Pendidikan Kalbar di abad ke-21: tetap teguh di era digital
(Bahan untuk seminar temu alumni Sanata Dharma wilayah Kalbar,
Pontianak 8 Juli 2018)
Leo Sutrisno*, **
Alumni FKIE IKIP Sanata Dharma: Pendidikan 1970 (BA) & Pendidikan Fisika 1980 (Drs)
Pengantar
Secara sederhana, pendidikan dapat dibagi ke dalam tiga domain, yaitu: anteseden, interaksi dan hasil. Dalam domain anteseden tercakup segala hal yang terkait dengan penyediaan sarana-prasarana pendidikan yang perlu disediakan agar kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan. Domain interaksi meliputi segala hal yang berlangsung selama proses pembelajaran. Dan, Domain hasil tidak hanya berupa hasil belajar (output) tetapi juga dampak pendidikan bagi kelembagaan dan masyarakat pada umumnya (outcome)[1].
Dalam sajian ini, domain hasil pendidikan Indonesia akan ditampilkan lebih dahulu, yaitu posisi Indonesia di panggung dunia menurut hasil survai lembaga-lembaga internasional. Disusul dengan sajian domain interaksi yang berisi usulan yang perlu dilakukan, yaitu: pencangkokan DNA Inovator [2} dan literasi digital[3]. Domain anteseden diserahkan kepada para pembaca, sebagai bahan diskusi untuk menjawab pertanyaan bagaimana sarana dan prasarana disiapkan agar
memungkinkan usulan itu dapat diimplementasikan dalam sejumlah konteks Kalimantan ini. Diharapkan usulan dari sajian ini, dalam jangka panjang, menjadi salah satu alternatif kebijakan untuk mewujudkan “Tanah Kalimantan, rumah kita bersama”[4].
1. Indonesia di panggung dunia
Berbagai lembaga survai internasional melaporkan bahwa pencapaian
pendidikan di Indonesia tidak menggembirakan. Dibandingkan dengan 82 negara yang lain, Indeks Kreatifitas Indonesia (2011)[5] sebesar 0.04. Nilai ini berada pada Nomor 2 terendah, satu tingkat di atas Kambodia. Harga ini jauh lebih rendah daripada Indeks Kreativitas Malaysia (0.43). dan tentu saja sangat jauh dari Swedia yang mempunyai Indeks Kreativitas tertinggi (0.92). Data 2015
menunjukkan Indeks Kreativitas Indonesia adalah 0.20 yang berada pada urutan ke-115 dari 139 negara yang di survai[6] dan menempatkan pada kedudukan paling rendah di Asia Tenggara[7].
Global Innovation Index tahun 2013 menempatkan Indonesia pada ranking ke-85 dari 143 negara yang berpartisipasi[8]. Malaysia menempati posisi yang jauh lebih tinggi, yaitu pada urutan ke-32. Jauh di atas lagi ditempati oleh Singapura (ke-8) dan Swis (ke-1). Vietnam berada pada posisi ke-76 dan Thailand pada posisi ke-57. Indeks Inovasi Indonesia tetap saja tidak beranjak dari tahun ke tahun, pada 2014 ranking ke-87/143[9], 2015 ranking ke-97/141[10], 2017 ranking ke-87/127[11].
The Learning Curve, sebuah lembaga survai yang bermarkas di London, 2012, melaporkan ‘Global index of cognitive skills and educational attainment’ Indonesia pada posisi z = -2.03 dan pada berada pada ranking terendah dari 40 negara yang berpartisipasi[12]. Posisi ini berada pada kelompok terendah bersama-sama
-1.60), dan Brazil (z = -.1.65). Sedangkan lima posisi paling atas berturut-turut ditempati: Finlandia, Korea Selatan, Hongkong, Jepang dan Singapura [13].
The Program International Students Assessment-PISA, (2012) menempatkan rerata hasil belajar 5000 siswa Indonesia antara usia 15 tahun 3 bulan dan 16 tahun 2 bulan pada urutan ke-64/65 di bidang matematika dan IPA, serta pada urutan ke-61/65 di bidang membaca di antara 65 negara anggota OECD serta mitra-nya[14]. Hasil PISA 2015, matematika 64/71 , IPA 63/71, membaca 42/71. Ada sekitar 0.8% siswa Indonesia yang masuk kelompok ‘top’ (level 5+6). Sebaliknya ada
sekitar 48% masuk kelompok terendah (below 2 level) [15] [16]
Banyak penjelasan yang muncul akan pencapaian pendidikan Indonesia menurut hasil-hasil penelitian ini. Temuan PISA[17] mungkin cukup baik jika
direfelksikan, yaitu hampir 96 siswa indonesia mangaku “Being happy at school” dan mereka ini juga “Lack of hard work and in control for success”.
