• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUBAH image MENANGGUK UNTUNG PENERBIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGUBAH image MENANGGUK UNTUNG PENERBIT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUBAH

IMAGE

, MENANGGUK UNTUNG:

PENERBIT MIZAN (1983—2010)

Oleh Rimbun Natamarga

Imej bisa diubah. Terlebih lagi, ketika imej yang kadung melekat itu dapat menghalangi rencana yang telah disusun dengan begitu rapi.

Kasus paling menarik adalah Mizan. Menjadi fakta, Penerbit Mizan adalah salah satu penerbit buku terkemuka di Indonesia yang paling banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah di Iran pada 1980-an dan awal 1990-an. Menariknya, meski pernah dilabeli masyarakat sebagai penerbit buku-buku Syiah, Mizan mampu menghapus label itu sepuluh tahun belakangan ini, setidaknya, di sebagian besar masyarakat kita sekarang.

MIMPI TIGA MAHASISWA ITB

Bermula dari keinginan untuk mengenalkan buku-buku rohani yang bermutu di tengah orang-orang Islam dan rasa asyik untuk membaca sekaligus juga menulis, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin Shahab terdorong untuk membuka sebuah bisnis penerbitan buku di Bandung. Kebetulan, mereka bertiga sama-sama kuliah di ITB dan lulus pada 1982.

Bermodal uang sekitar Rp. 45.000.000,00 yang mereka pinjam dari paman dari pihak ibu Bagir, Abdillah Toha, dan teman sejawatnya, Anis Hadi, Bagir dan kedua rekannya mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. “Bersama beberapa kawan, yaitu Ali Abdullah dan Zainal Abidin Shahab,” kenang Haidar Bagir, “kami mendirikan penerbitan buku Mizan, yang berarti berimbang dan obyektif. Arti nama itu kemudian dijadikan prinsip penerbitan Mizan, yang tidak memilah buku berdasarkan latar belakang penulis, tetapi lebih pada isi tulisannya.”

Bagir sendiri melihat, peluang bisnis penerbitan bukuwaktu itu terbuka lebar. Terlebih lagi di tengah kalangan intelektual muslim kelas menengah, anak-anak keluarga santri, dan pejabat. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang mulai tertarik kepada Islam dan wacana-wacana keislaman pasca Revolusi Iran tahun 1979.

Untuk mendapatkan pasar yang luas, Bagir beserta kedua rekannya memikirkan ide-ide baru seputar buku dan penerbitan buku. Waktu itu, penerbit-penerbit yang telah mapan di pasaran buku-buku Islam adalah Bulan Bintang, Tinta Mas, Pustaka Salman dan Shalahuddin Press.

(2)

itu disuguhkan ke khalayak pembaca. Artinya, bagi mereka, kepuasan terhadap sebuah buku tidak sekedar diukur dari isinya yang menarik atau mencerahkan, tetapi juga kemasan, penampilan, yang membungkus isi itu. Buku-buku Bulan Bintang dan Tinta Mas, ternyata, tidak memenuhi kedua hal tersebut.

Bagir dan teman-temannya kemudian tampil beda. Mereka mulai memikirkan sampul buku yang menarik. Mereka juga memilih sekaligus memerhatikan jenis font, tata-bahasa dan ejaan yang akan digunakan di dalam buku. Puncaknya, mereka mencari dan merekrut seorang pelukis lulusan Seni Rupa ITB untuk merancang perwajahan buku. Menariknya, di setiap akhir buku, dicantumkan indeks kata-kata untuk memudahkan calon pembaca—padahal waktu itu sangat jarang penerbit-penerbit buku yang melakukan hal seperti ini.

Buku pertama yang diterbitkan Mizan adalah buku terjemahan berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah: Surat Menyurat antara as-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al Musawi al Amili seorang Ulama besar Syiah.

Buku ini dicetak sebanyak 2000-3000 eksemplar dan menjadi satu-satunya buku yang diterbitkan selama tiga bulan Mizan berdiri. Meski demikian, buku Dialog Sunni-Syi’ah itu menjadi buku fenomenal untuk ukuran waktu itu.

