• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI BUDAYA KOMUNITAS BISSU DALAM NOVEL CALABAI, PEREMPUAN DALAM TUBUH LELAKI KARYA PEPI AL-BAYQUNIE ARTIKEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NILAI BUDAYA KOMUNITAS BISSU DALAM NOVEL CALABAI, PEREMPUAN DALAM TUBUH LELAKI KARYA PEPI AL-BAYQUNIE ARTIKEL PENELITIAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI BUDAYA KOMUNITAS BISSU

DALAM NOVEL CALABAI, PEREMPUAN DALAM TUBUH LELAKI

KARYA PEPI AL-BAYQUNIE

ARTIKEL PENELITIAN

OLEH:

AULIA

NIM F1011141033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PONTIANAK

(2)
(3)

NILAI BUDAYA KOMUNITAS

BISSU

DALAM NOVEL

CALABAI, PEREMPUAN DALAM TUBUH LELAKI

KARYA PEPI AL-BAYQUNIE

Aulia, Parlindungan Nadeak, Agus Wartiningsih

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak Email:auliasuryadi11@gmail.com

Abstract

The purpose of this research is to describe cultural values of the Bissu community in novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki by Pepi Al-Bayqunie. This research can be useful for enriching the development of science and language studies and to be used

as teaching materials for Indonesian language’s teacher. The method in this research is

descriptive method with qualitative research. The approach in this research is literature anthropology approach. The source of data in this research is novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki by Pepi Al-Bayqunie published by Javanica. The primary data of this research reflected through the quotation of words, phrases, clauses, or sentences in the novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki. The technique of data collecting is using documentary study. The result of the research are: 1) cultural values from relationship between human and God, 2) relationship between human and nature, and relationship between human and another human.

Keywords: Cultural values, Bissu community, Novel

PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait dengan kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat, dilahirkan, dibesarkan dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat, hanya mungkin dapat berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, jika ia mengerti dan memahami bahasa yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Dengan hanya membaca sebuah karya sastra, pembaca telah dibekali dengan sekian banyak aspek moral yang secara keseluruhan berfungsi untuk meningkatkan kehidupan bangsa sebab tidak ada karya sastra yang ditulis dengan tujuan negatif.

Novel merupakan satu di antara karya sastra dalam bentuk prosa yang menjadikan permasalahan dalam kehidupan sebagai fokus penceritaan. Satu di antara tema tentang masyarakat yang bisa disampaikan di dalam novel adalah kebudayaan. Kebudayaan merupakan tema yang menarik untuk dianalisis

dalam karya sastra sebab hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan sangat erat dan saling memengaruhi.

Berdasarkan konteks tersebut, pendekatan antropologi sastra dalam novel membuka peluang untuk lebih memahami pemikiran pengarang dalam hubungannya dengan situasi sosial zamannya serta dengan lingkungan sosial budaya pengarangnya. Hal ini peneliti perkuat dengan pendapat Grebstein sebagaimana dikutip Mahayana (2007: 300), bahwa pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu sendiri, tidak dipisahkan dari lingkungan sosial, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh dari faktor-faktor sosial dan budaya.

(4)

sebagai penganut agama Islam. Namun, masih ada kelompok masyarakat Bugis yang sampai saat ini menganut konsep lama dan merupakan sisa kepercayaan periode La Galigo yang menganut kepercayaan patutung yang dipimpin oleh Ammatoa.

Satu di antara novel yang membahas tentang kebudayaan Bugis yaitu novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie. Novel ini bercerita tentang jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki—tubuh yang pemiliknya sendiri kerap gagap memahaminya. Novel ini mengulik sisi kehidupan bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur suku Bugis, yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam Dewata.

Novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie ini merupakan novel yang di dalamnya banyak terdapat nilai kebudayaan. Nilai kebudayaan yang terdapat dalam novel ini terlihat pada kehidupan bissu yang melatari cerita dalam novel tersebut. Novel ini menyoroti perjalanan komunitas bissu serta keadaan masyarakat pada saat itu.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra Islam yang dalam kesehariannya bissu (laki-laki) berpenampilan layaknya perempuan. Realitas seperti ini menjadikan bissu dianggap tidak menerima sunatullah, karena mereka laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan. Bissu juga dianggap menyimpang dari agama (dalam hal ini agama islam) sehingga komunitas ini pernah diberantas oleh kelompok islam DI/TII Kahar Muzakkar pada tahun 1950-an.

