• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS REZIM CONVENTIONAL ARMED FOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFEKTIFITAS REZIM CONVENTIONAL ARMED FOR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Efektifitas Rezim Conventional Armed Forces In Europe (CFE) Sebagai Rezim Senjata Konvensional di Eropa Tahun 1999-2007

Vike Krismona Sihotang (115120400111047)

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Jalan Veteran Malang, 65145, Indonesia, 2015 E-Mail : vikemariamona@gmail.com

Abstraksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas rezim Conventional

On Armed Forces In Europe (CFE) sejak tahun 1999-2007 sebagai rezim

keamanan di Eropa. Rezim ini memiliki peran besar dalam menangani masalah-masalah keamanan, arms race negara-negara anggota, serta menciptakan stabilitas keamanan di Eropa. Berdasarkan teori Efektifitas Rezim Arild Underdall, efektifitas sebuah rezim didasari oleh struktur masalah dan kapabilitas rezim untuk menyelesaikan masalah utama terbentuknya rezim tersebut. Berdasarkan temuan penulis, rezim CFE tidak efektif disebabkan oleh terpenuhinya problem

malignancy yang berakibat pada kesulitan untuk menjalin kerjasama dalam

implementasi regulasi rezim CFE diantara negara-negara anggota. Selain itu, kapasitas penyelesaian masalah cukup lemah, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan. Akibat dari ketidakefektifan rezim CFE, terjadi konflik di antara negara anggota rezim CFE, penarikan diri Rusia dan pelanggaran dalam beberapa ketentuan.

Kata Kunci: Rezim Keamanan, Rezim CFE , Teori Efektifitas Rezim, Arild Underdall

Abstract

This research has purpose to analyze the efectiveness of regime of

Conventional On Armed Forces In Europe (CFE) in 1999-2007 as security regime

in Europe which is handled the problems of security, arms race among the membership states, and creates security stability in Europe. Based on Effectivity Regime theory by Arild underdall, the effectiveness of a regime influencing by problems structure and capability of regime to solve the main problems that has been created the regime itself. Based on findings of writer, regime of

Conventional On Armed Forces In Europe (CFE) is not effective caused by

fullfiling the problems malignancy which was affected towards to difficulties to making cooperate in implementation stage regime of CFE among to membership states. Beside it, the solving capacity of problems’ was weak, thus hard to getting agreement. The impacts of ineffectiveness regime of CFE, related to making conflict between membership states, withdrawal of Russia, and violation in particular regulatiun

(2)

1. Latar Belakang

Perwujudan stabilitas keamanan bagi negara-negara merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh setiap negara, seperti halnya keamanan kawasan. Menurut Barry Buzan, kawasan diartikan sebagai bagian hubungan keamanan dimana keamanan suatu negara saling bergantung dengan keamanan negara lainnya dalam satu kawasan.1

Untuk mewujudkan keamanan kawasan, negara-negara seringkali dihadapkan pada kapabilitas atau cost yang lebih tinggi. Dengan kondisi ini, maka diperlukan pengaturan keamanan kawasan yang disebut sebagai rezim keamanan internasional.

Sesuai dengan fokus yang dipilih oleh penulis, kawasan Eropa menjadi salah satu kawasan yang sangat menarik untuk diteliti, dilihat dari segi historis dan perkembangan politik dalam kawasan ini. Dalam beberapa dekade dewasa ini, Eropa mengalami beberapa fase untuk mewujudkan keamanan yang stabil di regionnya sehingga untuk mewujudkan keamanan yang stabil di region ini, beberapa langkah telah dilakukan, seperti integrasi dengan berbagai organisasi atau rezim keamanan. Langkah itu dinilai dapat membantu untuk terciptanya

common value yang menjadi dasar bagi negara-negara dan adanya perubahan

perilaku negara melalui kesepakatan atau perjanjian internasional.

Menurut Oran Young, rezim merupakan sebuah struktur sosial yang mengacu pada aktivitas yang spesifik yang memiliki wewenang untuk mengatur tindakan anggotanya.2

Rezim internasional selalu mengacu pada aktivitas-aktivitas dalam sistem internasional yang bertujuan dalam skala global, secara khusus untuk kepentingan masyarakat dunia. Menurut keanggotaannya, maka rezim beranggotakan negara-negara berdaulat, meskipun dalam pelaksanaannya rezim seringkali juga berkolaborasi dengan aktor selain negara. Ditinjau dari jangka waktunya, rezim memiliki durasi tidak terbatas, seperti halnya rezim nuklir, Non Proliferation Nuclear (NPT). Rezim memiliki satu tujuan secara spesifik, seperti lingkungan, keamanan, sosial,dll, dan ditinjau dari fungsinya, rezim berfungsi untuk memfasilitasi kerjasama. Maka berdasarkan karakteristik tersebut, penulis mengidentifikasi bahwa Treaty On Conventional Armed Forces

In Europe (CFE) sebagai sebuah rezim keamanan internasional. Dalam jurnal

yang ditulis oleh Lachsowski dan Sjorgen, keduanya juga menegaskan bahwa CFE adalah sebuah rezim, dilihat dari peran CFE.3

Rezim CFE adalah rezim yang mengatur penempatan pasukan dan senjata konvensional, dan menghindari terjadinya arms race di Eropa.4

Rezim ini beranggotakan 30 negara dari kedua blok, blok NATO dan Pakta Warsawa,

1

Barry Buzan, People, State and Fear:An Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era, hal 188

2

Oran R.Young, International Regimes: Problems of Concept Formation Source, hal 331 3

Dalam SIPRI Yearbook 2007, Zdzislaw Lachowski dan Martin Sjorgen, Conventional Arms Control, hal 2

4

NU Online Persenjataan, Rusia Bebas Kerahkan Pasukan Ke Eropa,

(3)

dibentuk pada 19 November 1990 dan ditandatangani di Paris.5

Rezim CFE didirikan sebagai fondasi bagi negara-negara anggota Pakta Warsawa dan NATO dan menghindari prospek proliferasi senjata konvensional ke masing-masing negara-negara anggota kedua blok. Dari status keanggotaannya, hingga kini yang telah meratifikasi perjanjian ini hanya empat negara, yaitu, Belarusia, Kazakhstan, Ukraina, dan Rusia, 26 negara anggota lainnya masih sebagai negara yang menandatangani perjanjian ini, namun negara-negara yang meratifikasi dan menandatangani memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip dalam rezim.6

Dimana rezim ini memiliki peran yang besar dan menjadi acuan bagi negara-negara anggota dalam mengendalikan senjata konvensional di Eropa pasca Perang Dingin.

