• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal CMES Volume VI Nomor 1, Edisi Januari - Juni 2013 JURUSAN SASTRA ARAB BEKERJASAMA DENGAN PSTT FSSR UNS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal CMES Volume VI Nomor 1, Edisi Januari - Juni 2013 JURUSAN SASTRA ARAB BEKERJASAMA DENGAN PSTT FSSR UNS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMIKIRAN ULAMA TIMUR TENGAH TERHADAP GERAKAN ISLAM POLITIK DI YOGYAKARTA DAN SURAKARTA

Istadiyantha

Mahasiswa S3 Prodi Agama dan Lintas Budaya, minat Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

istayn@gmail.com

Promotor: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A.,M.Phil. Co Promotor: 1. Prof. Dr. Sangidu, M.Hum.

2. Dr. Siti Muti’ah Setiawati, M.A. Universitas Gadjah Mada

Abstract

In this research, the term Political Islamic Movement is used as the equivalency of Islamic Fundamentalism terminology. In the referral taking as the references for these dissertation and article, the writer still use the origin terminologies written by authors of bibliography, in order to fit the quotations with the original writers’ thought. Thus, the terms Political Islamic Movement, Islamic Fundamentalist, Islamic Militant, and Islamic Radical are being used together in this dissertation, only Political Islamic Movement dominantly used, and the term chosen by the writer due to this term is agreed by many Indonesian expertise as the typical appropriate term come from Bahasa Indonesia, to replace Islamic fundamentalism term.

Political Islamic Movement in Yogyakarta and Surakarta had been observed getting the impact of Salafiyah Movement or Wahabiyah, and also Al-Ikhwan. Formerly, Al-Ikhwan was not a new movement, due to Al-Ikhwan movement was the completion result from the former movements which appeared in Mid East such as Wahabiyah, Sanusiyah, and Mahdiyah. So is Wahabiyah Movement, it did not suddenly appear as new thought, and yet it was an effort to strengthen to the former ideology, which is Salafiyah, this ideology was formerly proposed by Al Imam Ahmad Bin Hanbal.

Keywords: Political Islamic, Middle East, Yogyakarta, Surakarta.

صخلملا

لقن فىو .ليوصلأا ملاسلإا حلطصلم افدارم ةيسايسلا ةيملاسلإا ةكرلحا حلطصم ثحبلا اذه فى مدختسُي

نم كلذو ،اهسفن عجارلما كلت وفلؤم اهركذ تىلا تاحلطصلما ثحابلا رَكذ عجارلما نم تامولعلما وأ تانايبلا

.نوفلؤلما ءلاؤه هدارأ ىذلا يلصلأا نىعلما ىلع ةظفالمحا لجأ

ُتاحلطصم ثحبلا اذه فى ايرثك لمعتست ،اذلهو

لولأا حلطصلما نأ لاإ ، لياكيدارلا ملاسلإاو ،يركسعلا ملاسلإاو ،ليوصلأا ملاسلإاو ،ةيسايسلا ةيملاسلإا ةكرلحا

حلطصم هنأ ىلع ينيسينودنلإا ينفقثلما قافتا ىلع ادمتعم ثحابلا هحجر ىذلا حلطصلما وهو ،لاامعتسا رثكأ

ترقمو قيقد

.ليوصلأا ملاسلإا حلطصم نم لادب ةيسينودنلإا ةغللا نم ض

وأ ةيفلسلا ةكرلحاب ةرثأتم اتركاروسو اتركايغوي فى ةيسايسلا ةيملاسلإا ةكرلحا نأ لىإ ثحبلا ىدأ دقو

فى ةدوجولما تاكرحلل ةلمكم انهأ ذإ ،ةعدب ةيناوخلإا ةكرلحا تسيل ،اهتيادب فى .ينملسلما ناوخلإاو ،ةيباهولا

ةلمكم ىرخلأا يه انهأ ذإ ةيباهولا ةكرلحا روهظ كلذكو .ةيدهلماو ةيسونسلاو ةيباهولا لثم لبق نم طسولأا قرشلا

.لبنح نب دحمأ ماملإا دي ىلع رملأا لوأ رهظ ىذلا يفلسلا ركفلا لثم ةقباسلا راكفلأل ةدكؤمو

:ةيليلدلا تاملكلا

اروس ،اتركايغوي ،طسولأا قرشلا ،يسايسلا ملاسلإا

اترك

.

(2)

1. Pendahuluan

Situasi pemikiran gerakan Islam politik (GIP) di Timur Tengah yang amat berpengaruh terhadap gerakan Islam politik di seluruh dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Di antara banyak negara di Timur Tengah, ada 5 negara yang amat besar pengaruhnya bagi perkembangan Islam di dunia, terutama bagi gerakan Islam politik. Adapun lima negara tersebut adalah Arab Saudi karena sebagai pusat peradaban Islam; Mesir karena banyaknya mahasiswa yang belajar pengetahuan agama Islam di sana; Palestina dan Afganistan karena pihak yang terlibat langsung dalam peperangan, Palestina dan sebagian negara Arab terlibat perang sepanjang abad dengan Israel, serta Afganistan perang antara negara itu dengan Rusia dan Amerika; serta Iran yang berhasil melakukan revolusi Islam pada 1979. Dari 5 negara ini ada dua negara yang amat dominan pengaruhnya bagi gerakan Islam politik di Indonesia, yaitu Arab Saudi dan Mesir. Urutan negara berikutnya yang juga berpengaruh bagi perkembangan gerakan Islam politik adalah Palestina, Afganistan, dan Iran.

