• Tidak ada hasil yang ditemukan

Feminisme dalam pandangan Hubungan Inter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Feminisme dalam pandangan Hubungan Inter"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Reza Akbar Felayati (071311233075) – Teori Ilmu Hubungan Internasional Week 9 (Kelas A) Feminisme: Perbaikan Derajat Wanita di Ranah Politik Internasional

Sudah bukan hal yang baru lagi jika berbicara mengenai peran antara wanita dan laki – laki yang cenderung memiliki ketimpangan yang jauh. Laki – laki dengan konsep maskulinitasnya, di mana laki – laki dianggap sebagai sosok yang lebih superior daripada wanita yang lebih feminin. Banyak kaum, kemudian disebut sebagai kaum feminis, menganggap kenyataan sosial ini sebagai ketidakadilan. Ini pun turut disangkutpautkan dalam ranah hubungan internasional. Hubungan Internasional yang identik dengan politik dan perang dinilai sebagai studi yang hanya mengedepankan maskulinitas. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa tatanan internasional, termasuk di dalamnya studi Hubungan Internasional telah terjangkit virus ‘gender differentiation’ (Burchill dan Linklater, 1996: 301). Muncul sebagai pandangan kontemporer di dalam ilmu Hubungan Internasional, Feminisme menjadi salah satu perspektif yang diperhatikan dalam Hubungan Internasional seiring dengan perjuangan kaum feminis dalam menunjukkan peran kaum perempuan dalam tatanan sistem internasional. Dalam perkembangannya, feminisme ini tidak hanya berpatokan pada peran perempuan saja, namun juga melihat isu keseteraan dalam berbagai aspek.

Menurut Steans & Pettiford (2005: 338), pandangan ini mulai merebak di ranah internasional sejak akhir tahun 1980-an, yang diawali dengan era akhir Perang Dingin dan banyaknya re-evaluasi terhadap pandangan tradisional ilmu Hubungan Internasional. Kemunculan pandangan ini diawali oleh maraknya gerakan – gerakan feminis pada saat itu yang menganggap bahwa ilmu – ilmu di ranah politik telah mengabaikan gender di dalam studi. Dugis (2014), menambahkan bahwa studi ilmu Hubungan Internasional dilihat sebagai sesuatu yang bersifat maskulin, yang di mana di dalam ilmu tersebut hanyalah berisi manifestasi sifat – sifat maskulin laki – laki yang menurut anggapan orang adalah agresif, mengedepankan emosi dan keras. Steans & Pettiford (2005: 321), melihat bagaimana perempuan sejak lama telah diabaikan dan dipinggirkan dalam studi Hubungan Internasional. Di mana menurut mereka wanita lebih dipercaya untuk berada di luar wilayah studi karena perempuan dipandang tidak relevan terlibat di dalam hubungan antar-negara. Inilah yang kemudian memicu pemikiran kaum feminis di dalam usahanya untuk mengkonstruksi sebuah pandangan dan pengetahuan tentang dunia melalui pengalaman dan keseharian perempuan. Kaum – kaum feminis pun mendasari pemikirannya melalui sebuah konsepsi yang mempertnayakan tentang bentuk hubungan internasional dunia jika seandainya isu – isu tentang perempuan dijadikan tema yang sentral di dalam ilmu Hubungan Internasional. Feminisme merupakan suatu pandangan dunia yang melakukan perlawanan yang dikonstruksikan melalui cara pandang kaum wanita yang termarjinalkan.

(2)

konvensional yang seringkali melakukan pendekatan yang didasarkan pada pendekatan kekuatan, militer did alam sebuah anarki, dan itu semua erat kaitannya dengan cara berpikir maskulinis. Dari sini dapat dilihat bagaimana latar belakang dari kemunculan studi feminisme ini adalah rasa termarjinalkan dari kaum perempuan terhadap dunia politik, yang sebagian besar masih dikuasai oleh maskulinitas laki – laki.