Rezim CFE memiliki tujuan yang besar dalam mengatur senjata konvensional melalui penurunan level angkatan yang bersenjata, sehingga secara otomatis termasuk menurunkan senjata konvensional. Selain itu, rezim ini juga bertujuan untuk menghindari adanya serangan tiba-tiba dan serangan militer secara massif di Eropa.

Implementasi pertama kali mulai diberlakukan sejak tahun 1992, sehingga sejak tahun 1992 semua negara baik yang menandatangani dan meratifikasi memiliki kewajiban untuk memenuhi rezim CFE.Rezim CFE sebagai rezim senjata konvensional memiliki peran yang besar dalam rentang waktu pasca Perang Dingin hingga kini. Selama negara-negara anggota masih menjadi anggota rezim CFE, maka terdapat unsur kepatuhan terhadap rezim bagi negara-negara anggota. Tujuan arms control yang diharapkan melalui perjanjian CFE, menjadi salah satu alasan urgensi rezim CFE, dimana situasi perang dingin sangat memungkinkan untuk peningkatan kapabilitas militer secara massif bagi negara-negara di Eropa. Sehingga, peran rezim CFE sebagai rezim senjata konvensional dan perkembangan politik Eropa dewasa ini menjadi sangat siginifikan.

Sejak implementasi pertama kali dilakukan pada tahun 1992, terdapat beberapa ketidaksesuain dalam implementasi aturan rezim. Diantaranya adalah Hungaria, Polandia, Ceko gagal menyesuaikan jumlah TLEnya menurut Istanbul

Commitments dan beberapa negara juga absen dari pelaksanaaan rezim CFE. Pada

bulan Agustus 2003, Departemen Luar Negri Amerika Serikat menerbitkan laporannya mengenai evaluasi pelaksanaan rezim CFE. Dalam laporan tersebut, Amerika Serikat mengakui bahwa ada kegagalan kepatuhan Armenia, Azerbaijan, Belarus, Rusia dan Ukraina. Dalam laporannya, Rusia menempati rekor pelanggaran terpanjang dalam laporan tersebut, meliputi TLE, suspensi ketentuan CFE, pasukan asing yang ditempatkan, pembebasan peralatan, dan kegagalan untuk memenuhi kewajiban kolektif.

5

Collina, Tom Z.. The Conventional Armed Forces in Europe (CFE) Treaty and the Adapted CFE Treaty at a Glance, dapat diakses di< https://www.armscontrol.org/factsheet/cfe> pada 28 September 2014

6

International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies,

(4)

Pada tahun 1999, Rusia melakukan intervensi atas Georgia dan Moldova7

, intervensi yang dilakukan oleh Rusia memicu protes keras dari negara-negara anggota lainnya. Pada tahun tersebut, Rusia menyepakati untuk menarik pasukannya dari Georgia dan Moldova8

yang termaktub dalam Istanbul negara anggota lainnya belum meratifikasi perjanjian CFE. Penarikan diri Rusia tahun 2007, menyulut ketegangan di antara negara-negara anggota rezim CFE, sementara itu, 26 negara anggota menolak meratifikasi dengan alasan kegagalan komitmen Rusia dalam Istanbul Commitments dan negara yang telah meratifikasi perjanjian CFE.11

Dalam Pidato Menlu Rusia dan Vladimir Putin yang melihat bahwa rezim CFE tidak lagi sesuai dengan kepentingan nasional Rusia, maka negara ini memilih menarik diri (withdrawal).12

Melihat kondisi tersebut maka rezim senjata konvensional seperti rezim CFE menjadi sangat penting dan sangat diperlukan untuk membentuk keteraturan, khususnya dalam menciptakan kestabilan keamanan melalui peran negara-negara anggota. Rezim CFE merupakan salah satu rezim yang memiliki peran besar dalam menciptakan keamanan sejak Perang Dingin untuk mengurangi arms race hingga kini. Dibandingkan dengan rezim lainnya seperti NPT, SALT, yang banyak mengatur tentang senjata non konvensional. Sehingga rezim CFE menjadi sangat penting mengingat rezim ini menjadi rezim yang memuat secara detail tentang regulasi senjata konvensional. Maka rezim ini dapat dijadikan sebagai penelitian yang kompatibel dengan fenomena keamanan. Dengan melihat kondisi yang telah dijabarkan diatas, maka rezim senjata konvensional CFE cukup penting untuk diteliti.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dalam permasalahan keamanan regional Eropa, maka penulis mengambil rumusan masalah yaitu “Bagaimana efektivitas Rezim CFE sebagai rezim keamanan di Eropa dalam kurun waktu 1999-2007?”

3. Kerangka Teoretik

Menurut Arild Underdal, efektifitas sebuah rezim seringkali mengalami kesulitan dalam tahap implementasi. Meski demikian, Underdal melihat ada

7

Marcel de Haas, dkk, Geo-strategy in the South Caucasus: Power Play and Energy Security Of States and Organizations, Clingendael Institute, hal 20

8

Sergei Oznobishchev, Challenge To Conventional Arms Control in Europe, hal 94 12

NU Online Persenjataan, Rusia Bebas Kerahkan Pasukan Ke Eropa,

(5)

rezim yang juga berhasil dalam implementasi hingga tahap pengembangannya. Dalam teori efektifitas rezim Underdall, rezim dinilai efektif jika berhasil melakukan fungsi tertentu atau memecahkan masalah yang mendasari pembentukan rezim tersebut.13