2. Masuknya GIP Timur Tengah ke Indonesia

Pada periode 1980-an mahasiswa Indonesia di Mesir banyak yang menyerap gagasan Islam fundamentalisme seperti

Ikhwanul Muslimin, dan juga pemikir Iran seperti Imam Khomeini dan Ali Syari’ati. Padahal periode sebelumnya, mereka banyak menyerap pengetahuan dari Barat (Rahmat, 2002: xiii). Para mahasiswa Indonesia juga menjalin hubungan intensif pada 1980-an dengan para aktivis

Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Arab Saudi (Rahmat, 2002: 88-95). Sebelum ini, ada hubungan antara Muhammad Rasyidi dan Kahar Muzakkir (salah satu penandatangan Piagam Jakarta) pernah menjalin hubungan dengan Sayyid Quthub Mesir, salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin

(Rahmat, 2002: 90). Muhammad Natsir secara lebih luas juga menjalin hubungan

dengan berbagai negara Islam (Rahmat, 2002: 86). Di bawah Natsir, Partai Masyumi mengelola pengiriman mahasiswa Indonesia ke Mesir pada tahun 1957 sejumlah 90 orang (Idem: 89). Sekarang mahasiswa dan pelajar Indonesia yang studi di Mesir ada 4044 orang (Sangidu, dkk., 2009: 100).

3. Tinjauan Pustaka

3.1 Hubungan Ulama Timur Tengah dengan Indonesia

Menurut Azra dalam The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteen Centuries.

Disertasi (1992), New York: Columbia University, yang selanjutnya ditebitkan menjadi buku dengan judul Jaringan Ulama (1994 dan 2004) dikatakan bahwa, pada mulanya hubungan awal antara Timur Tengah dengan Nusantara didasarkan pada sumber-sumber China dan Arab. Azra mengatakan bahwa hubungan antara Timur Tengah sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak zaman Sriwijaya (293 – 904 M.), sumber China mengatakan bahwa ketika itu Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Budha yang amat penting di Nusantara (1994: 36-40).

Di pihak lain, dikatakan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah sejak abad 17 bersifat keagamaan dan keilmuan. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan politik juga dilakukan terutama dengan Dinasti Utsmani (Idem: 16-17). Hubungan antara kaum muslimin kawasan Melayu-Indonesia dengan Timur Tengah telah terjalin pada masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak Benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat (Azra, 1994: 17). Kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan

(3)

kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat muslim Melayu-Indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan ibadah haji dari Nusantara semakin baik. Tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan, antarnegara-negara muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad 14 dan 15. (Azra, 1994: 17). Maka kian banyak pulalah para penuntut ilmu dan jamaah haji dari dunia Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji.

Kehadiran orang Arab Hadhramaut ke Indonesia membawa ideologi baru yang telah mengubah konstelasi umat Islam Indonesia. Pada mulanya ideologi yang datang melalui Asia Tenggara adalah bermazhab Syafii yang lebih toleran, tetapi kemudian terdapat aliran yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dari kelompok Wahabi, yang saat ini menjadi ideologi Pemerintah Saudi Arabia (Shihab, 2004: 63).

Abdul Munip mengemukakan pendapat yang berbeda dengan apa yang pernah diteliti oleh Azyumardi Azra dan Van Bruinesssen (Munip, 2007: 6; Azra, 2000: 143-157), bahwa transmisi pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia sejak beberapa abad yang lalu melalui kontak keulamaan, kini dikemukakan adanya fenomena lain bahwa transformasi buku-buku berbahasa Arab dari Timur Tengah menjadi buku terjemahan, sebagai sesuatu hal yang menarik untuk dikaji. Menurut Munip beredarnya buku-buku terjemahan Arab ke dalam bahasa Indonesia memiliki dampak positif, adalah menambah ketersediaan buku-buku literatur yang mudah diakses oleh umat Islam.

M. Syafi’i Anwar dalam Genealogi Islam Radikal di Indonesdia: Gerakan,

Pemikiran, dan Prospek Demokrasi

(Mubarak: 2007), mengatakan bahwa “Gerakan-gerakan militan di Indonesia mempunyai intellectual roots di Timur Tengah”. Namun demikian dalam strategi pengembangan dan perjuangannya tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah dan kehidupan politik umat Islam di Indonesia” (Mubarak, 2007: xxxvi).

Organisasi-organisasi yang sering disebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement) ini dapat dilacak asal-muasal pemikirannya dari berbagai organisasi gerakan Islam di Timur Tengah (Rahmat, 2002: 72). Selanjutnya dikatakan bahwa, gerakan yang nyata mengimpor pemikiran dari Timur Tengah adalah Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan kelompok-kelompok Salafy termasuk Lasykar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah. Gerakan Tarbiyah pemikirannya sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimun

(IM), bahkan menyebut dirinya “anak ideologis” IM Mesir. Hizbut Tahrir Indonesia secara resmi merupakan cabang Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat di Yordania. Sedangkan Dakwah Salafy termasuk di dalamnya Lasykar Jihad adalah himpunan dari aktivis Dakwah Salafy, yang memiliki jaringan dengan gerakan Salafy yang ada di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Timur Tengah pada umumnya (Rahmat, 2002: 72). Pada mulanya agenda Salafy adalah pencarian otentisitas (pemurnian Islam, pen.), selanjutnya agenda itu diterjemahkan ke dalam beberapa konsep: akhlak Islam, masyarakat Islam, pandangan hidup Islam, Negara Islam, dan Khilafah Islam, inilah ide-ide yang diusung oleh kaum salafy (Jamhari dan Jahroni, 2004: viii). Dikatakan bahwa salafy adalah paham yang mengajarkan agar ajaran Islam mencontoh perilaku Nab Muhammad Saw. dan para sahabat (Jahroni, 2004: vi). Akar salafisme dapat dilacak pada gerakan wahabi yang berkembang pertama di Hejaz pada akhir abad ke-19 (Jamhari dan Jahroni, 2004: vi).

A. Maftuh Abegebril mengatakan dalam “Jihad, G-WOT dan Humanisme”

(4)

(Abegebril: 2007) bahwa Kolega Usamah ”Arab-Afghans” yang datang dari kawasan Asia Tenggara hampir semuanya lewat rekomendasi dan disposisi Abdullah Sungkar (Surakarta, Indonesia, pen.) yang sudah mempunyai hubungan khusus dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan. Para mujahidin yang berasal dari Indonesia dalam diskusi ideologisnya di Peshawar (Pakistan) mengusung ide DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, yang dikenal sebagai bapak proklamator Negara Islam Indonesia. Hubungan Abdullah Sungkar dengan DI/TII ini adalah melalui Ajengan Masduki, yang akhirnya tahun 1993 bercerai secara ideologis.

