• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis Terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis Terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP

DERAJAT INFLAMASI BRONKUS TIKUS PUTIH

MODEL ASMA ALERGI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DESSY SUCI RACHMAWATI

G.0008009

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 9 Januari 2012

Dessy Suci Rachmawati

(4)

commit to user

iv ABSTRAK

Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi bronkus pada tikus putih model asma alergi.

Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan post test only control

group design menggunakan 35 ekor tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan,

dibagi dalam 5 kelompok (kelompok kontrol, asma alergi, antihistamin 2 mg/tikus, ekstrak propolis 100 mg/kg BB, ekstrak propolis 200 mg/kg BB) masing-masing kelompok 7 ekor tikus. Sensitisasi hewan coba hari ke-1 dan 14 secara intraperitonial, dilanjutkan hari ke-21, 23, 25, dan 27 secara aerosol selama 20 menit. Hari ke-28 mencit dikorbankan dan diambil bronkusnya, dibuat preparat dengan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Kruskall-Wallis dilanjutkan Mann-Whitney menggunakan program SPSS for Windows Release 16.0. Pada analisis data digunakan batas kemaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian : Derajat inflamasi kelompok kontrol adalah grade 0 (40%) dan

grade 1 (60%). Kelompok asma alergi adalah grade 3 (80%) dan grade 4 (20%).

Kelompok antihistamin 2 mg/tikus adalah grade 1 (80%) dan grade 2 (20%). Kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB adalah grade 2 (60%), grade 3 (20%),

dan grade 4 (20%). Kelompok ekstrak propolis 200 mg/kg BB adalah grade 1

(40%) dan grade 2 (60%). Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 100 mg/kg BB (p = 0,174). Terdapat perbedaan bermakna derajat inflamasi kelompok asma alergi dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB (p = 0,006). Derajat inflamasi kelompok ekstrak propolis 100 mg/kg BB dengan ekstrak propolis 200 mg/kg BB perbedaannya tidak bermakna secara statistik (p = 0,059).

Simpulan Penelitian : Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus putih model asma alergi.

(5)

commit to user

v ABSTRACT

Dessy Suci Rachmawati, G0008009, 2012. The Effect of Ethanol Extract of Propolis with Bronchial Inflammation Grade in White Mouse Asthma Allergic Model, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta

Objective : To understand the effect of ethanol extract of propolis with bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model.

Methods : Experimental laboratory with post test only control group design use 35 male white mouse, divided into five groups (control group, asthma allergic, anti-histamine 2 mg/mouse, propolis extract 100 mg/kg BW, propolis extract 200 mg/kg BW) each group consist of seven mouse. Sample was sensitized on day-1 and day-14 intraperitoneally, continued in day-21, 23, 25, and 27 aerosolly in 20 minutes. In day-28, sample was sacrificed and the bronchus was collected. The bronchial inflammation grade was observed with Haematoxylin-Eosin staining. The obtain data was analyzed statistically with Kruskall-Wallis continued with Mann-Whitney using program SPSS for Windows Release 16.0. The data was analyzed with margin of significance p < 0.05.

Result : The inflammation grade of control group was grade 0 (40%) and grade 1 (60%). Asthma allergic group was grade 3 (80%) and grade 4 (20%). Anti-histamine 2 mg/mouse was grade 1 (80%) and grade 2 (20%). Propolis extract 100 mg/kg BW was grade 2 (60%), grade 3 (20%), and grade 4 (20%). Propolis extract 200 mg/kg BW was grade 1 (40%) and grade 2 (60%). There is no significant difference between asthma allergic group and propolis extract 100 mg/kg BW in bronchial inflammation grade (p = 0,174). There is significant difference between asthma allergic model and propolis extract 200 mg/kg BW (p = 0,006). There is no significant difference between propolis extract 100 mg/kg BW and propolis extract 100 mg/kg BW (p = 0,059).

Conclusion: Ethanol extract of propolis decrease bronchial inflammation grade in white mouse asthma allergic model.

(6)

commit to user

vi PRAKATA

Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Derajat Inflamasi Bronkus Tikus Putih Model Asma Alergi”

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat berbagai bimbingan dan bantuan, penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SpPD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 3. Diding Heri Prasetyo, dr., M. Si. selaku Pembimbing Utama yang telah

memberikan waktu, bimbingan, saran, koreksi dan nasihat kepada penulis. 4. Sarsono, Drs., M. Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberikan banyak bimbingan, pengarahan, dan masukan kepada penulis. 5. R. Prihandjojo Andri P., dr., M.Si selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji sekaligus memberikan banyak saran dan koreksi bagi penulisan skripsi ini.

6. Sri Hartati H., Dra., Apt., S.U. selaku Penguji Pendamping yang telah berkenan menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulisan skripsi ini.

7. Segenap Staf Laboratorium Biokimia FK UNS, Laboratorium Histologi FK UNS atas bantuannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. 8. Ayah, Ibu, Kakak, serta keluarga penulis yang senantiasa memberikan

dukungan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi.

9. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu proses penelitian dan pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 9 Januari 2012

(7)

commit to user

b. Komposisi kimia propolis... 7

c. Flavonoid………...…... 8

2. Asma alergi……... 15

3. Bronkus... 20

4. Derajat inflamasi bronkus... 22

5. Sensitisasi hewan coba model asma alergi…... 26

B. Kerangka Pikiran……...……... 31

1. Kerangka pikiran konseptual... 31

2. Kerangka pikiran teoritis... 32

C. Hipotesis... 33

BAB III. METODE PENELITIAN... 34

(8)

commit to user

viii

H. Penentuan Dosis Perlakuan………... 38

I. Rancangan Penelitian... 39

J. Alat dan Bahan Penelitian... 40

K. Jalannya Penelitian…... 41

L. Teknik Analisis Data... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 45

A. Hasil Penelitian... 45

B. Analisis Data... 52

BAB V. PEMBAHASAN... 54

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN... 58

A. Simpulan... 58

B. Saran... 58

(9)

commit to user

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Molekul CAPE... 10

Gambar 2.2. Struktur Molekul Chrysin... 11

Gambar 2.3. Struktur Molekul Galangin... 12

Gambar 2.4. Struktur Molekul Kuersetin…... 13

Gambar 2.5. Histologi Bronkus………... 21

Gambar 2.6. Neutrofil Segmen…………... 22

Gambar 2.7. Eosinofil………... 23

Gambar 2.8. Limfosit………... 24

Gambar 2.9. Basofil………... 25

Gambar 2.10. Makrofag………... 26

Gambar 2.11. Skema Kerangka Pikiran Konseptual……….. 31

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian……… 39

Gamabr 3.2. Skema Alur Penelitian………... 43

Gambar 4.1. Gambaran Histologis Bronkus Grade 0 pada Kelompok K1………. 45

Gambar 4.2. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K1... 46

Gambar 4.3. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K2………... 46

Gambar 4.4. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K2………... 47

Gambar 4.5. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K3………... 47

Gambar 4.6. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K3………... 48

Gambar 4.7. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K4………... 48

Gambar 4.8. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K4………... 49

Gambar 4.9. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K5………... 49

(10)

commit to user

x

DAFTAR TABEL

Halaman

(11)

commit to user

xi

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1)... 50 Grafik 4.2. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi

(K2) ……….. 51 Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

Antihistamin (K3) ………..………... 51 Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

Propolis Dosis 100 mg/kg BB (K4) …..……..…... 51 Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi +

(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Lampiran 2. Jadwal Penelitian

Lampiran 3. Tabel Jumlah dan Prosentase Derajat Inflamasi Bronkus pada Masing- Masing Kelompok Perlakuan

Lampiran 4. Tabel Hasil Uji Kruskall-Wallis Lampiran 5. Tabel Hasil Uji Mann-Whitney

Lampiran 6. Tabel Konversi Dosis Manusia dan Hewan

Lampiran 7. Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan

(13)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat, yang bisa menimbulkan

kerusakan jaringan pada hampir semua organ tubuh, termasuk kulit, saluran

napas dan saluran pencernaan (Tanjung & Yunihastuti, 2006). Alergi terjadi

akibat respon imun berlebihan bila ada kontak terhadap alergen

(Baratawidjaja, 2006). Apabila reaksi alergen terjadi di dalam bronkiolus

paru maka akan menyebabkan asma (Guyton & Hall, 2007).

Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat

kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. Menurut

data organisasi kesehatan dunia (WHO), penyandang asma di dunia mencapai

100-150 juta orang. Jumlah ini diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang

per tahun (Arief, 2009).

Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap

oleh Antigen Presenting Cell (APC) (Baratawidjaja, 2006). Hasil olahan

alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of

Differentiation 4+ (CD4+) T-helper 2 (Th2) (Nairn & Helbert, 2002). Sel

CD4+ Th2 akan menghasilkan interleukin (IL) 4 dan IL-13 yang memacu sel

B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas &

Lichtman, 2003). Interleukin 5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan

(14)

commit to user

terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel

mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator

inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan

sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien,

dan prostaglandin. Faktor kemotaktis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis

Factor (TNF) α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor

kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil,

limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas

& Lichtman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi

pada bronkus (Sundaru & Sukamto, 2006).

Kortikosteroid, teofilin, agonis β2-adrenergik, leukotrien modifier, anti

IgE sering digunakan dalam pengobatan asma. Namun, obat-obat ini

memiliki efek samping menghambat pertumbuhan atau meningkatkan resiko

eksaserbasi asma berat (Nelson et al., 2006).

Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah

dengan menggunakan obat herbal (Handayani, 2001). Oleh karena itu,

pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang didukung dengan

penelitian imunologis perlu digalakkan (Djauzi, 2003).

Propolis merupakan herbal yang bisa dimanfaatkan dalam terapi asma

alergi. Senyawa terpenting dalam propolis adalah flavonoid. Salah satu

flavonoid yang terkandung dalam propolis adalah caffeic-acid dan kuersetin

(Kosalec et al., 2004). Caffeic-acid merupakan Ca-antagonis, sehingga

(15)

mediator-commit to user

mediator inflamasi setelah sel mast terjadi Ca influks (Kuby, 1997).

Sedangkan kuersetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) akan

menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya

degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator

lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi

akan berkurang.

Dengan sejumlah aktivitas biologis yang ditunjukkan oleh propolis

tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui

pengaruh propolis terhadap derajat inflamasi bronkus tikus model asma

alergi dan apakah propolis memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi

terapi adjuvant dalam penatalaksanaan asma alergi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat inflamasi

bronkus pada tikus putih model asma alergi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap derajat

(16)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah tentang

pengaruh propolis terhadap penatalaksanaan asma alergi khususnya

derajat inflamasi bronkus.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk penelitian

lebih lanjut dalam pemanfaatan propolis sebagai obat anti asma alergi,

(17)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Propolis

a. Pengertian Umum

Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli, polen

dan propolis. Propolis sebagai kompleks resin yang dikumpulkan lebah

madu dari berbagai sumber tanaman untuk kemudian dicampur dengan

air liurnya, sehingga menghasilkan produk lebah yang bermanfaat

(Marcucci et al., 2001; Salatino et al., 2005). Secara penampakan fisik

(warna), aroma, dan komposisi kimiawi propolis terlihat bervariasi

tergantung dari berbagai faktor. Warnanya mungkin putih kekuningan

(krem), kuning, hijau, coklat terang atau gelap. Beberapa sampel

memiliki tekstur rapuh keras, sedangkan sampel lainnya mungkin elastis

dan kenyal. Propolis berasal dari bahasa Yunani, pro yang berarti

pertahanan dan polis berarti kota. Dengan demikian menyiratkan bahwa

propolis sebagai produk yang terlibat dalam pembelaan terhadap

masyarakat lebah (Salatino et al., 2005), yang digunakan oleh lebah

dalam pembuatan, pemeliharaan, perlindungan dan mensterilkan sarang

lebah (Marcucci et al., 2001).

Faktor-faktor biologik, zona geografis dan lingkungan dapat

(18)

commit to user

2009). Beberapa penelitian melaporkan bahwa komposisi propolis

dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber bunga (jenis tanaman)

untuk madu, musim dan faktor-faktor lingkungan (seperti jenis tanah,

iklim, faktor genetik, dan metode pengolahan). Dengan kata lain,

kemungkinan efek-efek yang berhubungan dengan kesehatan sangat

tergantung asal-usulnya (Baltrusaityte et al., 2007).

Komposisi propolis sangat kompleks. Unsur utamanya adalah lilin

lebah, resin dan senyawa volatil. Lebah mensekresikan lilin lebah,

sedangkan resin dan senyawa volatil berasal dari tanaman. Aktivitas

biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman ini berasal. Oleh karena itu,

meskipun propolis jelas merupakan produk binatang, proporsi yang cukup

besar dari komponen-komponennya yang berperan dalam menentukan

aktivitas biologis berasal dari tanaman. Resin merupakan kandungan yang

kebanyakan ditemukan dalam ekstrak alkohol dikonsumsi oleh orang dari

berbagai negara sebagai makanan pelengkap atau obat alternatif (Salatino

et al., 2005). Beberapa senyawa telah diidentifikasi dalam propolis,

terutama resin (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), serbuk sari

(5%), dan senyawa organik lainnya (5%) (Sivasubramaniam & Seshadri,

(19)

commit to user

b.Komposisi Kimia Propolis

Komposisi kimia propolis disajikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis

Kelas komponen Jumlah Group Komponen

Resin 45-55% Flavonoid, asam fenolat dan esternya

Lilin dan asam lemak 25-53% Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman Minyak essensial 10% Senyawa volatile

Protein 5% Protein kemungkinan berasal dari polen dan amino bebas

Senyawa organik lain dan mineral

5% 14 macam mineral yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Cs, Hg, La, dan Sb. Senyawa lain seperti keton, laktan, kuinon, asam benzoate dan esternya, gula, vitamin B3.

(Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).

Senyawa yang terkandung dalam propolis, secara garis besar

dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu (i) flavonoid (flavonol, flavon,

flavanon, dan hidroflavonol), (ii) turunan cinnamic acid, dan (iii)

terpenoid. Flavonol (kaempferide, kaempferol, galangin, isorhamnetin,

rhamnetin, myricetin, fisetin dan rutin), flavon (apigenin, acacetin,

baicalein, chrysin, luteolin dan tectochrysin), flavanon (pinocembrin,

sakuranetin dan isosakura-netin), turunan cinnamic acid (ferulic acid,

p-coumaric acid dan caffeic acid) dan terpenoids (tt-farnesol,

β-caryophyllene, terpineol dan syringaldehyde) (Sivasubramaniam &

Seshadri, 2005; Lotfy, 2006). Senyawa-senyawa tersebut memiliki peran

(20)

commit to user

imunomodulator, antimikrobial, antioksidan, antiinflamasi, antifungal,

antiprotozoa, antiparasit dan antiproliferatif (Banskota et al., 2001; Koo

et al., 2002; Ahn et al., 2004; Lotfy, 2006; El-Bussuony & Abouzid,

2010). Sehingga banyak digunakan sebagai ”obat” secara umum pada

sistem kardiovaskuler dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk

berbagai infeksi), perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus,

eksim, penyembuhan luka-terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput

lendir dan lesi ), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem

imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan lain

sebagainya (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).

c. Flavonoid

Flavonoid banyak terkandung dalam buah, sayuran, minuman yang

berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan suplemen maupun

obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavanoid juga dikenal sebagai

bioflavanoid memiliki kelas beragam, secara alami disusun dari polifenol

tanaman yang memiliki berbagai aktivitas biologis penting dalam terapi.

Secara kimiawi dikenal ada 12 kelas flavonoid yaitu flavon, isoflavon,

flavan, flavanon, flavanol flavanolol, anthosianidin, katekhin,

leuko-anthrosianidin, khalkon, dihidrokhalkon, dan auron. Jenis-jenis

(21)

commit to user

Tabel 2.2. Jenis Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya

Jenis flavanoid Aktivitas biologis

Anthosianidin Efek menguntungkan pada sirkulasi dan penglihatan, dan antibakteri.

Hesperidin Mencegah kerapuhan kapiler.

Myrecetin Anti-oksidan, mencegah kerusakan

sel-sel syaraf dari radikal bebas.

Nobitelin Anti-inflamasi dan membantu

detoksifikasi.

Proanthosianidin (juga dikenal Sebagai pycnogenols)

Efek antioksidan, 20 kali lebih besar dibandingkan vitamin E.

Kuersetin Mencegah pembentukan katarak.

Membantu permasalahan yang berhubungan dengan alergi, seperti hay

fever, asma dan eczema. Kuersetin

struksturnya seperti obat anti-alergi yaitu disodium chromoglycate.

Rutin Membantu dalam pengobatan

hipertensi, memar dan perdarahan bawah kulit, termasuk kemerahan akibat radiasi.

(Lazarides, 2010)

Flavanoid banyak digunakan sebagai makanan suplemen untuk

meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, karena sangat aman dan

toksisitasnya rendah (Moon et al., 2006). Beberapa ribuan flavanoid

tanaman telah diidentifikasi dan kadar kemaknaan biologis dari

bioflavanoid dalam manusia ditunjukkan pada konsumsi 1 gram/hari.

Secara umum dianggap bersifat non-toksik (Heo et al., 2001). Flavonoid

dilaporkan memperlihatkan aktivitas biologik yang luas, termasuk

(22)

commit to user

Flavonoid juga menunjukkan antioksidan, agregasi trombosit, fragilitas

dan permeabilitas kapiler, dan menghambat aktivitas sistem enzim

termasuk siklooksigenase dan lipoksigenase (Viuda-Martos et al., 2008).

Selain itu flavonoid berpotensi untuk pencegahan atau pengobatan

arthritis, kardiovaskuler, dan beberapa kanker, termasuk kanker payudara

(Murray et al., 2006).

1) Caffeic acid phenethyl ester.

Caffeic acid phenethyl ester (CAPE) merupakan antioksidan fenolik,

yang memperlihatkan sejumlah efek farmakologik dan biologik termasuk

aktivitas antiinflamasi (Jung et al., 2008), antiviral dan antitumor (Orsolic

et al., 2005). CAPE merupakan penghambat yang poten dan spesifik

terhadap aktivasi Nuclear Factor (NF)-κB (Fitzpatrick et al., 2001).

Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas NF-κB

pada pemberian ovalbumin (OVA) inhalasi, maupun diminimalkan

dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif

memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronkial dan CAPE

dapat digunakan sebagai terapi pembantu dalam penatalaksanaan asma

bronkial (Jung et al., 2008).

(23)

commit to user

2) Chrysin

Chrysin (5,7-dihydroxyflavone) adalah senyawa flavon alami yang

ditemukan pada tanaman. Beberapa penelitian terkini menunjukkan

chrysin memiliki banyak aktivitas biologis, seperti antiinflamasi,

antikanker, dan antioksidan (Cho et al., 2004; Harris et al., 2006; Fu et

al., 2007). Aktivitas antiinflamasi chrysin melalui mekanisme penekanan

aktivitas promoter enzim-enzim proinflamasi, cyclooxygenase-2 (COX-2)

dan iNOS (Cho et al., 2004). Chrysin berpotesi untuk menghambat

angiogenesis dan tumorigenesis, melalui penghambatan

hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) yang merupakan faktor transkripsi

heterodimer. HIF-1 diekspresikan secara berlebih pada sejumlah kanker

pada manusia dan kadarnya akan meningkat pada angiogenesis dan

tumorigenesis (Fu et al., 2007).

