• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBARAN DAERAH

KOTA SUKABUMI

TAHUN 2012 NOMOR 9

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

TANGGAL

: 9 APRIL 2012

NOMOR

: 9 TAHUN 2012

TENTANG

:

BANGUNAN GEDUNG

Sekretariat Daerah Kota Sukabumi

(2)

NOMOR 9 2012

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

NOMOR 9 TAHUN 2012

TENTANG :

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SUKABUMI,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);

(3)

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318);

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

(4)

9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

10.Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);

11.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

12.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

13.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

14.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130);

15.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

(5)

16.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

17.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145);

18.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

19.Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2000 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3955);

(6)

21. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3957);

22. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3405);

23. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);

25. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);

26. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

(7)

27. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

28. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005 Nomor 2 Seri E-1);

29. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengundangan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2007 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Sukabumi Nomor 7);

30. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 2);

31. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 6);

32. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi Tahun 2005–2025 (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Sukabumi Nomor 11);

33. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 8 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota

Sukabumi Tahun 2008-2013 (Lembaran

Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 8);

(8)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SUKABUMI

dan

WALIKOTA SUKABUMI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN

GEDUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Daerah adalah Kota Sukabumi.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

(9)

5. Kepala Daerah adalah Walikota Sukabumi.

6. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak

melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,

koperasi, dana pensiun, persekutuan,

perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

7. Dinas adalah Dinas Pekerjaan Umum Kota Sukabumi atau satuan kerja perangkat daerah yang membidangi bangunan gedung di Kota Sukabumi.

8. Kantor adalah Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kota Sukabumi atau kepala satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan di Kota Sukabumi.

9. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Sukabumi atau kepala satuan kerja perangkat daerah yang membidangi bangunan gedung di Kota Sukabumi.

10.Kepala Kantor adalah Kepala Kantor Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kota Sukabumi atau kepala satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan di Kota Sukabumi.

11.Petugas adalah seorang atau lebih dalam lingkungan Dinas yang ditunjuk oleh Kepala Dinas untuk tugas penyelenggaraan Bangunan Gedung di wilayah Kota Sukabumi.

(10)

12. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan

tempat kedudukannya, sebagian atau

seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

13. Bangunan Gedung Umum adalah Bangunan Gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya.

14. Bangunan Gedung Tertentu adalah Bangunan Gedung yang digunakan untuk kepentingan umum dan Bangunan Gedung fungsi khusus,

yang dalam pembangunan dan/atau

pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak

penting terhadap masyarakat dan

lingkungannya.

15. Bangunan Gedung Negara adalah Bangunan Gedung yang digunakan untuk keperluan dinas

Pemerintah/Pemerintah Daerah yang

menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN dan/atau APBD dan/atau sumber pembiayaan lainnya.

16. Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi Bangunan Gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

(11)

17. Bangun-bangunan adalah suatu perwujudan fisik arsitektur yang tidak digunakan untuk

kegiatan hunian manusia, merupakan

lingkungan yang tercipta oleh sebab kerja manusia yang berdiri di atas tanah atau bertumpu pada landasan dengan susunan konstruksi tertentu sehingga terbentuk ruang yang terbatas seluruhnya atau sebagian diantaranya berfungsi sebagai dan/atau tidak merupakan pelengkap Bangunan Gedung.

18. Bangunan Gedung Berderet adalah Bangunan Gedung yang terdiri dari beberapa induk bangunan yang bergandengan.

19. Bangunan Gedung Permanen adalah Bangunan Gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan diatas 20 (dua puluh) tahun.

20. Bangunan Gedung Semi Permanen adalah Bangunan Gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan diatas 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.

21. Bangunan Gedung Darurat/Sementara adalah

Bangunan Gedung karena fungsinya

direncanakan mempunyai umur layanan sampai dengan 5 (lima) tahun.

22. Hak Atas Tanah adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

23. Perpetakan adalah bidang tanah yang ditetapkan batas-batasnya sebagai satuan-satuan yang sesuai dengan rencana kota.

(12)

24. Kavling/persil adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan.

25. Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang

selanjutnya disingkat IMB adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemilik

Bangunan Gedung untuk membangun baru,

mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau

merawat Bangunan Gedung sesuai dengan

persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

26. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PIMB adalah permohonan yang dilakukan Pemilik Bangunan

Gedung kepada Pemerintah Daerah untuk

mendapatkan IMB.

27. Surat Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat SIMB adalah surat keputusan tentang IMB.

28. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagiannya

termasuk bangunan pelengkap dan

perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum baik kendaraan maupun orang.

29. Merobohkan Bangunan Gedung ialah pekerjaan meniadakan sebagian atau seluruh bagian Bangunan Gedung ditinjau dari segi fungsi Bangunan Gedung dan/atau konstruksi.