HERNOWO DAN LINI PRODUK

Pada 1984, Hernowo bergabung dengan Mizan dan segera menjadi staf redaksi pertama Mizan. Orang satu ini, menurut Bagir, kelak akan menjadi tokoh di balik kemajuan pesat Mizan di dunia perbukuan Indonesia.

Hernowo yang baru bergabung itu melihat, pada tahun-tahun pertama, Mizan ternyata tidak tegas dalam jalur produk (product line) mereka. Kriteria yang dipakai dalam pemilihan judul-judul waktu itu pun tidak jelas. Alih-alih, Mizan baru mampu menerbitkan buku-buku terjemahan, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Inggris.

Bahkan, pada 1985, Mizan mulai coba merintis penerbitan buku-buku untuk anak Islam. Bagir mengakui, usaha itu dilakukan karena “tergoda” untuk mengikuti kesuksesan buku serial Lima Sekawan, sebuah buku anak-anak yang berisi kisah petualangan lima orang sahabat.

(3)

Nadjib, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Fuad Amsyari, Taufk Adnan Amal, M. Riza Sihbudi, M. Quraish Shihab, Mukti Ali.

Langkah seperti itu ternyata berpengaruh besar pada gerak produksi Mizan. Ketika dikalkulasikan, gerak produksi mereka melonjak, melampaui, angka produksi ketika Mizan baru sebatas menerbitkan buku-buku terjemahan. Pada 1993, Mizan pun mulai mengukuhkan komitmen diri untuk meraih posisi sebagai matra baru di tengah kaum muslimin di Indonesia.

Setahun setelah berkomitmen seperti itu, Mizan mulai membuka sebuah lini produk yang bernama Kronik Indonesia Baru. Dengan lini produk ini, Mizan dapat secara tegas merekam dan menerbitkan buku-buku tentang peristiwa-peristiwa mutakhir tetapi penting di Indonesia tanpa kehilangan komitmen untuk menjadi penerbit buku-buku keagamaan terkemuka.

Di dalam lini itu pula, Mizan dapat leluasa menampung tema-tema umum dan luas serta tidak terkait secara langsung dengan agama tanpa perlu kehilangan imej di tengah pembaca sebagai penerbit yang berbeda dari penerbit buku-buku umum. Untuk itulah, hampir selalu di muka halaman sampul buku produk dari lini Kronik Indonesia Baru dimuat boks panel berikut.

Salah satu contoh adalah buku Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia yang dieditori Idi Subandy Ibrahim. Buku ini, sejatinya, adalah kumpulan artikel sejumlah penulis dari dalam dan luar negeri yang membahas fenomena kebudayaan pop dan pernah dimuat di berbagai media cetak.

Para penulis artikel-artikel itu sama sekali tidak bicara tentang Islam, umat Islam atau sesuatu yang bersifat agamis. Mereka hanya berbicara tentang sebuah fenomena yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk waktu itu. Meski masih mencantumkan untaian kaligraf basmalah pada halaman pertama dan sebuah hadits sahih dari Rasulullah yang berbunyi “Sebaik-baik tempat adalah mesjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar” di akhir kata pengantar editor, buku itu terkesan lebih sekuler dibanding buku-buku keagamaan yang pernah diterbitkan Mizan.

Dua buku pertama yang diterbitkan dari lini Kronik Indonesia Baru adalah buku Megaskandal Bapindo: Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo dan Prahara Budaya: Kilas Bali Ofensif Lekra/PKI dkk. Khusus buku terakhir, buku itu diliput secara luas oleh media cetak dan elektronik yang akhirnya mengundang perdebatan-perdebatan panas di tengah masyarakat.

(4)

Setelah itu, diikuti oleh buku Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafe, Jiwa yang Resah—sebuah biograf Muhammad Yusuf Ali, penerjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris paling otoritatif—dan Sajadah Panjang Bimbo: 30 Tahun Perjalanan Kelompok Musik Religius.

Pada November tahun yang sama, Mizan meluncurkan website Mizan Online di alamat www.mizan.com. Lewat media baru ini, Mizan mulai merambah bisnis buku di dunia maya. Waktu itu, internet belum memasyarakat di Indonesia seperti sekarang. Meski demikian, penjualan tetap berjalan di media online itu. Bahkan, menyadari internet adalah media bisnis perbukuan di masa depan, informasi yang ada di Mizan Online diupdate setiap dua pekan sekali.