Hasil pendidikan Indonesia yang digelar secara internasional seperti ini, tentu tidak berarti ‘menyingkirkan’ sumbangan sejumlah orang Indonesia yang telah berhasil di kancah dunia baik dalam pendidikannya maupun dalam pekerjaannya. Pertanyaan yang dimunculkan dalam sajian ini adalah, ‘apa yang dapat kita lakukan?’
2. Mencangkokkan ‘DNA inovator’
Sebelum menjawab pertanyaan ini, Ketika masih menjabat Menteri, Prof Nuh menyatakan “Perlu dirumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal .... untuk meningkatkan kreativitas peserta didik”[17].
Dalam Kurikulum 2013 dikembangkan pembelajaran yang membekali para siswa dengan lima pengalaman pokok[18], yaitu: a. mengamati; b. menanya; c. mengumpulkan informasi; d. mengasosiasi; dan e. Mengkomunikasikan. Kebijakan ini mengadaptasi temuan Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen (2011)[19].
Deyer, dkk, menemukan lima ketrampilan inkuari yang khas dimiliki para inovator kelas dunia. Kelima ketrampilan itu adalah ‘questioning, observing,
experimenting, networking, dan associating’[20]. Orang-orang yang inovatif memiliki kelima ketrampilan ini dengan sangat menonjol. Mereka adalah para inovator yang sekarang ini didambakan di Indonesia.
Kiranya ada baiknya DNA inovator ini ‘dicangkokkan’ pada peserta didik dan pendidik. Pencangkokan DNA inovator sangat mungkin dilakukan karena tidak perlu tambahan biaya dan tambahan waktu. Yang diperlukan hanyalah kesediaan untuk berbuat, maaf tentu juga harus ‘mempunyai usus yang panjang’ sehingga ‘tahan banting’ dalam situasi apa pun.
Pencangkokan DNA Inovator dalam pendidikan juga sejalan dengan temuan para pakar pendidikan. Pada tahun 2007, John Hattie[21], selama 15 tahun
mengumpulkan lebih dari 750 meta analisis tentang faktor yang mempengaruhi hasil pendidikan di seluruh dunia. Karya ini mencakup lebih dari 50.000 penelitian internasional yang melibatkan lebih dari 200 juta siswa. Ditemukan 100 faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Pada tahun 2009, ada 38 faktor lagi ditambahkan [22]. Effect Size gabungan seluruh faktor sebesar 0.40.
Ke-138 variabel yang ditemukan itu, dipilah menjadi enam kelompok variabel: guru, kurikulum, pengajaran, siswa, rumah dan sekolah. ‘effect Size’ rerata
pada siswa dapat dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan pencangkokan pada guru berarti peningkatan kelompok variabel guru.
Temuan penting lain yang perlu dicermati adalah fungsi guru, apakah guru sebagai aktivator atau sebagai fasilitator. Ditemukan bahwa effect size guru
sebagai aktivator sebesar 0.60, jauh lebih besar dari pada guru sebagai fasilitator (0.17). Guru sebagai aktivator akan menghasilkan inovator.
3. Meningkatkan literasi digital
Kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi yang sangat pesat dalam 50 tahun terakhir menimbulkan semacam ‘big bang’ dunia maya[23]. Kini, kita hidup dalam dunia digital. Dalam dunia maya ini, informasi dipandang sebagai komoditidan orang cenderung menggunakan logika waktu pendek[24]. Akibatnya, terjadi keseragaman informasi.
Fenomena lain yang terjadi adalah berkembangnya politik identitas[25]. Gabungan dari ketiga fenomena ini maka berkembang cara berpikir biner[26]. Mereka yang menggunakan cara berpikir biner menggunakan doktrin “yang
berasal dari saya pasti benar dan yang berasal dari tempat lain salah”. Agar paling cepat sampai di tujuan maka kebenaran informasi yang dikirimkan itu sering
dipertanyakan. Muncullah yang disebut “HOAX”[27].
Sisi negatif yang lain dalam dunia digital adalah ujaran kebencian[28]. Ujaran kebencian muncul di dunia digital merupakan konsekuensi dari pengguna logika biner tidak mampu mengembangkan argumentasi yang baik.
