• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK. memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Purwadi (2004: 47) juga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIK. memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Purwadi (2004: 47) juga"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kajian Teori Dan Penelitian yang Relevan 2.1.1 Eksplorasi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia eskplorasi berarti penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber alam yang terdapat ditempat itu atau kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. Purwadi (2004: 47) juga mendefenisikan eskplorasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternative yang sebanyak-banyaknya yang berguna untuk kepentingan di masa depan.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa eksplorasi adalah kegiatan mencari dan menggali pengetahuan mengenai suatu benda atau keadaan secara mendalam dengan tujuan memperoleh suatu pengetahuan yang baru.

2.1.2 Pembelajaran Matematika

Menurut Susanto (2013: 185-186) pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Pembelajaran didalamnya terkandung makna belajar dan mengajar. Belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai subjek yang menerima pembelajaran, sedangkan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa didalam pembelajaran.

(2)

Menurut Daryanto (2015:38-39) pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan dan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan kepada peserta didik.Tujuan pembelajaran menurut Daryanto (2015: 39) yaitu: (1) tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada peserta didik setelah mengikuti pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.

Menurut Siagian (2017: 61-62) matematika merupakan bahasa simbolis yang mana maknanya bersifat universal. Misalnya saja angka 1, secara bahasa penyebutan angka 1 di antar negara bahkan daerah saja berbeda-beda penyebutannya. Namun, secara simbolis siapa saja dari negara mana saja akan memahami makna dari angka 1. Hal ini lah yang menunjukkan matematika adalah bahasa simbolis yang universal.

Siagian (2017: 64) menyimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan cara bernalar yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan lambang-lambang atau simbol yang memiliki arti serta dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan bilangan. Disamping itu juga dapat dikatakan bahwa matematika itu terdiri atas unsur-unsur yang berkaitan bukan saling terpisah, dalam matematika ada hierarki yaitu adanya unsur yang merupakan syarat dari yang lain atau suatu konsep matematika dibangun dari konsep yang lainnya. Contohnya jika seseorang mempelajari maka terlebih dahulu harus mempelajari penjumlahan.

(3)

Menurut Susanto (2013: 186-187) pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi kemampuan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.

Susanto (2013: 190) menjelaskan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sebagaimana yang disajikan Depdiknas adalah agar peserta didik memiliki kemampuan; 1) memahami konsep matematika, mejelaskan keterkaitan anatar konsep, mengaplikasikan konsep atau algoritma. 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

2.1.3 Etnomatematika

Istilah etnomatematika diciptakan oleh D’Ambrosio yang merupakan seorang matematikawan Brazil dan guru matematika yang berperan penting menumbuhkan aspek sosial dan budaya dari matematika. D’Ambrosio (1985: 45) menjelaskan etnomatematika adalah matematika yang dipraktekkan dalam budaya

(4)

dari suatu kelompok, seperti suku dalam masyarakat, kelompok buruh, anak-anak dari golongan usia tertentu, kelas professional, dan lain sebagainya. Identitasnya sangat tergantung pada minat, motivasi, kode dan jargon tertentu yang tidak sama dengan bidang matematika akademik. Lebih lanjut D’Amrosio menjelaskan bahwa ethno mengacu pada konsep budaya yang luas yang mengidentifikasi suatu kelompok dengan jargonnya, kode, symbol, mitos dan cara berpikir yang spesifik.

Secara etimologi D’ambrosio (1994: 449) menjelaskan etnomatematika terbentuk dari kata ethno-mathema-tics. Kata ethno berkaitan budaya dalam arti luas, mathema berarti menjelaskan, memahami, mengatasi kenyataan, dan tics berasal dari kata teknik yang mengandung arti teknik dalam seni. Lebih lanjut D’ambrisio menjelaskan bahwa etnomatematika berasal dari pengakuan bahwa setiap kelompok budaya menghasilkan cara-caranya sendiri untuk mejelaskan, memahami dan mengatasi kenyataan, mentrasmisikan dan mengatur cara-cara ini menjadi teknik, mengembangkan dan menyembarkannya melalui kelompok, dan menurunkannya dari generasi ke generasi. Akibatnya setiap kelompok budaya mengungkapkan etnomatematik yang berbeda. Etnomatematika lebih mengandalkan perhitungan, pengukuran, dan praktik lainnya.

