• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PRINSIP PENGHAWAAN ALAMI DENGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN PRINSIP PENGHAWAAN ALAMI DENGA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PRINSIP PENGHAWAAN ALAMI

DENGAN MEMANFAATKAN BENTUK KONSTRUKSI ATAP JOGLO 1Bayuaji, Kurniawan, 1Ariadi, Aprilea S., 1Zulimar, Qabila D

1Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia e-mail: kurniawan_bayu_aji@yahoo.com

e-mail: asariadi9@gmail.com e-mail: qabila.zulimar@gmail.com

ABSTRAK

Berbagai krisis lingkungan membawa dampak yang cukup mengkhawatirkan bagi masa depan umat manusia. Hawa panas di daerah tropis mendorong manusia yang ada di dalamnya untuk menggunakan pendingin ruangan. Kebiasaan ini meningkatkan penggunaan energi yang membebani ekosistem. Hal tersebut mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan konsep penghawaan alami pada bangunan dan menerapkannya pada arsitektur modern. Namun sebenarnya, jauh sebelum para peneliti mengkaji konsep tersebut, masyarakat sudah memiliki pakem bangunannya sendiri. Desain rumah tradisional muncul berdasarkan kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat. Hal ini merupakan wujud dari nilai-nilai yang terdapat pada masyarakat serta lingkungan dan alam sekitarnya, termasuk tanggapan terhadap iklim. Ada satu wujud local wisdom masyarakat Jawa yang sudah membawa sistem penghawaan alami yang baik, yaitu Rumah Joglo. Pada tulisan ini akan dijelaskan peranan atap Rumah Joglo dalam menyejukan hawa ruangan pada rumah tinggal di daerah tropis, yang berdampak pada efsiensi energi.

PENDAHULUAN

Jauh sebelum masalah ekologi menjadi tuntutan global, para leluhur masyarakat jawa sudah memiliki kesadaran tinggi dalam menghormati alamnya. Masyarakat jawa menganggap rumah sebagai penghubung antara langit dan bumi karena letaknya yang berada di keduanya. Artinya, rumah merupakan pertemuan antara hidup ke-Tuhanan dan kehidupan duniawi. Masyarakat Jawa menyebut tempat tinggalnya dengan sebutan omah yang merupakan bentukan dari dua kata: om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat kebapakan; dan mah yang bersifat keibuan. Rumah dan bangunan

yang dirancang oleh masyarakat jawa dimaknai sebagai simbolisasi dari jagad manusia yang terdiri dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi.

Namun sayangnya, rasa cinta masyarakat kepada alam dan kepasrahan mereka terhadap Tuhan makin lama makin berkurang. Hal tersebut berdampak terhadap hilangnya nilai budaya lokal dalam berbagai karya, termasuk arsitektur. Gaya arsitektur masyarakat berkembang sebagai karya yang mengutamakan fungsi dan estetika dan mengesampingkan kecintaan pada alam yang dipegang oleh para leluhur.

Alam Indonesia sendiri penuh dengan keunikan. Dibelah oleh garis khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropika basah. Karakter iklim tersebut ditandai dengan curah hujan tinggi yang melebihi 1500mm, kelembaban udara yang sering di atas 90%, dan temperatur rata-rata tahunan yang tinggi, yaitu lebih besar dari 18 oC (biasanya 23 oC), bahkan bisa mencapai 38 oC pada musim panas. Beda antar musim hampir tidak ada, kecuali antara musim di periode sedikit hujan dengan banyak hujan yang disertai angin keras. Fluktuasi temperatur harian dan tahunan lebih kecil (rendah) dibanding tropika kering. Radiasi matahari yang ada pun terasa menyengat dan mengganggu aktivitas.

