• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Feminisme dalam Hubungan Inter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran Feminisme dalam Hubungan Inter"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pemikiran Feminisme dalam Hubungan Internasional1 Oleh:

Semmy Tyar Armandha2 Abstrak

Sebagai salah satu upaya menengahkan masalah keseimbangan peran antara pria dan wanita dalam masyarakat internasional, pemikiran feminisme hadir sebagai kritik terhadap pemikiran-pemikiran mainstream yang “tradisional” dan bersifat state-centric. Seperti pemikiran-pemikiran post-positivis lain, feminisme membawa pula semangat emansipatoris baik secara epistimologis (sebagai third-debate dalam ilmu hubungan internasional) maupun ontologis. Pemikiran feminisme dalam Hubungan Internasional menyatakan bahwa telah terjadi diskriminasi atas keberadaan perempuan dalam politik internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor atau sebab. Beberapa faktor dan sebab itu mencabangkan pemikiran feminisme dalam beberapa pendekatan. Pendekatan liberal menganggap ketidakacuhan sistem terhadap eksistensi perempuan merupakan faktor pemicu diskriminasi terhadapnya. Pendekatan Marxis menawarkan pemikiran lain, bahwa diskriminasi perempuan merupakan dampak dari sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana perempuan dijadikan objek pengerukan modal bagi kaum borjuis. Sedangkan pendekatan radikal mengalamatkan model patriarki sebagai penjelasan akan diskriminasi perempuan, yakni superioritas laki-laki yang dianggap mampu mengontrol penuh perempuan dengan cara menguasai tubuhnya. Pendekatan post-strukturalis lebih kritis dengan mempertanyakan kembali definisi perempuan yang dapat internasional, mungkin bagi kita para penstudinya terdengar cukup asing karena di tengah-tengah ‘kepungan’ konsep-konsep, teori-teori, hingga perspektif, hingga fakta dan isu-isu terkini kita selalu melihat dan mendapatkan ada monopoli negara sebagai pusat kajian. Dalam perkuliahan-pun konsep dan teori yang diberikan hanya yang menjadi mayor dalam ilmu tersebut. Dalam kegiatan akademik dan yang selalu menjadi trend adalah mainstream perspectives seperti realisme, liberalisme, marxisme/strukturalisme. Pemikiran-pemikiran tersebut seperti

1 Dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Peran NGO dalam Perlindungan Hak Perempuan”

diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Budi Luhur Jakarta, 25 April 2011 di Auditorium Universitas Budi Luhur Jakarta

(2)

mendarahdaging di kalangan penstudi dan mahasiswa HI. Hal ini merupakan turunan atau dampak dari dikesampingkannya pula masalah gender ketika para elit negara saling memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dalam sistem internasional.

Gerakan feminisme berawal dari gerakan revolusi Perancis yang dimulai pada 1789, namun sebenarnya secara individual kita dapat melihat tokoh-tokoh seperti Boadicea, Elizabeth I (1533 - 1603), Kaisar wanita Catherine the Great of Russia (1729 - 96) dan Joan of Arc (1412 - 31). Christine de Pizan(1364 - 1430) adalah penulis Venetian bukuTreasuresof the City of Ladies, koleksi potongan-potongan kata-kata bijaknya masih dianut sampai sekarang. Pizanmenolak anggapan kaum pria yang menyatakan bahwa perempuan lebih lemah dari pria.3 Sedangkan di Indonesia kita tentu mengenal R.A Kartini (1879-1904) dalam perjuangannya mendapatkan emansipasi wanita. Namun yang penulis akan eksplorasi dalam makalah ini adalah pemikiran-pemikiran modern yang sejatinya mempunyai semangat yang sama dengan tokoh-tokoh tradisional tersebut.