30. Garis Sempadan Bangunan Gedung adalah garis pada halaman persil Bangunan Gedung yang ditarik sejajar dengan garis as jalan, tepi sungai, atau as pagar dengan jarak tertentu dan merupakan batas antara bagian kavling/persil yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun Bangunan Gedung.

(13)

31. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB, adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar Bangunan Gedung dengan luas lahan/tanah perpetakan/lokasi perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

32. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai

Bangunan Gedung dan luas tanah

perpetakan/lokasi perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

33. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH, adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/lokasi perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

34. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat KTB, adalah angka prosentase perbandingan antara luas tapak basemen dengan luas lahan/tanah perpetakan/lokasi perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW dan rencana bangunan dan lingkungan.

35. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW, adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

36. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RDTRKP, adalah penjabaran dari RTRW ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.

(14)

37. Rencana Teknis Ruang Kota yang selanjutnya disingkat RTRK, adalah rencana geometris pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang kota dalam rangka pelaksanaan pembangunan fisik kota.

38. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat RTBL, adalah panduan

rancang untuk suatu kawasan untuk

mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan

pengendalian rencana, dan pedoman

pengendalian pelaksanaan.

39. Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan tanah, dimana bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak dari bangunan.

40. Lingkungan Bangunan Gedung adalah

lingkungan di sekitar Bangunan Gedung yang

menjadi pertimbangan penyelenggaraan

bangunan gedung baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi ekosistem.

41. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Daerah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan Bangunan Gedung.

42. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun standar internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

(15)

43. Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.

44. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah Pemilik Bangunan Gedung, penyedia jasa konstruksi Bangunan Gedung, dan Pengguna Bangunan Gedung.

45. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, Badan Hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai Pemilik Bangunan Gedung.

46. Pengguna Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat Pengguna adalah Pemilik Bangunan Gedung dan/atau bukan Pemilik Bangunan Gedung berdasarkan kesepakatan dengan Pemilik Bangunan Gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

47. Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan

masukan dalam penyelesaian masalah

penyelenggaraan Bangunan Gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas Bangunan Gedung tertentu tersebut.

48. Pengkaji teknis adalah orang perorangan, atau Badan Hukum yang mempunyai sertifikat keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi bangunan gedung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(16)

49. Laik Fungsi adalah suatu kondisi Bangunan

Gedung yang memenuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis sesuai

dengan fungsi Bangunan Gedung yang

ditetapkan.

50. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah setelah ada rekomendasi dari Tim Ahli Bangunan.

51. Perencanaan Teknis adalah proses membuat

gambar teknis Bangunan Gedung dan

kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

52. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan,

pemanfaatan, pelestarian, maupun

pembongkaran Bangunan Gedung.

53. Penyedia Jasa Konstruksi Bangunan Gedung adalah orang perorangan atau Badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang Bangunan Gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkaji teknis Bangunan Gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya.

(17)

54. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan Bangunan Gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.

55. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung,

komponen, bahan bangunan, dan/atau

prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

56. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung.

57. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.

58. Pemugaran Bangunan Gedung yang Dilindungi dan Dilestarikan adalah kegiatan memperbaiki dan memulihkan kembali Bangunan Gedung ke bentuk aslinya.

59. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan Bangunan

Gedung dan lingkungannya untuk

mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

60. Peran Masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi

masukan, menyampaikan pendapat, dan

pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung.

(18)

61. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, Badan Hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang Bangunan Gedung,

termasuk masyarakat hukum adat dan

masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung.

62. Dengar Pendapat Publik adalah forum dialog yang diadakan untuk mendengarkan dan menampung aspirasi Masyarakat baik berupa pendapat, pertimbangan maupun usulan dari Masyarakat umum sebagai masukan untuk menetapkan kebijakan Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

63. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

64. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

65. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk

menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran para penyelenggara Bangunan Gedung dan aparat Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

(19)

66. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum.

67. Retribusi adalah pungutan Daerah atas pemberian IMB dari Pemerintah Daerah kepada orang pribadi dan/atau Badan.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu

Asas

Pasal 2

Bangunan Gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian Bangunan Gedung dengan lingkungannya.

Bagian Kedua

Tujuan

Pasal 3

Pengaturan Bangunan Gedung bertujuan untuk: a. mewujudkan Bangunan Gedung yang fungsional

dan sesuai dengan tata bangunan yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

b. mewujudkan tertib penyelenggaraan Bangunan Gedung yang menjamin keandalan teknis Bangunan Gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;

c. mewujudkan kepastian hukum dalam

penyelenggaraan Bangunan Gedung.