Gambar 2.2. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., 2006)

A

C

B

7

5

2

4 3

(24)

commit to user

3) Galangin

Galangin (3,5,7-trihydroxyflavone) termasuk salah satu kelas

flavonoid yang dikenal sebagai flavonol. Galangin adalah komponen

utama propolis lebah madu yang memiliki aktivitas antiinflamasi

(Borrelli et al., 2002). Aktivitas biologis galangin yang lain adalah

menghalangi induksi mRNA iNOS selama respon inflamasi (Blonska et

al., 2004), menurunkan transkripsi COX-2 (O’Leary et al., 2004),

menghambat replikasi virus secara in vitro (Amoros et al., 1992),

menekan pertumbuhan sel bakteri (Bosio et al., 2000) dan menghambat

proliferasi sel kanker payudara melalui penurunan regulasi siklin D3, E,

dan A. Galangin menghambat aktivitas aryl hydrocarbon receptor (AhR),

suatu faktor transkripsi yang terlibat dalam memprakarsai dan

pertumbuhan tumor payudara (Murray et al., 2006).

Gambar 2.3. Struktur Molekul Galangin

(diambil dari http://common.wikimedia.org/wiki/Category:Flanonols)

4) Kuersetin

Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone), merupakan flavonoid

(25)

commit to user

bawang, brokoli, apel, teh, coklat, dan anggur merah. Kuersetin adalah

flavonoid utama yang banyak ditemukan pada makanan yang dikonsumsi

manusia., di USA diperkirakan asupan kuersetin berkisar 25 mg/hari

(Nanua et al., 2006).

Oleh karena itu, kuersetin memiliki aktivitas biologis yang beragam.

Aktivitas biologis yang ditunjukkan antara lain adalah efek pro-apopotosis

dan antiproliferatif untuk sejumlah sel kanker ataupun pre-neoplastik,

antiinflamasi, proteksi terhadap stres oksidatif.

Gambar 2.4. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos et al., 2008)

Pemanfaatan kuersetin untuk kesehatan, antara lain :

a) Manfaat kuersetin pada penyakit saluran nafas.

Manfaat potensi kuersetin dalam pengobatan penyakit saluran

nafas, karena beberapa penelitian telah menunjukkan efek

penghambatan pada produksi sitokin atau kemokin dalam kultur sel.

Kuersetin dapat mengurangi produksi nitric oxide (NO) yang diinduksi

(26)

commit to user

Kuersetin sangat mengurangi aktivasi mitogen-activated protein

kinases (MAPK) dan NF-κB, suatu kompleks faktor transkripsi yang

sangat berperan dalam ekspresi gen-gen proinflamasi (Cho et al.,

2003). Kuersetin juga memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi

sel mast dan pelepasan histamin, TNF-α, IL-6, dan IL-8 (Kimata et al.,

2005). Kuersetin menghambat induksi IL-8 dan monocyte

chemotractant protein (MCP)-1 oleh TNF-α pada kultur sel synovial

manusia. EM-X, suatu campuran mengandung kuersetin berasal dari

fermentasi beras yang tidak dipoles, papaya, dan rumput laut,

memperlihatkan penghambatan ekspresi IL-8 yang diinduksi TNF-α

pada kultur sel epitel alveolar manusia (Deiana et al., 2002).

Hasil-hasil penelitian tersebut konsisten paa suatu gagasan yang

memperlihatkan bahwa kuersetin dapat mengurangi inflamasi saluran

nafas pada paisen asma.

b) Manfaat kuersetin pada sistem kardiovaskuler.

Flavonoid dapat memperbaiki fungsi endotel dan akhirnya

menyebabkan efek kardiovaskuler yang menguntungkan. Kuersetin

dapat meningkatkan status NO dan mengurangi konsentrasi

endotelin-1 dan dengan demikian dapat memperbaiki fungsi endotel (Loke et al.,

2008). Konsumsi makanan yang kaya akan kuersetin akan menurunkan

(27)

commit to user

c) Manfaat kuersetin sebagai antioksidan.

Sehubungan dengan aktivitas antioksidan, antitumor dan

antiinflamasi, kuersetin banyak diteliti pada sejumlah model kanker

sebagai agen kemoprotektif. Kuersetin memperlihatkan penghambatan

berbagai macam kanker, seperti kanker prostat, cervix, paru, payudara

dan kolon. Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa kuersetin

menghambat proliferasi sel dengan menyebabkan apoptosis dan/atau

menahan siklus sel (Lee et al., 2006). Kuersetin merupakan

antioksidan yang kuat, sebab kuersetin dapat mengikat logam-logam,

menangkap radikal bebas, dan menghambat xanthine oxidase dan lipid

peroxidation secara in vitro (Vulcain et al., 2005).

2. Asma Alergi

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh

pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang

berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Alergi juga merupakan

suatu kondisi inflamasi yang disebabkan adanya alergen dan dapat

menimbulkan reaksi imun yang merugikan. Sensitisasi alergen dapat

memicu timbulnya inflamasi. Paparan berulang dari alergen dapat lebih

mengaktifkan proses inflamasi (Lockey & Bukanzt, 1999). Alergi bersifat

spesifik pada tiap individu, tidak menular, dan dapat muncul bila terpapar

(28)

commit to user

Asma alergi termasuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu

hipersensitivitas cepat (Sacher & Mc Pherson, 2000). Reaksi alergi

diperantarai oleh IgE, tetapi sel B dan sel T memerankan peranan yang

penting dalam perkembangan antibodi (Anand, 2007). Apabila reaksi alergi

terlokalisasi di bronkiolus maka akan timbul asma (Sherwood, 2001).

Asma adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

hipersensitivitas segera maupun fase lambat secara berulang yang

mengakibatkan trias klinikopatologis obtruksi jalan napas intermiten dan

reversibel, inflamasi bronkus kronis dengan eosinofil, serta hipertrofi otot

polos bronkus dan hipereaktifitas terhadap bronkokonstriktor (Abbas &

Lichtman, 2003).

Terjadinya alergi dimulai dengan pajanan awal terhadap alergen

tertentu (Robbins, 2007). Ketika alergen masuk tubuh secara inhalasi dan

ditangkap oleh APC, diproses lalu dipresentasikan ke sel T CD4+. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi dua sel efektor, yaitu sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Ketidakseimbangan antara sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit

imunologi, termasuk penyakit alergi, dimana pada kasus alergi sel T CD4+ akan berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th2 (Anand, 2004; Baratawidjaja, 2006). Sel CD4+ Th2 berperan dalam menimbulkan inflamasi yang menjadi dasar dari penyakit asma. Sel–sel ini mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10

(29)

commit to user

Interleukin 4, IL-5, IL-6 dan IL-13 merangsang pertumbuhan,

proliferasi, diferensiasi, dan pematangan sel B menjadi sel plasma dan

memproduksi IgE. IL-5 berfungsi merangsang pertumbuhan dan diferensiasi

eosinofil serta sekresi berbagai sitokin. Sedangkan IL-4 bersama IL-10 dan

IL-13 berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast (Li-Weber &

Krammer, 2003 ; Janeway, 2004 ; Kresna, 2001).

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Proses

perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi. Setelah tersensitisasi, sel

mast mempengaruhi reaksi inflamasi (Abbas & Licthman, 2003).