Ajaran Islam berkembang di Sulawesi Selatan berkat kedatangan Syeh Jamaluddin Al-Husain Al-Akbar ulama Persia setelah melalui Aceh dan Jawa, kemudian ke Sulawesi selatan. Ia diyakini sebagai cucu ke-10 dari Sayidina Husain cucu Nabi, Jamaluddin juga dikenal sebagai wali, yang merupakan kakek dari salah satu Wali Songo Maulana Malik Ibrahim, meninggal di Gresik 882 H/ 1419 M (Ramly dkk., 2006: 55).

Sejarah imigrasi atau hijrah orang-orang Arab Hadhramaut pada abad ke-18 (Yaman Selatan) ke Indonesia, diduga motif perdagangan. Alwi Shihab membantah pendapat ahli sejarah Van den Berg bahwa motif orang-orang Hadhramaut datang ke Indonesia hanya motif mencari harta, Shihab menganggap bahwa tuduhan Berg termasuk mencemarkan nama baik orang-orang Arab (Shihab, 2004: 62). Bantahan Shihab itu cukup mempunyai alasan karena sejak lahirnya Islam, orang-orang Arab tidak terlepas dari konspirasi oleh pihak-pihak luar yang ingin mendiskreditkan Islam. Di Indonesia, upaya kolonialisme Belanda untuk membendung pengaruh Islam dari negara Arab bukan rahasia lagi. Bagi Belanda, Islam adalah ancaman bagi eksistensinya di Indonesia (Shihab, 2004: 62-63).

Pada buku Negara Tuhan: The Thematic Encylopaedia (Abegebril dkk.,

2004) dikemukakan pandangan dari The Indonesian Moslem Scholars Community

(IMS.Com), bahwa: a) Jaringan radikalisme internasional yang bernama

Al-Qaida dan Al-Jama’ah Al-Islamiyah

adalah hasil pemikiran skripturaslistik verbalis dari teks-teks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi violence actions dengan jihad menebar teror “atas nama Tuhan” dan “agenda Rasul”. Al-Qaida memliki semboyan killing Americans civilian and military any where and any time; b) pemahaman terhadap teks agama Islam secara literalis skripturalistik bukan harus mngadopsi begitu saja tanpa mempertimbangkan korelasi historis/

asbābun nuzūl dan sosialnya; c)

berdasarkan hasil riset dari Siyasa Research Institute (SR-Ins: penerbit buku ini, sebuah lembaga kajian dan riset politik Islam internasional) menunjukkan bahwa

Al-Jama’ah Al-Islamiyah adalah jaringan internasional yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah negara, organisasi ini telah menyiapkan Nidhom Asasi atau

Undang-undang Dasar; d) Pemahaman keagamaan secara literalis skripturalistik sering terjebak dalam ruang ideologis yang bercirikan subjektif, normatif, dan tertutup; e) dalam wilayah sosial-politik, pemahaman literalis terhadap teks-teks Alquran dan As-Sunnah berakibat pada

simplikasi pada Islam, yang hal itu akan berujung pada fundamentalisme dan sering menjadi komoditas politik: doktrin-doktrin Islam sering dipakai untuk memperoleh bahkan melawan sesuatu kekuasaan. (Abegebril dkk., 2004: ix-xiv).

3.2 Ideologi Agama dan Negara

Ada pendapat bahwa sejak zaman Nabi sampai sekarang belum ditemukan suatu konsep tentang Negara Islam, yang dapat dipedomani sebagai acuan bagi semua golongan yang ada. Ulama besar Arab, Al-Mawardi pernah membuat konsep tentang pemerintahan Islam dalam bukunya Kitābu’l-Ahkām As-Sulthāniyyah, ‘Prinsip-prinsip tentang Pemerintahan Islam’, yang mengemukakan bahwa

(5)

“khalifah harus menjunjung tinggi dan menerapkan syariat” (Al-Mawardi: 1960).

Pembicaraan tentang persoalan Agama dan Negara dalam Islam tidak dapat terlepas dari acuan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam Piagam Madinah (Watsiiqah Madiinah), saat itu

Piagam Madinah merupakan aturan yang dipakai untuk menyatukan umat (Sukardja, 1995: 44). Piagam Madinah lahir pada tahun pertama Hijriah (622 M), ketika itu belum ada aturan tentang hubungan antar negara, belum ada hukum internasional, yang ada adalah besarnya konflik yang terjadi antar suku, dan merajalelanya berbagai kemusyrikan. Saat itu Nabi Muhammad tampil sebagai pemersatu umat yang pluralis (Sukardja, 1995:41-44). Dekmejian dalam Islam in Revolution: Fundamentalism in Arab World (Dekmejian: 1995) secara rinci membahas tentang pemerintahan Islam sejak masa Nabi Muhammad Saw., Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umayyah, Khilafah Turki Utsmani, dan sampai masa Revolusi Islam Iran (1979).

Azyumardi Azra dalam bukunya

Pergolakan Politik Islam: dari

Fundamentalisme, Modernisme Hingga

Post-Modernisme (1996) mengatakan

bahwa, pembaruan yang dilancarkan oleh elit politik, militer, dan intelektual, walau semula terbatas bidang militer dan birokrasi, memunculkan ideologi pembaruan yang modernis tapi dari lapisan sosial baru yang sering disebut Westernis. Komitmen dan orientasi dari kelompok Westernis ini adalah menawarkan gagasan pembaruan ala Barat pada segala sistem dan kelembagaan masyarakat muslim. Gagasan pembaruan tsb. ditransmisikan melalui kalangan ulama, dan mendapat dukungan dari kalangan militer dan birokrasi. Pembaruan yang diberlakukan pada kekhilafahan Turki, amat besar dampaknya bagi pertumbuhan gerakan Islam militan, Azra mengutip pendapat Harun Nasution bahwa pembaruan yang ditawarkan oleh Barat adalah bernuansa sekuler, dan pembaruan yang ditawarkan

oleh revivalisme muslim berupa pemurnian ajaran yang sesuai dengan yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw. Pemikiran ulama itu amat kompleks, sehingga tidak mudah untuk dikelompokkan dalam satu tipologi tertentu, misal Abduh, pada level pemikiran adalah pembaru, tetapi pada tingkat keagamaan adalah revivalis.