(20)

Bagian Ketiga

Ruang Lingkup

Pasal 4

Ruang lingkup Bangunan Gedung meliputi fungsi dan klasifikasi, persyaratan, penyelenggaraan, peran masyarakat, pembinaan, sanksi, penyidikan, dan ketentuan pidana.

BAB III

FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 5

(1) Fungsi Bangunan Gedung meliputi fungsi

hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus.

(2) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.

(3) Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat resiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.

Pasal 6

Pemerintah Daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah Pusat, dalam IMB Bangunan Gedung berdasarkan RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(21)

Bagian Kedua

Fungsi Bangunan Gedung

Pasal 7

(1) Fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia yang meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.

(2) Fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan ibadah, yang meliputi:

a. bangunan masjid termasuk mushola; b. bangunan gereja termasuk kapel; c. bangunan pura;

d. bangunan vihara; dan e. bangunan kelenteng.

(3) Fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha, yang meliputi :

a. Bangunan Gedung perkantoran, meliputi perkantoran swasta, perkantoran niaga, dan sejenisnya.

b. Bangunan Gedung perdagangan meliputi pasar, pertokoan, pusat perbelanjaan, mal, dan sejenisnya.

c. Bangunan Gedung perindustrian meliputi industri kecil, industri sedang, industri besar/berat, dan sejenisnya.

d. Bangunan Gedung perhotelan meliputi hotel, motel, hostel, penginapan, dan sejenisnya. e. Bangunan Gedung wisata dan rekreasi;

(22)

f. Bangunan Gedung terminal meliputi stasiun kereta api, terminal bus, halte bus, terminal udara, dan sejenisnya;

g. Bangunan Gedung tempat penyimpanan meliputi gudang, gedung tempat parkir, dan sejenisnya.

(4) Fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi :

a. Bangunan Gedung pelayanan pendidikan, meliputi sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi/perguruan tinggi, dan sejenisnya;

b. Bangunan Gedung pelayanan kesehatan, meliputi puskesmas, poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit kelas A, B, dan C, dan sejenisnya;

c. Bangunan Gedung kebudayaan, meliputi museum, gedung kesenian, dan sejenisnya;

d. Bangunan Gedung laboratorium;

e. Bangunan Gedung kantor pemerintah;

f. Bangunan Gedung pelayanan umum.

(5) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi, yang meliputi :

a. Bangunan Gedung untuk reaktor nuklir;

b. Bangunan Gedung untuk instalasi

pertahanan dan keamanan;

c. Bangunan Gedung sejenis yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(23)

(6) Bangunan Gedung fungsi campuran adalah bangunan yang memiliki lebih dari satu fungsi di dalam suatu kavling/persil atau blok peruntukan, sepanjang sesuai dengan peruntukan lokasinya.

Bagian Ketiga

Klasifikasi Bangunan

Pasal 8

(1) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan tingkat Kompleksitas, meliputi:

a.

Bangunan Gedung sederhana;

b.

Bangunan Gedung tidak sederhana;

c.

Bangunan Gedung khusus.

(2) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan tingkat Permanensi, meliputi:

a.

Bangunan Gedung Permanen;

b.

Bangunan Gedung Semi Permanen; dan

c.

Bangunan Gedung Darurat/Sementara.

(3) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan tingkat Risiko Kebakaran meliputi:

a. Bangunan Gedung tingkat risiko kebakaran tinggi;

b. Bangunan Gedung tingkat risiko kebakaran sedang; dan

c. Bangunan Gedung tingkat risiko kebakaran rendah.

(4) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan pada Zonasi Gempa meliputi tingkat zonasi gempa yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

(5) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan Lokasi, meliputi:

(24)

a. Bangunan Gedung di lokasi padat; b. Bangunan Gedung di lokasi sedang; dan c. Bangunan Gedung di lokasi renggang.

(6) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan ketinggian, meliputi:

a. Bangunan Gedung bertingkat tinggi (3 lantai keatas);

b. Bangunan Gedung bertingkat sedang (2 lantai); dan

c. Bangunan Gedung bertingkat rendah (1 lantai).

(7) Klasifikasi Bangunan Gedung berdasarkan kepemilikan, meliputi:

a. Bangunan Gedung milik negara;

b. Bangunan Gedung milik badan usaha; dan c. Bangunan Gedung milik perorangan.

Bagian Keempat

Perubahan Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 9

(1) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung dapat diubah melalui permohonan baru IMB.

(2) Perubahan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung diusulkan oleh Pemilik Bangunan Gedung dalam bentuk rencana teknis Bangunan Gedung sesuai peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(3) Perubahan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis Bangunan Gedung.

(4) Perubahan fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung ditetapkan oleh Kepala Daerah dalam IMB, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.