Adapun alasan pemilihan novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie sebagai bahan analisis dalam penelitian ini dapat diuraikan ke dalam beberapa alasan. Pertama, novel ini mengangkat persoalan kehidupan bissu, nilai-nilai kebudayaan dapat digali dengan melihat pola-pola kebudayaan komunitas bissu tersebut. Kedua, novel ini merupakan novel yang diangkat dari kisah hidup Puang Matoa Saidi. Novel ini menceritakan secara gamblang perjalanan tokoh Saidi dari masa calabai hingga dilantiknya ia menjadi seorang bissu, dan menjadi puang matoa (pemimpin tertinggi

komunitas bissu) yang penuh pergelutan dalam mempertahankan eksistensi komunitas bissu sehingga novel ini cocok untuk diteliti dengan pendekatan antropologi sastra.

Antropologi sastra dipilih untuk menganalisis dan memahami karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Karya sastra dengan demikian bukan refleksi, bukan semata-mata memantulkan kenyataan, melainkan mengangkat keberagaman budaya secara lebih bermakna. Nilai budaya komunitas bissu yang terdapat dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie ini direncanakan akan dianalisis dari segi kebudayaannya dengan menggunakan teori nilai kebudayaan Koentjaraningrat untuk memunculkan nilai-nilai budaya komunitas bissu yang dituangkan oleh pengarang ke dalam novel ini.

Penelitian terhadap nilai budaya menjadi penting karena kebudayaan sendiri dapat dipahami sebagai keseluruhan pikiran, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat. Nilai budaya penting dipahami dalam rangka memahami pikiran, akal budi, adat istiadat bahkan peradaban suatu masyarakat yang dalam konteks penelitian ini adalah komunitas bissu.

Adapun alasan pemilihan nilai budaya komunitas bissu untuk diteliti dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie adalah karena nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari kehidupan manusia. Manusia tanpa budaya sama artinya dengan manusia yang tidak memiliki identitas sehingga sulit menentukan pedoman hidupnya. Nilai-nilai kebudayaan yang tercermin di dalam karya sastra, apabila diteliti akan banyak ditemukan sifat keuniversalan yang bisa diterapkan di segala zaman. Zaman sekarang keadaan kehidupan manusia cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan hidup, justru nilai-nilai kebudayaan inilah yang peneliti anggap penting untuk ditumbuhkembangkan di dalam diri setiap manusia.

(5)

Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie. Pertama, arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, telah menimbulkan perubahan-perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai bidang kehidupan. Hal tersebut telah menyebabkan rendahnya kepedulian manusia terhadap lingkungan sosialnya. Nilai-nilai yang dahulu dianggap luhur, cenderung mulai ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya. Akibatnya, identitas bangsa Indonesia menunjukkan gejala terancam pudar. Berdasarkan kenyataan tersebut, pembangunan mental masyarakat perlu menjadi perhatian utama. Hal tersebut dapat dilakukan dengan satu di antara caranya yaitu dengan meneladani nilai budaya komunitas bissu yang tercermin di dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

Kedua, generasi muda pada umumnya terlihat mengalami keterasingan terhadap kebudayaannya sendiri. Mereka sibuk dengan pesona perkembangan teknologi yang makin canggih. Akibatnya, pengadopsian budaya asing dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak dapat dihindari lagi. Hal ini membuat kebudayaan sendiri seolah-olah tersingkir jauh ke belakang. Keunggulan bangsa juga bisa ditunjukkan dengan menggali kebudayaan sendiri.

Ketiga, penelitian ini diharapkan juga dapat membantu sastrawan melacak kepribadian bangsa melalui karya-karya sastra yang beberapa waktu ini sudah dilakukan. Hal ini disebabkan karena pencerminan dari ibadah atau peradaban, misalnya, dapat tercerminkan melalui karya sastra. Oleh sebab itu, Calabai,

Hasil dari penelitian terhadap novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie ini direncanakan akan dijadikan sebagai bahan ajar sastra di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XII semester genap kurikulum 2013 revisi 2017. Adapun kompetensi dasar yang nantinya akan digunakan adalah kompetensi dasar 3.8

menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang dibaca dan 4.8 menyajikan hasil interpretasi terhadap pandangan pengarang. Melalui pembelajaran terhadap teks sastra itulah peneliti meyakini bahwa siswa dapat belajar tentang gambaran kehidupan dan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, dalam hal ini nilai budaya komunitas bissu yang tercerminkan melalui novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie. Pemahaman terhadap hal tersebut diharapkan dapat membuat siswa lebih bijaksana lagi dalam menjalani kehidupan.

Kata novel berasal dari bahasa Italia novella. Secara harfiah, novella berarti sebuah “barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini, novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 17—18).

Kayam (dalam Said, 2016:14) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat (2015:144) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal” (Gazalba dalam Sulasman dan Gumilar, 2013: 17). Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar atau perasaan. Sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan atau kesanggupan.

(6)

berfungsi sebagai pedoman aturan tertinggi bagi kelakuan manusia, seperti aturan hukum di dalam masyarakat (Djamaris dalam Fanani, dkk., 1997:6).

Konsep antropologi sastra dapat dirunut dari kata antropologi dan sastra. Kedua ilmu itu memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan sebuah disiplin keilmuan humaniora. Antropologi adalah penelitian terhadap manusia (Keesing dalam Susanto, 2017). Sepanjang diketahui, isu mengenai hubungan antara sastra dan antropologi kali pertama muncul dalam kongres Folklore and Literary Anthropology (Poyatos dalam Ratna, 2017:29) yang berlangsung di Calcutta (1978) diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Hal yang menjadi bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia melalui fakta-fakta sastra dan budaya. Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra.

Kehadiran kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum 2006 atau KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) telah membawa perubahan yang mendasar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Pada Kurikulum 2006, mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih mengedepankan pada keterampilan berbahasa (dan bersastra), sedangkan dalam Kurikulum 2013, Pembelajaran Bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana untuk

mengembangkan kemampuan dan

keterampilan menalar.

Sebagaimana yang dikemukakan Slamet (dalam Agusrida, 2009), bahwa pengajaran bahasa Indonesia adalah pengajaran keterampilan berbahasa bukan pengajaran tentang kebahasaan. Teori-teori bahasa hanya sebagai pendukung atau penjelas dalam konteks, yaitu yang berkaitan dengan keterampilan tertentu yang tengah diajarkan.

Pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah membelajarkan peserta didik tentang keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai tujuan dan fungsinya. Menurut Atmazaki (dalam Agusrida, 2009), mata pelajaran Bahasa

Indonesia bertujuan agar: 1) peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, 2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, 3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan, 4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, 5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan 6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif sehingga penelitian dilakukan secara terurai dan dalam bentuk kata-kata, bukan berbentuk angka-angka. Peneliti akan mendeskripsikan nilai budaya komunitas bissu dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie menggunakan pendekatan antropologi sastra dan rencana implementasinya ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum 2013.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi sastra. Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Penelitian ini difokuskan pada teks sastra sebagai pantulan budaya. Karakteristik penelitian antropologi sastra adalah pemahaman sastra dari sisi keanekaragaman budaya.

(7)

nilai budaya komuniats bissu yang tercermin melalui kutipan berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti sebagai instrumen kunci dibantu dengan laptop dan kartu data. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumenter. Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis maupun media elektronik. diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh.

Agar penelitian ini dapat mencapai hasil yang maksimal, maka peneliti menempuh langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut.

1. Membaca novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie sebagai objek penelitian.

2. Memahami isi dari novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie dan mengaitkannya sesuai dengan masalah yang akan diteliti.