Pemikiran – pemikiran mengenai wanita itu pun dapat diasumsikan menjadi beberapa poin – poin asumsi dasar. Steans & Pettiford (2005: 339) menjabarkan beberapa asumsi menurut mereka, yaitu: Pertama, kaburnya pembedaan antara fakta dan nilai di dunia saat ini. Mengingat fakta – fakta di dunia saat ini, menurut pandangan feminisme, dibentuk dari pola pikir maskulinitas yang didominasi pria. Karena itu, hal – hal yang seharusnya hanya merupakan opini atau nilai, dapat dipercaya sebagai sebuah fakta, jika kelompok – kelompok yang dominan di dalam masyarakat yang menyebarkannya, dan ini pun tidak lepas dari peran laki – laki sebagai pihak yang mendominasi. Asumsi kedua, adalah terjadinya marjinalisasi gender wanita di dalam masyarakat. Ini pun sebetulnya bukan merupakan hal yang baru, dan seperti yang telah dijalaskan sebelumnya bahwa adanya sebuah pemikiran – pemikiran di masyarakat di mana wanita hanya pantas untuk urusan – urusan domestik dan pencari nafkah sekunder. Ironisnya, pemikiran ini telah terinternalisasi ke dalam sebagian besar masyrakat di dunia, sehingga yang terjadi adalah marjinalisasi wanita dari segala aspek yang bersifat publik. Asumsi ketiga adalah hubungan erat antara teori – teori dengan kebiasaan – dengan cara seseorang melibatkan diri dengan lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Laki – laki dengan kebiasaan dan pandangan dari masyarakat sebagai sosok yang lebih sering melibatkan diri ke dalam masyarakat, dominan, kuat dan maskulin, sehingga membuat segala aspek – aspek publik di dunia cenderung untuk lebih condong ke arah maskulinitas. Ini tidak lepas dari teori – teori di dalam ilmu Hubungan Internasional, yang sangat kental akan sifat – sifat laki – laki. Seperti pandangan realisme yang melihat dunia internasional sebagai wadah anarki, konfliktual dan pesimis.

(3)

Tema utama yang dibawa oleh pandangan ini adalah emansipasi terhadap wanita. Ini adalah penekanan ulang terhadap poin – poin yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa apa yang berusaha ditekankan oleh pandangan ini adalah pembebasan dan kesetaraan terhadap peran – peran wanita di aspek – aspek publik yang dikuasai laki – laki. Menurut Dugis (2014), feminis berfokus pada urusan gender yang masih saja berporos pada laki – laki, padahal wanita juga mampu berperan sama, atau bahkan lebih baik, daripada laki – laki. Ambil saja contoh jejak dari mantan perdana menteri Inggris margaret Thatcher yang dinilai mampu membawa perubahan dari perdana menteri sebelumnya yang didominasi laki – laki. Kebijakan – kebijakan macam Right to Buy Scheme, The Big Bang concept dan Privatization, membuat perubahan yang signifikan di dalam negara Inggris (Lea, 2013). Kenapa harus gender yang menjadi perhatian utama? Pemikir – pemikir feminis melihat bahwa di dalam dunia ilmu Hubungan Internasional tidak lepas dari peran, dan jika berbicara mengenai peran, maka gender tidak dapat dilepaskan begitu saja mengingat gender sangat berkaitan erat dengan peran seseorang di dalam masyarakat.

Dalam upayanya mendukung terealisasinya tema utama feminis, yaitu emansipasi kaum wanita, kaum feminis menyuguhkan berbagai macam pendekatan untuk melihat dan mengamati lebih dekat studi feminisme dari berbagai kacamata yang berbeda. Jackson dan Sorensen (1999:335) menyebutkan tiga teoritis utama pada gender, yakni feminisme liberal, feminism Marxis/sosialis, dan feminisme radikal. feminisme liberal berfokus pada terciptanya kebebasan dan kebahagiaan manusia perorangan. Dalam lensa feminis, Mary Wollstonecraft sebagai salah satu teoritisi feminis menunjukan bahwa perempuan seharusnya memiliki akses yang sama seperti laki-laki. Berbeda dengan feminisme Marxis/sosialis yang menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme dan kepemilikan faktor produksi yang membentuk pembedaan posisi antara wanita dan laki – laki. Posisi rendah perempuan dalam struktur ekonomi, sosial, politik dari sistem kapitalis. Teori ini menyuguhkan fakta ketimpangan antara perempuan dan laki-laki yang mana laki-laki disebutkan menguasai modal produksi dan menjadi produktif, sementara perempuan hanya bertugas di rumah dan tidak digaji serta cenderung berstatus rendah. Sementara, Cyntia Weber (2005), melihat bahwa feminisme radikal menolak segala bentuk kerjasama dan mengagungkan kemerdekaan atas perempuan sepenuhnya dengan mencegah mensubordinasikan gender pada agenda tradisional Hubungan Internasional.

(4)

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bagaimana feminisme merupakan sebuah pandangan alternatif di dalam ilmu Hubungan Internasional. Di mana pandangan ini melihat wanita sebagai sosok yang memerlukan pembebasan dan kesetaraan di ranah politik internasional. Kaum feminis melihat bagaimana wanita merupakan sosok yang inferior di ranah internasional. Semua hal – hal yang berkaitan dengan publik dan kekuasaan dikuasai oleh laki – laki dan konsep maskulinitas nya. Inilah yang berusaha diubah oleh kaum feminis. Kaum feminis menuntut adanya perubahan yang dapat menyetarakan posisi wanita. Pandangan yang mulai muncul pada tahun 1980-an ini pun telah dipengaruhi oleh pandangan lain lebih jauh lagi, sehingga muncul berbagai jenis feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis dan feminisme radikal yang melihat pembebasan wanita dari sisi dan dalam derajat yang berbeda – beda. Tatanan internasional yang berusaha dicapai adalah tatanan internasional di mana wanita dapat mencapai kesetaraan dengan laki – laki. Penulis berpendapat bahwa feminisme sebagai suatu pandangan menawarkan sebuah cara pandang yang baru dan belum pernah dijelaskan pandangan lainnya. Namun bukan berarti pandangan ini satu – satunya yang patut dicontoh. Pandangan ini hanya menawarkan cara pandang baru yang melihat ilmu Hubungan Internasional dari sisi gender. Pandangan ini juga memiliki sesuatu yang unik, karena tidak ecara langsung melihat ilmu Hubungan internasional secara koheren, namun lebih melihat ke arah aktor dan sifat – sifat aktornya.

Referensi:

Burchill, Scott., & Linklater, Andrew. (1996) Theories of International Relations, New York, St Martin Press

Dugis, V. (2014). Teori Hubungan Internasional SOH 201: Feminism. Universitas Airlangga, FISIP Universitas Airlangga on 22nd May. Available from: Lecture and Powerpoint [accessed: 22/5/14]

Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press, pp. 331 – 338

Lea, J. (2013). Margaret Thatcher’s Greatest Achievements. Available: http://www.jonathanlea.net/2013/margaret-thatchers-greatest-achievements/. Last accessed 21st May 2014.

Steans, J & Pettiford, L. (2009) Hubungan Internasional: Perspektif dan tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pp. 319 – 371

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam semester

belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas dan pengamatan yang sudah dilakukan saat pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa terlihat kurang terampil menulis.

Setiap mesin/peralatan yang digunakan dalam proses produksi akan mengalami kerusakan sejalan dengan semakin menurunnya kemampuan mesin dan peralatan..

( Muharni * , Elfita, Handi : Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Science, Sriwijaya University, Indralaya,, South Sumatera, Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang di perolah pada pra siklus, siklus I dan siklus II dapat dinyatakan bahwa pembelajaran dengan Model Contextual Teaching And Learning

However, the findings of this research support the research conducted by Lee, Namho (2016) and Cahyono et al., (2016) who stated that one's utilitarian motivation value in shopping