Hal penting yang harus dilihat dalam rezim diantaranya adalah rezim itu sendiri, penyelesaian masalah atau problem-solving

capacity. Untuk menjelaskan efektivitas rezim, maka penulis menggunakan teori

efektivitas rezim milik Arild Underdall. Teori ini membahas tentang bagaimana rezim lingkungan dinyatakan sebagai rezim yang efektif jika mencapai tujuan awal atau berdirinya sebuah rezim yaitu dengan menjaga lingkungan atau setidaknya dapat menanggulangi masalah-masalah tentang lingkungan. Underdall melihat bahwa aturan yang sangat ketat sekalipun dapat menyebabkan praktik yang tidak efektif, semisal pemotongan emisi karbon pada praktiknya tidak selalu sesuai dengan perubahan yang diharapkan untuk kondisi lingkungan.14

Dalam penelitian yang diangkat oleh penulis, penulis memilih aspek keamanan sebagai aspek yang relevan dengan studi kasus untuk diteliti. Dalam perkembangannya, rezim keamanan banyak didasari oleh self-interest oleh aktor-aktor yang terlibat dalam rezim dan security dilemma. Security dilemma seringkali menjadi kondisi yang membentuk kerjasama keamanan antar aktor. Sebuah kerjasama keamanan dikategorikan sebagai rezim apabila terdapat perubahan perilaku atau behavioral change sesuai dengan dasar pembentukan rezim tersebut dan hal ini banyak didasari oleh aspek politis masing-masing aktor.

Untuk rezim keamanan, dapat terbentuk dan bertahan apabila memenuhi 4 syarat berikut, yakni;15

1. Semua yang terkait dalam sebuah rezim harus secara rasional puas dengan kondisi status quo yang ada; 2. Aktor-aktor yang ada harus berbagi value yang ditempatkan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam rezim keamanan; 3.Meskipun aktor memilih kondisi status quo, rezim keamanan tidak akan terbentuk jika satu atau sebagian aktor percaya bahwa keamanan merupakan sebuah jalan untuk melakukan ekspansi; 4. Semua aktor harus meyakini bahwa dalam mengejar keamanan individual dibutuhkan biaya yang banyak, maka dibutuhkan kerjasama dengan aktor didalamnya.

Teori efektifitas rezim yang ditulis oleh Underdall menjadi teori yang relevan dengan rezim senjata konvensional CFE melihat pada state behaviour yang dipengaruhi oleh kondisi security dilemma. Dalam 4 syarat nature rezim keamanan jelas terlihat bahwa diantara negara-negara harus terbentuk komitmen tunggal tentang satu kondisi keamanan yang stabil. Maka untuk menjamin keberlangsungan kondisi tersebut diperlukan rezim yang mampu mengakomodir kerjasama diantara negara-negara anggota. Meski demikian rezim tidak mampu menjamin state behaviour tertentu antaranegara yang satu dengan yang lain akan berpotensi pada kerjasama negara-negara dalam rezim yang sama.

Dalam teori efektifitas rezim yang dibuat oleh Underdal dirumuskan bahwa untuk menjalankan seluruh aktivitas rezim, terdapat 3 proses didalamnya,

13

Arild Underdall, One Question, Two Answers, hal 2 14

Ibid, hal 6 15

(6)

yaitu Output, Outcome, dan Impact.16

Output merupakan norma-norma, prinsip,

keputusan atau proses pembentukan dalam rezim dan aturan yang merupakan rezim itu sendiri serta konsekuensi yang timbul dari implementasi dan penyesuaian terhadap aturan dalam rezim . Outcome didefinisikan sebagai hasil dari implementasi rezim, lazimnya berupa perubahan perilaku aktor yang terlibat dalam rezim dan berupa kontribusi rezim dalam menangani masalah. Sedangkan

impact didefinisikan sebagai perubahan dalam konteks yang ditentukan oleh

rezim, semisal rezim lingkungan, maka impact yang bisa dilihat adalah perubahan lingkungan (biophysical change).17

Adapun variabel efektivitas rezim menurut Underdall terdapat 3 variabel yang dapat menjelaskan efektivitas rezim. Terdiri dari variabel Problem

Malignancy, Problem-Solving Capacity dan variabel level of collaboration.18

Problem malignancy didefinisikan sebagai masalah yang sulit untuk diselesaikan

yang terdapat di antara aktor yang terlibat dalam rezim sehingga sulit untuk melakukan kerjasama. Oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama yang dapat memaksa kepatuhan bagi anggota rezim, dicirikan dengan adanya incongruity. Dalam variabel ini terdapat dua indikator, yaitu asymetry dan cumulative cleavages. 19

Problem Solving Capacity adalah variabel yang menjelaskan efektifitas dari

penyelesaian permasalahan yang dipengaruhi oleh power dan skill yang dimiliki oleh sebuah rezim.20

Variabel Level of Collaboration merupakan intervening

variabel yang dipengaruhi oleh dua variabel sebelumnya, yakni problem

malignancy dan problem-solving capacity.21

Berikut ini adalah indikator-indikator yang terdapat dalam 2 variabel efektivitas rezim. Pertama, Indikator variabel Problems Malignancy ditandai dengan incongruity yang memiliki 2 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisa efektifitas sebuah rezim, yaitu: 1) Asymmetry; 2) Cumulative

cleavages. Untuk menjelaskan indikatornya, maka terlebih dahulu dijelaskan

definisi Incongruity. Incongruity adalah ketidaksepahaman antar aktor dalam rezim perihal melihat isu yang menjadi fokus utama rezim. Menurut Underdall,

incongruity terjadi disebabkan oleh dua hal yaitu externalities dan competition.

Dua indikator dalam variabel problem malignancy adalah asymmetry dan

cumulative cleavages. Asymmetry adalah perbedaan kepentingan nasional antar

aktor yang terlibat dalam sebuah rezim, sedangkan cumulative cleavages merupakan akumulasi dari perbedaan-perbedaan aktor yang terlibat dalam rezim yang pada akhirnya mengakibatkan perpecahan dalam rezim itu sendiri.