Langkah Mizan makin ambisius ketika masuk tahun 1997. Awal tahun itu, Mizan mulai menerbitkan Mutiara Ihya’ Ulumuddin, sebuah hasil ringkasan Ihya’ Ulumuddin yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali sendiri. Kemudian, Mizan menerbitkan Ringkasan Shahih Bukhari karya Imam Az-Zabidi yang diberi kata pengantar oleh K.H. Ilyas Ruchiyat.

Pertengahan 1997, Mizan membuka sebuah lini baru, Mizan for Beginners. Lini produk ini khusus menerbitkan buku-buku tentang pengetahuan-pengetahuan kontemporer yang dikemas secara komprehensif dalam bentuk komik. Untuk langkah ini, Mizan berupaya keras—dan berhasil—mendapatkan hak terjemahan eksklusif langsung dari Icon Books, penerbit buku-buku bergenre seperti itu.

Sejak kemunculan Mizan for Beginners itu sampai tahun 2009, lebih dari tujuh lini penerbitan buku yang telah didirikan Mizan. Tim-tim redaksi Mizan yang semula mendapat bagian satu tema masing-masing sekarang diubah menjadi penerbit-penerbit yang terpisah di bawah naungan Mizan Pustaka.

Setiap lini itu memiliki genre masing-masing. Misalnya, lini penerbit yang bernama Hikmah Publishing khusus menerbitkan buku-buku dengan tema akhlak, kesalehan dan spiritualitas. Pelangi Mizan menerbitkan buku-buku referensi khusus seperti Ensiklopedi Balita. Misykat menerbitkan buku-buku tentang doa dan zikir. Al-Bayan menerbitkan buku-buku bertema keislaman praktis. Harakah menerbitkan buku-buku bertema pergerakan Islam. Kaifa menerbitkan buku-buku bergenre How to. Arasy menerbitkan buku-buku yang “berbau” fkih. Qanita menerbitkan buku-buku yang mengangkat tema-tema kewanitaan. Teraju menerbitkan buku-buku hasil karya akademik seperti skripsi, tesis dan disertasi.

(5)

menerbitkan sekitar 12000 judul buku dari beragam penulis, baik muslim atau non-muslim, dari kalangan Syiah ataupun bukan.

Dari semua buku yang diterbitkan itu, pihak Mizan hanya mendapatkan untung sekitar 10% sampai 12% dari satu eksemplar buku, sebagaimana umumnya penerbit-penerbit buku di berbagai negara. “Dari sebuah buku yang diterbitkan,” cerita Bagir suatu hari,

“komponen biaya yang dikeluarkan adalah untuk distributor 47,5%-50%, penulis 10%, pembuatan buku hingga 20%. Berarti sudah 80%. Belum lagi buku-buku yang tidak laku dan ada di gudang. Setiap penerbit pasti punya gudang dengan buku-buku yang tidak laku. Setiap tahun kami pasti right of untuk buku yang sudah terlalu lama di gudang. Kami anggap sudah tidak menghasilkan pendapatan alias kerugian.”

Bagaimana pun, dan inilah yang terpenting, langkah-langkah strategis yang telah dilakukan selama 20 tahun ke belakang berdampak positif bagi Mizan. Hal itulah yang diakui oleh banyak kalangan.

Seperti Ahmad Soemargono, misalnya. Orang yang dikenal publik sebagai salah seorang tokoh pergerakan Islam ini, pada perayaan ulang tahun Mizan ke-15, menulis,

“Dengan telah menerbitkan buku-buku dari tokoh-tokoh pemikir Indonesia yang netral Mizan telah berhasil mengurangi citra bahwa Mizan penerbit Syi’ah. Mizan telah diterima oleh masyarakat Islam yang majemuk di Indonesia, aspirasinya telah mencakup seluruh aspirasi yang ada.”

BAGIR SANG PENDIRI

Pada hari ini, bahwa Mizan adalah penerbit Syiah adalah sesuatu yang sangat susah untuk diterima oleh sebagian besar masyarakat. Sebaliknya, citra yang kadung melekat adalah Mizan sebuah perusahaan besar seperti halnya Kelompok Kompas-Gramedia. “Menurut kami,” tulis Bagir suatu hari,

(6)

masuk apa saja yang sejalan dengan kebutuhan warga kuil, dan menghalau apa-apa yang bertentangan dengannya.”