Proses inflamasi pada asma alergi meliputi inflamasi akut dan inflamasi

kronik

a. Inflamasi akut

1) Reaksi fase awal (early phase reaction)

Apabila terjadi paparan ulang oleh alergen maka produksi IgE

spesifik akan meningkat dan terbentuk ikatan antara alergen dengan

dua atau lebih IgE pada sel mast yang disebut sebagai croos-linking

(Abbas & Litchman, 2003). Ikatan IgE tersebut menyebabkan

peningkatan influks ion kalsium yang memudahkan sel mast dan

basofil untuk melepaskan berbagai performed mediators. Diantaranya

adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi bronkus, vasodilatasi

dan peningkatan permeabilitas vaskular (Mangatas dkk., 2006).

Terikatnya histamin pada endotel menyebabkan konstriksi sel yang

(30)

commit to user

Lichtman, 2003). Bocornya protein akan merangsang penebalan

dinding saluran napas dan pembentukan sumbatan dalam bentuk

eksudat yang terdiri dari campuran protein plasma dengan mukus,

sel-sel radang, dan berbagai komponen inflamasi. Eksudasi plasma

merusak integritas epitel saluran napas dan berakibat pengelupasan

epitel saluran napas (Mangatas dkk., 2006). Pada sistem imun,

histamin meningkatkan sekresi sitokin CD4+ Th2 seperti IL-4, IL-5,

IL-10, dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin CD4+ Th1 yaitu

IL-2, IL-12, dan interferon (IFN)γ (Guntur, 2004).

2) Reaksi fase lambat (late phase reaction)

Fase ini timbul setelah 6-9 jam paparan alergen dan meliputi

pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil,

dan makrofag. Sel-sel tersebut diaktivasi oleh sitokin-sitokin yang

diproduksi pada inflamasi sebelumnya. Interleukin 3, IL-5, dan

Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF) akan

memacu produksi dan aktivasu eosinofil; sedangkan TNF α akan

meningkatkan ekspresi molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti

E-Selection dan Intracellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)

(Mangatas dkk., 2006; Janeway et al., 2005).

Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran

nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated

mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel mast,

(31)

commit to user

sumber asam arakhidonat yang sintesisnya memerlukan bantuan enzim

fosfolipase. Termasuk dalam newly generated mediators di antaranya

adalah prostaglandin (PG), tromboksan (TX), leukotrien (LT), dan

platelet activating factors (PAF) (Mangatas dkk., 2006).

LTC4, LTD4, dan TXA2 bersifat sebagai bronkokontriktor poten,

sedangkan PGA2α, PGD2, dan PAF menyebabkan bronkokonstriksi,

meningkatkan permebilitas vaskular dan sekresi mukus. Dalam

konsentrasi tinggi, PAF juga menyebabkan agregasi trombosit dan

pembentukan mikrotrombus. Hal ini terus menerus terjadi sehingga

reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat (Mangatas dkk., 2006).

b. Inflamasi kronik

Survival sel inflamasi pada saluran nafas lebih tinggi lagi oleh

adanya peningkatan molekul adhesi seperti ICAM dan VCAM (Vascular

Cell Adhesion Molecule) yang melekatkan sel-sel radang pada saluran

nafas (Mangatas dkk., 2006). Karakteristik inflamasi kronik asma alergi

adalah sebagai berikut:

1) Pengelupasan epitel saluran nafas (airway epithelial shedding).

Akibat reaksi inflamasi, terjadi pembengkakan, vakuolisasi,

hilangnya silia epitel, penambahan jumlah sel goblet, serta

pengelupasan sebagian epitel saluran nafas. Penyebab pengelupasan

epitel diperkirakan adalah eksudasi plasma, berbagai mediator toksik

seperti radikal bebasoksigen, TNF-α, hasil degranulasi sel mast,

(32)

commit to user

dari sel mast. Penyebab lainnya adalah gangguan adhesi antar sel

(Mangatas dkk., 2006).

Akibat pengelupasan epitel, terjadi hiperresponsivitas bronkus,

peningkatan permeabilitas mukosa saluran nafas, dan penurunan

jumlah enzim endoprotease netral, seperti substansi P, yang berfungsi

mendegradasi sitokin proinflamasi (Mangatas dkk., 2006).

2) Aktivasi sel epitel

Sel epitel saluran nafas turut berperan dalam reaksi inflamasi

asma alergi. Reaksi inflamasi ini bertujuan memperbaiki kerusakan

jaringan epitel akibat asma. Sel epitel yang teraktivasi melepaskan

berbagai mediator, antara lain 15-hydroxyeicotetraenoic acid

(15-HETE), PGE2, fibronektin, eotaksin. Selain itu,terjadi peningkatan

ekspresi berbagai pertanda inflamasi seperti molekul adhesi, nitrit

oxide synthetase (NOS) dan endotelin (Mangatas dkk., 2006).

3. Bronkus

Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus

sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil

percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil.

(33)

commit to user

a. Lamina mukosa

Lapisan ini terdiri atas epitel bertingkat semu silindris silia.

b. Lamina propria

Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan

ikat halus dengan banyak serat elastin.

c. Lamina muskularis

Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria.

d. Lamina submukosa

Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan

mukoserosa.

e. Lamina adventitia

Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa

oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antartulang rawan

tersebut,jaringan ikat submukosa menyatu dengan adventitia

(Eroschenko, 2002).

Gambar 2.5. Histologi Bronkus (Gregory, 2009)

4

1

2

(34)

commit to user

4. Derajat Inflamasi Bronkus

Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang

penting pada asma alergi. Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis

asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Rahmawati dkk.

(2003) menyebutkan sel inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma

meliputi sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil, dan

platelet.

a. Neutrofil

Merupakan granulosit polimorfonuklear karena bergranula dan

mempunyai inti berlobus. Sitoplasma neutrofil mengandung granula halus

berwarna ungu atau merah muda yang sukar dilihat dengan mikroskop

cahaya biasa. Akibatnya, sitoplasma neutrofil tampak bening. Inti

neutrofil terdiri atas beberapa lobus yang dihubungkan oleh benang

kromatin halus (Eroschenko, 2002).

(35)

commit to user

b. Eosinofil

Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan

diatur oleh IL-3, IL-5, dan GM-CSF (Rahmawati dkk., 2003). Sel ini

biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya

dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar (Jancquira &

Carneiro, 2005). Granul interselular ini merupakan sumber protein

proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived

neurotoxin, peroksidase dan protein kationik (Mangatas dkk., 2006). Inti

eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil

(Jancquira & Carneiro, 2005).

Gambar 2.7. Eosinofil (Nivaldo, 2009)

c. Limfosit

Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir

tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk

(36)

commit to user

gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasma itu tampak

sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler,

tetapi dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar,

sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih

besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nukleoli (Baldy,

2006).