(25)

BAB IV

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 10

(1) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi Bangunan Gedung.

(2) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis untuk Bangunan Gedung adat, Bangunan Gedung Semi Permanen, Bangunan Gedung Darurat/Sementara, dan Bangunan Gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Kepala Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.

Pasal 11

(1) Dalam menetapkan persyaratan Bangunan

Gedung adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan peruntukan, kepadatan dan ketinggian, wujud arsitektur tradisional setempat, dampak lingkungan, serta persyaratan keselamatan dan kesehatan pengguna dan lingkungannya.

(2) Dalam menetapkan persyaratan Bangunan Gedung semi-permanen dan Bangunan Gedung Darurat/Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi Bangunan Gedung

yang diperbolehkan, keselamatan dan

kesehatan pengguna dan lingkungan, serta waktu maksimum pemanfaatan Bangunan Gedung yang bersangkutan.

(26)

(3) Dalam menetapkan persyaratan Bangunan Gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan

fungsi Bangunan Gedung, keselamatan

pengguna dan kesehatan Bangunan Gedung, dan sifat permanensi Bangunan Gedung yang diperkenankan.

(4) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengacu pada pedoman dan standar teknis yang berkaitan dengan Bangunan Gedung yang bersangkutan.

Bagian Kedua

Persyaratan Administratif Bangunan Gedung

Paragraf 1

Umum

Pasal 12

(1) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi:

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan Bangunan Gedung; dan c. IMB.

(2) Setiap orang atau Badan dapat memiliki Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung.

(27)

(3) Pemerintah Daerah wajib mendata Bangunan Gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan.

Paragraf 2

Status Hak Atas Tanah

Pasal 13

(1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.

(2) Status Hak Atas Tanah dapat berupa sertifikat, akta jual beli, girik dan akta/bukti kepemilikan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan tidak dalam keadaan sengketa dan/atau sedang dalam proses pemeriksaan sengketa hukum.

(3) Untuk memperoleh IMB, pemohon diwajibkan

melampirkan surat bukti penguasaan

dan/atau pemilikan Hak Atas Tanah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimana bangunan tersebut terletak.

Pasal 14

(1) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang Hak Atas Tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang Hak Atas Tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.

(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

(28)

Paragraf 3

Status Kepemilikan Bangunan Gedung

Pasal 15

(1) Status kepemilikan Bangunan Gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan Bangunan Gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, berdasarkan hasil kegiatan pendataan Bangunan Gedung.

(2) Kepemilikan Bangunan Gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

(3) Dalam hal pemilik Bangunan Gedung bukan pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan pemilik tanah.

(4) Ketentuan mengenai status kepemilikan, tata cara pendataan, dan pendaftaran Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4

Izin Mendirikan Bangunan

Pasal 16

(1) Setiap orang dan/atau Badan yang akan mendirikan Bangunan Gedung wajib memiliki IMB.

(2) Selain setiap orang dan/atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang akan mendirikan Bangunan Gedung wajib memiliki IMB.

(29)

(3) IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses permohonan IMB.

(4) Pemerintah Daerah melalui Dinas memberikan surat keterangan rencana kota untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang dan/atau Badan yang akan mengajukan permohonan IMB.

(5) Surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:

a. fungsi Bangunan Gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

b. ketinggian maksimum Bangunan Gedung yang Bangunan Gedung yang diizinkan;

e. KDB maksimum yang diizinkan; f. KLB maksimum yang diizinkan; g. KDH minimum yang diwajibkan; h. KTB maksimum yang diizinkan; dan i. jaringan utilitas kota.

(6) Dalam surat keterangan rencana kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.

(7) Surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis Bangunan Gedung yang harus sudah diterima oleh setiap orang dan/atau Badan paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya permohonan surat keterangan rencana kota.

(30)

Pasal 17

(1) Setiap orang dan/atau Badan yang telah memiliki surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4)

mengajukan permohonan IMB kepada

Pemerintah Daerah melalui Kantor dengan dilengkapi:

a. tanda bukti status Hak Atas Tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang Hak Atas Tanah disertai dengan fotocopi Tanda Lunas PBB Tahun Berjalan;

b. data pemilik Bangunan Gedung yang dibuktikan dengan:

1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk; 2. fotokopi/salinan Akta Pendirian untuk

Pemohon Badan Hukum;

3. surat kuasa pengurusan apabila dikuasakan.

c. rencana teknis Bangunan Gedung; dan d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan

bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan; e. Hasil Analisis Dampak Lalu Lintas bagi

Bangunan yang mempunyai potensi

gangguan terhadap lalu lintas;

f. Surat Pernyataan Tidak Keberatan dari Tetangga;

g. Perhitungan struktur/Analisis struktur Konstruksi Beton/Baja/Kayu apabila bertingkat tinggi dan bangunan sederhana yang mempunyai bentang besar > 6m;

h. Surat Pernyataan Kesanggupan

menyediakan Proteksi Kebakaran sesuai dengan yang dipersyaratkan;

i. Rekomendasi dari dinas/instansi terkait; j. Surat pernyataan tanggung jawab dari

Pemilik Bangunan Gedung terhadap akibat yang timbul atas bangunan yang diajukan PIMB-nya.

(31)

(2) Setiap orang dan/atau Badan wajib membayar retribusi IMB sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Retribusi IMB.

(3) Untuk proses pemberian perizinan bagi Bangunan Gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan teknis dari Tim Ahli Bangunan Gedung.

(4) Selain pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan peninjauan lapangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dengan hasil yang dituangkan dalam Berita Acara.

(5) IMB merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum kota.

Pasal 18

(1) Setiap orang dan/atau Badan sebelum

mendirikan Bangunan Gedung di Daerah diwajibkan mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan IMB.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Kepala Daerah.

(3) Kepala Daerah paling lambat 21 (dua puluh satu) hari menerbitkan keputusan IMB sejak diterimanya secara lengkap berkas permohonan

IMB yang telah memenuhi persyaratan

administrasi dan persyaratan teknis.

Pasal 19

(1) IMB dapat ditangguhkan apabila pemohon tidak melengkapi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis dalam jangka waktu tertentu.

(32)

(2) Keputusan penangguhan IMB disertai alasannya diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal permohonan diterima.

Pasal 20

Kepala Daerah dapat menolak permohonan IMB apabila:

a. melanggar ketertiban umum, kesehatan, dan keserasian lingkungan;

b. kepentingan pemukiman masyarakat setempat akan dirugikan dan/atau penggunaannya dapat membahayakan kepentingan umum, kesehatan dan keserasian lingkungan;

c. tanah/tempat Bangunan Gedung yang akan

didirikan termasuk direncanakan

penggunaannya untuk kepentingan umum; dan

d. tidak memenuhi persyaratan administrasi dan standar teknis.

e. tidak sesuai dengan RTRW, RTDR, dan RTBL.

Pasal 21

(1) Kepala Daerah dapat membekukan IMB apabila ternyata terdapat sengketa, pengaduan dari pihak ketiga, pelanggaran, atau kesalahan teknis dalam membangun.

(2) Pemegang IMB diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atau membela diri terhadap keputusan pembekuan IMB.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pembekuan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Kepala Daerah.

(33)

Pasal 22

(1) Kepala Daerah dapat mencabut IMB apabila:

a. apabila persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sebagai dasar penerbitan IMB dinyatakan tidak benar oleh putusan pengadilan;

b. adanya pelaksanaan pembangunan

dan/atau penggunaan Bangunan Gedung yang menyimpang dari ketentuan atau persyaratan yang tercantum dalam IMB;

(2) Pencabutan IMB diberitahukan secara tertulis kepada pemegang izin.

(3) Pemegang IMB diberikan kesempatan untuk

membela diri atas pencabutan IMB

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengemukakan alasan keberatannya dan ditujukan kepada Kepala Daerah melalui Kepala Kantor paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pencabutan.

Bagian Ketiga

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

Paragraf 1

Umum

Pasal 23

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan Bangunan Gedung.

(34)

Paragraf 2

Persyaratan Tata Bangunan

Pasal 24

(1) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung, persyaratan arsitektur Bangunan Gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.

(2) Setiap mendirikan Bangunan Gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau sarana dan prasarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan, lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.

Paragraf 3

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung

Pasal 25

(1) Persyaratan peruntukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) merupakan

persyaratan peruntukan lokasi yang

bersangkutan sesuai dengan RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL.

(2) Persyaratan intensitas Bangunan Gedung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) meliputi persyaratan kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas Bangunan Gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

(35)

Pasal 26

(1) Apabila RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL belum

ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat

memberikan persetujuan fungsi Bangunan Gedung pada lokasi yang dimohon untuk jangka waktu sementara.

(2) Apabila RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL untuk lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan, fungsi Bangunan Gedung yang telah ada harus disesuaikan dengan RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL dimaksud.

(3) Setiap Bangunan Gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas Bangunan Gedung yang ditetapkan dalam bentuk garis sempadan Bangunan Gedung dengan as jalan, tepi sungai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi.

(4) Penetapan garis sempadan Bangunan Gedung dengan tepi jalan, tepi sungai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi didasarkan pada pertimbangan keselamatan dan kesehatan.

(5) Penetapan jarak antara Bangunan Gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan harus didasarkan pada

pertimbangan keselamatan, kesehatan,

kenyamanan, dan kemudahan.

(6) Penetapan jarak bebas Bangunan Gedung atau bagian Bangunan Gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah didasarkan pada jaringan utilitas umum yang ada atau yang akan dibangun.

(7) Ketentuan mengenai tata cara penetapan besaran jarak bebas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (6) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(36)

Paragraf 4

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

Pasal 27

Persyaratan arsitektur Bangunan Gedung meliputi persyaratan penampilan Bangunan Gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan Bangunan Gedung dengan

lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya

setempat terhadap penerapan berbagai

perkembangan arsitektur dan rekayasa.

Pasal 28

(1) Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana

dan/atau sarana umum, pengajuan

permohonan IMB dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Pembangunan Bangunan Gedung di bawah tanah yang melintasi prasarana dan/atau sarana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

a. sesuai dengan RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL;

b. tidak dipergunakan untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

c. tidak mengganggu fungsi sarana dan prasarana yang berada di bawah tanah; d. memenuhi persyaratan kesehatan sesuai

fungsi bangunan gedung;

e. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan dan keselamatan bagi pengguna bangunan gedung; dan

f. mempertimbangkan daya dukung

lingkungan.

(37)

(3) Pembangunan Bangunan Gedung dan/atau Bangun-Bangunan yang melintang di atas prasarana dan/atau sarana umum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus

mempertimbangkan:

a. sesuai dengan RTRW, RDTRKP, dan/atau RTBL;

b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang berada di bawahnya;

c. memperhatikan keserasian Bangunan Gedung terhadap lingkungannya; dan

d. memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan sesuai fungsi Bangunan Gedung.

Paragraf 5

Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

Pasal 29

Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi Bangunan Gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, antara lain kawasan industri, perhotelan, perumahan, pariwisata, gedung bertingkat, dan/atau sejenisnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Paragraf 6

Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung

Pasal 30

Persyaratan keandalan Bangunan Gedung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

(38)

Paragraf 7

Persyaratan Keselamatan

Pasal 31

(1) Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, meliputi persyaratan kemampuan Bangunan Gedung untuk mendukung beban muatan dan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran, bahaya petir, dan bahaya kelistrikan.

(2) Struktur Bangunan Gedung harus direncanakan dan dilaksanakan kuat/kokoh dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan persyaratan kelayanan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi Bangunan Gedung, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa bumi dan/atau angin, dan perhitungan strukturnya mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 32

(1) Perencanaan struktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. analisis struktur harus dilakukan dengan cara-cara mekanika teknik yang telah baku; b. analisis dengan bantuan program komputer

harus mencantumkan prinsip dari program yang digunakan serta harus ditunjukkan dengan jelas data masukan dan data keluaran;

c. percobaan model diperbolehkan bila diperlukan untuk menunjang analisis karakteristik; dan

(39)

d. analisis struktur harus dilakukan dengan

model-model matematik yang

menstimulasikan keadaan struktur yang sesungguhnya dilihat dari segi sifat bahan dan kekakuan unsurnya.

(2) Bangunan Gedung yang menyimpang dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. konstruksi yang dihasilkan dapat

dibuktikan dengan perhitungan dan/atau percobaan cukup aman;

b. tanggung jawab atas penyimpangan dipikul oleh perencana dan pelaksana yang bersangkutan;

c. analisis struktur dan/atau percobaan model tersebut diajukan kepada tim yang ditunjuk oleh Dinas, yang terdiri dari ahli-ahli yang diberi wewenang menentukan segala keterangan dan cara-cara tersebut; dan

d. tim sebagaimana dimaksud pada huruf c, dapat meminta diadakannya percobaan ulang, lanjutan, atau tambahan laporan yang berisi persyaratan.

e. Hasil percobaan sebagaimana dimaksud pada huruf d mempunyai kekuatan yang sama dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 33

(1) Setiap Bangunan Gedung harus dilindungi dari bahaya kebakaran dengan sistem proteksi aktif dan/atau proteksi pasif.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(40)

(3) Setiap Bangunan Gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai, dan/atau dengan jumlah penghuni tertentu harus

memiliki unit manajemen pengamanan

kebakaran.

(4) Setiap Bangunan Gedung yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk, ketinggian, dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir harus dilengkapi dengan instalasi penangkal petir.

(5) Setiap Bangunan Gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik termasuk sumber daya listriknya harus dijamin aman, andal, dan akrab lingkungan.

(6) Setiap Bangunan Gedung untuk kepentingan umum, atau bangunan gedung fungsi khusus harus dilengkapi dengan sistem pengamanan yang memadai untuk mencegah terancamnya keselamatan penghuni dan harta benda akibat bencana bahan peledak.

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 34

(1) Setiap Bangunan Gedung yang menggunakan lift harus menyediakan satu buah lift khusus untuk mengantisipasi kebakaran dan bencana alam lainnya;

(2) Struktur dan material lift harus memenuhi syarat-syarat keselamatan dan keamanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(41)

Paragraf 8

Persyaratan Kesehatan

Pasal 35

Persyaratan kesehatan Bangunan Gedung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung.

Pasal 36

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem

penghawaan, setiap Bangunan Gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan Gedung tempat tinggal, Bangunan Gedung pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan, Bangunan Gedung pendidikan

khususnya ruang kelas, dan bangunan

pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.

Pasal 37

(1) Ventilasi alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memenuhi ketentuan bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela, sarana lain yang dapat dibuka dan/atau dapat berasal dari ruangan yang bersebelahan untuk memberikan sirkulasi udara yang sehat.

(2) Ventilasi mekanik/buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat.

(42)

(3) Penerapan sistem ventilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 38

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem

pencahayaan, setiap Bangunan Gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.

(2) Bangunan Gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.

(3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus optimal, disesuaikan dengan fungsi Bangunan Gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam Bangunan Gedung.

(4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam Bangunan Gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.

(43)

(5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang pada Bangunan Gedung dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.

(6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruang.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem pencahayaan pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 39

Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap Bangunan Gedung harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.

Pasal 40

(1) Sistem air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan sumber air bersih dan sistem distribusinya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem air bersih pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(44)

Pasal 41

(1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 harus direncanakan dan dipasang dengan

mempertimbangkan jenis dan tingkat

bahayanya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Paragraf 9

Persyaratan Kenyamanan

Pasal 42

Persyaratan kenyamanan Bangunan Gedung

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan.

Pasal 43

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam Bangunan Gedung, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan:

a. fungsi ruang, jumlah pengguna,

perabot/peralatan, aksesibilitas ruang, di dalam Bangunan Gedung; dan

b.

persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(45)

(2) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antar ruang, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan:

a. fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah pengguna dan peralatan di dalam Bangunan Gedung;

b. sirkulasi antar ruang horizontal dan vertikal; dan

c. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 44

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan gedung, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban.

(2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan mempertimbangkan:

a. fungsi Bangunan Gedung/ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan; b. kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan c. prinsip-prinsip penghematan energi dan

kelestarian lingkungan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan kenyamanan kondisi udara pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(46)

Pasal 45

(1) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan,

penyelenggara Bangunan Gedung harus

mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu dalam Bangunan Gedung.

(2) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan:

a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan;

b. pemanfaatan potensi ruang luar Bangunan Gedung dan penyediaan ruang terbuka hijau; dan

c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.

(3) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam bangunan, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan:

a. rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk luar Bangunan Gedung; dan

b. keberadaan Bangunan Gedung yang ada dan/atau yang akan ada di sekitarnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

perencanaan kenyamanan pandangan pada

Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 46

(1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada Bangunan Gedung, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar Bangunan Gedung.

(47)

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 47

(1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada Bangunan Gedung, penyelenggara Bangunan Gedung harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising lainnya baik yang berada pada Bangunan Gedung maupun di luar Bangunan Gedung.

(2) Setiap Bangunan Gedung dan/atau kegiatan yang karena fungsinya menimbulkan dampak kebisingan terhadap lingkungannya dan/atau terhadap Bangunan Gedung yang telah ada,

harus meminimalkan kebisingan yang

ditimbulkan sampai dengan tingkat yang diizinkan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada Bangunan Gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Paragraf 10

Persyaratan Kemudahan

Pasal 48

(1) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan yang meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam

Bangunan Gedung, serta kelengkapan

prasarana dan sarana dalam pemanfaatan Bangunan Gedung.

(48)

(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan horisontal dan hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi, serta fasilitas dan aksesibilitas

yang mudah, aman, dan nyaman bagi

penyandang cacat, lanjut usia, dan ibu hamil.

(3) Kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat merokok, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.

Pasal 49

(1) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) merupakan keharusan bagi semua Bangunan Gedung untuk kepentingan umum dan harus memadai sesuai

dengan fungsi Bangunan Gedung umum

tersebut.

(2) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran;

b. sarana transportasi vertikal dan horizontal; c. sarana tata udara;

d. sarana ibadah (mesjid/musholla);

e. sarana untuk fasilitas penyandang cacat; f. sarana penyelamatan.

Pasal 50

Sistem instalasi transportasi dan penempatannya dalam gedung harus mudah diamati, dipelihara, tidak

membahayakan, mengganggu, dan merugikan

(49)

Pasal 51

Bangunan yang karena sifat dan penggunaannya dan/atau mempunyai ketinggian lebih dari 2 (dua) lantai harus mempunyai jalan keluar yang dilengkapi tangga yang tidak digunakan untuk fungsi atau kegiatan lain.