Mizan telah sengaja berubah dan mereka telah berhasil sekarang. Terlebih lagi, ketika Mizan telah memiliki unit-unit usaha yang berdiri sendiri di bawah perusahaan induk mereka, P.T. Mizan Publika.

Di antara unit-unit usaha itu adalah Mizan Production. Unit usaha ini bergerak dalam bidang event organizing dan production house. Sampai 2012, Mizan Production telah mengeluarkan sejumlah flm layar lebar. Di antara flm-flm yang paling dikenal adalah Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Sang Pemimpi, Emak Ingin Naik Haji dan Rindu Purnama.

Dari semua flm itu terdapat beberapa flm yang mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia. Film-flm yang dimaksud ditonton oleh jutaan orang dan diacungi jempol oleh para sineas flm. Sebuah artikel yang diolah dari hasil wawancara bersama Bagir pada tahun 2011, misalnya, menurunkan opini,

“Begitu juga dalam bisnis perflman yang baru digelutinya, Mizan berupaya untuk memproduksi flm-flm yang berkualitas dan mendidik seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Garuda di Dadaku dan yang terbaru berjudul ‘Semesta Mendukung’ yang akan tayang di bioskop pada 20 Oktober nanti. Film-flm mendidik ala Mizan juga dirasakan berkontribusi dalam ikut mencerdaskan anak bangsa, sehingga berbagai penghargaan dianugerahkan ke hampir seluruh flm yang diproduksi Mizan.”

Ternyata, bukan sebatas pujian. Rekomendasi-rekomendasi pun datang dari banyak pihak. Sebagian pihak menilai flm Laskar Pelangi sebagai sebuah flm pendidikan yang bermutu dan—karenanya—patut ditonton para pelajar dan setiap insan pendidikan di Indonesia. Sebagian lain menganggap, justru flm Garuda di Dadaku yang patut ditonton, karena mampu memberi gairah baru kepada para pencinta sepakbola di Indonesia ketika Timnas Indonesia dikutuk tak-pernah berprestasi lagi di tingkat dunia.

“Film itu,” tutur Bagir, “punya pengaruh yang lebih besar karena khalayaknya jauh lebih besar daripada buku.” Dengan alasan seperti itulah, mulai 2004 Bagir “ngotot” merambah layar lebar. Lewat Mizan Production, Bagir ingin menawarkan flm-flm yang sekedar menghibur tetapi juga inspirasi.

(7)

“Sebenarnya saya ini perfeksionis dan merasa, kalau saya kerjakan sendiri, hasilnya lebih baik. Tapi saya tetap harus mendelegasikan wewenang demi terciptanya ide-ide kreatif,” cerita Bagir ketika diwawancara. Beberapa tahun yang lalu, sepak terjang Bagir di dunia bisnis itu diganjar sebagai “Top Ten the Best CEO 2008” oleh Majalah Swa.

Bagir lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Februari 1957. Orangtuanya adalah Muhammad Bagir dan Gamar. Dari pasangan ini, Bagir menjadi anak kedua dari delapan bersaudara.

Masa kecil Bagir dihabiskannya di Solo. Penyuka karya-karya Ibnu ‘Arabi— pemuka aliran wihdatul wujud—ini adalah salah satu keturunan Arab di Indonesia. Meski demikian, ia lebih merasa sebagai orang Jawa. “Saya memang keturunan Arab,” katanya dalam wawancara, “tapi pada dasarnya saya ini orang Solo.”

Pada tahun 1977, orangtuanya pindah ke Bandung. Bagir sendiri sempat diterima sebagai mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Mengikuti kakak dan keluarga dekatnya, Bagir justru memilih kuliah di Jurusan Teknik Industri, ITB, Bandung. Baginya, “saya pilih jurusan teknik industri, (karena) yang paling tidak teknik.”

Semasa kuliah di ITB itu, Bagir sempat mengambil kuliah tentang dasar-dasar manajerial dan pemasaran di Fakultas Ekonomi, Unpad, Bandung, selama tiga semester. Dari situ, ia mengetahui banyak dasar-dasar manajemen dan—barangkali juga—seluk-beluk dunia kemanajeran dalam usaha.