Feminisme atau teori-teori feminisme hadir dengan sangat terlambat dalam studi Hubungan Internasional (HI). Perkembangan feminisme dalam studi HI tertinggal dibandingkan dengan ilmu politik maupun sosiologi. Politik Dunia didominasi oleh masalah perang dan damai sehingga para penstudi tidak lekas segera mengalihkan pandangan mereka pada isu gender.4 Namun Cynthia Enloe, pada 1980 mulai mengelaborasi pemikiran Feminisme ke dalam kajian HI. Melalui Bananas, Beaches, and Bases (1989), Enloe mengatakan bahwa dalam politik dan diplomasi perempuan hadir sebagai satu kesatuan hubungan yang sangat dekat, seperti peran para istri pejabat dalam berbagai kegiatan politik.5Kemudian Elizabeth Frazer dan Nicola Lasey mengatakan bahwa masuknya pemikiran feminisme dalam HI adalah wujud persamaan secara garis besar bermacam-macam cabang pemikiran feminis dan berbagai negara akan opresi, subordinasi dan eksploitasi yang dihadapi dan dialami perempuan di

3Susan Osborne. Pocket Essenstials Feminism. Trafalgar Square Publishing: USA. 2001, hlm. 9

4John Bayliss dan Steven Smith. The Globalization of World Politics. Oxford University Press:

New York, 2001, hlm. 670

5Scott Burchill, et all. Theories of international relations, third edition. Palgrave Macmillan: New

(3)

seluruh dunia.6 Pemikiran-pemikiran tersebut yang menjadi pondasi awal masuknya feminisme dalam kajian HI. Namun bagaimana pemikiran feminisme hadir pada awalnya? apa saja sub-pemikiran feminisme? dan bagaimana mengoperasionalisasikan feminisme dalam HI? Makalah ini akan mengulas secara deskriptif pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tujuan memberikan gambaran dan hubungan dan relevansi antara feminisme dan hubungan internasional.

Feminisme Awal

Gerakan feminisme sejatinya bukanlah gerakan balas dendam demi meruntuhkan eksistensi laki-laki dalam kiprahnya menjalankan sistem dan struktur sosial maupun dunia. Gerakan feminis adalah murni mengedepankan aspek kesamarataan peran dan hak dalam mengaktualisasikan diri sebagai kebutuhan manusia yang paling puncak. Kesamarataan tersebut mencakup bidang politik, ekonomi, budaya, ideologi dan lingkungan.7Pemikiran feminisme menyatakan telah terjadinya diskriminasi dan ketidaksamaan yang melahirkan ketidakadilan oleh sebab konsep objektifitas yang selalu lahir dari pemikiran dan pengalaman kaum laki-laki. Mungkin kita seringkali menyebutkan kata-kata “perempuan harusnya ya di dapur dan ranjang laki-laki”, mereka dianggap tidak pantas sejajar dengan laki-laki dalam hal apapun. “Pokoknya istri di rumah masak, cuci baju, cuci piring, urus anak, belanja, dsb. sementara suami cari nafkah”, inilah konsep objektifitas yang dibangun kaum laki-laki, sehingga kaum feminis lebih suka melihat konsep tersebut sebagai konsep yang subjektif. Semua standar ditetapkan oleh laki-laki yang kebanyakan tidak mengakomodir upaya aktualisasi kaum perempuan.

Dalam tatanan dunia kontemporer, bias yang ditimbulkan oleh kaum laki-laki mendorong lahirnya gerakan feminis. Bias tersebut adalah ketika pada kenyataannya perempuan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar yang menopang globalisasi.8 Peran ini tentu tidak seimbang dengan laki-laki yang

6Molly Cochran. Normative Theory in International Relations, A Pragmatic Approach. Cambridge

University Press:United Kingdom, 2004, hlm. 214

7Riant Nugroho. Gender dan Strategi, Pengarus Utamanya di Indonesia. Pustaka pelajar:

Jogjakarta, 2008.

8Scott Burchill, et all. Theories of international relations, third edition. Palgrave Macmillan: New

(4)

kebanyakan melahirkan tatanan; perempuan selalu berada di balik layar kesuksesan laki-laki. Perempuan selalu dibayangi oleh kedigdayaan laki-laki dan superioritasnya. Objektifitas yang dibawa laki-laki adalah soal negara: perang dan damai, dan ekonomi. Objektifitas tersebut menjadi order atau tatanan yang terus berlangsung tanpa mempedulikan isu-isu non-konvensional seperti lingkungan, perdagangan senjata ilegal, perdagangan manusia, dan gender.