Variabel Problem Solving-Capacity terdapat 3 indikator, yaitu institutional

setting, distribution of power, dan indikator skill and energy. Institutional setting

adalah kumpulan hak dan kewajiban yang ada dalam praktik sosial, yang mewajibkan seluruh anggota dalam aktivitas rezim, dan menjadi pedoman dalam berinteraksi diantara anggota. Institusi dalam hal ini dibedakan menjadi

16

Arild Underdall, One Question Two Answer, hal 5 17

Robert Jervis, Security Regime dalam International Regimes, hal 188 18

Op.Cit, hal 4-13 19

Arild Underdall, One Question Two Answer, hal 17 20

Ibid, hal 23 21

(7)

dua, institusi sebagai fungsi dan sebagai arena. Institusi sebagai fungsi dapat membentuk output dan outcome dan institusi sebagai arena mengacu pada hak dan kewajiban aktor dalam rezim, keputusan peraturan, dan aturan prosedur. Institusi sebagai arena didefinisikan sebagai lembaga formal yang memfasilitasi kerjasama dan meningkatkan efektifitas rezim melalui upaya-upaya agar aktor mengadopsi norma-norma rezim. Sedangkan institusi dianggap sebagai aktor ketika institusi mampu memberikan masukan terhadap proses pemecahan masalah. Untuk memenuhi institusi sebagai aktor, maka institusi harus memiliki hubungan internal (kesatuan), otonomi, sumber daya dan aktifitas eksternal.22

Distribution of power adalah distribusi kekuasaan diantara aktor sehingga

tidak menimbulkan aktor yang mayoritas dan minoritas dalam sebuah rezim. Skill

and energy adalah kemampuan yang dimiliki oleh kepemimpinan instrumental

yang diperoleh melalui komunitas epistemik yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan efektivitas sebuah rezim, baik untuk memberikan solusi maupun untuk mengambil keputusan yang tepat.

Untuk variabel Level of collaboration merupakan variabel yang dapat memperlihatkan tingkat skala koordinasi dalam rezim. Variabel ini dapat diukur dengan menggunakan 6 skala.

4. Pembahasan

4.1 Assymetry

Negara-negara yang tergabung dalam sebuah rezim dapat dipastikan membawa kepentingan. Assymetry merupakan perbedaan kepentingan nasional dalam sebuah rezim, kepentingan negara-negara yang berbeda-beda dalam sebuah rezim inilah yang dimaksud sebagai assymetry oleh Arild Underdall. Seperti rezim internasional lainnya, rezim ini juga tidak menafikan adanya perbedaan kepentingan diantara negara-negara anggota rezim. Dalam kasus ini penulis mengklasifikasi perbedaan kepentingan menjadi 2 kategori, negara yang meratifikasi rezim CFE, dalam penelitian ini penulis memilih Rusia dan negara yang tidak meratifikasi rezim CFE. Rusia sebagai salah satu negara yang layak untuk diteliti dan kubu Barat (negara-negara anggota NATO) yang menjadi pembanding perbedaan kepentingan diantara kedua pihak.

Kepentingan Pertama, yaitu negara yang meratifikasi rezim CFE, ditandai sejak pasca disintegrasi USSR yang mengakibatkan kejatuhan komunis di Eropa dan mulai berdirinya negara-negara eks USSR menjadi negara merdeka. Meki demikian, kondisi tersebut tidak membuat Rusia kehilangan peran dan pengaruhnya dalam perpolitikan di Eropa, dibuktikan dengan keterlibatan Rusia dalam menginisiasi terciptanya rezim CFE tahun 1989. Kemudian, pada tahun 1990, Rusia bersama 29 negara-negara anggota lainnya resmi menjadi anggota rezim CFE, bahkan menjadi salah satu negara yang meratifikasi rezim CFE.23

Sebagai salah satu negara yang memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan stabilitas keamanan, maka keterlibatan Rusia dalam rezim CFE juga

22

Arild Underdal, One Question Two Answer, hal 7 23

(8)

memberikan implikasi yang dapat memengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya senjata konvensional yang dimiliki Rusia sejak Perang Dingin hingga dewasa ini, sehingga keterlibatan Rusia untuk mencapai tujuan rezim CFE yaitu arms control di antara negara-negara anggota rezim CFE menjadi amat penting.

Selama menjadi negara anggota rezim CFE, Rusia termasuk sebagai salah satu negara yang banyak melanggar ketentuan dalam rezim CFE. Terutama dengan penempatan pasukan militer Rusia di luar wilayah teritorialnya, sehubungan dengan penempatan pasukan militer Rusia di dua negara anggota rezim CFE lainnya, Georgia dan Moldova.24

Namun, hingga kini pasukan militer Rusia masih saja berada di dalam teritorial kedua negara, dengan kesimpulan bahwa Rusia gagal memenuhi komitmen yang telah disepakati dalam Istanbul

Commitments.25

Akibat tindakan Rusia ini, memicu perpecahan negara-negara anggota dalam rezim CFE. Dimana sebagian negara-negara anggota pro Rusia sepert Armenia, Azerbaijan tergabung dengan Rusia dalam organisasi CSTO sedangkan negara-negara anggota NATO menjadi oposisi terkuat yang menentang ketidakpatuhan Rusia.

Kepentingan Kedua, yaitu negara yang tidak meratifikasi rezim CFE, khususnya negara-negara Baltik. Rezim CFE yang telah terbentuk sejak tahun 1990 masih menuai banyaknya perdebatan diantara sesama negara anggota rezim ini. Dimana diantara 30 negara anggota hanya ada 4 negara anggota yang telah meratifikasi rezim CFE dan diantara keempat negara tersebut tidak ada satupun negara anggota NATO yang telah meratifikasi rezim CFE. Beberapa alasan dari negara-negara yang tidak meratifikasi didasari pada kegagalan Rusia untuk memenuhi komitmennya dalam Istanbul Commitments. Negara-negara ini menginginkan pihak Rusia untuk memenuhi kewajibannya terlebih dahulu, dimana Rusia juga telah menandatangani nota kesepakatan dengan Georgia perihal penarikan pasukan militernya di wilayah negara tersebut. Berikut adalah kutipan pernyataan diantara Rusia dan Georgia perihal kesepakatan kedua negara dalam penarikan pasukan militernya setelah 1 tahun penyelenggaraan Istanbul

Commitments:26

Negara-negara Baltik yang tergabung dalam rezim CFE memiliki kepentingan ketika memilih berintegrasi dengan rezim CFE. Dengan melihat kondisi geografis antara negara-negara Baltik, seperti Lithuania, Estonia, dan Latvia.27