Rumah sebagai tempat untuk berlindung, saat ini dirasa tidak cukup melindungi manusia dari efek radiasi sinar matahari. Kondisi iklim dan cuaca yang dirasa panas mendorong masyarakat untuk menggunakan pendingin ruangan. Hal tersebut menimbulkan pemborosan energi yang sangat membebani ekosistem. Selain itu, penggunaan freon dari pendingin ruangan yang berlebihan telah memicu kerusakan pada ozon.

(2)

peralatan rumah tangga, AC, kulkas dan alat pencahayaan adalah tiga pengkonsumsi listrik terbesar di negara berkembang. Atas dasar tersebut, muncul berbagai metode dalam mengurangi pemakaian pendingin ruangan, salah satunya adalah menciptakan rumah yang sejuk dengan memaksimalkan sistem sirkulasi udara. Dengan penerapan prinsip penghawaan alami, energi yang digunakan akan berkurang dan beban yang diterima oleh ekosistem akan menjadi lebih ringan.

Desain atap Joglo pada mulanya tercipta berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Meski tidak direncanakan secara ilmiah, ternyata atap Joglo dapat mengurangi hawa panas yang ada di dalam rumah. Penerapan atap joglo ini dapat menjadi alternatif yang baik bagi para arsitek untuk menghemat energi dan membangun kembali nilai budaya leluhur. Dengan membentuk gaya arsitektur yang hemat energi dan memiliki nilai budaya, arsitek dapat berperan dalam membangun masa depan bangsa yang berkelanjutan dan berkarakter.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif dan pengukuran kuantitatif sederhana. Metode dominan yang digunakan adalah analisis data sekunder dan kajian pustaka. Data primer juga diambil, namun hanya melalui pengukuran dengan alat yang sederhana dan objek kajian di daerah Kota Semarang bagian Selatan.

DISKUSI DAN HASIL ANALISIS 1. JENIS-JENIS ATAP RUMAH TRADISIONAL JAWA

Bangunan Tradisional Jawa menurut Dakung (1987) dibedakan menurut bentuk atapnya, yaitu atap Panggang Pe, atap Kampung, atap Limasan, atap Joglo dan atap Tajug. Klasifkasi tersebut merupakan pembagian fungsi dan penghuninya berdasarkan status sosial yang menempatinya. Untuk Panggang pe digunakan sebagai lumbung, kios, warung dan sebagainya. Bangunan Kampung digunakan untuk masyarakat biasa yang mempunyai status sosial yang rendah. Limasan diperuntukkan bagi masyarakat yang mempunyai status sosial menengah ke atas, misalnya priyayi dan bangsawan. Bangunan Joglo adalah bangunan tradisional Jawa yang paling bagus, paling

lengkap baik susunan bangunan maupun tata ruangnya, diperuntukkan bagi golongan atas, misalnya raja dan kerabatnya, dan Tajug digunakan sebagai tempat ibadat.

Gambar 1. Atap bangunan tradisional Jawa

Atap joglo merupakan perpaduan antara atap brunjung (bidang atap segi tiga) dengan atap pananggap (bidang atap trapesium), yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar.

Beban atap rumah joglo ditopang oleh enam belas buah tiang atau kolom yang disebut soko. Empat diantaranya merupakan soko guru yaitu empat kolom utama yang menopang beban atap brunjung. Selain itu, beban atap juga ditopang oleh balok utama bernama blandar tumpang yang disusun secara bertumpuk dan saling mengunci.

Atap joglo dibagi menjadi dua jenis, dilihat dari sambungan atap brunjung dan atap pananggapnya, yaitu:

- Atap Joglo Lambangsari

(3)

Pada atap joglo lambangsari, atap brunjung dan atap pananggap disambungkan secara menerus tanpa celah. Tidak terdapat atap emper. Atap brunjung ditopang oleh empat buah soko guru, membentuk ruang pusat yang disebut pamidangan. Atap pananggap ditopang oleh dua belas buah soko pananggap, masing-masing soko ditopang oleh umpak dengan sistem purus.