Pada buku Joel Beinin dan Joe Stork, Political Islam: Essays From Middle East Report (1997) disebutkan tentang teori penyebab terjadinya gerakan fundamentalis Islam: 1) Pemimpin negara cenderung sekuler; 2) Pemimpin yang menjadikan Islam bukan sebagai ideologi negara dan legitimasi politik; 3) Deskriminasi pemimpin terhadap kelompok Islam; 4) Kristenisasi juga menjadi penyebab tumbuhnya gerakan Islam radikal; dan 5) konsep politik Barat yang bertentangan dengan politik Islam.

Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Studi tentang Percaturan dalam

Konstituante: Islam dan Masalah

Kenegaraan (1996) dikatakan bahwa, sampai saat ini masih cukup langka tentang kajian ilmiah dan sistematis yang mampu mengartikulasikan hakikat dan corak negara Islam yang oleh sebagian kelompok untuk diterapkan di Indonesia, bahkan di negara-negara Islam sendiri sulit sekali ditemukan kajian yang secara teoretis membahas hakikat, watak, dan sifat negara yang berdasarkan Islam (Maarif, 1996: 125). Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal kelompok modernis (yaitu kelompok yang membela demokrasi menentang gerakan politik otoriter Sukarno tahun 50-an) dan pesantren telah memilih sistem demokrasi (Maarif, 1996: 125-126). Menurut data yang diperoleh oleh Syafii Maarif, pemimpin-pemimpin Syarikat Islam (SI) seperti Surjopranoto dan Soekiman Wirjosandjojo telah berbicara tentang kekuasaan dan pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an, mereka mengemukakan pendapatnya bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk

(6)

(Maarif, 1996: 126). Selanjutnya dalam Pemilu 1955 partai Islam hanya memperoleh 45% suara, menurut UUDS 1950 yang juga mengatur Pemilu itu, suatu UUD-baru baru sah jika rancangannya telah disetujui oleh paling kurang 2/3 anggota parlemen yang hadir dalam rapat. Sehingga dapat diketahui bahwa secara konstitusional suatu perjuangan membentuk negara berdasarkan Islam menjadi tidak mungkin.

Pada mulanya, Majelis Konstituante memiliki draft rancangan dasar negara atas dasar usulan 3 fraksi yang ada, ketiga rancangan itu ialah: Pancasila, Islam, dan

Sosial-ekonomi. Perdebatan tentang dasar negara, sehingga akhirnya Majelis Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada Juli 1959, dalam usaha menciptakan suatu tatanan politik baru dengan sebutan Demokrasi Terpimpin

(1959-1965) (Maarif, 1996: 124). Pada 9 April 1945 Jepang membentuk BPUPKI yang anggotanya 68 orang, lembaga ini membahas bentuk, batas, dan dasar filsafat negara. Konsep tentang dasar negara Islam sudah dibahas dalam lembaga ini, tetapi dari 68 anggota BPUPKI, hanya ada 15 orang yang membawakan aspirasi kelompok Islam, selebihnya adalah kelompok nasionalis sekuler (Maarif, 1996: 102-103). Perubahan anak kalimat pada sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, pada 18 Agustus 1945 merupakan saat penting bahwa wakil-wakil umat Islam saat itu menyetujui penghapusan anak kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, menjadi ”…Yang Maha Esa” (Maarif, 1996: 109-110), yang berarti upaya untuk mendirikan negara Indonesia berdasarkan syariat Islam telah berakhir secara konstitusional.

Persoalan sistem pemerintahan, pada penganut Islam Sunni menganggap siapa saja dapat menjadi khalifah sepanjang memenuhi syarat secara syariat, namun

pada kalangan Syi’ah pemimpin tertinggi atas negara dan agama ada di tangan imam, yang harus keturunan Husein putera Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah cucu Nabi Munammad saw. Konsep tentang kepemimpinan Islam ini diharapkan dapat menjamin terlaksananya ajaran Islam, sehingga pemerintahan Islam terlindungi dari hegemoni Barat. Kenyataan yang ada sekarang ini, kondisi umat Islam rapuh, tidak solid, sulit bersatu, dan terjadinya banyak egoisme yang tinggi dari kelompok dan aliran-aliran yang ada (Jurdi, 2008: 89-93).

Oliver Roy dalam bukunya

Gagalnya Politik Islam mengatakan bahwa langkah politik Islam kaum Islamis kenyataannya bukan menuntun ke arah pembentukan negara atau masyarakat Islam, tapi malah terjerembab dalam logika negara (seperti kasus Iran), atau pengotakan tradisional, walaupun sudah disusun ulang (seperti Afganistan) (Roy, 1996: 28-30). Pemikiran gerakan-gerakan ini terdiri dari dua kutub, kutub revolusioner dan kutub reformis. Menurut kutub revolusioner, Islamisasi masyarakat terjadi lewat kekuasaan negara. Sedangkan menurut kutub reformis, tindakan sosial dan politis terutama bertujuan reislamisasi masyarakat dari bawah ke-atas, yang dengan sendirinya juga akan mewujudkan negara Islam. Perbedaannya terletak bukan pada masalah perlunya negara Islam,

melainkan pada cara pencapaiannya, ada yang dengan cara revolusioner dan ada yang dengan cara konstitusional lewat perjuangan dalam parlemen. Dua kutub ideologi ini tidak selalu konsisten berdiri sendiri, tetapi sering berbaur. Misal, suatu saat Ikhwanul Muslimin menganjurkan adanya penolakan untuk kompromi, tetapi di kali lain menganjurkan untuk dilakukan kolaborasi. Di pihak lain, ada pula yang disebut oleh Oliver Roy sebagai Neofundamentalis, yaitu ‘kelompok yang mempunyai karakter berdakwah, populis, konservatif, dan memberi tempat pada pemaknaan kembali tentang revolusi dan perempuan’ (Roy, 28-30). Roy menyebut