Krisis ekonomi yang terjadi pada abad 19 disertai perang dunia membawa krisis kemanusiaan pula. Berbagai upaya pemulihan ekonomi turut menstimulus globalisasi karena rehabilitasi membutuhkan bantuan dari negara lain. Dalam proses tersebut kemudian terjadi pula “feminisasi kemiskinan”. Perempuan dititahkan untuk bekerja dalam pemulihan krisis di negara dunia ketiga. Sementara itu di negara-negara maju-pun mengalami rekonstruksi pasca perang.

Namun dalam proses tersebut ternyata perempuan terlibat aktif dalam

problem solving. Hadirnya Organisasi Internasional sebagai wadah informasi dan upaya pencegahan perang melibatkan peran wanita. Tercatat berbagai lembaga internasional di bawah naungan PBB seperti UNHCR, UNCF, WFP, dan WPF dipimpin oleh perempuan (True dan Mintrom, 2001).9 Hal ini membuat langkah kemajuan peran perempuan semakin terlihat nyata, sehingga pemikiran ini semakin diperhitungkan dalam HI kontemporer.

Feminisme tidak berdiri dengan satu kaki pijakan analisis. Seperti telah dijelaskan, terdapat cabang-cabang dalam pemikiran feminisme meski secara garis besar mempunyai kesamaan dan sepakat adanya opresi, subordinasi, dan eksploitasi terhadap perempuan.10 Dalam perdebatan antar feminisme, banyak perspektif positvis yang mempengaruhi prinsip analisa feminisme, diantaranya perspektifliberal, marxis, radikal, post-strukturalis, psikoanalisis, eksistensialis, post-modern, dan multikultural global. Namun dalam ranah ilmu HI, feminisme lebih sering diinventarisasikan dalam pemikiran-pemikiran kritis atau post-positivist yang dikenal sebagai pemikiran-pemikiran kritis yang lahir dari perdebatan epistimologis ketiga ilmu HI. Adapun pengelompokkan feminisme dalam HI lebih sederhana yaitu feminisme empiris, feminisme analitis, dan

9Ibid,

10Moly Cohran. Normative Theory in International Relations, A Pragmatic Approach. Cambridge

(5)

feminisme normatif. Penulis akan mendeskripsikan feminisme sosiologis, dan berlanjut kepada 3 pendekatan feminisme dalam HI.

Kemajuan peradaban barat dalam sektor ekonomi, politik, maupun budaya membawa kemajuan pula pada cara berpikir masyarakat dan dalam konteks bahasan ini kaum perempuan. Kemajuan tersebut berdampak pada jenis gerakan yang muncul lebih bersifat di permukaan dan menekankan pada penegakan hukum.11 Feminisme liberal berargumen bahwa diskriminasi yang terjadi pada perempuan adalah karena kesalahan sistem yang terkonstruksi untuk meminggirkan perempuan ke dalam ketidaksejajaran. Sistem yang sering digambarkan pemikir liberal seebagai produk hukum sering tidak berpihak pada keberadaan perempuan, seperti adanya hukum yang mensahkan hubungan tanpa ikatan perkawinan di Amerika Serikat. Hukum ini secara implisit merugikan perempuan karena kebanyakan dari mereka ditinggalkan setelah lahirnya buah hati. Oleh karena itu muncul sistem kawin kontrak di Amerika Serikat yang diperjuangkan oleh kaum perempuan.

Feminisme liberal selalu menekankan penegakkan hukum dan individualisme dalam penegakkan kesamarataan antara perempuan dan laki-laki. Penegakkan hukum dapat menjamin kebebasan hak-hak individu yang setelahnya menjamin pula kebebasan bagi kaum perempuan.12Ann Oakley dan Kate Millet adalah pemikir feminisme liberal. Bagi pemikir liberal, konsepsi mengenai konstruksi sosial, diskursus, dan hubungan intim yang didominasi oleh kaum pria tidak begitu dipermasalahkan. Mereka hanya menekankan kemerdekaan dalam melakukan hal yang sama dan beraktifitas serta mengaktualisasikan diri sama dan sejajar dengan kaum pria. Hal ini karena pemikiran liberal lahir dari peradaban barat yang sudah maju dan yang tidak begitu membutuhkan perubahan atau revolusi struktur. Peradaban tersebut secara struktur sudah mapan dan kuat. Berbeda dengan pemikiran marxis dan radikal yang berargumen bahwa ketimpangan adalah karena struktur kapitalis yang melahirkan jurang antara kaum

11Riant Nugroho. Gender dan Strategi, Pengarus Utamanya di Indonesia. Pustaka pelajar.

