan pola asuh terhadap anak-anak untuk mencapai tujuan agar sesuai dengan norma yang berlaku

(33)

Tujuan pendidikan anak usia dini adalah meletakkan dasar-dasar kearah perkembangan perilaku, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak sehingga berkembanglah semua potensi yang dimiliki anak, hal ini sejalan dengan pendapat Suyanto pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak (the whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai falsafah suatu bangsa.46

Untuk itu, dalam mencapai tujuan itu orang tua dan guru perlu memahami kemampuan-kemampuan yang harus dikuasai anak. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan menjadikan anak sukses menjalani kehidupan ini.

Hal ini sejalan dengan pendapat Euis, yang menyatakan bahwa “Pola asuh merupakan serangkaian interaksi yang intensif, orangtua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup”.47 Sedangkan Maccoby dalam Yanti, mengemukakan istilah pola asuh orangtua untuk menggambarkan interaksi orangtua dan anak-anak yang didalamnya orangtua mengekspresikan sikapsikap atau perilaku, nilai-nilai, minat dan harapan-harapanya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya.48 Sedangkan Khon Mu’tadin menyatakan bahwa pola asuh merupkan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orangtua

46 Slamet Suyanto, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Dirjen Dikti, 2005), hal. 5

47 Sunarti Euis, Mengasuh Anak dengan Hati, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), hal. 18

(34)

mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak sehingga memungkinkan anak untuk mencapai tugas-tugas perkembangannya.49

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan perkembangan anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku.

Menurut Baumrind dalam Santrock ada empat macam bentuk pola asuh adalah sebagai berikut: Pola asuh otoriter adalah suatu jenis bentuk pola asuh yang menuntut agar anak patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orangtua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapat sendiri.50 Anak dijadikan sebagai miniatur hidup dalam pencapaian misi hidupnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Shapiro bahwa “Orangtua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak”.51 Baumrind juga mengatakan bahwa pola asuh otoritatif atau demokrasi, pada pola asuh ini orangtua yang mendorong anak-anaknya agar mandiri namun masih memberikan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal dimungkinkan dengan kehangatan-kehangatan dan kasih sayang yang

49 Muktadin, Zainun.2010. Pola Pengasuhan dan Gangguan Kepribadian. http:/www.e.Psikologi.com,2012. Diakses pada tanggal 25 Maret 2017 pukul 19:30 WIB

50 Santrock, Ibid., hal. 257-258

(35)

diperlihatkan. Anak-anak yang hidup dalam keluarga demokratis ini memiliki kepercayaan diri, harga diri yang tinggi dan menunjuk perilaku yang terpuji.

Shapiro mengemukakan “Dalam hal belajar orangtua otoritatif menghargai kemandirian, memberikan dorongan dan pujian.52 Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan penerapan pola asuh autoritatif indentik dengan penanaman nilai-nilai demokrasi yang menghargai dan menghormati hak-hak anak, mengutamakan diskusi ketimbang interuksi, kebebasan berpendapat dan selalu memotivasi anak untuk menjadi yang lebih baik.

Pola asuh penelantaran adalah pola asuh dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, orangtua pada pola asuh ini mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting dari pada anak-anak. Dimana orangtua lebih cenderung membiarkan anak-anaknya dibesarkan tanpa kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup. Sedangkan yang dimaksud dengan pola asuh orang tua permisif dimana pada pola asuh ini orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, namun menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap anak-anak mereka.

Orangtua cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja, sehingga anak tidak dapat mengendalikan perilakunya serta tidak mampu untuk menaruh hormat pada orang lain. Selanjutnya Shapiro mengemukakan bahwa “orangtua permisif berusaha menerima dan mendidik

(36)

anaknya sebaik mungkin tapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidak patuhan”.53

Orangtua permisif tidak begitu menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesusai dengan kecenderungan alamiahnya. Sedangkan Covey menyatakan bahwa “orangtua yang menerapkan pola asuh permisif cenderung ingin selalu disukai dan anak tumbuh dewasa tanpa pengertian mendalam mengenai standar dan harapan, tanpa komitmen peribadi untuk disiplin dan bertanggungjawab”.54