- Atap Joglo Lambang Gantung

Gambar 3. Atap joglo lambang gantung Pada atap joglo lambang gantung, terdapat celah pada sambungan di antara atap brunjung, atap pananggap, dan atap emper yang berfungsi sebagai celah masuknya cahaya dan udara ke dalam ruangan. Beban atap ditopang oleh soko (kolom) yang terdapat pada setiap sudut. Atap brunjung ditopang oleh empat buah soko guru, atap pananggap ditopang oleh soko rowo, dan atap emper ditopang oleh soko emper.

2. KONTEKS UMUM JOGLO DENGAN ALAM SEKITAR

Selain atapnya, rumah Joglo sebagai rumah tradisional memiliki beberapa karakter yang khas untuk merespon iklim di sekitarnya. Beberapa diantaranya adalah orientasi bangunan yang umumnya selalu menghadap utara dan selatan, dan konstruksi plafon yang diganti dengan balok-balok yang disebut tumpang yang diletakkan cukup tinggi di atap brunjung. Disamping konstruksi atap, karakter-karakter tadi juga ikut mempengaruhi micro-climate dari rumah joglo.

Bentuk fasad joglo yang memiliki bukaan terbanyak di bagian depan membuat orientasi Utara-Selatan menjadi menguntungkan untuk mengurangi radiasi matahari. Sebab, dengan orientasi seperti itu matahari tidak akan menyinari bagian fasad secara langsung ketika pagi maupun sore hari. Bahkan di daerah

Kudus, masyarakat memiliki budaya yang menganggap bahwa dalam membangun rumah harus menghadap ke Selatan, maknanya agar si pemilik rumah seolah-olah tidak “memangku” Gunung Muria (yang terletak di sebelah utara). Arah hadap ke Selatan ini secara teori lebih menguntungkan dibanding Utara jika diterapkan di Pulau Jawa yang berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Sebab, ketika musim kemarau matahari akan berada di sebelah utara ekuator, sehingga penyinaran akan datang dari arah belakang rumah dan tidak mengenai fasad secara langsung. Dan sebaliknya, di musim hujan matahari justru menyinari bagian fasad sehingga menjaga temperatur joglo agar tetap optimal.

Gambar 4. Gerak semu tahunan matahari

(4)

Gambar 6. Konstruksi balok tumpang 3. MEKANISME PENGHAWAAN ALAMI OLEH ATAP

Untuk menciptakan penghawaan alami di daerah dengan temperatur relatif tinggi, diperlukan sirkulasi udara yang dapat menyejukan ruangan di dalam rumah. Udara dalam ruangan harus memiliki sirkulasi yang baik dan tidak menambah kepenatan dalam ruangan.

Udara itu sendiri terdiri atas molekul-molekul yang terus bergerak. Pada bangunan, ketika suhu udara di dalam ruangan memanas, molekul-molekul udara mulai bergetar dan saling berbenturan. Karena setiap molekul menggunakan ruang yang lebih banyak untuk bergerak, udara mengembang dan menjadi lebih ringan, memenuhi ruang. Tekanan udara dalam ruangan pun meningkat.

Sebaliknya, saat suhu udara di dalam ruangan menurun, molekul-molekul udara bergerak lebih lambat. Ruang yang dibutuhkan oleh molekul udara menjadi lebih sedikit. Sehingga, tekanan udara dalam ruangan menurun.

Udara bergerak karena adanya arus konveksi natural yang disebabkan oleh perbedaan suhu atau adanya perbedaan tekanan (Lechner, 2015). Udara bergerak dari tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat dengan tekanan udara rendah. Itu berarti pancaran kalor juga akan mempengaruhi pergerakan udara. Kenaikan temperatur akan meningkatkan tekanan udara naik dan mengakibatkan pergerakan udara dalam ruang.