(7)

gerakan Ikhwanul Muslimin dalam penegakan syariat Islam ini disebut sebagai

Kelompok Islamis, sedangkan gerakan Wahabi ini sebagai kelompok fundamentalis konservatif. Namun kaburnya batasan antara fundamentalis dengan Islamis juga membantu tumbuhnya Neofundamentalis, yaitu ‘kaum yang menggalang propaganda kembali Islam murni versi Hanbali’, bersih dari segala bentuk sinkretisme, nilai-nilai dan pengaruh luar, baik bersifat mistis maupun pengaruh materialisme Barat (Roy, 1996: 150-151).

Abdullah Sungkar meyakini logika yang disebutkan di dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 255 yang menyatakan bahwa “…lahu mā fī s-samāwāti wa mā fī l-ardh…”, artinya: ‘Semua yang ada di

langit dan bumi adalah milik Allah’. Berdasarkan ayat ini perlu disadari bahwa bumi dan langit ini milik Allah, berarti pula negara Indonesia dan bangsa Indonesia milik Allah juga, dengan begitu maka sudah sepantasnya bila semua yang milik Allah itu diatur dengan hukum Allah. Sehingga (kata Abdullah Sungkar, pen.) tidaklah benar adanya suatu pernyataan bahwa “negara dan bangsa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia”, maka negara harus diatur dengan hukum yang dibuat oleh bangsa Indonesia, paham ini biasa dikenal dengan nasionalisme, paham ini tidak cocok dengan syariat Islam (lihat: Nursalim, 2001: 29-30). Upaya penegakan syariat secara konstitusional di negara RI selalu mengalami kegagalan (Idem: 41), di pihak lain Abdullah Sungkar aktif dalam penegakan syariat Islam di negara RI melalui berbagai jalur, di antaranya melalui gerakan Usrah, Komando Jihad, dan Majelis Mujahidin Indonesia

(Nursalim, 2001: 41-75). Abu Mariyah Al-Qurasy dalam buku

Aqidah Islam Al-Qaida: Faktor Idiologis di Balik Gerakan Jihad Global Kaum

Salafi Jihadi, menyatakan bahwa

organisasi Al-Qaeda dirintis oleh sang penyulut perang, yaitu Syeh Abu Abdillah Usamah bin Ladin dari Afganistan,

menurut pengakuan mereka, anggota organisasi ini telah tersebar ke berbagai penjuru dunia, terutama di Jazirah Arab, Irak, dan Aljazair (Al-Qurasy, 2009: 22-23). Gerakannya didasarkan pada

Al-‘Aqīdatu ‘sh-Shahīhah (akidah yang

benar), amal mereka didasarkan pada Alquran, Al-Hadis. Ijmak, dan Kias, mereka sering merujuk kepada beberapa ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Syeh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ulama Salaf, Imam Syafi’i, dan sebagainya. Di pihak lain mereka mengingkari apa yang diyakini oleh kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah (Al-Qurasy, 2009: 106-125). Ideologi mereka tentang kekuasaan adalah bahwa, apabila sebuah negara undang-undangnya berdasar aturan kafir, dan hukum kafir lebih mendominasi hukum Islam, maka negara itu adalah negara kafir, dalam hal ini mereka tidak menuduh semua warga negaranya juga kafir, mengingat daulah yang berlaku bukan Negara Islam, dan penguasanya mayoritas adalah orang non-Islam. Menurut mereka darah, kehormatan, dan harta kaum muslimin adalah haram. Dan apabila ada orang kafir yang menyerang kusucian kaum muslimin, maka ketika itu hukum jihad adalah fardhu ‘ain (Al-Qurasy, 2009: 126, 142).

Nasiwan dan Purwo Santosa (2002) menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara di Indonesia bersifat dinamis. Ada saatnya hubungan antara agama dan negara bersifat harmonis, dan adakalanya hubungan itu bersifat antagonis bahkan terjadi konflik (Nasiwan dan Santoso, 2002: 94).

3.3 Cara Mencapai Tujuan Gerakan Politik

Dekmejian (1995: 58-60) mengatakan bahwa Gerakan Islam dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu: (1) Pragmatik bertahap (Gradualist-Pragmatic), misal: Ikhwanul Muslimin Mesir, Lebanon, Irak, dan negara kawasan teluk, Harakat al-Ittijah al-Islami di Tunisia, Salafy di Saudi Arabia; (2) Syiah

(8)

revolusioner (revolutionary Shi’ite), misal:

Hizbullah Lebanon, Hizbud-Da’wah al-Islamiyyah Irak dan Negara kawasan Teluk, Al-Islamiyyah fi Shubuh al— Jazirah al-‘Arabiyyah di Arab Saudi; (3) Sunni revolusioner (revolutionary sunni), misal: Hizbut Tahrir Al-Islami Mesir, Ikhwanul Muslimun Suriah; (4) Dakwah pemurnian Islam (Messianic-Puritannical),