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua yang permisif, tidak dapat menanamkan perilaku moral yang sesuai dengan standar sosial pada anak. Karena orangtua bersifat longgar dan menuruti semua keinginan anak. Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa masingmasing dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua juga akan menghasilkan macammacam bentuk perilaku moral pada anak. oleh karena itu orang tua harus memahami dan mengetahui pola asuh mana yang paling baik dia terapkan dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Pola asuh orang tua yang berbeda juga akan memberi dampak yang berbeda dalam pembentukan karakteristik siswa satu dengan yang lainnya. Dibawah ini akan dijelaskan karakteristik yang ada pada anak sesuai dari

53Ibid., hal. 127-128

(37)

akibat yang ada pada ketiga macam pola asuh diatas yang dikemukakan oleh Sugihartono dkk:55

1) Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter ini yang mana sikap dari orang tua dalam mengasuh anaknya menitik beratkan kepada kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan kepada orang tua. Jadi dapat dikatakan bahwa sikap orang tua yang seperti ini anak harus selalu mengikutinya dan melaksanakan karena kebanyakan orang tua yang seperti ini akan memberi hukuman atau teguran yang cukup keras kepada anaknya sendiri apabila si anak tidak mengikuti aturan atau perintah orang tua. Dan anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini dapat menjadi penyendiri, mengalami kemunduran dalam kematangannya, ragu dalam bertindak, mudah gugup, serta lambat berinisiatif.

2) Pola asuh permissif

Pola asuh permissif ini yang mana sikap orang tua dalam mengasuh anaknya dapat dikatakan kurang berwibawa, kurang tegas, terlalu membebaskan anak dan terkadang tidak peduli atau acuh kepada anak. Pola asuh orang tua yang seperti ini sangat tidak baik dan tidak dianjurkan karena anak akan menjadi semena-mena dan sesuka hatinya. Dan sifat dari keluarga ini biasanya bersikap agresif, tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, kurang dapat beradaptasi, labil dan memiliki sikap gampang curiga dengan orang lain.

3) Pola asuh autoritatif

(38)

Pola asuh autoritatif ini yang mana pola asuh ini sangat dianjurkan dalam mendidik anak karena dengan menggunakan pola asuh ini anak diajarkan cara bertanggung jawab, serta lebih dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan baru, dapat bersikap fleksibel, dapat menguasai diri, mau menghargai dan menerima saran, kritik serta pendapat dari orang lain, bersikap aktif serta stabil.

Dari ketiga macam bentuk pola asuh orang tua yang sudah dijelaskan diatas, dapat diidentifikasi pengaruh dari berbaai macam pola asuh orang tua terhadap prestasi belajar KKPI. Orang tua yang menerapkan pola asuh autoritatif akan melibatkan anak sepenuhnya dalam pembagian tanggung jawab dirumah. Memiliki tingkat pengendalian yang tinggi dan mengharuskan anak-anaknya bertindak pada tingkat intelektual dan sosial sesuai usia dan kemampuan mereka. Karena orang tua dapat bersikap realistis terhadap kemampuan yang dimiliki oleh anak dan tidak mengaharapkan hal yang terlalu berlebihan dan memaksakan kepada anak karena orang tua sampai dimana kemampuan anak. Orang tua juga memberikan kebebasan kepada anak untuk mengembangkan kreatifitas anak, serta kebebasan untuk memilih dan melakukan tindakan tapi anak juga harus bertanggung jawab dengan apa yang dipilihnya. Orang tua juga dalam melakukan pendekatan kepada anak dengan bersikap hangat sehingga anak merasa nyaman dan juga merasa dihargai oleh orang tua.

(39)

orang tua dan juga membatasi anak. Anak-anak dengan orangtua seperti ini cenderung memiliki kompetensi dan tanggung jawab sedang, cenderung menarik diri secara social dan tidak memiliki sikap spontanitas. Anak perempuan akan tergantung pada orangtuanya dan tidak memiliki motivasi untuk maju, anak laki cenderung lebih agresif dibandingkan anak laki-laki yang lain. Lain lagi dengan pola asuh permissif yang mana anak menjadi tidak terkontrol karena anak tidak diajari untuk bertanggung jawab, hanya diberi kebebasan untuk bertindak. Padahal anak pada usia remaja masih sangat membutuhkan arahan serta bimbingan dari orang tua.

2. Gaya Mengajar Guru

Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah berhenti. Berbagai terobosan baru terus dilakukan oleh pemerintah melalui Kemdiknasbud. Upaya ini antara lain dalam pengelolaan sekolah, peningkatan sumberdaya tenaga pendidik, pengembangan materi ajar, serta pengembangan paradigm baru dengan metodologi pengajaran. Dengan demikian tenaga pendidik yaitu guru memiliki peran serta tanggung jawab untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam hal ini guru harus mampu mentrasfer ilmu yang dimilikinya kepada siswa.

(40)

hanya melakukan proses pembelajaran saja di sekolah, justru guru harus mampu membantu para siswa agar dapat terus maju dalam bidang akademik.

Oleh karena itu guru disarankan melakukan perubahan dalam gaya pengajaran mereka di dalam sekolah untuk dapat disesuaikan dengan gaya pembelajaran yang membuat siswa dapat memahami materi yang diberikan kepada mereka. Gaya mengajar guru merupakan cara atau teknik seorang guru dalam menyampaikan isi pengajaran mereka. Gaya mengajar guru berkaitan dengan penyampaian, interaksi dan ciri-ciri kepribadian guru.

Gaya mengajar adalah penting karena memberi kesan terhadap

pemahaman para pelajar yang berkaitan dengan materi pengajaran yang

disampaikan. Gaya belajar siswa dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi guru untuk

menggunakan gaya pengajaran yang sesuai. Guru seharusnya memahami gaya

belajar siswa dan menganggap perbedaan yang ada pada diri seorang pelajar itu

merupakan suatu keistimewaan dan mereka dapat menggunakan keistimewaan itu

secara berkesan dalam pembelajaran mereka.

Apabila gaya mengajar guru, sumber dan program disesuaikan dengan

gaya belajar siswa, maka pencapaian akademik dan sikap siswa akan meningkat.

Gaya belajar setiap siswa berbeda antara satu dengan lain tanpa membedakan

umur, status sosial ekonomi atau Intelligence Quotient (IQ) dan guru seharusnya

peka terhadap masalah-masalah tersebut.

Selain gaya guru dalam mengajar para siswa, gaya belajar siswa juga

berpengaruh pada motivasi belajar yang diperoleh siswa. Kenyamanan perasaan

(41)

memahami apa yang sedang dipelajari inilah yang disebut dengan gaya belajar.

Gaya belajar tersebut meliputi gaya belajar visual, auditorial dan gaya belajar

kinestetik.

Kemampuan siswa untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti

berbeda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat.

Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa

memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.

Sebagian siswa lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menuliskan

segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian

mencoba memahaminya. Tapi, sebagian siswa lain lebih suka guru mereka

mengajar dengan cara menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan

untuk bisa memahaminya. Sementara itu, ada siswa yang lebih suka membentuk

kelompok kecil untuk mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran

tersebut.

Cara lain yang juga kerap disukai banyak siswa adalah model belajar yang

menempatkan guru seperti seorang penceramah. Guru diharapkan bercerita

panjang lebar tentang beragam teori dengan segudang ilustrasinya, sementara para

siswa mendengarkan sambil menggambarkan isi ceramah itu dalam bentuk yang

hanya mereka pahami sendiri.

Gaya mengajar adalah bentuk penampilan guru saat proses belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler maupun psikologis.56 Gaya mengajar yang bersifat kurikuler adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat

(42)

mata pelajaran tertentu. Sedangkan gaya mengajar yang bersifat psikologis adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan motivasi siswa, pengelolaan kelas, dan evaluasi hasil belajar mengajar.

Gaya mengajar merupakan suatu cara untuk melangsungkan proses belajar mengajar sehingga tujuan dapat dicapai. Gaya mengajar merupakan suatu cara tertentu yang dipergunakan oleh guru untuk pengorganisasian dan bimbingan pengalaman belajar siswa. Berkat pengalaman belajar, siswa memperoleh pengetahuan, sikap, atau nilai, dan keterampilan tertentu sesuai dengan bentuk pola perilaku yang ditetapkan dalam tujuan.57

Mulyasa menjelaskan bahwa keterampilan mengajar merupakan potensi professional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh.58 Lebih lanjut dikatakan oleh Turney dalam Mulyasabahwa ada 7 keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran yaitu menggunakan keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan pelajaran, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok, dan mengelola kelas.59

Gaya mengajar seorang guru berbeda antara yang satu dengan yang lain pada saat proses belajar mengajar walaupun mempunyai tujuan sama, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan, membentuk sikap siswa, dan menjadikan siswa terampil dalam berkarya. Gaya mengajar guru juga mencerminkan kepribadian guru itu sendiri dan sulit untuk diubah karena sudah menjadi pembawaan sejak

57 Ibid

58 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Rosdakarya, 2008), hal. 17

(43)

kecil atau sejak lahir. Dengan demikian, gaya mengajar guru menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan prestasi siswa.

Gunawan mengemukakan bahwa gaya belajar adalah cara yang lebih kita suka dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu informasi.60 Lebih lanjut, dalam bukunya Genius Learning Strategy Gunawan mengemukakan bahwa garis besar, ada tujuh pendekatan yang umum dikenal dengan kerangka referensi yang berbeda, dan dikembangkan juga oleh ahli yang berbeda dengan variasi masing-masing. Ketujuh cara belajar itu adalah pendekatan berdasarkan pada pemrosesan informasi. Dalam pendekatan ini menentukan cara yang berbeda dalam memandang dan memroses informasi baru.

Pendekatan berdasarkan pada kepribadian yang menentukan tipe karakter yang berbeda. Pendekatan berdasarkan pada modalitas sensori yang menentukan tingkat ketergantungan terhadap indera tertentu. Pendekatan berdasarkan pada lingkungan yang menentukan respon yang berbeda terhadap kondisi fisik, psokologis, social, dan instruksional. Pendekatan berdasarkan interaksi social yang menentukan cara yang berbeda dalam berhubungan dengan orang lain. Pendekatan berdasarkan kecerdasan yang menentukan bakat yang berbeda. Pendekatan berdasarkan pada wilayah otak yang menentukan dominasi relative dari berbagai bagian otak, misalnya otak kiri dan otak kanan.

3. Motivasi Belajar Siswa

Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan

(44)

sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang sesungguhnya.61

Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama.62 Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.63

Sejalan dengan pernyataan Santrock di atas, Brophy menyatakan bahwa motivasi belajar lebih mengutamakan respon kognitif, yaitu kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna dan bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut.64 Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang disampaikan, membaca materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan-bahan

61 Paul R Pintrich, Motivation and Classroom Learning, (New Jersey: John Wiley &

Sons, Inc, 2003), hal.111

62 Santrock., Op.Cit., hal. 245

63 A.M. Sardiman, Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 91

(45)

yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan. Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut.65

Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yang dikemukakan oleh Santrock, yaitu:66

a. Motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik. Terdapat dua kegunaan dari hadiah, yaitu sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah mengontrol perilaku siswa, dan mengandung informasi tentang penguasaan keahlian.

b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan itu. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa. Terdapat dua jenis motivasi intrinsik, yaitu:

65 Ibid

(46)

1) Motivasi intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Minat intrinsik siswa akan meningkat jika mereka mempunyai pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka. 2) Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman

optimal kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.

Menurut Brophy, terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar siwa, yaitu:

a. Harapan guru b. Instruksi langsung

c. Umpanbalik (feedback) yang tepat d. Penguatan dan hadiah

e. Hukuman.67

Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman menyatakan bahwa bentuk dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar adalah:

a. Pemberian angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan tujuan utama yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat dikatakan bahwa pada pola asuh otoriter, orang tua cenderung memperlakukan anaknya dengan kaku dan ketat dengan tujuan sebagai pengontrol tingkah laku

Setiap orang tua berbeda-beda dalam menerapkan disiplin pada anaknya. Penerapan disiplin ini identik dengan pola asuh. Setiap tipe pola asuh mengakibatkan efek yang berbeda.

tahu tentang pengetahuan yang sedang dipelajari anaknya, agar ketika anak mendapat kesulitan orang tua dapat membantu menyelesaikannya. Hal yang paling penting dalam

1) Pola Asuh Otoriter. Dalam pola asuh ini orang tua menerapkan seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak, cenderung menggunakan pendekatan yang

kepada anak. Orang tua tidak otoriter, tidak terlalu membatasi kegiatan anak, yang tidak terlalu cemas mengenai anak mereka. 2) Respek, Orang tua yang menghormati anaknya

Berdasarkan hasil dari pengolahan data antara pola asuh orang tua terhadap kedisiplinan belajar siswa Korelasi antara pola asuh orang tua otoriter terhadap

Dalam hal mengasuh anak Ibu Sanipah dan bapak Sunoto sangatlah bijaksana, tidak pernah memaksakan kehendak orang tua kepada anak-anaknya, orang tua lebih

Pola Asuh Otoriter “Pola asuh otoriter merupakan pola asuh dari orang tua Dalam berinteraksi atau berhubungan dengan anak, di mana orang tua tidak memberikan kebebasan kepada anak,