Ketiga negara ini memiliki border yang berdekatan dengan Rusia, sehingga opsi rasional bagi negara-negara ini adalah dengan bergabung dalam rezim CFE. Dimana dengan adanya rezim CFE, maka memungkinkan untuk melakukan inspeksi dan monitoring atas aktifitas Rusia.28

Adanya kekhawatiran

24

Anonim, Rusia Bekukan Traktat Persenjataan Konvensional Di Eropa, dapat diakses di <http://www.dw.de/rusia-bekukan-traktat-persenjataan-konvensional-di-eropa/a-2932453> pada 18 desember 2014

25

Zdzislaw Lachowski, Conventional Arms Control, hal 757 26

Joint Consultative Group CFE, Final Act of The Conference Of The States Parties To The Treaty On Conventional Armed Forces In Europe, hal 10

27

SIPRI, Admission Of The Baltic States To NATO, hal 21 28

(9)

tersebut didasari pada adanya asimetri dalam kapabilitas militer antara negara-negara Baltik dengan Rusia, sebab hal itu dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara ini. Melihat adanya kemajemukan dalam perbedaan kepentingan diantara negara-negara anggota rezim, maka indikator assymetry telah terpenuhi.

4.2 Cumulative Cleavages

Akumulasi perbedaan dalam sebuah rezim atau cumulative cleavages, dapat digambarkan dengan dinamika hubungan antara negara anggota rezim CFE dalam rentang waktu 1999-2007 yang mengalami fluktuasi. Disebabkan adanya perbedaan pemahaman negara-negara anggota rezim perihal kasus penempatan pasukan Rusia yang berada dalam wilayah Georgia dan Moldova. Bagi Rusia, penempatan pasukannya di Georgia dimaksudkan untuk mengakui kedua wilayah teritorial Georgia sebagai negara yang independen dan berdaulat dalam mengatur masalah domestiknya.29

Bagi negara anggota lainnya, Rusia secara jelas telah melanggar ketentuan secara substansial rezim CFE, dimana negara anggota hanya diizinkan untuk menempatkan pasukannya dalam wilayah negara anggota lainnya jika telah menerima persetujuan dari negara bersangkutan. Dalam hal ini, baik Georgia dan Moldova dengan sangat jelas menolak penempatan pasukan Rusia yang berada dalam wilayah mereka. Selain penempatan pasukan, Rusia juga menempatkan TLEnya berada di wilayah Georgia, dimana tindakan Rusia ini semakin memperparah hubungan antara keduanya. Akibatnya tidak hanya dirasakan oleh Rusia-Georgia dan Rusia-Moldova, tetapi bagi seluruh negara anggota rezim CFE. Pada dasarnya, sikap Rusia telah memberikan ancaman keamanan bagi negara-negara di Eropa, akibatnya secara langsung dirasakan oleh negara-negara anggota rezim CFE yang berdekatan secara geografis dengan Rusia.

Dampak yang ditimbulkan oleh Rusia ternyata berakibat pada keinginan nonratifikasi negara-negara anggota rezim CFE lainnya. Akibat tindakan Rusia, negara-negara lainnya mengklaim bahwa sebelum meratifikasi perjanjian CFE, maka Rusia terlebih dahulu memenuhi kewajibannya sebagaimana telah disepakati dalam Istanbul Commitments.30

Sebab negara anggota lainnya akan meratifikasi perjanjian ini setelah Rusia dapat memenuhi kewajibannya. Sementara itu, pihak Rusia menyatakan bahwa negara-negara anggota lainnya seharusnya telah meratifikasi perjanjian CFE, namun hingga pada tahun 2007, negara anggota lainnya masih menangguhkan keputusannya apakah akan meratifikasi atau tidak. Pada tahun yang sama Rusia memilih untuk menarik diri dari rezim CFE dengan alasan bahwa Rusia menarik diri dari rezim CFE banyak dilatarbelakangi oleh ketidaksepakatan negara-negara anggota untuk meratifikasi perjanjian CFE. Bagi Rusia, idealnya adalah seluruh negara-negara anggota rezim CFE dapat meratifikasi perjanjian CFE, sehingga dapat mengikat seluruh negara anggota.

29

International Crisis Group, Georgia-Russia: Learn to Live like Neighbours, Europe Briefing N°65, hal 1

30

(10)

Perbedaan kepentingan inilah yang membuat perpecahan dalam rezim CFE, yaitu terbaginya kepentingan dalam satu rezim dengan adanya negara yang meratifikasi dan yang tidak meratifikasi. Adapun tujuan negara-negara yang tidak meratifikasi adalah untuk menstimulus Rusia agar segera mematuhi ketentuan rezim CFE. Dalam permasalahan ini, Rusia justru memberikan respon negatif, dengan adanya perpecahan diantara negara-negara anggota dalam satu rezim yang sama, jelas menunjukkan indikasi bahwa tidak terjalin hubungan yang harmonis dan kerjasama yang baik, maka indikator cumulative cleavages telah terpenuhi.

4.3 Institutional Setting

Institutional setting adalah institusi yang berperan dalam memuat hak dan

aturan dalam praktek sosial, menentukan peran setiap negara anggota dalam suatu rezim, tentunya dalam hal ini adalah rezim CFE. Sejak terbentuknya rezim CFE negara-negara anggota menyepakati dibentukny suatu badan yang disebut dengan

Joint Consultative Group. Hal ini tertuang dalam teks protokol JCG dalam

perjanjian CFE. Dalam perjanjian CFE ditegaskan bahwa badan ini bertugas untuk melakukan verifikasi meliputi sejauh mana kesesuaian aturan dalam rezim CFE dengan implementasi yang dilaksanakan oleh negara-negara anggota rezim CFE. Bertugas untuk memberikan solusi yang menimbulkan ambiguitas dan misinterpretasi atas ketentuan perjanjian CFE, menyelesaikan masalah-masalah teknis dan sebagai penimbang ketika terjadi perpecahan saat implementasi rezim CFE.31