Jogjakarta, 2008.

12John Bayliss dan Steven Smith. The Globalization of World Politics. Oxford University Press:

(6)

borjuis dan proletar. Maka dari itu pendekatan-pendekatan liberal tidak populer di negara dunia ketiga khususnya negara-negara berkembang dan miskin.

Ketidaksamaan antara perempuan dan laki-laki adalah bentuk dari kegagalan sistem kapitalis dunia. Ini adalah credo pertama para pemikir marxis, bahwa ekonomi adalah material yang paling disalahkan atas terjadinya ketimpangan.13Globalisasi yang menuntut adanya keterbukaan, batas-batas antar negara semakin tidak terlihat, dan arus modal dari negara maju ke negara-negara berkembang adalah penyebab timbulnya ketergantungan. Ketergantungan tersebut juga digambarkan Marx sebagai model hubungan antara perempuan dan laki-laki.14Kebebasan berekonomi yang digemborkan oleh paham liberal neo-klasik berarti kebebasan memiliki modal yang secara langsung membangun struktur kesenjangan antara kaya dan miskin. Maka dari itu masyarakat tanpa kelas adalah kondisi ideal terciptanya persamaan hak, dalam hal ini persamaan antara perempuan dan laki-laki.15

Feminisme radikal memandang bahwa sistem patriarki yang menjadi budaya pada masyarakat merupakan penyebab terjadinya ketimnpangan antara perempuan dan laki-laki. Patriarki atau patriarkal adalah adat budaya yang mengagung-agungkan laki-laki sebagai personal yang lebih tinggi posisinya dari perempuan. Dalam adat Jawa dikenal dengan ABS (asal bapak senang), artinya posisi bapak atau laki-laki adalah posisi yang harus diagungkan dan dilayani. Budaya patriarki dianggap sebagai suatu yang given dan tidak dapat dielak lagi. Budaya ini melahirkan mindset bahwa pemenuhan kebutuhan sex laki-laki adalah yang terpenting di atas kebutuhan perempuan. Dalam hubungan intim terdapat istilah orgasme klitoris dan orgasme vagina. Orgasme klitoris adalah orgasme yang dialami perempuan pada saat berhubungan seks, sementara orgasme vagina adalah apa yang dialami pria. Shulamit Firestone adalah pemikir radikal. Kaum radikal berargumen bahwa kedua hal tersebut harus seimbang, jika tidak perempuan harus segera memutuskan sesuatu atau menuntut terpenuhinya kebutuhan biologis tersebut. Permasalahan orgasme klitoris dan vagina ini juga

13ibid, hlm. 283

14PIP Jones. Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori fungsionalisme hingga post-modernisme.

15Richard Devetak. An Introduction to International Relations, Australian Perspectives.

(7)

menjadi landasan pertanyaan-pertanyaan kaum radikal, yaitu mengapa suatu hubungan harus bersifat heteroseksual? Artinya perempuan harus dibebaskan memilih apakah ia akan berhubungan dengan lawan jenis atau sesama jenis. Jika semua itu sudah terlaksana, maka niscaya menurut kaum radikal akan tercipta kesamarataan antara perempuan dan laki-laki.16