Setelah mendirikan Mizan, Bagir turut serta membidani kemunculan Yayasan Muthahhari pada 3 Oktober 1988. Bersama rekan-rekan pendiri lainnya, Bagir berkomitmen untuk mengadakan sebuah pendidikan yang “lain” dari yang lain—dan kemudian ikut terlibat juga mengajar di SMU Plus Muthahhari.

Pada waktu itu, Mizan telah memulai terbitan-terbitan Seri Cendekiawan Indonesia yang mendongkrak laju keuntungan Mizan. Meski demikian, merasa terkungkung oleh rutinitas kerja yang padat, Bagir justru memutuskan untuk meneruskan kembali pendidikan kesarjanaannya di Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1988.

Studi S2 itu ternyata tidak rampung. Belum sempat menyusun tesis S2, Bagir mendapat tawaran beasiswa Fullbright untuk kuliah di Center for Middle Eastern Studies (Pusat Studi Timur Tengah), Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada 1990. Bagir selesai belajar di sana pada 1992.

(8)

Pada akhirnya, Bagir meletakkan fokus untuk disertasinya pada pemikiran flsafat yang dikembangkan Martin Heidegger (1889 – 1976)1. Ketika memberi kata pengantar untuk Catatan Pinggir 6 Goenawan Mohamad, Bagir mengakui hal itu.

Di luar Mizan dan studinya, Bagir memegang sejumlah peran penting. Ia, misalnya, menjadi direktur utama Gudwah Islamic Digital Edutainment (GUIDE), Jakarta. Ia juga menjadi ketua pada Pusat Kajian Tasawuf Positif Iman dan Badan Pendiri Yayasan Imdad Mustadhafn.

1 Martin Heidegger dikenal sebagai bapak flsafat Eksistensialisme. Eksistensialisme berasal

dari kata eksistensi. Eks berarti keluar. Sistensi diambil dari kata sisto yang berarti berdiri dan

menempatkan. Eksistensi dapat diartikan sebagai cara manusia berada di dunia ini. Eksistensialisme adalah aliran flsafat yang bertujuan memahami hakikat, arti hidup dan cara ber-ada segala sesuatu. Heidegger adalah murid Edmund Husserl, bapak flsafat Fenomenologi. Karena kenyataan ini, ada sebagian flosof yang berpendapat bahwa

Eksistensialisme adalah bagian Fenomenologi. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa antara Eksistensialisme dan Fenomenologi tidak ada beda. Fenomenologi berasal dari

fenomenon yang berarti sesuatu yang tampak dan terlihat karena bercahaya. Jadi, fenomenologi adalah aliran flsafat yang membicarakan segala sesuatu yang menampakkan diri. Meski demikian, membicarakan Eksistensialisme orang-orang akan mengingat Heidegger sebagai orang yang pertama kali mencetuskannya. Ironisnya, Heidegger sendiri tidak mau sistem flsafat yang diajarkannya disebut dengan Eksistensialisme. Dalam perjalanan hidupnya,

Heidegger banyak menyimpang dari ajaran Husserl. Salah satu kritik Heidegger kepada gurunya, Husserl terlalu mementingkan melihat fenomena yang ada dalam pengetahuan dan tidak memikirkan tentang ada itu sendiri. Menurut Heidegger, untuk mengerti dan menyelidiki

ada, manusia harus memulai dari diri mereka dahulu. Manusia bereksistensi atau ber-ada. Sebaliknya, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak bereksistensi. Ber-adanya manusia, demikian Heidegger, tidak hanya di dalam alam ini tetapi juga dalam rangka menghadapi alam ini. Mereka mengerti arti, mereka juga mengerti benda-benda yang ada. Mereka mengerti bahwa hidup memiliki arti untuk berbuat dan menjalankan arti itu. Heidegger juga percaya, manusia ber-ada untuk menjadi subjek, untuk menyadari dirinya sendiri dan objek-objek yang dihadapinya. Semua benda akan menjadi objek manusia karena terletak di depan manusia. Objek-objek itu

tidak akan menyadari diri mereka atau tidak bereksistensi. Selain itu, Heidegger juga menyebutkan tentang arti dunia. Manusia pada dasarnya menemukan dunia karena mereka adalah makhluk yang bertindak dan berurusan dengan segala benda yang ada di sekitar

mereka. Benda-benda itu ada bagi manusia karena mereka dapat menggunakan semua benda itu. Tentang mati, Heidegger mengibaratkannya dengan titik. Selama hidup, manusia seperti koma. Ketika maut datang, barulah mereka menjadi titik. Bagaimana pun, lanjut Heidegger,