Meski JCG rezim CFE telah disusun sedemikian rupa, namun dalam menyelesaikan perpecahan antara negara-negara anggota, peran badan ini belum dapat dirasakan sepenuhnya. Dimana dalam perpecahan tersebut, JCG tidak mengambil langkah yang signifikan, sementara perpecahan diantara negara-negara anggota rezim telah berada dalam titik eskalasi, sehingga dibutuhkan adanya resolusi dari pihak JCG. Khususnya perselisihan antara negara anggota rezim CFE dengan Rusia. Ditandai adanya konferensi luar biasa yang diminta oleh pihak Rusia, diselenggarakan pada 12-15 Juni 2007 dan masa suspensi yang dilakukan oleh Rusia selama 150 hari. Dengan jelas dinyatakan bahwa pihak Rusia dalam konferensi tersebut mengharapkan adanya kesepakatan seluruh negara anggota rezim CFE untuk ratifikasi. Sebelumnya, telah terdapat konfrontasi diantara negara-negara anggota, hingga adanya konferensi luar biasa pada tahun 2007. Dengan jelas kondisi ini layak untuk dipertimbangkan oleh JCG, namun hingga akhir konferensi luar biasa JCG tidak mengeluarkan rekomendasi bagi negara-negara anggota sebagai pertimbangan. Melihat kondisi ini, maka peran JCG tidak sesuai dengan peran yang digambarkan dalam indikator

institutional setting, indikator institutional setting tidak terpenuhi sehingga

probabilitas variabel problem solving capacity sulit untuk dicapai.

Dari indikator diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh power sangat penting untuk pengesahan keputusan, akibat bentuk pengambilan kebijakan yang bersifat konsensus maka pihak yang memiliki pengaruh (power) yang paling

31

(11)

besar, maka pihak tersebut yang memiliki kesempatan terbesar pula dalam penetapan kebijakan.

4.4 Distribution Of Power

Dalam suatu rezim, adanya power jelas dibutuhkan sebagai alat kontrol, sehingga power didefinisikan sebagai alat kontrol terhadap satu kepentingan bagi satu aktor, atau power merupakan kemampuan kontrol satu aktor terhadap aktor lain dalam satu kepentingan.32

Dalam teori efektifitas rezim Arild Underdall, terdapat 3 bentuk distribution of power dalam sebuah rezim, yaitu unipolar, bipolar dan multipolar. Arild Underdall menyatakan unipolar distribution of

power dilihat sebagai pengganti fungsional dalam hirarki formal atau kekuatan

lain dalam pengambilan keputusan.33

Jika dalam rezim terdapat unipolar

distribution of power, maka rezim efektif demikian juga dengan rezim CFE, jika

terdapat uniplar distribution of power maka sangat memungkinkan bagi negara untuk memberikan insentif atau punishment bagi negara yang melanggar aturan rezim CFE. Bipolar distribution of power adalah 2 aktor yang memiliki power yang lebih besar dibandingkan dengan aktor lainnya dalam rezim CFE.

Sementara itu, dalam rezim CFE memiliki multipolar distribution of

power, dimana GDP dan military expenditure antara negara yang satu dengan

yang lainnya memiliki selisih yang cukup kecil, sehingga memiliki power yang seimbang antara satu negara dengan yang lainnya. Apabila dalam satu rezim memiliki multipolar distribution of power, maka akan sulit untuk membentuk satu keputusan yang dapat mengikat dan dipatuhi oleh seluruh negara anggota. Hal ini disebabkan oleh persamaan power yang dimiliki oleh negara anggota yang dapat mendukung keputusan tertentu negara yang mungkin bertentangan atau sesuai dengan keputusan rezim. Demikian juga dengan rezim CFE yang mengalami stagnasi dalam implementasi rezim bagi negara anggota, seperti halnya Rusia dan negara-negara lainnya yang mempertahankan kepentingan masing-masing dimana pada dasarnya didukung oleh multipolar distribution of power negara-negara anggota.

Dalam rezim keamanan, maka nature rezim membedakan rezim ini dengan rezim lainnya. Negara-negara dalam rezim ini diharuskan puas dengan kondisi status quo yang ada. Dalam rezim CFE terdapat beberapa prinsip rezim untuk menghindari adanya aktor yang mayoritas dan minoritas, yaitu do not use

force against each other, accept alliance membership, dan principal consent.

Prinsip kedua memberikan distribution of power dalam rezim CFE menjadi multipolar, dimana jumlah negara anggota rezim CFE didominasi oleh negara anggota NATO. Ditandai dengan adanya perbedaan pendapat di antara Rusia, Jerman dengan Amerika Serikat, terkait keanggotaan negara-negara baltik sekaligus negara anggota NATO yang ingin masuk dalam rezim CFE, akibat prinsip ini, negara-negara tersebut diterima dalam rezim CFE. Dimana Rusia dan Jerman menginginkan adanya prosedur yang lebih detail dan mengikat bagi

32

Coleman (1973) dalam Arild Underdall, One Question Two Answers, hal 29 33

(12)

negara-negara yang ingin masuk dalam rezim CFE.34

Implikasinya terdapat dalam hasil konsensus saat pengambilan keputusan, sehingga ketika konsensus maka negara-negara yang berada dalam satu aliansi akan dengan mudah merekomendasikan kebijakan terhadap negara lainnya demikian sebaliknya dengan negara di luar aliansi. Adapun principal consent, dimana masing-masing negara anggota harus menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota. Prinsip ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 5 perjanjian CFE, dimana negara anggota tidak diizinkan meletakkan pasukkannya tanpa izin dari negara bersangkutan, dapat disimpulkan bahwa dari pasal ini bahwasanya setiap negara anggota harus menghormati negara anggota rezim CFE lainnya.