Gambar 2.8. Limfosit (Nivaldo, 2009)

d. Basofil

Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, tetapi ukuran

granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua

atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak dan terpulas basofilik

pucat, umumnya basofil terhalangi oleh kepadatan granula (Eroschenko,

(37)

commit to user

Gambar 2.9. Basofil (Nivaldo, 2009)

e. Makrofag

Makrofag memiliki ciri morfologis dengan spektrum luas

berdasarkan keadaan aktivitas fungsional dan jaringan yang dihuni.

Makrofag bergerak dengan mempergunakan gerakan amuboid. Dengan

mikroskop elektron terlihat permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu

yang terjulur ke segala arah. Membran plasma berlipat-lipat dan

mengandung tonjolan dan lekukan. Nukleus mengandung kromatin padat,

berbentuk bulat besar, nukleoli tidak mencolok, sitoplasma terpulas gelap

dan sedikit mengandung vakuol kecil yang terpulas secara supravital

dengan merah netral. Makrofag dapat ditemukan pada mukosa,

submukosa, dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent

(38)

commit to user

Gambar 2.10. Makrofag (Caceci, 2009)

5. Sensitisasi Hewan Coba Model Asma Alergi

Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang

model asma, diantaranya adalah mencit, tikus, marmut, musang, anjing,

kambing, monyet, dan kuda (Shin et al., 2009).

Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, OVA komponen

utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein).

Ovalbumin merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat molekul 43

hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Huntington & Stein,

2001). Ovalbumin memiliki peran dalam peningkatan Ig E secara spesifik.

Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah mencit yang disensitisasi

dengan OVA secara intraperitoneal (i.p), yang dalam penggunaannya sering

bersama-sama dengan adjuvant sel Th2, seperti alumunium hidroksida (Kips

et al., 2003; Diding dkk., 2007).

Alumunium hidroksida(Al(OH)3), merupakan alumunium yang paling

(39)

commit to user

beberapa vaksin karena perannya dalam menginduksi respon Th2 (Petrovsky

& Aguilar, 2004).

Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan

mencit C57BI/6J diimunisasi dengan suntikan OVA 8µg i.p. yang

diencerkan dengan jel Al(OH)3 (1 mg) dalam 0,5 ml Phosphat Buffer Saline

(PBS), dan diulangi pada hari ke-14. Sedangkan pemaparan BALB/C

dengan 10 µg OVA memberikan kadar tertinggi IgE dan IgG1 (Walter,

2002). Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka mencit disensitisasi

dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang dilarutkan ke dalam

2.25 mg Al(OH)3 dalam 100 µl saline pada hari 0 dan 14. Pada hari

ke-35, 39, dan 42, mencit dipapar dengan inhalasi OVA aerosol selama 20

menit. Aerosol menggunakan nebulizer cairan OVA (10 mg/ml) dalam

saline menggunakan Pari LC Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment,

Richmond, VA) yang digerakan kompresor udara dengan flow rate 6L/min.

Untuk protokol penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan)

maupun kronik (lebih dari 2 bulan), mencit diimunisasi secara subcutan

(s.c.) pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V;

Sigma-Aldrich, St. Louis, MO) yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida

(Sigma-Aldrich) dalam 200 µl PBS.

a. Mencit model asma alergi akut

Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain,

alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya

(40)

commit to user

relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki

epitop yang mendominasi respon imun. (Shin et al., 2009).

Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya

membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple dengan

penambahan adjuvant (Nials & Uddin, 2008). Adjuvant seperti

alumunium hydroksida [Al(OH)3] diketahui menginduksi perkembangan

fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials & Uddin,

2008; Shin et al., 2009; Brewer et al., 1999).

Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan

alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari),

jalan napas mencit dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa

hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer

(aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials &

Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan

paparan alergen primer (Shin et al., 2009).

Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara intranasal

(i.n) (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30, dan 35,

dan mencit dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et al., 2002).

Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan

perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE,

inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang

spesifik stimulus, dan pada beberapa model bronkokonstriksi fase cepat

(41)

commit to user

maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada

manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan

remodelling jalan napas. Terlebih lagi, beberapa proses berjalan singkat,

dan pada beberapa model, inflamasi jalan napas dan AHR berkurang

setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu,

model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang

mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials &Uddin, 2008).

b. Mencit model asma alergi kronik

Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk

memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik,

seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, dan juga

memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada

sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu,

keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor

perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik

alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan napas

dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials & Uddin,

2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model

asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan

primer ketika eosinofilia jalan napas dan AHR menurun sampai baseline

level. Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan-perubahan

seperti asma pada manusia, termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2

(42)

commit to user

mukosa jalan napas, AHR, remodelling jalan napas seperti hiperplasia

sel goblet, hipertrofi epitel, dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar

(Nials & Uddin, 2008).

Sedangkan protokol untuk yang kronik, mencit yang telah

mendapatkan pemaparan OVA i.n pada hari ke-26, 28, 30 seperti pada

protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemaparan

OVA i.n dua minggu sekali. Untuk melakukan pemberian i.n, mencit

diberikan anestesi dengan isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories,

North Chicago, IL) (Ikeda, 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al.,

2004, mencit diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA

(grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1

mg alum (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA

i.n (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29, dan 31 di

bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph, Missouri,

USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3 bulan. Mencit

dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA terakhir (Cho et al.,

(43)

commit to user

Gambar 2.11. Skema Kerangka Pikiran Konseptual

Keterangan:

: memacu : menghambat

Ovalbumin

Rekruitmen dan aktivasi sel-sel inflamasi (sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil,

(44)

commit to user

2. Kerangka Pikiran Teoritis

Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh, ditangkap oleh Antigen

Presenting Cell (APC). Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T

CD4+ atau sel Th0. Sel Th0akan berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2. Kerja dua sel tersebut bersinergi, dimana sel CD4+ Th2 berperan sebagai respon imun humoral yang akan mensekresikan antibodi

(IgE). Sedangkan sel CD4+ Th1 berperan dalam respon imun seluler, yang akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6, dan

TNF-α. TNF-α bersifat proteolitik, sehingga akan melisiskan sejumlah sel-sel

termasuk sel saluran nafas. Debris lisis sel ini akan menimbulkan stres

oksidatif / Reactive Oxygen Species (ROS), yang akan menambah beratnya

reaksi asma alergi.

Ovalbumin melalui sel CD4+ Th2 memicu produksi sel mast. Apabila

ada paparan ulang oleh alergen, maka akan terjadi cross-linking antara IgE

dengan alergen pada permukaan sel mast. Cross-linking ini akan memacu

reaksi alergi di mana terjadi degranulasi sel mast yang melepaskan

mediator-mediator proinflamasi seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin.