Jama’at al-Muslimun lit-Takfir Mesir, Al-Ikhwan Saudi Arabia. Di pihak lain Oliver Roy mengatakan bahwa pemikiran gerakan Islam terombang-ambing dalam dua kutub, kutub revolusioner, yaitu Islamisasi masyarakat lewat kekuasaan negara, dan kutub reformis, tindakan sosial dan politis terutama bertujuan re-Islamisasi masyarakat dari bawah ke atas, yang dengan sendirinya akan mewujudkan Negara Islam (1996: 29). Berdasarkan pendapat Dekmejian dan Roy tadi dapat dipadukan bahwa dalam rangka umat Islam menegakkan syariat Islam ditempuh jalan:

a. Reformasi: (a) Dakwah bertahap (b) Dakwah

Islam murni

b. Revolusi

Gerakan reformis dan Islam murni secara internasional banyak dilakukan oleh gerakan Islam At-Takwir wal Hijrah di Mesir dan Al-Ikhwan di Saudi Arabia (Dekmejian, 1995: 58-59) dan juga ada gerakan-gerakan Islam yang berlangsung di Indonesia, Mulkan meneliti tentang dakwah Islam murni di kawasan pedesaan, hal ini ditulis dalam disertasinya yang diterbitkan sebagai buku dengan judul

Islam Murni: dalam Masyarakat Petani

(Mulkan, 2000: 87-98). Tulisan Mulkan khusus menyoroti tentang dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Sehingga

Al-Ushǖliyyah hanya disinggung sekilas.

3.4. Gerakan Islam Politik di

Indonesia, khususnya di

Yogyakarta dan Surakarta

Buku Jamhari dan Jajang Jahroni (2002) Gerakan Salafy Radikal di Indonesia membahas tentang profil,

akar sosio-historis gerakan militan Islam di Indonesia, dan prediksi tentang corak Islam Indonesia mendatang. Di sini dijelaskan fenomena gerakan Islam dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia yang selama ini dikenal moderat dan toleran. Penulis berhasil memetakan empat kelompok radikal di Indonesia, yaitu Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Lasykar Jihad, dan Hizbut Tahrir. Dan dalam hal konsolidasi demokrasi, buku ini menemukan indikasi bahwa walaupun negara kita banyak bermunculan gerakan radikal, tetapi masyarakat Indonesia secara mayoritas masih setia dengan sikap moderat dan tolerannya.

Pada disertasi Haidar Nashir dengan judul Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2006) dikatakan bahwa: Pada hakikatnya agama Islam adalah satu Al-Islamu kullun laa yatajaza’ artinya, ‘Islam adalah tunggal dan tidak dapat dipecah-pecah’. Tetapi pada kenyataannya, di antara pemeluknya menunjukkan adanya ekspresi dan aktualisasi yang beragam. Dalam perkembangan Islam yang mutakhir, keragaman Islam itu ditunjukkan oleh dinamika dan ekspresi Islam kontemporer adalah (dengan keyakinan adanya) kebangkitan Islam. Di pihak lain, ada pula fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara meluas di Indonesia, ialah penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.

Perjuangan mengusung kembali Piagam Jakarta untuk masuk ke dalam Amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, yang berakhir dengan kegagalan (lagi). Gerakan sekelompok umat Islam di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta daerah-daerah lain yang telah memperoleh status Otonomi Khusus untuk menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Gerakan ini cukup meluas dan dalam beberapa hal telah menghasilkan Perda dan Surat Keputusan Bupati untuk

(9)

menerapkan syariat Islam, seperti di Bulukumba, Cianjur, Tasikmalaya, (Gresik), dan sebagainya. Gerakan ini di Sulawesi Selatan hingga saat ini terus meluas ke daerah-daerah lain, termasuk memperjuangkan status Otonomi Khusus sebagaimana di NAD. Kelompok Islam yang memperjuangkan penerapan syariat Islam secara gigih dan radikal adalah

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite

Persiapan Penerapan Syariat Islam

Indonesia (KPPSI). Adapun dari

kelompok partai politik Islam ialah Partai Bulan Bintang (PBB). Tulisan Haidar Nashir menyoroti berbagai gerakan Fundamentalis yang berasal dari reproduksi salafy ideologis, sehingga belum dapat merepresentasikan gerakan Islam Politikyang ada di Indonesia, karena gerakan ini tidak khusus dari reproduksi salafy.

Pada disertasi Amir Mahmud, 2007

Pesantren dan Pergerakan Islam: Studi

Tentang Alumni Ngruki dan

Fundamentalis Pondok Pesantren Islam

dikatakan bahwa:

Hasil penelitian ini adalah: (1) paham keagamaan alumni pesantren Al-Mukmin didasarkan pada ajaran As-salāfu ‘sh-shālih yaitu mengikuti ajaran generasi terdahulu dengan baik; (2) Alumni Al-Mukmin yang tergabung dalam IKAPPIM selalu menjalin kerja sama yang bersifat antar lembaga dalam rangka membentuk dan mencetak kader dai dan ulama/’āmilīn

fī sabīlillāh; (3) keterlibatan alumni pesantren Al-Mukmin dalam tindak kekerasan di sejumlah tempat lebih disebabkan karena rasa solidaritas dalam pembelaan terhadap sesama muslim yang mendapat perlakuan tidak adil dan di zalimi oleh pihak lain.

M. Syafi’i Anwar mengatakan bahwa di era pemerintahan Presiden Habibie (1998 dst.) banyak gerakan Islam yang ingin mengambil momentum untuk memperjuangkan politik Islam, di bawah pemerintahan ini, gerakan Islam politik seperti mendapatkan kesempatan, dan

tidak mungkin hal ini terjadi di zaman Presiden Soeharto (Anwar, 2007: xii-xiii). Ideologi pasca Soeharto adalah gerakan Islam dengan bingkai GSM (Gerakan Salafy Militan).

Karakteristik dari GSM (Laskar Jihad, MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin, Hammas, Jundullah, HTI, dsb. adalah: a) Mempromosikan peradaban tekstual Islam; b) Setia pada Syariah Minded; c) Percaya kepada teori konspirasi, bahwa umat Islam adalah korbannya; d) Mengembangkan agenda anti pluralisme (Anwar,2007: xvii-xx).