4.5 Skill and Energy

Dalam menangani permasalahan yang terdapat dalam sebuah rezim, maka dibutuhkan skill and energy dalam rezim. Penggunaan skill and energy dalam rezim ditandai dengan adanya epistemic community dalam rezim, demikian dijelaskan dalam pemikiran Arild Underdall.35 Epistemic community adalah jaringan profesional yang terdiri atas kumpulan negara-negara atau organisasi dengan keahlian dan kompetensi diakui dalam bidang atau area tertentu.36

Dalam epistemic community, terdapat berbagai aktor yang memiliki latar belakang yang berbeda, epistemic community juga tidak dibatasi dalam lingkup negara ataupun bentuk organisasi lainnya. Demikian dengan epistemic community yang berada dalam lingkungan politik internasional. Peran epistemic community juga ditemukan dalam rezim CFE, dibuktikan dengan terbentuknya NTM dan MTM berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota rezim CFE. Epistemic

community dalam rezim CFE tidak terlepas dari keinginan untuk mendukung

implementasi rezim CFE.

NTM atau yang disebut dengan National Techincal Means dan MTM atau

Multinational Technical Means adalah epistemic community yang terdiri dari para

ahli dibidangnya. NTM berasal dari masing-masing negara anggota rezim CFE dalam gambar ditunjukkan sebagai aktor, sehingga terdapat 30 kelompok NTM dari 30 negara anggota rezim CFE dan anggota NTM masing-masing negara hanya melakukan inspeksi bagi negara asal NTM. Sementara itu, MTM memiliki fungsi dalam melakukan inspeksi terhadap negara-negara lain anggota rezim CFE. Untuk keanggotaan MTM, aktor ini berasal dari negara asing yang melakukan inspeksi ke negara tertentu, negara asing disini merupakan anggota rezim CFE, semisal MTM dari Georgia melakukan inspeksi terhadap TLE Rusia. Namun, jika anggota MTM ingin melakukan inspeksi di luar dari negara bersangkutan, maka terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari negara yang dituju dan memperoleh tanda tangan atas perjanjian antara negara yang dituju/ host state

party dengan MTM.37

34

Klaus Bolving, The Adapted Treaty On Conventional Armed Forces In Europe – CFE- Considerations Concerning Baltic CFE- Membership, hal 7

35

Arild Underdall, One Question, Two Answers, hal 35 36

Peter M Haas, 1992, Introduction: Epistemic Communities and International Policy Coordination, Knowledge, Power, and International Policy Coordination, halaman 3 37

(13)

5. Analisa Efektifitas Rezim CFE

Untuk mengetahui skala efektifitas sebuah rezim maka variabel level of

collaboration dapat dijadikan sebagai skala yang menentukan apakah rezim yang

diteliti layak dikategorikan sebagai rezim yang efektif atau tidak. Rezim CFE memiliki keputusan dimana implementasi dari aturan rezim CFE sepenuhnya dilakukan oleh negara-negara anggota. Berdasarkan konferensi yang dilaksanakan oleh negara-negara anggota rezim CFE, negara-negara anggota diberikan kebebasan untuk implementasi dari keputusan bersama. Negara-negara rezim CFE telah bersama-sama merumuskan dan meyetujui tentang TLE, pasukan militer negara-negara anggota, hingga ratifikasi perjanjian CFE, tetapi implementasi dari rezim CFE sepenuhnya dilaksanakan oleh negara. Namun, rezim ini tidak memiliki badan atau organisasi yang dapat mengontrol rezim ini, baik dalam implementasi secara keseluruhan oleh negara-negara anggota. Ketiadaan organisasi atau badan didalam rezim CFE sebagai pengontrol dibuktikan dengan tidak adanya badan terpusat yang berfungsi sebagai pengontrol negara apabila tidak melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan aturan rezim, seperti melanggar ketentuan rezim atau tidak meratifikasi perjanjian. Adapun JCG merupakan salah satu lembaga yang didirikan untuk memfasilitasi kesepakatn diantara negara-negara anggota.

Dengan melihat 3 variabel yang telah disebutkan, maka dapat dilihat 2 hasil dari efektif atau tidaknya sebuah rezim, yaitu behavioral change dan

technical optimum. Behavioral change dimaksudkan sebagai perubahan perilaku

yang dimiliki oleh negara anggota dalam sebuah rezim setelah bergabung dalam sebuah rezim atau berlakunya sebuah kebiasaan yang baru setelah masuk dalam rezim.

Tidak adanya behavioural change negara-negara anggota ditandai dengan adanya pelanggaran berupa jumlah TLE negara anggota, TLE di flank zones yang tidak sesuai dengan ketentuan flank zones document, penempatan pasukan militer secara ilegal di antara negara anggota, negara-negara anggota yang absen dari kewajiban implementasi rezim CFE. Selain itu, adanya perbedaan urgensi ratifikasi dan non ratifikasi rezim CFE menjadi salah satu masalah penting yang berakibat pada masalah lain, sehingga adanya tumpang tindih dalam masalah-masalah rezim CFE berimplikasi pada kemampuan penyelesaian masalah-masalah rezim tersebut.

Selama negara-negara anggota masuk dalam keanggotaan rezim CFE, menunjukkan tidak adanya perubahan perilaku sebagai partisipan rezim CFE, peningkatan TLE Rusia dan beberapa negara lainnya, konfrontasi militer antar negara-negara anggota rezim CFE (Rusia dengan Georgia dan Moldova), serta penyebaran pasukan militer antar wilayah negara anggota rezim CFE. Akumulasi perbedaan-perbedaan dalam rezim CFE yang tidak dapat diselesaikan berimplikasi pada efektifitas rezim CFE. Dimana dalam rezim CFE memiliki JCG yang seharusnya dapat menengahi perdebatan diantara negara-negara anggota untuk memperoleh kesepakatan dalam konsensus rezim CFE. Menurut Miles,

institutional setting memiliki peran besar untuk mengatasi setiap masalah dalam

(14)

aturan rezim NPT, sementara itu NSG sebagai institusi yang dapat mengatur tentang negara-negara suplier. Sehingga, setiap masalah dapat ditangani oleh setiap badan, dan tidak adanya badan terpusat menjadi masalah besar untuk dapat menilai efektif atau tidaknya rezim ini.