Saat atap bangunan terpapar radiasi matahari, atap akan menangkap kalor dan menjadi sumber panas. Jika tidak ada plafon, kalor akan diteruskan secara langsung ke ruangan di bawahnya. Hal tersebut membuat udara di ruangan menjadi cepat panas dan tidak nyaman untuk ditempati. Namun jika terdapat

plafon, kalor dari atap akan disimpan di rongga atap dan ditangkap oleh plafon, sehingga ruangan yang berada di bawahnya tidak menerima kalor secara langsung. Panas tersebut kemudian tetap akan diteruskan ke ruangan, mulai dari bagian atas ruangan ke bagian bawah ruangan bangunan yang tekanannya lebih rendah. Udara panas di dalam bangunan lalu terdesak ke luar ruangan yang tekanan udaranya bahkan lebih rendah lagi. Setelah udara panas dari dalam bangunan berhasil keluar, suhu udara di dalam bangunan pun menurun.

Gambar 7. Ilustrasi penghawaan pada bangunan

Dengan mekanisme tersebut, panas yang masuk ke dalam bangunan dapat dihambat dengan memperbesar rongga atap yang berada di antara atap dan plafon. Menurut Edwin Hicma Rosadi et al. (2012), semakin besar sudut kemiringan atap semakin dingin suhu yang dihasilkan di dalam ruangan karena pengaruh besaran ruangan sudut yang dihasilkan menyebabkan penyerapan panas lebih maksimal.

4. PENGHAWAAN PADA ATAP JOGLO

(5)

sehingga udara dapat keluar atau masuk melewati rongga tersebut.

Gambar 8. Pergerakan udara dalam joglo lambangsari

Gambar 9. Pergerakan udara dalam joglo lambang gantung

Kemiringan atap joglo yang lebih tinggi daripada rumah biasa membuat volume rongga atap menjadi lebih besar. Panas yang berasal dari matahari tidak akan disalurkan secara langsung ke dalam ruangan, akan tetapi ditangkap oleh ruang yang berada di antara atap dan tumpang. Hal ini akan membuat udara ruangan di bawahnya menjadi lebih sejuk dibanding rumah yang menggunakan atap biasa. Selain itu, menurut Sardjono, A. B. (2011) bentuk atap dengan sudut tinggi juga memberikan keuntungan dalam penanggulangan radiasi sinar matahari karena sudut jatuh sinar menjadi kecil sehingga intensitas radiasi berkurang. Letak brunjung yang tinggi juga mengurangi panas yang diakibatkan rambatan panas sinar matahari pada atap genting serta aliran udara panas di bawah atap.

Gambar 10. Sudut jatuhnya matahari pada atap joglo

Menurut Iqbal, M. et al., (2009), saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar.

Seperti teori yang ada pada fsika bangunan, efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan dengan volume udara yang kecil.

Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari udara sejuk menuju udara yang terasa di luar ruangan. Ini menunjukkan bahwa penghawaan pada Rumah Joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya.

(6)

Untuk memperkuat dugaan bahwa konstruksi atap joglo memiiki pengaruh langsung kepada sistem penghawaan di dalam rumah, dilakukan pengukuran kuantitatif secara langsung untuk membandingkan konstruksi atap joglo dengan konstruksi atap yang konservatif. Objek yang diambil sebagai sampel adalah Rumah Pintar "Lentera"di Kec. Banyumanik, Semarang yang mewakili bangunan konstruksi atap joglo dan Rumah makan "Sevendays" di Kec. Tembalang, Semarang yang mewakili bangunan dengan konstruksi atap yang konservatif.

Gambar 12. Eksterior "Lentera" dan "Sevendays" yang digunakan sebagai sampel

Kedua bangunan ini dipilih sebagai sampel karena berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang pertama adalah karena lokasi keduanya tidak terlalu jauh, yaitu berada di pinggir kecamatan yang bersebelahan dengan iklim dan cuaca yang dianggap identik. Selain itu, keduanya memiliki bentuk dan luasan yang dianggap sama (tidak jauh berbeda). Keduanya juga memiliki tingkat keramaian yang serupa, yaitu sepi pengunjung pada siang hari. Baik Rumah Pintar "Lentera" maupun Rumah Makan "Sevendays" juga

sama-sama tidak menggunakan struktur dinding bata, sehingga diharapkan meminimalisir bias. Pengukuran dilakukan di jam yang sama di lain hari, dengan cuaca dan suhu luar ruangan yang relatif sama yaitu sekitar 32,5oC.