(9)

Bagir juga tercatat menduduki jabatan pengajar di sejumlah lembaga pendidikan. Pada 1996, ia menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, UI. Pada 1997, ia menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. Pada 1998, ia menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, Universitas Madina Ilmu, Bogor.

PENERJEMAH PERTAMA MIZAN

Sebenarnya, aktiftas Bagir di dunia pendidikan seperti itu bukan sesuatu yang baru sama sekali. Beberapa tahun setelah mendirikan Yayasan Muthahhari, Bagir mendirikan Yayasan Lazuardi Hayati pada 1994 yang menyelenggarakan pendidikan dari tingkat TK sampai SMP. Di antara yang berhasil menjadi sekolah-sekolah unggulan dari yayasan itu adalah TK Kanifa dan SD Lazuardi di Jakarta.

Bersama ayahnya, Bagir berkomitmen mengadakan sekolah-sekolah berkualitas—tetapi juga diterima—di tengah masyarakat. Sampai 2010 lalu, misalnya, sudah terdapat sebuah sekolah gratis dan sarana pelatihan menjahit untuk ibu-ibu para siswa di Cinere, Jakarta, yang berhasil diselenggarakan mereka.

Al-Ustadz Al-Habib Muhammad Al-Bagir Al-Habsyi, sang ayah itu, juga bukan tokoh biasa. Oleh website Radio Iran Berbahasa Indonesia, www.indonesian.irib.ir, Muhammad Bagir dijuluki sebagai “Tokoh Pencerah Ummat Nusantara,” “Tokoh Pemersatu dan Pencerah Umat,” dan “Tokoh yang Selalu Memperjuangkan Kerukunan Umat.”

Dalam sebuah wawancara, Kang Jalal mengatakan Muhammad Bagir sebagai,

“Syi’ah karena telah menerjemahkan rujukan-rujukan yang membela Syi’ah. Dia juga membela Syi’ah apabila Syi’ah diserang. Tetapi, orang yang datang ke rumahnya akan tahu bahwa dia seorang Sunni, Sunni betulan. Karena ritus-ritusnya, ibadah-ibadahnya, semua serba Sunni. Pernah seorang ulama Syi’ah kecewa melihat Ustad Bagir, karena tidak sesyi’ah seperti yang dia duga. Itu, lagi-lagi, karena masalah defnisi. Jadi buat orang seperti ulama itu, Pak Bagir bukan

kembali ke ketiadaan. Jadi, di antara dua ketiadaan itulah manusia hidup. Heidegger

menyadari, manusia adalah makhluk yang takut mati. Betapa banyak manusia yang takut mati. Dalam keadaan ini, manusia itu tidaklah bebas, tidak bereksistensi. Agar bereksistensi, manusia harus berani menghadapi mati. Perasaan takut itu sendiri adalah sesuatu yang pokok dalam

batin manusia. Takut, menurut Heidegger, berbeda dengan gentar. Manusia selalu gentar terhadap sesuatu yang dapat menimpa manusia, seperti jatuh miskin atau terlihat tua. Takut justru tidak tentu. Takut, tegas Heidegger, datang secara tiba-tiba. Manusia tidak dapat

(10)

Syi’ah. Tapi buat yang lain, yang menggunakan defnisi yang lain, Pak Bagir itu Syi’ah.”

Di antara karya terjemahan Muhammad Bagir yang paling terkenal adalah buku Dialog Sunni-Syiah, buku pertama yang diterbitkan Mizan.

Asal buku itu adalah surat-surat Salim Bisyri Maliki, Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili, seorang ulama Syiah asal Lebanon, ketika terjadi surat-menyurat di antara mereka. Oleh Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili kumpulan surat mereka itu disusun dan diterbitkan dengan judul Al-Muraja’at.