Perkembangan selanjutmya dari studi feminisme adalah lahirnya feminisme pos strukturalis. Judith Butler (1990) dalam Gender Trouble: Feminism and The Subversion of identity, menjelaskan bahwa bahasa menentukan pemahaman kita akan sosok perempuan.17 Menurut Butler, tidak semua sosok perempuan adalah ibu rumah tangga, pekerja sex dan pekerjaan lain yang didentikkan dengan perempuan. Kita sebenarnya yang membangun bahasa melalui konsep-konsep (penamaan) sendiri. Feminisme mempertanyakan kembali apakah perempuan sebenarnya memang tertindas dengan kedigdayaan laki-laki? Ataukah mindset yang digemborkan oleh teori-teori feminisme lain justru yang mendiskursuskan atau mewacanakan ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki.18 Para pemikir pos strukturalis tidak ingin tenggelam dalam pemahaman sempit. Mereka mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya menjadi pemahaman mengenai makna penindasan terhadap kaum perempuan. Butler juga mengelaborasi berbagai pemikiran seperti psikoanalisis Lacanian, dekonstruksionisme Derrida, dan posmodernisme serta pemikir lain seperti Freud, Foucault, dan Riviere.

Feminisme dalam Ilmu Hubungan Internasional

Pemikiran-pemikiran yang sudah dijabarkan di atas adalah pemikiran feminisme awal dimana sosiologisme masih menjadi dasar ontologis kajian tersebut. Pada ilmu hubungan internasional, feminisme dikenal sebagai salah satu

alternative approaches, pendekatan alternatif dimana menghubungkan kerangka berpikir filsafat tradisional dan filsafat modern.19 Keterhubungan ini

16PIP Jones. Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori fungsionalisme hingga post-modernisme.

17Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and The Subversion of identity. Routledge: London.

1999, hlm. 5

18PIP Jones. Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori fungsionalisme hingga post-modernisme.

19J. Ann Tickner. Feminism meets International Relations: some methodological issues, dalam

(8)

menggambarkan adanya upaya untuk mengkritisi pemikiran-pemikiran tradisional yang telah lebih dulu lahir dan juga sebagai upaya untuk meniadakan mindset

ilmu sebagai taken for granteddimana kita selalu menganggap ilmu sebagai given

yang tak terelakkan hukumnya. Feminisme terutama ingin mendobrak pemikiran realisme yang sangat state-centicdan hanya berfokus pada kepentingan nasional dan kedaulatan sebagai alat untuk melegalkan perang (yang kebanyakan menimbulkan penindasan terhadap kaum perempuan).20

Keterhubungan antara positivis dan pospositivis yang diwakili oleh konstruktivisme benar-benar mengkoneksikan seluruh pendekatan kritikal. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan bersama bahwa meaning, interpretation, intersubjective meaning, vested interest, dan value adalah unit analisa yang dipakai untuk dapat menjelaskan behavior atau perilaku aktor internasional. Oleh karena itu feminisme dalam hubungan internasional selalu dikaitkan dengan pospositivisme. Untuk menjelaskan kerangka berpikir feminisme dalam HI, Jacqui True membagi level analisa menjadi : empirical feminism, analytical feminism, dan normative feminism.21

Feminisme Empiris

Empirical feminismatau feminisme empirisdapat kita lihat dalam pemikiran Cyntia Enloe. Enloe adalah tokoh yang memasukkan feminisme dalam perbenaharaan teorisasi HI.Enloe berusaha menggugah tata pikiran kita dengan menekankan kepekaan indera kita dalam memandang persoalan. Dicontohkan dalam studi HI, dari sekian banyak tokoh pemikirnya hanya ada beberapa yang wanita seperti Susan Strange, Jean Bethke Elshtain dan Enloe sendiri. Maksud Enloe adalah sesuatu yang relevan atau yang logis atau rasional biasanya muncul dari aturan sosial yang sebenarnya tidak tertulis dan tidak pernah diperbincangkan tetapi sangat baku, digdaya, dan mengandung otoritas yang kuat sehingga dapat mem-brainwash pemikiran kita. Enloe memandang aturan-aturan tersebut sangat sarat dengan gender, dan sangat bersifat diskriminatif. Pemikiran Enloe disebut

20Chyntia Weber. International Relations Theory, A Critical Introduction. Routledge: New York.

2010, hlm. 88

21Scott Burchill, et all. Theories of international relations, third edition. Palgrave Macmillan: New

(9)

empiris karena berfokus pada permasalahan yang tidak biasa menjadi perhatian kita dan khususnya penstudi HI. Empirisme dalam feminisme ingin mengajak kita dan penstudi HI lebih mengutamakan pengalaman indera, namun ini tak sama dengan cabang filsafat antara rasionalisme dan empirisme.

Enloe kemudian juga mempertanyakan makna nasionalisme yang ia anggap sebagai jargon profokator penyebab Perang Dunia. Kedaulatan ia anggap sebagai akar dari nasionalisme yang kemudian menseparasikan pria dan wanita, dan yang pada akhirnya mendiskriminasikan wanita dalam budaya patriarkal. Dalam The Morning After : Sexual Politics at The End of The Cold War , Enloe menghubungkan wanita dengan Perang Dingin dan mempertanyakan ‘dimana posisi wanita?’ maksudnya wanita juga harus mendapat posisi dan tidak bebas dari keterlibatannya dalam Perang Dingin.22 Ia mencontohkan kesalahpahaman mengenai sifat wanita yang damai, dan jika mereka menjadi pemimpin keniscayaan akan kedamaian adalah pasti. Margaret Tatcher dan Ratu Elizabeth II adalah aktor Perang Dingin, mereka turut andil, oleh sebab itu mereka juga harus diperhitungkan.

Feminisme Analitis

Posisi keterhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah biner, perempuan adalah oposisi biner dari laki-laki. Kedigdayaan laki-laki adalah hasil dari kerendahan posisi perempuan di mata dunia. Biner adalah istilah analisa dikursus dan istilah yang kebanyakan dipakai dalam pemikiran-pemikiran pos-strukturalis. Biner berarti bersifat bertolak belakang; diumpamakan adanya langit berkat adanya bumi atau tanah; adanya malaikat karena adanya setan; dan ada yang baik karena ada yang jahat. Maksudnya adalah harus ada yang dipersalahkan jika ingin yang benar diakui. Harus ada yang direndahkan jika ingin melihat yang tinggi. Begitu juga dengan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki menjadi superior karena mengesampingkan serta meremehkan dan menjatuhkan perempuan. Untuk memperjelas, silakan bayangkan apa jadinya seorang pahlawan tanpa ada seorang penjahat.

22Martin Griffiths. Fifty Key Thinkers in International Relations. Routledge: New York. 1999, hlm.

(10)

Feminisme analitis meski sangat konseptual, sangat mengharapkan hasil yang empirik, yaitu dengan mengelaborasikannya dengan kasus tertentu. Feminisme analitis menilai studi kasus – studi kasus tersebut yang selalu digali oleh mainstream perspectives selalu berpusat pada konsep-konsep kedaulatan, otonomi, objektifitas, dan universalisme, dimana feminisme selalu melihat adanya kekurangan dalam konsep-konsep tersebut.23 Semua konsep mengenai negara, militer, kedaulatan, anarki dan keamanan tidak aka terlepas dari persoalan gender. Feminis analitis membuat penekanan pada aspek maskulinitas yang sangat ‘mengganggu’ dan selalu disangkutpautkan dalam konsep-konsep di atas.

Feminisme Normatif

Perkembangan feminisme empiris dan analitis sungguh memberikan kontribusi yang besar dalam masuknya feminisme dalam bidang studi HI. Mereka menjadi paduan antara berpikir kritis-rasional-ilmiah dengan berpikir praktis serta ‘membumi’. Namun mereka hanya sebatas mengawali kritik atas struktur global. Mereka tidak menyentuh ranah kebijakan publik yang notabene sangat normatif. Dikatakan normatif karena kebijakan memiliki visi misi serta nilai-nilai pencapaian yang sangat ideal. Tentu ini dibutuhkan secara aksiologis untuk menjadi bahan seseorang menyusun suatu ‘mimpi’ akan idealitas yang tak terbatas. Feminisme normatif menghubungkan seluruh level analisa dan menyatukannya dalam keseluruhan pemikiran feminisme dalam hubungan internasional.24

Kesimpulan

Feminisme sebagai salah satu cabang dan perspektif dalam ilmu sosiologi telah masuk dan menjadi cabang perspektif ilmu hubungan internasional karena ide-ide tentang negara dan state-centric telah mengesampingkan masalah gender yang semakin kompleks dalam konstelasi global. Kompleksitas tersebut dapat terlihat dari semakin berpengaruhnya peran perempuan dalam konteks dan

23Scott Burchill, et all. Theories of international relations, third edition. Palgrave Macmillan: New

York, 2005, hlm. 222

(11)

konstelasi global. Perempuan mulai mengambil alih posisi-posisi penting baik di tingkat negara maupun tingkat organisasi internasional.

Pemikiran feminisme dalam Hubungan Internasional menyatakan bahwa telah terjadi diskriminasi atas keberadaan perempuan dalam politik internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor atau sebab. Beberapa faktor dan sebab itu mencabangkan pemikiran feminisme dalam beberapa pendekatan. Pendekatan liberal menganggap ketidakacuhan sistem terhadap eksistensi perempuan merupakan faktor pemicu diskriminasi terhadapnya. Pendekatan Marxis menawarkan pemikiran lain, bahwa diskriminasi perempuan merupakan dampak dari sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana perempuan dijadikan objek pengerukan modal bagi kaum borjuis. Sedangkan pendekatan radikal mengalamatkan model patriarki sebagai penjelasan akan diskriminasi perempuan, yakni superioritas laki-laki yang dianggap mampu mengontrol penuh perempuan dengan cara menguasai tubuhnya. Pendekatan post-strukturalis lebih kritis dengan mempertanyakan kembali definisi perempuan yang dapat dikategorikan dalam pemikiran feminis. Meski berbeda, pendekatan-pendekatan tersebut bertujuan menyadarkan kita, termasuk rezim dan masyarakat internasional bahwa ketidaksamarataan telah terjadi yang dalam konteks ini terjadi pada kaum perempuan.

(12)

Daftar Pustaka

Bayliss, John dan Steven Smith. The Globalization of World Politics.Oxford University Press: New York, 2001.

Burchill, Scott, et al. Theories of international relations. Palgrave Macmillan: New York, 2005.

Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and The Subversion of identity.

Routledge: London. 1999.

Cochran, Molly. Normative Theory in International Relations, A Pragmatic Approach. Cambridge University Press: United Kingdom, 2004.

Devetak, Richard. An Introduction to International Relations, Australian Perspectives. Cambridge University Press: New York. 2007.

Griffiths, Martin. Fifty Key Thinkers in International Relations. Routledge: New York. 1999.

Jones, PIP. Pengantar Teori-teori Sosial, dari teori fungsionalisme hingga post-modernisme.

Nugroho, Riant. Gender dan Strategi, Pengarus Utamanya di Indonesia. Pustaka pelajar, Jogjakarta, 2008.

Osborne, Susan. Pocket Essenstials Feminism. Trafalgar Square Publishing: USA. 2001.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Formulir pendaftaran yang sudah di lengkapi oleh peserta kemudian dikirim. kepada kantor DP-GKJ beserta

Kronologis atas kasus penyadapan alat komunikasi yang dilakukan oleh Myanmar sebagai negara penerima terhadap perwakilan diplomatik Indonesia adalah pelanggaran

38 Al Kirmani, Shahih Bukhari Bi syarhi al Kirmani Jilid IV.. yang semakna dengan kata samahah dan kata samhan dengan menggunakan kata unziru dan atajawasu adalah

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Penelitian ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan ... Pariwisata, wisata, wisatawan

Anda membutuhkan seseorang yang dapat berkomunikasi, yang merupakan bagian dari sebuah tim, serta dapat berbagi pengetahuan dan ide-ide dengan baik, tetapi

Salep Obat Untuk Wasir Bengkak Yang Bagus Salep Obat Untuk Wasir Bengkak Yang Bagus_Selamat datang di web Spesialis Wasir D-24 dengan hotline: 085646457211 yang akan

Pemberian air rebusan jamur kuping hitam menurunkan kadar kolesterol total sebanyak 43,39 % pada tikus yang diinduksi minyak jelantah jika dibandingkan dengan

Peran sektor transportasi yang terus mengalami peningkatan di Kabupaten Magetan dengan pola pertumbuhan yang signifikan berupa rerata pertumbuhan pendapatan unit penghasil sektor