Dewasa ini, sebagian besar para pengguna media sosial merasa tidak mampu menghadapi hoax dan ujaran kebencian. Apa yang dapat dilakukan agar tidak larut dalam arus hoax dan ujaran kebencian, khususnya di dunia pendidikan?
Peningkatan literasi digital para pendidik dan peserta didik merupakan salah satu jawabannya[29] [30].
Peningkatan literasi bisa dikembangkan jika kita memiliki: kemampuan mengelola informasi, kemahiran menggunakan bahasa yang baik dan benar, serta kemampuan menggunakan cara berpikir tingkat tinggi. Selain itu, kita mesti punya kehendak untuk berkomunikasi yang beretika[31]. Dengan literasi digital yang
memadai maka kita mampu memproduksi informasi yang benar.
4. Apa dampaknya?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan ditempatkan pada sejumlah konteks posisi Indonesia dewasa ini. yaitu:Konteks 1: The flaat world; Konteks 2:
Kevakuman moral; Konteks 3: Pergeseran pola hidup; Konteks 4: Pendidikan di abad ke-21; Konteks 5: Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030, konteks 6. beranda depan negara, serta konteks 7: Menuju Kalimantan Baru
4.1 The flat world
Dunia dewasa ini mengalami gelombang perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informatika yang sangat luar biasa. Dalam sekejab data dan informasi dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Kalbar.
Sebaliknya, setiap orang kebanjiran data dan informasi yang tanpa batas. Friedman menyebutnya sebagai ‘the world is flat’ [32]. Masyarakat dewasa ini memasuki
4.2 Masa transisi
Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Kalbar, di awal abad ke-21 mengalami berbagai transisi[34] .Di antaranya adalah: transisi agama, sosio-budaya, sosio-ekonomi, transisi politik ketatanegaraan, dan transisi alih teknologi. transisi di bidang-bidang: sosio-agama, sosio-budaya, sosial-ekonomi, politik-tata negara, serta bidang media sosial. Transisi-transisi ini menyebabkan perubahan sistem norma, nilai, dan pandangan hidup dari yang ‘tradisional’ ke yang ‘modern’. Asimilasi nilai-nilai baru sangat sukar, sehingga banyak orang merasa kehilangan arah. Pada akhirnya, mereka mengalami marginalisasi, terisolasi, dan
terpinggirkan.
Menurut Haryatmoko, masyarakat Indonesia juga mengalami era dominasi penuh muslihat [35]. Dominasi-dominasi semacam ini menjadi akar kekerasan dan diskriminasi. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat melawan dominasi-dominsi seperti ini?. Kita mesti memproduksi informasi-informasi yang benar.
4.3 Pergeseran pola hidup
Khusus bagi sebagian masyarakat Kalimantan Barat, dalam tiga dasa warsa terkhir ini mengalami pergeseran pola hidup, dari kehidupan di pinggir sungai ke jalan raya. Pergeseran pola hidup ini tentu diiringi dengan pegeseran tata nilai dan tentu saja perilaku [36],. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat menyediakan bimbingan yang memadai? Para inovator akan banyak berperan di sini.
4.4 Pendidikan di abad ke-21
Secara internasional, pendidikan di era abad ke-21 menuntut sejumlah karakter yang perlu dimiliki baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Andrew Churches (2012) menyebutkan sejumlah karakter yang harus dimiliki guru. Di antaranya adalah: sebagai seorang yang visioner, berani mengambil resiko, dan tentu saja juga seorang ‘leader’ dan panutan[37]. Sementara itu, para siswa di abad ke-21 dituntut untuk mampu mejadi seorang ‘creator’, ‘communicator’ dan
‘collaborator’ [38]. Mereka mesti kreatif, komunikatif dan kolaboratif. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana kita dapat memenuhi tuntutan ini? Pencangkokan DNA inovator adalah jawabannya.
4.5 Masa depan Indonesia yang menjanjikan 2030
McKinsey Global Institute, Sept 2012, meluncurkan sebuah laporan dengan judul Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia sudah menjadi negara terbesar ke-16 dalam peta perokomian dunia. Diperkirakan pada tahun 2030 akan berada pada urutan ke-7. Pada tahun itu, 2030, diperlukan sekitar 113 juta tenaga trampil. Mereka ini akan menjadi bagian dari sekitar 71% penduduk produktif[39]. Apa yang dilakukan agar siap memasuki pasar kerja ini? Para inovator yang tangguh mampu memasuki pasar kerja ini dengan jalan lapang.
4.6 Kalimantan Barat sebagai beranda depan negara
Dalam rekomendasi Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2012[40] disebutkan bahwa Kalimantan Barat memiliki beberapa kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bagi kecamatan perbatasan ini, diusukan agar dibangun sekolah-sekolah yang tidak berbeda jauh dari sekolah-sekolah Malaysia. Untuk itu, disarankan agar dibangun sekolah “One stop services” di setiap kecamatan. Dalam kompleks sekolah ini terdapat SD, SMP, SMA dan SMK, asrama siswa dan perumahan guru.
tempat bagi para para orang tua siswa SD/SMP untuk meladang atau pergi ke negara tetangga tanpa perlu memikirkan anaknya yang masih kecil. Kedua, selain untuk tempat tinggal, disarankan di asrama itu para siswa diberi pelatihan
ketrampilan hidup di abad ke-21. Dengan itu, jika harus tidak melanjutkan pendidikan tingginya, mereka sudah siap memasuki MEA. Ketramilan apa yang dapat dimasukkan untuk menunjang keberadaan “One stop services” ini?
4.7 Menuju Kalimantan Baru
“Kalimantan Baru”, selalu diungkapkan dalam pertemuan rutin tahunan Komisi
Pengembangan Sosial Ekonomi-Komisi Keadilan dan Perdamaian Pastoral Mingrant Perantau dan Caritas Keuskupan Regio Kalimantan lima tahun terakhir ini. Paus Fransiskus lewat anjuran Apostolik Evangelii Gaudium (EG 45) mengingatkan bahwa sebagai warga gereja yang sedang mengadakan perziarahan di bumi ini, kita perlu melakukan karya-karya misioner nyata untuk meyongsong sesama yang tidak memiliki perlindungan dan kampung halamannya sedang diporakporandakan atas pelbagai cara.
Bulan 19-21Juni 2018 pertemuan di Kalimantan Tengah meluncurkan buku pedoman untuk mewujudkan Kalimantan Baru itu dengan judul: “Eko-Pastoral Laudato Si’ Menuju Kalimantan Baru”[41]. Gerakan membangun Kalimantan Baru mengisyarakatkan kreativitas dan inovasi dalam aktivitas eko-pastoral di bagian bumi pertiwi yang sedang berubah dengan pesat ini, sebagian untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakatnya. Apa yang dapat kita sumbangkan pada gerakan ini? Mereka yang memiliki DNA inovator dapat mengambil peran lebih banyak dalam gerakan ini.
Penutup
Sebagai penutup, kiranya tidak salah jika kita bersama-sama menyimak paragraf-paragraf terakhir dari novel Achmad Tohari yang berjudul Ronggeng dukuh Paruk[42].
• “Malam hari ketika sudah kembali di Dukuh Paruk, aku berdiri tanpa teman di luar rumah. Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara….
Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk ilalang, Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu menangkap maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah sungguh-sungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa dia
seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-anak, serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun. ….”
• “Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naïf, langit di atasku kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasatmata setelah dia membuat jantera bianglala di sekitar bulan. ….Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.”
Akhirnya, Seperti Achmad Tohari yang mengambil sikap membantu Dukuh Paruk menemukan jati dirinya, saya dengan sajian ini mengajak Anda semua untuk mengambil sikap membantu Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat
menemukan jati dirinya[43]. Terima kasih. Salam hormat!!!
1. Leo Sutrisno, 2015. Domain pendidikan yang berpengaruh pada pembelajaran IPA, bahan ajar mata kuliah Penelitian pendidikan Fisika, FKIP-Untan.
2. Leo Sutrisno, 2016, Reformasi Pendidikan: mencangkokkan “DNA Inovator”. Seminar Nasional HUT PDIP ke-43, 23 Mei 2016)
3. Leo Sutrisno, 2018, Tetap tangguh di era digital. Gebryar Hari Pendidikan Nasional 2018, Rumah Radank, Pontianak, 26 April 2018,
4. William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral Laudato Si’; menuju Kalimantan Baru.
5. Martin Prosperity Institute. 2011. Creativity and Prosperity: The Global Creativity Index.http://martinprosperity.org
6. Richard Florida, Charlotta Mellander dan Karen King, 2015. THE GLOBAL CREATIVITY INDEX 2015 Martin Prosperity Institute: Institute Rotman School of Management, University of Toronto
7. Richard Florida July 9, 2015 Creativity in Southeast Asia: Competitiveness and Prosperity
8. The Global Innovation Index 2013: The Local Dynamic Innovation.
http://www.globalinnovationindex.org
9. The Global Innovation Index 2014 - WIPO
www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/economics/gii/gii_2014.pdf
10.Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015): The Global Innovation Index 2015: Effective Innovation Policies for Development, Fontainebleau, Ithaca, and Geneva
11.wipo 2017
12.The Learning Curve 2012 Report www.thelearningcurve.pearson.com
13.The learning curve, education and skills for life, 2014 Report, Pearson
14.PISA 2012 Results http://www.oecd.org/pisa
15.PISA 2015 Results in Focus.
16.Mathematics tes level. HTTP://WWW.OECD.ORG/PISA/TEST-2012/
17.Arahan Mendikbud: Pengembangan Kurikulum 2013 Penyegaran Nara Sumber Pelatihan Guru untuk Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, 26-28 Juni 2013
18.Leo Sutrisno 2014. Review Kurikulum 2013. Bahan Penyegaran bagi Para Instruktur PLPG Rayon 120, Agustus.
19.Jeff Deyer, Hal Gregensen, dan Clayton M. Christensen (2011). The Innovator’s DNA.
Harvard Business Review Press
20.Harvard Business Review. The Innovator's DNA: Mastering the Five Skills of
Disruptive Innovators. Featuring Jeff Dyer, Professor of Strategy at Brigham Young University and Co-author and Founder of The Innovator’s DNA. SEPTEMBER 11, 2014
21.John Hattie, 2007. Developing Potentials for Learning: Evidence, assessment, and progress, Universitas Auckland: EARLI
22.John Hattie, 2009. Tomorrow’s Schools, The Mindsets that make the differencein Education. Universitas Auckland Visible Learning Laboratories
23.Leo Sutrisno, 2016, Mencari pengetahuan (yang benar) lewat media sosial. Pontianak Post
24.Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, kekerasan, dan Pornografi. (Cet.1). Yogyakarta: Kanisius
25.Leo Sutrisno. 2018. Politik identitas. Pontianak Pos, Januari.
26.Leo sutrisno, 13 January 2018. Berpikir Biner Sabtu, Pontianakpost.co.id
28.Leo Sutrisno. 20 Nov 2016. Ujaran Kebencian. Pontianakpost.co.id
29.Leo Sutrisno. 9 Jul 2017. Melek (Literacy) Media Sosial, Pontianakpost.co.id
30.Leo Sutrisno. 19 May 2018. Literasi Lanjut di Abad ke-21. Pontianakpost.co.id
31.Leo Sutrisno. 2018. Tetap tangguh di era digital. Gebyar Hakitnas 2018. Pontianak.
32.Thomas L. Friedman, 2005 The world is flat: a brief history of the twenty first century
33.Leo Sutrisno, 2014, Teknologi Informasi dan Komunikasi. Terpanggil untuk
mengkomunikasikan kasih? Bahan diskusi bagi Pertemuan Pemuka Agama Kristen se-Kalimantan Barat, 28-29Juni.
34.Robert Hardowiryono, SJ, 2001, Cara baru Menggereja di Indonesia 3: umat kritianiawam masa kini berevangelisasi baru. Yogyakarta: Kanisius
35.Haryatmoko, 2010. Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi. Jakarta: Obor
36.Leo Sutrisno, 2013. Pendidikan Indonesia akan dibawa kemana? Bahan untuk diskusi Uji Publik Kurikulum 2013 Provinsi Kalimantan Barat, Desember.
37.Adnrew Churches, 2013, The characteristics of the 21st Educator.
allthingslearning.wordpress.com
38.Quataracameia. The 21st learner. 21c.qataracademy.wikispaces.net
39.McKinsey Global Institute, Sept 2012, Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential
40.Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, 2012. Rekomendasi pendidikan wilayah perbatasan.
41.William Chang, Thambun Anyang, dan Leo Sutrisno. 2018. Eko-Pastoral Laudato Si’; menujuKalimantan Baru
42.Achmad Tohari. 2003. Ronggeng dukup Paruk.
43.Leo Sutrisno. 2013. Pendidikan di Kalimantan Barat masa depan. Orasi ilmiah pada Dies Natalis Universitas Tanjungpura. Mei 2013.
* Melenjutkan studi lanjut di Universitas Manosh, S3 Pendidikan Fisika dengan spesialisasi tes diagnostik daan remediasi kesuitan belajar. (1990).