Gambar 13. Suhu udara di luar Lentera dan Sevendays

Setelah menimbang berbagai hal tadi, akhirnya dilakukan pengukuran langsung di kedua tempat tersebut. Berikut adalah hasil pengukurannya:

Gambar 14. Foto pengukuran suhu dalam ruangan

Dari hasil tersebut, didapat data primer yaitu suhu di dalam ruangan Sevendays yaitu kurang lebih 29,5oC sementara di dalam Lentera suhunya 28oC. Terbukti bahwa Rumah Pintar "Lentera" mampu menurunkan suhu luar kurang lebih sebanyak 1,5oC lebih banyak dibandingkan dengan Rumah Makan "Sevendays", sehingga memperkuat dugaan bahwa konstruksi joglo memiliki kaitan dengan sistem penghawaan alami. KESIMPULAN

(7)

yang berada di daerah beriklim tropis. Hal ini disebabkan oleh bentuk atap joglo yang membentuk rongga atap yang besar, sehingga dapat menahan panas atap matahari lebih banyak. Bentuk atap Joglo juga menyebabkan penghawaan yang memperhatikan penyesuaian tubuh manusia dengan alam sekitarnya.

Dengan penghawaan yang baik, rumah dapat memenuhi kebutuhan manusia akan perlindungan dari panas akibat radiasi matahari dan tercipta hawa sejuk di dalam rumah. Jika rumah memiliki hawa sejuk secara alami, kecenderungan manusia untuk menggunakan pendingin ruangan akan berkurang. Dengan begitu, energi yang digunakan akan berkurang, sehingga tercipta sebuah rumah yang ramah lingkungan.

REFERENSI

Dakung, S. (1987), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. , Yogyakarta: Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Iqbal, M., & M. Nelza (2009) “Desain Gaya Arsitektur Tanggap Lingkungan Iklim Tropis” Analisa Objek Arsitektur Vernakular Jawa: Joglo Lambangsari. Universitas Brawijaya Malang, Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur.

Irfananda, M. S. (2013). Arsitektur Jawa sebagai Arsitektur Pernaungan. Program Studi Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Koizumi, Satoru (2007). Energy Efciency of Air Conditioners in Developing Countries and the Role of CDM. Paris: International Energy Agency.

Lechner, Norbert (2015). Heating, Cooling, Lighting: Sustainable Design Methods for Architects, 4, 293. New Jersey: John Wiley & Sons.

Rosadi, H. E., N. Rimansyah, F. Fuad, & E. Setiyowati. (2012) Pengaruh Sudut Kemiringan Atap Bangunan Dan Orientasinya Terhadap Kualitas Termal. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2012.

Sardjono, A. B. (2011). Respon Rumah Tradsional Kudus Terhadap Iklim Tropis. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

Taruna, O., I. R. D. Asri, & T. Wikantarti (2009). “Seri Diktat Kuliah” Fisika Bangunan I, Depok: Gunadarma. Situs yang dikunjungi:

Gambar

Gambar  1. Atap  bangunan  tradisionalJawa
Gambar 5. Pembayangan pada jogloKonstruksi plafon  di  atap  joglomenggunakan  balok-balok  kayu  yangdigunakan  secara  tumpang  tindih.Terdapat 5 tingkat tumpang (balok) padasistem  atap  joglo  lambangsari
Gambar 6. Konstruksi balok tumpang3.  MEKANISME PENGHAWAAN  ALAMIOLEH ATAP
Gambar 8. Pergerakan udara dalam joglolambangsari
+2

Referensi

Dokumen terkait