Sedangkan technical optimum juga masih belum tercapai, ditandai dengan tujuan rezim CFE yaitu menciptakan kestabilan keamanan di Eropa, menghindari konfrontasi militer, ratifikasi rezim CFE, menghindari kemungkinan terjadinya

surprise attack, arms race, stagnasi ratifikasi rezim CFE yang masih berjumlah 4

negara, dsb. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut rezim CFE masih tidak dapat terpenuhi, dimana negara-negara anggota rezim CFE cenderung mementingkan kepentingan dan agenda pihak atau aliansi negara, seperti konfrontasi militer antar Rusia dan Georgia maupun Rusia dan Moldova yang masih saja belum terselesaikan baik sebelum bergabung hingga telah menjadi bagian dalam rezim CFE.

Underdall juga menegaskan untuk melihat seberapa efektif sebuah rezim maka dapat dilihat dari variabel problem malignancy dan problem solving

capacity. Dari penjelasan dalam masing-masing variabel ditemukan bahwa dua

indikator variabel problems malignancy telah terpenuhi sehingga disimpulkan bahwa masalah yang terdapat dalam rezim CFE sangat sulit untuk diselesaikan. Selain itu, indikator variabel problem solving capacity hanya terpenuhi satu yaitu

Skill and Energy, sehingga kemampuan rezim dalam mengatasi permasalahan

menjadi tidak maksimal.

Untuk melihat tingkat skala dalam rezim CFE, maka tabel di bawah ini akan menjelaskan masing-masing detail skala.

Tabel Skala Rezim CFE38

Jenis Kolaborasi Skala Rezim

0 1 2 3 4 5

Gagasan Bersama √ √ √ √ √ √

Koordinasi Tindakan ̶̶ √ √ √ √ √

Rumusan Aturan Secara Eksplisit ̶ ̶ √ √ √ √

Penilaian secara terpusat ¯ ̶ ̶ √ √ √

Implementasi pada level nasional ̶ ̶ ̶ ̶ √ √

Koordinasi terencana ¯ ̶ ̶ ̶ ̶ √

Sumber: Hasil Olahan Penulis

Dari keenam skala diatas, maka dapat dilihat bahwa tingkatan kolaborasi terdiri dari beberapa langkah, yaitu gagasan bersama, koordinasi tindakan, rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada tingkat nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara perencanaan dan implementasi.

Rezim CFE berada dalam skala yaitu terdapat aturan atau kesepakatan bersama dengan tidak adanya penilaian secara terpusat terhadap efektifitas sebuah tindakan. Rezim CFE berada dalam skala 2 dimana negara-negara anggota rezim CFE bersama-sama telah menyetujui perjanjian CFE, namun untuk implementasi

38

(15)

sepenuhnya berada dalam otoritas negara. Hal ini terbukti dari tidak adanya badan terpusat dalam rezim sebagai pengawas negara jika ternyata negara-negara anggota tidak melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan rezim.

6. Penutup

Rezim CFE merupakan salah satu rezim keamanan yang terbentuk di Eropa yang dibentuk atas dasar kesepakatan negara-negara anggota OSCE

(Organization For Security and Co-operation In Europe). Rezim ini didirikan

bersama oleh kedua kubu NATO dan Pakta Warsawa pada Perang Dingin dengan tujuan untuk menciptakan kestabilan keamanan di Eropa, menghentikan proliferasi senjata konvensional diantara negara-negara anggota, menghindari

arms race, menghindari konfrontasi militer, dsb. Namun, rezim CFE dinyatakan

tidak efektif setelah melihat pencapaian tujuan yang tidak berhasil oleh rezim ini dan perubahan perilaku negara-negara anggota rezim CFE.

Untuk menciptakan sebuah rezim yang efektif maka negara-negara anggota harus saling bekerjasama dengan mengutamakan kepentingan bersama. Negara-negara anggota rezim harus bekerjasama untuk mencapai satu kepentingan, satu kepentingan tersebut menjadi fokus utama sebuah rezim. Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa terdapat solusi untuk membuat rezim lebih efektif yaitu dengan memberikan insentif baru terhadap negara-negara yang melanggar peraturan rezim. Dengan adanya insentif, maka negara-negara anggota akan semakin memperhitungkan cost yang harus dikorbankan jika melanggar peraturan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir resiko terkecil yang mungkin timbul dari perilaku negara-negara anggota rezim dan meningkatkan kepatuhan dalam rezim.

7. DAFTAR PUSTAKA

Buzan, Barry. (1991). People, State and Fear:An Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era. Harvester Wheatsheaf, London. Jervis, Robert . (1984). Security Regime. Cornell University Press. London

Miles, Edward L. (2001). Nuclear Nonproliferation Regime. The MITpress. United States of America

SIPRI. (2001). Treaty On Conventional Armed Forces in Europe. SIPRI Year Book. Sweden

Underdal, Arild . (2001). One Question Two Answer. The MITpress. United Stated of America

Gambar

Tabel  Skala Rezim CFE38

Referensi

Dokumen terkait

95 Jimbaran Wetan WONOAYU MAHRUS ASY'ARI X X 96 Ketimang WONOAYU Atok Ashari, S.Kom... Titin

ʻ Umair dari Ummi ʻ A ṭ iyyah al-Ansârî, sesunggguhnya ada seorang juru khitan perempuan di Madinah, maka Nabi Muhammad saw. bersabda, “Jangan berlebih-lebihan dalam

Peningkatan daya saing (peningkatan kualitas, kuantitas, serta nilai tambah barang, jasa, atau sumber daya desa lainnya sesuai dengan jenis kegiatan yang diusulkan);.

penyebaran, akses dan pengunaan, dan dilanjutkan dengan penciptaan kembali pengetahuan, dan seterusnya), (b) Menjadi mitra bagi pengguna, (c) Melayani individu atau kelompok sebagai

Agar menjadi seorang guru yang “pas” dalam artian mampu membimbing siswa dengan baik sehingga dapat bersaing di era global yang menuntut kemampuan berpikir

SAHANI SALEH Diundangkan di Tanjungpandan pada tanggal 2 Mei 2016 SEKRETARIS DAERAH

Gaya belanja merupakan suatu yang mengarah kepada pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagaimana cara menghabiskan waktu dan uang.Hal ini

Motif Pagar, Motif Lampinak, dan Tari Rembara memiliki makna serta esensi yang kuat dalam bentuk karya tari sebagai persembahan untuk masyarakat Paser.. Kata Kunci: