• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan ilmu hadits

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah dan Perkembangan ilmu hadits"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah dan Perkembangan ilmu hadits

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Mata Kuliah : ULUMUL HADITS Dosen :

1. DRS. AHMAD SANUSI LUKMAN, MA

2. MA, AZHAR, SHI, MA

DISUSUN

O L E H

Kelompok 5

SEMESTER 1 AKHWALUL SYAKSIYAH

MAGHFIRA FEBRISYA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

JAM’IYAH MAHMUDIYAH

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ULUMUL HADITS yang berjudul “Pengertian Sejarah Perkembangannya ilmu hadis“

Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah ULUMUL HADITS.

Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya.

Tanjung Pura Oktober 2017

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...1

C. Tujuan Pembahasan...1

BAB II PEMBAHASAN...2

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist...2

BAB III PENUTUP...10

A. Kesimpulan...10

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabalikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.

Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam AI¬Qur'an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Perembangan Ilmu Hadist ?

C. Tujuan Pembahasan

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist

Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan bentuk manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada.1

Pada dasarnya hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.

Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadist Rasul Saw.

Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik :

Artinya :

(6)

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)

Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para sahabat ddan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :

(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadist), lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)2

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW : Siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.

Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.

(7)

3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan hadist ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan riwayat tersebut.

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :

1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.

2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.

(8)

secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.3

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.

(9)

(beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab Muhaddits al Fashil byn Rawi wa Wa’i oleh Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum Hadist oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah Hakim Naisaburi (w.405 H/1014 M), Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.4

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

1. Hadits Pada Periode Rasulullah SAW

Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah dihafal oleh para sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat catatan hadis untuk kepentingan sendiri.

(10)

 Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2 sikap:

 Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagi mererka yang jauh dari kota Madinah.

Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat yang melarang penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap Nabi SAW diatas.5

Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat Rasulullah SAW pada tahun 11 H.

2. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in

a. Periode Sahabat

Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".

Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada

(11)

masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan beium merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh sahabat lainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi ada ancaman Nabi SAW:

"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal aku tidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di dalarn neraka".

Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis. Umar baru bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat lain. Bila tidak ada saksi maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan kepalsuan. Dalam pada itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis Nabi secara tertulis, seflah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan niatnya itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam dari Al-Quran.

Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati-hati dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada masa Umar telah banyak dilakukan umat Islam bila dibandingkari dtngan masa Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi.

(12)

belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatan-catatan pribadi.6

Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalarn periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah hersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatn hadis yang barsangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya, maka Ali tidak minta sumpah lagi. Dalam pada itu Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali tclah berbeda dengan situasi zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam.

Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-hatian dalam periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan lain-lain. Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis pada masa sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas dibandingkan zaman khalitah yang empat itu.7

b. Periode Tabi'in

Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun tetap dalam kehati-hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk mengecek dan menylidiki kebenaranya, seperti peristiwa berikut:

 Said bin Al-Musayyab (94 N/ 712 M) seorang tabi'iy besar di kota Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang-malam untuk mendapaikan hanya sebuah fimlis Nabi SAW.

6 Ibid hal. 77

(13)

 Abu Amru Abdurrahman bin Amr Al-Auza'iy (157 H) 1774 M) menyatakan, apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka hadis itu diteliti bersanui. Apabila ulama menyimpulkan bahea riwayat itu memang hadis Nabi, maka Auza'iy mengambilnya dan apabila mereka mengingkarinya, maka dia meninggalkanya.

Bukti-bukli diatas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasan pengetahuan ulama tabi'in. Bagian hadis yang mereka kaji dam dalami buk:m hanya matanya saja melainkan juga nama-nama periwayat dan sanadnya.

Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak mempuoleh hadis tansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mercka, atau dari sesama periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memp:,roleh hadis lansung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezatnan dengan mereka, atau dari tabi'it-tabi'in yang banyak ilmunya.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman tabi'in telah semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar dimasyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan periode sahabat.

Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara resmi atas perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintaili (99-101H/718M), dan berlanjut terus pada periode-periode berikutnya.8

(14)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.

Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.

(15)
(16)

DAFTAR PUSAKA

Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, 2005. Studi Ilmu Hadist. Cita Pustaka Medi Bandung

Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag 2004. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur

Syaikh Manna Al-Qaththan. 2005. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, pola jamkesda yang di setiap provinsi memiliki karakteristik jaminan kesehatan yang sangat beragam dan berbeda dari sisi kelayakan dan pendalaman

Pengoperasian bank syariah merupakan bagian salah satu dari penerapan manajemen moneter Islam di Indonesia dengan tidak menggunakan sistem bunga, memiliki pengaruh positif terhadap

Perjalanan dilanjutkan menuju Jericho untuk mengunjungi Mesjid dan Maqom Nabi Musa, Mt of Temptaion, setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Allenby Bridge untuk

Jurnal dari internet ,Evi Gusti Kurniati Lubis dalam penelitiannya mengkaji tentang “Pengaruh Pembiayaan dan Diversifikasi Produk Terhadap Minat Menjadi Nasabah

Untuk mengetahui tingkat daya-guna PLTS Terpusat (Off-Grid) Siding ditinjau dari kapasitas sistem PLTS dalam melayani kebutuhan tenaga listrik bagi masyarakat

Ijtihad kolektif merupakan cara yang sering dilakukan oleh sahabat, ketika akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya (nas al-Qur‟an dan

Baut yang mendapat pembebanan tumbukan dapat putus karena adanya konsentrasi tegangan  pada bagian akar profile ulir.Dengan demikian diameter inti baut (diameter terkecil

Kesenjangan harapan antara nasabah dan manajemen bank syariah dalam penelitian ini tidak terjadi, hal ini disebabkan karena kebutuhan nasabah akan media penyampaian