3. Mengidentifikasi nilai-nilai budaya komunitas bissu dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

4. Menglasifikasikan data penelitian berdasarkan masalah penelitian.

5. Menguji keabsahan data menggunakan teknik triangulasi dengan teori, pengecekan melalui diskusi dan kecukupan referensi. Agar penelitian ini dapat mencapai hasil yang maksimal, maka peneliti menempuh langkah-langkah analisis data dengan berpedoman pada teknik analisis pendekatan antropologi sastra sebagai berikut.

1. Menganalisis nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan hakikat hidup dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

2. Menganalisis nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia

dengan karya dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

3. Menganalisis nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan waktu dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

4. Menganalisis nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

5. Menganalisis nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie.

6. Merancang rencana implementasi pembelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum 2013 dalam bentuk RPP.

7. Mendiskusikan hasil analisis dengan dosen pembimbing.

8. Menyimpulkan dan melaporkan hasil penelitian data.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

1. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Tuhan

Nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan diperoleh dari penyesuaian data-data dengan teori kebudayaan Bugis. Nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan (Boting Langik) terwujud dalam nilai budaya berikut: 1) bunyi mewujudkan kata (sadda,

(8)

Tabel 1. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Tuhan

No. Nilai Budaya Wujud Nilai Budaya

1. Bunyi mewujudkan kata (sadda, mappabati’ ada)

1. Penggunaan alat-alat musik yang mistis dalam upacara Mappaleppe Satinja (menebus nazar).

2. Penggunaan gong dan seruling dalam upacara Attoriolong (tata cara leluhur).

3. Penggunaan iringan musik sakral dan kendang yang mengantar roh Saidi dalam ritual irebba (pembaiatan calon bissu).

4. Penggunaan benda pusaka lonceng Calikerana Langi’e dalam ritual irebba yang membantu para bissu berhubungan dengan Penghuni Dunia Atas (Boting Langik).

2. Beribadah kepada Tuhan 1. Para bissu mendirikan sholat 2. Para bissu berpuasa

3.

Percaya pada Penghuni Dunia Atas (Boting Langik)

1. Bissu berkomunikasi dengan Penghuni Dunia Atas melalui firasat dan penglihatan-penglihatan yang mereka terima secara niskala.

2. Puang Matoa mendapatkan bisikan dari Penghuni Dunia Atas.

3. Bissu menggelar ritual mappalili (bertanam padi) dengan mengarak benda pusaka Rakkala—yang merek percaya juga diturunkan oleh Dewata—sebagai tanda terima kasih kepada Dewi Kesuburan (Sangiang Serri).

4. Puang Matoa Saena memercayakan perlindungan benda pusaka Rakkala di bola Arajang (rumah benda pusaka) saat para bissu mengamankan diri dari penyerangan orang-orang yang ingin membubarkan komunitas bissu. 5. Para bissu mendapatkan petunjuk Dewata (pammase

Dewata) berkaitan dengan terpilihnya Saidi sebagai seorang bissu oleh Dewata.

6. Para bissu melarung walasuji sebagai bentuk penghargaan kepada penguasa air (Dewata Uwae).

4. Merapalkan mantra, doa dan nyanyian

1. Para bissu memberikan doa restu kepada salah seorang tim sukses kandidat bupati.

2. Para bissu diundang untuk mengantarkan suara pengharapan para petani ke Dunia Atas (Boting Langik). 3. Puang Nani merapalkan mantra pada saat akan

menjemput roh Saidi pada ritual irebba (pembaiatan calon bissu).

4. Puang Matoa Ma’rang merapalkan doa-doa sebagai bentuk pengharapan kepada Dewata agar roh Saidi dan roh Puang Nani dilindungi.

5. Para bissu melantunkan nyanyian dalam ritual mappalili (bertanam padi).

6. Puang Matoa berdoa saat melepas keberangkatan para bissu ke Surabaya.

(9)

5. Bersyukur

1. Saidi bersyukur kepada semesta karena semesta masih berbaik hati kepadanya yang seorang calabai.

2. Seorang perempuan bersyukur karena anaknya diselamatkan oleh Puang Matoa dalam musibah kebakaran.

6. Bersabar

Puang Sompo mengatakan kepada Saidi untuk sabar dan menunggu sampai Puang Matoa dan Puang Malolo mendapat tanda-tanda dari Dewata mengenai pengangkatan dirinya untuk menjadi seorang bissu.

7. Berserah diri kepada Dewata

1. Para bissu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan tersebut dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada Dewata. 2. Para bissu menggunakan bahasa torilangi untuk

berkomunikasi dengan Dewata menyampaikan pengharapan atas keselamatan dan perlindungan pasukan saat akan berperang.

3. Para bissu percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada seseorang adalah takdir Dewata.

4. Para bissu harus mampu menahan hawa nafsu mereka.

8. Berpuasa Saidi berpuasa sebelum menjalani ritual irebba (pembaiatan calon bissu).

9.

Bertawakkal kepada kekuasaan Allah yang Maha Kuasa

(Mappasanre’ ri elo ullena Allah Taala).

Saidi menenangkan Wina dengan mengatakan bahwa ketidakadilan yang mereka terima sebagai seorang calabai adalah semata-mata dikarenakan mereka tidak tahu apa yang telah Tuhan rencanakan untuk mereka.

Masyarakat Bugis dalam I La Galigo (Kern, 1993: 1) diceritakan meyakini bahwa dunia ini terbagi atas tiga bagian, yakni Dunia Atas (Boting Langik), Dunia Tengah (Ale Kawa) dan Dunia Bawah (Peretiwi). Hal ini diperjelas dengan rekonstruksi yang dilakukan oleh Pelras (2006: 101) terhadap teks-teks I La Galigo dan beberapa teks zaman berikutnya menghasilkan suatu entitas (satuan yang berwujud) spiritual abadi yang dinamakan Dewata Sisine ‘Yang Maha Esa’. Dari entitas ini, setelah tujuh lapis Dunia Atas (Boting Langik), Bumi/Dunia Tengah (Tana, Ale Kawa) dan tujuh lapis Dunia Bawah (Peretiwi) diciptakan, muncul sepasang Dewa yang disamakan dengan matahari dan bulan.

Sadda berarti bunyi. Bunyi merupakan hasil dari persentuhan benda atau keadaan yang menghasilkan nuansa khas, berupa bunyi. Bunyi itu dipandang khas dan memiliki nilai serta kekuatan yang dianggap luar biasa. Anggapan atas kekuatan itu dihubungkan dengan ilmu gaib yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuatan lahir dan batin. Said (2016: 94) ,menaganggap hal ini dapat

menimbulkan dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi masalah kehidupan yang terjelma sebagai sikap, perilaku dan temperamen, baik pada individu maupun pada kelompok masyarakat Bugis.

Nilai-nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan tersebut tercermin dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie dalam bentuk kutipan-kutipan secara tersirat. Adapun hubungan para bissu dapat dilihat dari kutipan yang mencerminkan aktifitas para bissu baik kepada Tuhan, Para Penghuni Dunia Atas, maupun Dewata

2. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Alam

(10)

dibutuhkan oleh manusia, maka sepatutnya manusia menjaga alam agar dapat memperoleh manfaat dari alam itu sendiri. Adapun nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yang terdapat pada novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki yaitu nilai manusia yang bersatu dengan alam, mendayagunakan alam, menjaga

keseimbangan alam dan membaca gejala alam.

Nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam diperoleh dari analisis dan teori kebudayaan. perwujudan dari nilai-nilai budaya tersebut dibahas dalam bentuk tabel berikut.

Tabel 2. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Alam

No. Nilai Budaya Wujud Nilai Budaya

1. Bersatu dengan alam

1. Para bissu melaksanakan upacara mappalili (bertanam padi) sebagai wujud pengharapan berkah kepada Dewi Kesuburan (Sangiang Serri) yang menunjukkan bahwa manusia dapat menyatu dengan alam dengan memanfaat segala yang ada di alam.

2. Para bissu melaksanakan upacara mappalili (bertanam padi) sebagai wujud kecintaan mereka kepada alam. 3. Para bissu mempercayai bahwa dengan mantra dan ritual

yang dilakukan, hal tersebut dapat menenangkan Dewata dan membawa keberkahan bagi mereka dan tanaman mereka.

2. Menjaga keseimbangan alam

1. Saidi memilih untuk tidak membunuh buaya yang menyerangnya saat Saidi sedang bertapa sebelum menjalani proses irebba (pembaiatan calon bissu) karena hal tersebut bertentangan dengan hati nuraninya.

2. Para bissu memilih untuk menjaga hawa nafsunya dari menyukai sesama jenis kelamin adalah juga sebagai bentuk menjaga keseimbangan alam.

3. Para bissu berusaha untuk menghindari cacat dalam ritual yang mereka lakukan karena mereka percaya bahwa hal tersebut dapat membawa petaka dan merusak keseimbangan alam.

3. Mampu membaca gejala alam

Puang Matoa dianugerahi kemampuan untuk membaca gejala alam oleh Dewata.

Hubungan antara bissu dengan alam tentu tidak terlepas dari kehadiran Dewata. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa pelaksanaan upacara Mappalili dihubungkan dengan paceklik yang dihadapi oleh masyarakat Segeri. Namun, masyarakat yang masih mempercayai para bissu meminta bantuan mereka. Alhasil, panceklik berakhir dan para petani berhasil memanen padi mereka yang tumbuh subuh. Peran para bissu sebagai penghubung manusia dengan alam dalam kaitannya dengan fungsi bissu yang bergabung menjadi satu dengan alam menjadi sangat penting dalam hal ini jika dikaitkan

dengan hal tersebut.. Bissu juga percaya bahwa jika sebuah ritual/upacara dilakukan dengan cacat (terdapat kekurangan atau tidak sewajaranya) maka hal ini akan membuat keseimbangan alam rusak.

(11)

3. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Manusia

Nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia divalidasi dengan teori kebudayaan masyarakat Bugis. Nilai budaya komunitas bissu yang menggambarkan hubungan manusia dengan manusia terwujud dalam nilai

budaya: 1) perbuatan mewujudkan manusia (gau’ mappabati’ tau), 2) bawaan hati yang baik (wawang ati mapaccing), 3) kecendikiaan (amaccangeng), 4) keberanian (awaraningeng), 5) kewajaran atau kepatutan (mappasitinaja), 6) keteguhan pendirian (agettengeng) dan 7) kesolideran (assimillereng).

Tabel 3. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Manusia

No. Nilai Budaya Wujud Nilai Budaya

1.

Perbuatan mewujudkan manusia (gau’

mappabati’ tau)

1. Para bissu berusaha menerima perbedaan dan hal tersebutlah yang menjadikan mereka seperti sekarang. Mereka berusaha untuk menerima perbedaan yang mereka miliki.

2. Puang Matoa dikunjungi oleh banyak orang saat beliau sakit dianggap sebagai bukti bahwa seorang calabai sekaligus pemimpin tertinggi komunitas bissu amat dicintai banyak orang karena mereka pernah merasakan jasa Puang Matoa.

2. Bawaan hati yang baik (wawang ati mapaccing)

1. Puang Matoa memilih kemenangan tanpa kekerasan dan menyelamatkan para bissu yang tersisa.

2. Puang Matoa berusaha menyucikan dirinya dari sifat-sifat tercel dan menjaga dirinya agar tidak terbawa atau dikendalikan nafsu amarah. Pada saat bekas anggota Gorila tersebut marah-marah dan merendahkan bissu, bukannya terbawa suasana dan marah, Puang Matoa Saena justru tampak tenang, tidak berusaha memberikan penjelasan dan diakhir tetap menerima ucapan terima kasih dari bekas anggota Gorila tersebut sambil tersenyum.

3. Sebelum meninggal dunia, Puang Matoa Saena berpesan kepada Saidi agar Saidi tidak sombong dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Sombong dan mementingkan diri sendiri merupakan sifat tercela.

3. Kecendikiaan (amaccangeng)

Selain menjaga benda pusaka, bissu juga dikenal terampil dalam bidang lain seperti menjadi penghulu upacara adat, mengobati orang sakit dan menjadi pinati (pelaksana upacara) pada acara syukuran.

4. Keberanian (awaraningeng)

1. Puang Matoa dan Puang Malolo tidak menunjukkan rasa takut dan gentar sedikit pun menghadapi para pengunjung rasa yang bertampang gahar.

2. Puang Matoa Saena dengan berani menerobos kobaran api tersebut untuk menyelamatkan anak perempuan yang terperangkap.

(12)

kewajiban demi harkat dan martabat kemanusiaan.

5.

Kewajaran atau kepatutan (mappasitinaja)

Bissu yang calabai juga adalah manusia. Mereka tidak bisa memutuskan kapan dan kepada siapa mereka menyukai seseorang. Bissu mengalami pergulatan batin mengenai hal ini. Kemampuan untuk dapat menahan perasaan agar tidak menjadi nafsu adalah hal yang patut dilakukan oleh Saidi pada saat ia menyadari perasaannya kepada toboto-nya, Sutte.

6. Keteguhan pendirian (agettengeng)

1. Saidi terlihat sangat tenang walaupun dihadapkan dengan perempuan cantik dan laki-laki tampan yang menggodanya. Saidi telah bertekad akan melewati ujian tersebut demi menjalani proses irebba (pembaiatan calon bissu) untuk menjadi bissu.

2. Saidi teguh dengan pendiriiannya mengabdikan diri sebagai seorang bissu tanpa terpengaruh dengan ambisi untuk menjadi seorang puang malolo atau puang matoa.

7. Kesolideran (assimillereng)

1. Para bissu merasakan rasa sakit yang sama. Hal ini ditunjukkan dengan air mata yang mereka teteskan karena pedihnya perasaan mereka melihat Bola Arajang (rumah benda pusaka) porak-poranda dan pusaka ada yang hilang atau hangus terbakar.

2. Puang Matoa berpesan kepada semua bissu untuk tetap bersatu walaupun mereka berbeda pendapat atau berselisih paham

Dalam pandangan dunia Bugis, manusia yang tidak menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya disebut sebagai manusia munafik dan manusia yang demikian itu tidak akan dapat dipercaya dalam kehidupan sehari-sehari. Bagi manusia Bugis, hanya dengan kata dan perbuatanlah individu itu dapat mewujudkan dirinya sebagai tau (manusia yang berharkat dan bermartabat). Perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya, karena dilandasi suatu prinsip pemuliaan harkat dan martabat manusia, yang dalam ungkapan Bugis disebut tau sipakatau (manusia saling memanusiakan). Manusia (tau)-lah menjadi penanggung jawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dalam bahasa Bugis, ati mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madecceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok) (Said, 2016: 142). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat, atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat siri’-pesse. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi (Said, 2016: 142).

(13)

jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat.

Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.

Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam memperlakukan diri sebagai manusia, bawaan hati memegang peranan yang amat penting. Bawaan hati yang baik mewujudkan kata-kata dan perbuatan yang benar yang sekaligus dapat menimbulkan kewibawaan dan apa yang diucapkan akan tepat pada sasarannya.

Nilai-nilai budaya tersebut tercermin dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie dalam bentuk kutipan-kutipan. Adapun nilai-nilai tersebut banyak ditemukan pada hubungan antara para bissu, baik Puang Matoa maupun Puang Malolo.

4. Rencana Implementasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013

Hasil penelitian ini direncanakan untuk diimplementasikan pada pembelajaran bahasa Indonesia kelas XII semester genap. Kompetensi dasar yang digunakan adalah KD 3.8 menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang dibaca dan 4.8 menyajikan hasil interpretasi terhadap pandangan pengarang. Melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik dan model discovery learning. Metode yang digunakan antara lain metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan penugasan.

Peserta didik diharapkan dapat menganalisis pandangan pengarang dan isi novel serta dalam keterampilan mampu menyajikan hasil interpretasi terhadap pandangan pengarang dengan benar, tanggung jawab displin selama proses pembelajaran dan bersikap jujur, percaya diri serta pantang menyerah.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan nilai budaya komunitas bissu yang tercermin dalam novel Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki karya Pepi Al-Bayqunie adalah sebagai berikut. Nilai

budaya komunitas bissu yang

menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan terwujud dalam nilai budaya berikut: 1) bunyi mewujudkan kata (sadda, mappabati’ ada), 2) beribadah kepada Tuhan, 3) percaya pada Penghuni Dunia Atas (Boting Langik), 4) merapalkan mantra, doa dan nyanyian, 5) bersyukur, 6) bersabar, 7) berserah diri kepada Dewata, 8) berpuasa, dan 9) bertawakkal kepada kekuasaan Allah yang Maha Kuasa (mappasanre’ ri elo ullena Allah Taala).

(14)

dengan manusia terwujud dalam nilai budaya: 1) perbuatan mewujudkan manusia (gau’ mappabati’ tau), 2) bawaan hati yang baik (wawang ati mapaccing), 3) kecendikiaan (amaccangeng), 4) keberanian (awaraningeng), 5) kewajaran atau kepatutan (mappasitinaja), 6) keteguhan pendirian (agettengeng) dan 7) kesolideran (assimillereng).

Hasil penelitian ini dirujuk sebagai rencana implementasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 di tingkat SMA kelas XII semester genap pada KD 3.8 menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan novel yang dibaca dan 4.8 menyajikan hasil interpretasi terhadap pandangan pengarang.

Saran

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian mengenai nilai budaya maupun dari aspek lainnya pada penelitian novel. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perkembangan dalam penulisan karya sastra khususnya novel

DAFTAR RUJUKAN

Agusrida. 2009. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013: Sebuah Kajian Diklat Penerapan

Kurikulum 2013.

(https://bdkpadang.kemenag.go.id/index. php?option=com_content&view=article &id=674:agusridadsember&catid=41:top -headlines&Itemid=158 diakses 11 April 2017).

Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Fanani, M., dkk. 1997. Analisis Struktur dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kern, R.A. 1993. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno (Terjemahan La Side dan Sagimun M.D. dengan judul asli I La Galigo: Catalogus der Boegineesche tot den I La Galigo-cyclus behoorende handschriften bewaard in het Legatum Warnerianum te Leiden alsmede in andere Europeesche bibliotheken). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas

Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (Terjemahan Abdul Rahman Abu, Hasriadi dan Nurhady Sirimorok dengan judul asli The Bugis). Jakarta: Nalar. Ratna, Nyoman Kutha. 2017. Antropologi

Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, Mashadi. 2016. Jati Diri Manusia Bugis. Jakarta: Pro de Leader.

Sulasman dan Setia Gumilar. 2013. Teori-Teori Kebudayaan: dari Teori-Teori Hingga Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia. Susanto, Hadi. 2017. Antropologi Sastra

dalam Penelitian.

Gambar

Tabel 1. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Tuhan
Tabel 3. Nilai Budaya Komunitas Bissu yang Menggambarkan Hubungan Manusia dengan Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemeriksaan terhadap ketersediaan dokumen angkutan hasil hutan yang sah dalam periode bulan Februari 2017 sampai dengan Januari 2018 Auditee menerima bahan baku

PEMBIMBING : Asep Ramdhani Mahbub, S.Kom LOKASI KERJA PRAKTEK : PT.. Digital

Terlihat pada gambar di atas bahwa kain yang terlapisis dengan fotokatalis akan terlihat lebih putih dibandingkan dengan kain yang tidak terlapisi.. Hal ini

Aplikasi dari motif berprestasi menjelaskan bahwa individu akan mengerjakan sesuatu dengan gigih dan resiko pekerjaannya adalah moderat, maka dia akan bekerja lebih

Kharisma Naser di mesir terus menurun di kalangan pemimpin-pemimpin Arab. Cita-cita RPA pupus sudah. Nampaknya liga Arab memang menjadi puncak pencapaian gerakan

Dicitur nobis pro parte domini fratris Georgii guardiani et fratrum claustri seu loci aut conuentus ordinis minorum de Scardona quod nuper dante operam domino episcopo

Nama Guru Nomor Peserta Mata Pelajaran Sertifikasi..

Sebagian siswa kurang mampu menginterpretasi soal seperti tidak menggambarkan sketsa permasalahan atau tidak menuliskan informasi yang diketahui dan ditanyakan pada