Seperti yang diakui oleh banyak pihak dari kalangan Syiah di Indonesia, lewat buku Dialog Sunni-Syiah, Muhammad Bagir telah mengenalkan Syiah ke masyarakat kita. Banyak orang yang tercerahkan dan lewat buku itu. Di antara mereka, banyak pula yang kemudian beralih menjadi Syiah.

Lewat buku itu pula, Muhammad Bagir ingin menyadarkan masyarakat Indonesia agar tidak gampang terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha mengadu-domba antara kelompok Sunni dan Syiah. Karena itu, ketika meninggal-dunia pada tanggal 13 September 2010 di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ucapan belasungkawa datang dari mana-mana sebagai bentuk penghormatan atas jasa Muhammad Bagir dalam menyatukan Sunni-Syiah di Indonesia.[]

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman Zainuddin & M. Hamdan Basyar (Eds). 2000. Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Penerbit Mizan.

Azyumardi Azra. “Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas,” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, 1995, hal. 4-19.

Bagir, Haidar. “Syi’ah versus Sunnah: Biarlah Menjadi Sejarah Masa Lampau,” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Tahun 1995, hal. 3.

_____. “Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali ‘Barangkali’,” “Pengantar,” dalam Goenawan Mohamad. 2006. Catatan Pinggir 6. Jakarta: PDAT, hal. ix-xxii.

(11)

Diyah Rahma Fauziana & Izzudin Irsam Mujib. 2009. Khomeini dan Revolusi Iran. Yogyakarta: Penerbit NARASI.

Hefner, Robert W. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Penerj. Ahmad Baso). Jakarta: ISAI & The Asia Foundation.

Hernowo (Ed). 1998. Mosaik Mizan: Melaju Menuju Kurun Baru 1983 – 1998. Jakarta: Mizan Pustaka.

Idi Subandy Ibrahim (Ed). 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan.

Jalaluddin Rakhmat. “Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi,” dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Tahun 1995, hal. 92-103.

_____. 1997. Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Penerbit Mizan.

M. Amien Rais. 1989. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Cet. Ke-2). Bandung: Penerbit Mizan.

M. Ma’ruf. 2010. 50 Great Business Ideas from Indonesia: Gebrakan Perusahaan-Perusahaan Indonesia yang Mendunia (Cet Ke-2). Jakarta: Penerbit Hikmah.

M. Riza Sihbudi. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah. Bandung: Penerbit Mizan.

Muthahhari, Murtadha. 1986. Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya (Penerj. M Hasem). Bandung: Mizan.

(12)

Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Cet. Ke-7). Bandung: Penerbit Mizan.

Zulkifli. 2009. “The Struggle of The Shi’is in Indonesia,” Proefschrift, Leiden University.

http://ahmadsahidin.wordpress.com/2008/10/28/jalaluddin-rakhmat-sebuah-biograf-singkat/ diakses pada 01/06/2012.

http://www.ahmadsumargono.net/konten.phpd

nama=Buku&op=detail_buku&id_buku=4&id=30 diakses pada 01/06/2012.

http://batikamin.wordpress.com/2012/01/02/mengenal-gerakan-syiah-di-indonesia-versi-intelijen/ diakses pada 01/06/2012.

http://duniabuku.wordpress.com/2009/05/18/haidar-bagir-singa-dari-jeruk-purut/ diakses pada 01/06/2012.

http://groups.yahoo.com/group/ICAS-JKT/message/1449 diakses pada 01/06/2012.

http://hauzah.wordpress.com/2007/08/31/wawancara-haidar-bagir-membantu-temukan-momen-a-ha/ diakses pada 01/06/2012.

http://id.wikipedia.org/wiki/Haidar_Bagir diakses pada 01/06/2012.

http://www.mizan.com/index.phpdfuseaction=news_det&id=125 diakses pada tanggal 01/06/2012.

http://muslim.or.id/manhaj/terimakasih-kepada-bapak-haidar-bagir-atas-pengakuannya.html diakses pada 01/06/2012.

http://www.smuth.net/news.php diakses pada 01/06/2012.

http://www.smuth.net/news.phpefragment-2 diakses pada 01/06/2012.

(13)

http://www.smuth.net/news.phpefragment-4 diakses pada 01/06/2012.

Referensi

Dokumen terkait