4. Hasil Penelitian

. Teori yang dipakai untuk mengkaji penelitian ini adalah teori difusi. difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi yang dibawa oleh kelompok manusia yang hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Analisis data dilakukan secara deduktif dan induktif dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan situasi data dan kebutuhan dalam suatu analisis. Dalam hal ini akan dimanfaatkan pula berbagai analisis yang dapat menyajikan kajian yang paling akurat dengan kenyataan, oleh sebab itu teknik analisis berdasarkan triangulasi data, yaitu data tertulis; lisan (hasil wawancara); dan observasi di lapangan akan dipersiapkan sebagai perabot analisis yang memadahi. Model deskripsi yang dilakukan adalah dengan menyusun kerangka laporan ke dalam pokok-pokok khusus model deskripsi yang fungsional dan kronologis.

Pada penelitian ini, digunakan istilah Gerakan Islam Politik sebagai padanan dari istilah Islam Fundamentalisme. Dalam pengambilan rujukan sebagai referensi disertasi ini, penulis masih menyebutkan istilah asli yang ditulis oleh para penulis kepustakaan itu, dengan maksud agar kutipan itu masih sesuai dengan pikiran penulis aslinya. Oleh sebab itu istilah Gerakan Islam Politik, Islam Fundamentalis, Islam Militan, dan Islam

(10)

Radikal masih sama-sama dipakai pada disertasi ini, hanya Gerakan Islam Politik lebih dipakai secara dominan, dan merupakan istilah yang dipilih oleh penulis karena istilah ini telah disepakati oleh para ahli di Indonesia sebagai istilah tepat yang khas berasal dari bahasa Indonesia, untuk menggantikan istilah fundamentalisme Islam.

Pembatasan makna tentang makna “ulama” Timur Tengah dan “gerakan Islam Politik” Timur Tengah akan dibatasi menjadi gerakan fundamentalis yang tergolong trans-nasional saja, karena selain gerakan yang trans-nasional gerakan Islam tersebut tidak berpengaruh terhadap dunia di luar Timur Tengah. Di antara gerakan Islam Politik yang termasuk kategori trans-nasional adalah: Wahabiyah atau Salafiyah di Saudi Arabia, Al-Ikhwan dan Jamaah Islamiyah di Mesir, Al-Qaeda di Afganistan, dan Hizbut Tahrir di Yordania. Gerakan tersebut merupakan cikal-bakal dari gerakan Islam Politik yang tersebar di Indonesia pada umumnya serta Yogyakarta dan Surakarta pada khususnya. Gerakan Islam Politik di Yogyakarta dan Surakarta telah diteliti mendapat pengaruh dari Gerakan Salafiyah dan atau Wahabiyah, serta Al-Ikhwan. Al-Ikhwan pada mulanya bukan merupakan gerakan baru, karena gerakan Al-Ikhwan merupakan hasil penyempurnaan dari gerakan-gerakan yang sebelumnya muncul di Timur Tengah seperti Wahabiyah, Sanusiyah, dan Mahdiyah. Demikian pula gerakan Wahabiyah, ia bukan tiba-tiba muncul sebagai ajaran baru, tetapi hal ini merupakan upaya penguatan terhadap ideologi yang sebelumnya ada, yaitu Salafiyah. Pengaruh pemikiran ulama Timur Tengah terhadap gerakan Islam Politik itu disebabkan oleh beberapa hal, sebagai berikut:

1) Pertemuan di Peshawar (Pakistan) antara Abdullah Sungkar dan Osamah Bin Ladin dalam bantuan perang di Afganistan. Abdullah Sungkar sudah mempunyai hubungan khusus sebelumnya dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan. Para

mujahidin yang berasal dari Indonesia dalam diskusi ideologisnya di Peshawar mengusung ide DI/TII pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Di Peshawar, kontingen Indonesia mendiskusikan tentang Kanun Asasi (Undang-undang Dasar) NII. Semua kontingen berusaha untuk saling belajar dan interaksi ideologis untuk lebih mantap. Hadir dalam pertemuan itu adalah para tokoh gerakan Islam politik dari seluruh dunia, mulai dari

Ikhwanul Muslimun; Jamaa’ah Al-Jihad;

Al- Jama’ah Al-Islamiyyah baik dari Mesir, Maroko, Tunisia, dan Pakistan; Hamas dan Hizbut Tahrir dari Palestina;

At-Takwir wal-Hijra atau Jama’at

Muslimin; MILF Abu Sayyaf dari Filipina, dan DI/TII dari Indonesia, dan sebagainya. 2) Penyebaran ideologi Salafi ke Indonesia terjadi karena para alumnus LIPIA Jakarta memiliki peran yang sangat menonjol, karena lembaga ini merupakan cabang dari Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud Riyadh Arab Saudi ini, dimaksudkan untuk menyebarkan pemikiran Salafy (Wahabi) di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Kurikulum pendidikan yang diterapkannya mengadopsi universitas induknya yang berbasis Wahabi. Para pengajarnya didatangkan dari Timur Tengah, khususnya dari Saudi Arabia. Maka tak heran jika mayoritas alumninya menjadi para penganut dan penganjur Wahabiyah-Salafiyah.

3) Alumni Mesir juga mengusung ideologi yang berkembang di Mesir untuk dibawa ke Indonesia oleh para mahasiswa Indonesia yang studi di Mesir, sejak 1980-an ini ideologi y1980-ang domin1980-an adalah Al-Ikhwan.

5. Simpulan

Transmisi gerakan Islam politik Timur Tengah ke Indonesia sejak beberapa abad yang lalu melalui kontak keulamaan, kini ada fenomena lain bahwa transformasi buku-buku berbahasa Arab dari Timur Tengah menjadi buku terjemahan. Pengaruh pemikiran itu juga terjadi

(11)

melalui kontak keilmuan antara pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah terutama di Saudi Arabia dan Mesir; Ibadah haji di Arab; kontak perdagangan; penyaluran bantuan peperangan yang terjadi di Palestina dan Afganistan.

Daftar Pustaka

Abegebriel, A. Maftuh, dkk. 2004. Negara

Tuhan: The Thematic

Encyclopaedia. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.