Pasal 52

(1) Setiap tangga ruang bawah tanah (basement) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Ruang bawah tanah (basement) harus dilengkapi paling sedikit dengan 2 (dua) tangga yang menuju ke tingkat permukaan tangga dan apabila ruang tersebut dipakai untuk umum, diantaranya harus langsung berhubungan dengan jalan, pekarangan, atau lapangan terbuka langsung menuju jalan umum atau jalan keluar;

b. Apabila tangga dari lantai ruang bawah tanah (basement) tangga dari lantai tingkat bertemu pada suatu sarana jalan luar yang sama, harus diberikan pemisah dan tanda penunjuk jalan keluar yang jelas.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jarak antara landasan tangga, ruang bebas vertikal, jumlah anak tangga, lebar tangga, lebar injakan, kemiringan tangga, dan perbandingan tinggi dan lebar anak tangga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Kepala Daerah.

(50)

BAB V

PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

Bagian Kesatu

Pembangunan

Paragraf 1

Umum

Pasal 53

(1) Pembangunan Bangunan Gedung

diselenggarakan melalui tahapan perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.

(2) Pembangunan Bangunan Gedung wajib

dilaksanakan secara tertib administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung tanpa menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(3) Pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan pembangunan yang terukur, fungsional, prosedural, dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Paragraf 2

Perencanaan Teknis

Pasal 54

(1) Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(51)

(2) Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknis Bangunan Gedung meliputi:

a. penyusunan konsep perencanaan; b. prarencana;

c. pengembangan rencana; d. rencana detail;

e. pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi;

f. pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa pelaksanaan;

g. pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi Bangunan Gedung; dan

h. penyusunan petunjuk pemanfaatan Bangunan Gedung.

(3) Perencanaan teknis Bangunan Gedung dilakukan berdasarkan kerangka acuan kerja dan dokumen ikatan kerja.

(4) Perencanaan teknis harus disusun dalam suatu dokumen rencana teknis bangunan gedung berdasarkan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung berupa rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya

pembangunan, dan/atau laporan

perencanaan.

(5) Pengadaan jasa perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sumber dananya berasal dari APBN dan/atau APBD dilakukan melalui pelelangan, pemilihan langsung, penunjukan langsung, atau sayembara.

(52)

(6) Penyedia jasa perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh ahli yang sesuai bidangnya dan dilengkapi dengan persyaratan:

a. perusahaan jasa konsultan perencanaan bangunan yang memiliki sertifikat dari lembaga yang ditentukan Pemerintah;

b. perseorangan dengan melengkapi Sertifikat Keahlian dari lembaga yang ditentukan Pemerintah;

c. perguruan tinggi/lembaga pendidikan melalui Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM).

(7) Hubungan kerja antara penyedia jasa perencanaan teknis dan pemilik Bangunan Gedung harus dilaksanakan berdasarkan ikatan kerja yang dituangkan dalam perjanjian tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 55

(1) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) diperiksa, dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh IMB.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3

Tim Ahli Bangunan Gedung

Pasal 56

(1) Tim Ahli Bangunan Gedung ditetapkan oleh Kepala Daerah.

(53)

(2) Masa kerja Tim Ahli Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku.

(3) Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat ad hoc, independen, objektif, dan tidak mempunyai konflik kepentingan.

(4) Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terdiri atas unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat ahli, dan instansi

pemerintah yang berkompeten dalam

memberikan pertimbangan teknis di bidang Bangunan Gedung, yang meliputi bidang arsitektur bangunan gedung dan perkotaan, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/lanskap, dan tata ruang dalam/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi Bangunan Gedung.

(5) Apabila belum terdapat unsur-unsur

keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung yang memenuhi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Daerah dapat menetapkan

Tim Ahli Bangunan Gedung yang

keanggotaannya terdiri dari unsur Dinas, satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Daerah, dan/atau instansi terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 57

(1) Pertimbangan teknis Tim Ahli Bangunan Gedung harus tertulis dan tidak menghambat proses pelayanan perizinan.

Gambar

gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan

Referensi

Dokumen terkait

Juga diamatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang Petunjuk Peraturan Pelaksanaan Undang- undang Nomor 28 tahun 2002, bahwa

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung sebagai pengaturan lebih lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

bahwa memenuhi ketentuan Pasal 185 (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-Undang

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 180 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan

Pengertian atau batasan tentang bangunan gedung dipetik dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Pendahuluan Pengertian bangunan dalam arti gedung menurut PP no 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung adalah adalah

Jakarta: Erlangga Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Peraturan.. Pengertian Geologi Menurut Para