Dihasilkannya mediator-mediator proinflamasi ini akan memicu reaksi

inflamasi pada bronkus di mana terjadi aktivasi dan perekrutan eosinofil.

Propolis mengandung CAPE yang mampu menghambat aktivasi NF-κB

pada proses inflamasi. Selain itu, CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai

Ca-antagonis. Ca-antagonis ini akan menghambat Ca influks sehingga

(45)

commit to user

sebagai antioksidan, kandungan ini dapat menghambat stress oksidatif yang

akan mengurangi terjadinya reaksi inflamasi pada asma alergi. Kuersetin

yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan

memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah

terdegranulasi dan menghambat pelepasan histamin, TNF-α dan IL-6.

Dengan demikian, pemberian ekstrak etanol propolis dapat menurunkan

progresivitas alergi saluran nafas yang ditunjukkan dengan penurunan derajat

inflamasi bronkus.

C. Hipotesis

Ekstrak etanol propolis menurunkan derajat inflamasi bronkus tikus

(46)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik, post test

only control group design.

B. Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium

Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Pada bulan Mei

sampai dengan September 2011.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian berupa tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan

dengan berat badan ± 200 gram, dan berumur 4 - 6 minggu. Tikus putih

diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas Setia Budi

Surakarta.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara incidental sampling. Jumlah

(47)

commit to user

Keterangan:

k: jumlah kelompok

n: jumlah sampel dalam tiap kelompok

Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Berdasarkan rumus

Federer di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok sebagai

berikut:

( k-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15

4 (n-1) ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75≈ 5

Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor tikus putih. Pada penelitian

kali ini kami menggunakan 7 ekor tikus putih per kelompok.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Ekstrak etanol propolis

2. Variabel terikat : Derajat inflamasi bronkus

3. Variabel perancu

a. Dapat dikendalikan : gizi, makanan dan minuman, galur, umur, dan

jenis kelamin hewan coba.

b. Tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, sistem kekebalan

(48)

commit to user

F. Skala Variabel

1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal

2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Ekstrak etanol propolis

Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di

daerah Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa

Tengah. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi. Propolis

dimasukkan dalam alat perkolator, kemudian ditambah dengan Etanol

80%, lalu didiamkan. Setelah itu ditambahkan tetes demi tetes Etanol

80% sampai filtrat yang didapatkan jernih. Setelah didapatkan filtrat,

kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pemanas water

bath suhu 70oC. Dari proses tersebut didapatkan ekstrak kental.

Kemudian untuk mendapatkan ekstrak propolis, ekstrak kental tersebut

dituang dalam cawan porselin dan dipanaskan dengan water bath sambil

terus diaduk.

Ekstrak etanol propolis (EEP) menunjukkan aktivias antiinflamasi

baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan 100

mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas antiinflamasi kronik,

sedangkan dosis 200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas

(49)

commit to user

2. Derajat inflamasi bronkus

Bronkus tikus yang akan dibuat preparat diperoleh pada hari ke-28

atau pada akhir percobaan, dengan mengorbankan tikus, diambil jaringan

bronkus utama di dekat percabangan (bifurcation) sepanjang 1,5 cm

kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam,

setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dibuat potongan serial

terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide. Setelah itu dilakukan

pewarnaan Haematoxyllin-Eosin (HE) untuk melihat derajat

inflamasinya. Preparat bronkus diamati dengan mikroskop cahaya

perbesaran 100 kali dalam satu lapang pandang. Derajat inflamasi pada

bronkus yang didapatkan dari modifikasi oleh Myou et al. (2003) dibagi

menjadi 4 derajat yaitu:

0 = Tidak ada infiltrasi sel radang

1 = Infiltrasi sel radang sedikit

2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus

3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus

4 = Infiltrasi sel radang hingga >4 lapisan dinding bronkus

3. Sensitisasi tikus model asma alergi

Tikus diadaptasikan selama satu minggu. Kemudian dilakukan

penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan. Untuk

membuat model tikus asma alergi maka tikus disensitisasi pada hari ke-1

(50)

commit to user

ml Al(OH)3. Hari ke-14 disensitisasi ulang menggunakan 1 ml

OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 10 ml aquabides.

Pemaparan OVA aerosol dalam aquabides (10:1) selama 20 menit

dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit diberikan pada hari ke-21, 23, 25

dan 27. Hari ke-28 tikus dikorbankan, jaringan bronkus dan serum

dikoleksi.

H. Penentuan Dosis Perlakuan

1. Pemberian anti histamin generasi III

Antihistamin generasi III yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Telfast® 120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi

manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke tikus (dengan berat badan ± 200

gr) adalah 0,018 (Suhardjono, 1995). Sehingga dosis yang diberikan

kepada tikus

120 x 0,018 = 2,16 mg ≈ 2 mg

Dalam penelitian ini dosis anti histamin yang diberikan ialah 1

ml/tikus/hari.

2. Pemberian propolis

Dosis propolis yang diberikan pada tikus adalah 100 mg/kg

BB/hari/oral. Oleh karena tikus yang digunakan dalam penelitian ini

mempunyai berat badan ± 200 gram, maka didapatkan perhitungan

(51)

commit to user

200gr

1000gr 挐 100mg 20mg/tikus/hari/oral

Untuk mengetahui berapa banyak dosis per oral yang diberikan untuk tiap

tikus, maka dapat dihitung sebagai berikut :

V1

Sehingga untuk dosis 100 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis

per oral 0,5 ml. Sedangkan untuk dosis 200 mg/kg BB/hari setiap tikus

mendapatkan dosis per oral 1 ml.

I. Rancangan Penelitian

(52)

commit to user

Keterangan :

S : Jumlah tikus yang digunakan

K1 : Kelompok kontrol

K2 : Kelompok asma alergi

K3 : Kelompok asma alergi + antihistamin 2 mg/tikus/hari/oral

K4 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 100mg/kg

BB/tikus/oral

K5 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 200mg/kg

BB/tikus/oral

E1 : Derajat inflamasi bronkus K1

E2 : Derajat inflamasi bronkus K2

E3 : Derajat inflamasi bronkus K3

E4 : Derajat inflamasi bronkus K4

E5 : Derajat inflamasi bronkus K5

J. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat penelitian

a. Kandang hewan percobaan (20 cm x 30 cm x 15 cm)

b. Timbangan

c. Spuit injeksi 5 ml

d. Sonde tikus 5 ml

e. Labu ukur 25 ml

(53)

commit to user

g. Minor set

h. Deck glass

i. Nebulizer

j. Mikroskop cahaya

2. Bahan penelitian

a. Ekstrak propolis

b. Aquabides

c. Pakan tikus BR I

d. OVA

e. Antihistamin generasi III

f. Formalin buffer 10%

g. Al(OH)3

h. Blok paraffin

i. Pewarna HE

K. Jalannya Penelitian

1. Sebelum perlakuan

a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian

selama kurang lebih 1 minggu.

b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 5 kelompok.

(54)

commit to user

2. Pemberian Perlakuan

a. Sejak hari ke-1 sampai hari ke-7 kelompok K1, K2, K3, K4 dan K5

diberi diet standar. Masing-masing diberi perlakuan yang berbeda.

b. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak propolis untuk kelompok

4 dan 5 diberikan setiap hari.

c. Sensitisasi 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada

7,75 ml Al(OH)3 dilakukan pada hari ke-1. Dan pada hari ke-14

disensitisasi ulang menggunakan 1 ml OVA/tikus/i.p dari 2,5 mg

OVA yang dilarutkan pada 10 ml aquabides.

d. Hari ke-21, 23, 25, dan 27 tikus dipapar dengan ovalbumin aerosol

dari 50 mg ovalbumin dalam 5 ml aquabides dengan alat nebulizer

kecepatan 6 l / menit selama 20 menit.

3. Setelah perlakuan

Dua puluh empat jam setelah paparan terakhir, semua tikus

dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Bronkus tikus

diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati

(55)

commit to user

4. Alur Penelitian

Gambar 3.2. Skema Alur Penelitian

L. Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian berupa grade histologis saluran napas, dianalisis

secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan Tikus Putih

Tikus dikorbankan dengan teknik cervical dislocation

Bronkus tikus diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE

(56)

commit to user

dengan Post Hoc Test yaitu Mann-Whitney menggunakan program Statistical

Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows.

Kruskall-Wallis adalah uji non parametrik untuk membandingkan

perbedaan mean lebih dari dua kelompok dengan syarat kedua variabel

adalah skala kategorikal, sedangkan Mann-Whitney digunakan untuk

(57)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Derajat Inflamasi Bronkus

Pada akhir penelitian ini, semua tikus dikorbankan menggunakan teknik

cervical dislocation. Bronkus masing-masing tikus diambil dan dibuat

preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati menggunakan mikroskop

cahaya dengan perbesaran 1000 kali untuk menentukan derajat inflamasinya.

Penilaian derajat inflamasi pada bronkus menggunakanan sistem grading

Myou et al. (2003).

Hasil pengamatan mikroskopis derajat inflamasi bronkus dengan

perbesaran 1000 kali pada masing-masing kelompok disajikan pada gambar di

bawah ini.

(58)

commit to user

Gambar 4.2. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K1 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa.

Sel radang ditunjuk oleh arah panah

Gambar 4.3. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K2 Keterangan : Sel radang mencapai lamina propria hingga lamina submukosa.

(59)

commit to user

Gambar 4. 4. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K2 Keterangan : Sel radang mencapai lamina adventitia (lebih dari empat

lapisan). Sel radang ditunjuk oleh arah panah

Gambar 4.5. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K3 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa.

(60)

commit to user

Gambar 4. 6. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K3 Keterangan : Sel radang banyak ditemukan pada lamina mukosa.

Sel radang ditunjuk oleh arah panah

Gambar 4.7. Gambaran Histologis Bronkus Grade 3 pada Kelompok K4 Keterangan : Sel radang mencapai lamina propria hingga lamina submukosa.

(61)

commit to user

Gambar 4. 8. Gambaran Histologis Bronkus Grade 4 pada Kelompok K4 Keterangan : Sel radang mencapai lamina adventitia (lebih dari empat

lapisan). Sel radang ditunjuk oleh arah panah

Gambar 4.9. Gambaran Histologis Bronkus Grade 1 pada Kelompok K5 Keterangan : Sel radang sedikit dan hanya mencapai lamina mukosa.

(62)

commit to user

Gambar 4.10. Gambaran Histologis Bronkus Grade 2 pada Kelompok K5 Keterangan : Sel radang banyak ditemukan pada lamina mukosa.

Sel radang ditunjuk oleh arah panah

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dibuat histogram grading

inflamasi bronkus tikus pada tiap-tiap kelompok perlakuan.

Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1) 0%

20% 40% 60% 80% 100%

0 1 2 3 4

40%

60%

0% 0% 0%

(63)

commit to user

Grafik 4.2. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi (K2)

Grafik 4.3. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin (K3)

Grafik 4.4. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 100 mg/kg BB (K4)

(64)

commit to user

Grafik 4.5. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 200 mg/kg BB (K5)

B. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam tabel 4.1 selanjutnya dianalisis secara

statistik menggunakan uji Kruskall-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan rerata lebih dari dua kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis yang

didapat (p = 0,001) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05)

pada sedikitnya dua kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kelompok mana

yang memiliki perbedaan, maka harus dilanjutkan dengan Post Hoc Test yaitu

(65)

commit to user

Tabel 4.1. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok

Kelompok Perlakuan Nilai p Kemaknaan

K1 dengan K2 0.006 Signifikan

K1 dengan K3 0.093 Tidak signifikan

K1 dengan K4 0.007 Signifikan

K1 dengan K5 0.031 Signifikan

K2 dengan K3 0.005 Signifikan

K2 dengan K4 0.174 Tidak signifikan

K2 dengan K5 0.006 Signifikan

K3 dengan K4 0.014 Signifikan

Gambar

Tabel 4.1. Hasij Uji Statistik Mann-Whitney Antarkelompok.................
Grafik 4.1. Prosentase Derajat Inflamasi pada Kelompok Kontrol (K1)...
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Propolis
Tabel 2.2. Jenis Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

dosen pembimbing skripsi bapak Soni AgusIrwandi, SE,M.Si., yang telah banyak membantu dan andil dalam pembuatan skripsi saya, banyak sekali hal” yang tidak saya

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten

Selain itu trading range theory menyatakan bahwa manajemen melakukan stock split didorong oleh prilaku praktisi pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan

independent t test menunjukkan tidak pengaruh terdapat modul komitmen perawat pada kelompok kerja terhadap turnover intention perawat (p=0,503). Diskusi : Model komitmen

Latar Belakang: Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan faktor risiko mayor hipertensi dan diabetes mellitus dengan terjadinya stroke, akan tetapi masih

Mengenai faktanya di kota Malang, zona peralihan memang berada setelah zona CBD atau inti kota, tetapi tidak menyelimuti keseluruhan pada lapisan kedu melainkan zona tersebut

Menjadi korban dari system peradilan pidana (SPP). Secara umum penyalahgunaan psikotropika ada yang menggolongkannya sebagai “crime without victim”, dimana dapat dikatakan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, genotip Talaga Bodas pada kondisi tumpangsari dan monokultur lebih efisien digunakan sebagai sorgum penghasil nira dan biji