---, 2007. “Jihad, G-SWOT, dan Humanisme”, xxx hal. Kata Pengantar buku Robert Dreyfuss, 2007. Devil’s Game Orchestra

Iblis: 60 Tahun Perselingkuhan Amerika – Religious Extemist. Yogyakarta: SR-Ins Publishing. Abegebriel, A. Maftuh, dkk. 2004. Negara

Tuhan: The Thematic

Encyclopaedia. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.

(Al-) Qurasy, Abu Mariyah, 2009. Aqidah Islam Al-Qaida: Faktor Idiologis di Balik Gerakan Jihad Global Kaum Salafi Jihadi

Anwar, M. Syafi’i, 2007. “Memetakan Teologi Politik dan Anatomi Gerakan Salafi Militan di Indonesia”, Kata Pengantar dalam buku M. Zaki Mubarak. 2007.

Genealogi Islam Radikal di

Indonesdia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES,

Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta, Mizan.

---, 1996. Pergolakan Politik Islam:

dari Fundamentalisme,

Modernisme, hingga

Post-Modernisme, Jakarta: Penerbit Paramadina.

---, 2000, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (ed. Idris Thaha):. Bandung: Penerbit Mizan. Beinin, Joel dan Joe Stork. 1997. Political Islam: Essays From Middle East Report. London – New York: I.B. Tauris Publisher.

Dekmejian, R. Hrair, 1997. “Mulrtiple Faces of Islam” dalam Anders Jerichow dan Jørgen Bæk Simonsen (ed.),Islam in a Changing World: Europe and The Middle East, Great Britain: Curzon Press.

Jamhari dan Jahroni, Jajang, 2004.

Gerakan Salafi Radikal di

Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jurdi, Syarifuddin, 2008. Pemikiran Politik

Islam Indonesia: Pertautan

Negara, Khilafah, Masyarakat

Madani, dan Demokrasi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maarif, Ahmad Syafii 1996. Studi tentang

Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.

Mahmud, Amir, 2007. Pesantren dan Pergerakan Islam: Studi Tentang Alumni Ngruki dan Fundamentalis

Pondok Pesantren Islam,

(Disertasi), Yogyakarta: Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mubarak. Zaki, 2008, Genealogi Islam Radikal di Indonesdia: Gerakan,

Pemikiran, dan Prospek

(12)

Mulkan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni

dalam Masyarakat Petani.

Yogyakarta: Bentang Budaya. Munip, Abdul. 2007. Transmisi

Pengetahuan Timur Tengah ke

Indonesia: Studi tentang

Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia Periode `1950- 2004. (Disertasi). Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

---, 2011 “Ridha dengan Kekafiran Berarti Kafir” dalam Majalah Ansharut Tauhid: Memurnikan Aqidah Menuju Khilafah Rosyidah,

Edisi 19, April 2010.

Nashir, Haidar, 2006, “Gerakan Islam Syariat Reproduksi Islam Salafiyah Ideologis di Indonesia”, (Artikel Ujian Terbuka Disertasi), Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Nasiwan dan Purwo Santosa, 2002. “Pola Perubahan Hubungan Islam dan Negara: Suatu Studi tentang ‘Islam Politik di Indonesia’” (1990-1999), dalam Sosiohumanika, Majalah Ilmiah Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Nursalim, 2001. Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde Baru: Studi terhadap Pemikiran dan Harakah Politik Abdullah Sungkar. Tesis Program Magister Studi Islam. Surakarta: Program Pascasarjana UMS.

Rahmat, M. Imdadun, 2005, Arus Baru

Islam Radikal: Transmisi

Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ramly, Andi Muawiyah, dkk. 2006. Demi

Ayat Tuhan: Upaya KPPSI

Menegakkan Syariat Islam.

Jakarta: Opsi (Open Society Institute).

Roy, Oliver . 1996. Gagalnya Politik Islam. (edisi dalam bahasa Prancis berjudul: L’échec de l’islam

politique,Edition du Seuil, 1992; dan edisi berbahasa Inggris berjuduL The Failure of the Political Islam,Harvard University Press, cet. 1. Jakarta: Serambi. Sangidu, 2003. Wahdatul Wujud: Polemik

Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri, Penerbitan disertasi. Yogyakarta: Gama Media.

Shihab, Alwi. 2004. “Keturunan Arab dan Radikalisme Indonesia”, dalam Tarmizi Thahir, 2004). Meredam Gelombang Radikalisme. Jakarta: CMM.

Sukardja, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Sangidu, 2003. Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri, Penerbitan disertasi. Yogyakarta: Gama Media.

Referensi

Dokumen terkait

meningkatkan volume penjualan di masa yang akan datang, maka strategi pemasaran yang sebaiknya digunakan oleh para pengusaha industry kue bagea adalah distribusi langsung produknya

Fungsi pemasaran perlu melakukan perencanaan dan perancangan dalam membuat segmen pasar yang akan dimasuk harus berdasarkan pada tujuan perusahaan dengan melakukan

Form ini menjelaskan informasi cara menggunakan Aplikasi Pengamanan Gambar Dengan format JPG dan GIF Menggunakan RC6, rancangan dapat dilihat pada gambar berikut :.

Pemanfaatan kotoran ternak juga merupakan salah satu cara dalam permakultur yang bisa digunakan sebagai energi terbarukan dalam rangka menanggulangi krisis energi.. Krisis

Sebuah class secara tipikal sebaiknya dapat dikenali oleh seorang non-programmer sekalipun terkait dengan domain permasalahan yang ada, dan kode yang terdapat

Perangkat lunak pengenal nada ini mengimplementasikan algoritma Fast Fourier Transform untuk mendapatkan frekuensi dasar sehingga dapat diterjemahkan kedalam nada-nada serta

Menjadlin pertemanan sebaiknya memilih orang tekun, wara’, berkelakuan baik, serta tanggap, hindari orang malas, penganggur, pembual, suka berbuat kekacauan, dan