Barton (1996: 202) berpendapat bahwa etnomatematika mencakup ide-ide matematika, pemikiran matematis dan aktivitas yang dikembangkan oleh semua budaya. Menurut Alfonsa (2016: 4) etnomatematika adalah integrasi budaya dalam pembelajaran matematika atau dengan kata lain matematika yang berunsur budaya.

Berdasarkan beberapa pandangan diatas dapat diketahui bahwa etnomatematika merupakan suatu kajian ilmu yang mengkaji matematika dari segi

(5)

budaya yang ada pada masyarakat. Karena setiap daerah memiliki budaya yang berbeda maka etnomatematika dari setiap daerah juga berbeda.

Bishop (1994: 1-2) berpendapat bahwa beberapa kegiatan yang dilakukan semua orang sangat penting dalam mengembangkan ide-ide matematika dan Bishop berpendapat bahwa ada enam kunci kegiatan yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1. Counting

Aspek counting adalah kegiatan menghitung yang berkaitan dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak?”, yang dapat menggambarkan angka, dengan menggunakan satuan hitung berupa benda atau bagian tubuh seperti jari, batu, tongkat, dan tali.

2. Locating

Aspek locating berkaitan dengan aktivitas menentukan arah, posisi, bernavigasi, berorientasi dan menggambarkan bagaimana hal-hal berhubungan satu sama lain. Dari kegiatan tersebut terdapat ide geometris seperti titik, garis, yang jika dihubungkan akan membentuk bangun datar.

3. Measuring

Kegiatan mengukur digunakan untuk menjawab pertanyaan “seberapa”. Misalnya mengukur jumlah kain yang diperlukan untuk membuat pakaian, luas tanah, jumlah makanan yang diperlukan untuk beberapa orang, jumlah uang yang diperlukan untuk membeli kebutuhan dengan satuan berupa bagian tubuh seperti hasta, jengkal, dan benda seperti keranjang, tali, manik-manik, koin.

(6)

4. Designing

Aspek designing berupa kegiatan merancang suatu bangun atau benda yang diperlukan didalam kehidupan seperi meranncang rumah adat, balai pertemuan, tempat ibadah, alat-alat memasak, dan alat musik. Dari kegiatan tersebut dapat dikembangan ide-ide geomerti.

5. Playing

Tidak semua bermain itu penting dari sudut pandang matematika, tetapi teka-teki, paradoks logis, aturan bermain, strategi untuk menang, menebak, peluang dan judi semuanya menunjukkan caranya bermain yang dapat berkontribusi untuk pengembangan pemikiran matematika.

6. Explaining

Aspek ini menjawab pertanyaan “mengapa”. Memahami mengapa sesuatu terjadi seperti yang mereka lakukan. Dalam matematika kita tertarik pada mengapa pola angka terjadi, mengapa bentuk geometris berjalan bersama, mengapa suatu hasil mengarah ke yang lain, mengapa sebagian dunia alami tampaknya mengikuti hukum matematika.

2.1.4 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Matematika SMP/MTs

Dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kedudayaan Republik Indonesia No 37 tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pelajaran pada kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi yaitu: (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap social, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi

(7)

tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler dan/atau ekstrakurikuler.

Rumusan kompetensi sikap spiritual yaitu “menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”. Adapun rumusan kompetensi sikap sosial yaitu “Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, dan percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan social dana lam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya”. Kedua kompetensi tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran, serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.

Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut. Kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan dapat dilihat pada lampiran 6.

2.1.5 Teori Belajar Kontruktivisme

Teori kontruktivisme adalah teori teori belajar yang menuntut siswa untuk bisa mengkontruksi pengetahuannya sendiri dan guru hanya berperan sebagai fasilisator dalam pembelajaran.

Menurut Hamdayana (2016:45) teori kontruktivisme memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh si pembelajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri seseorang yang sedang mengetahui dan tidak dapat dipindah-pindahkan begitu saja dari otak seorang guru kepada para siswa.

(8)

Nurhidayati (2017: 4) menjelaskan bahwa belajar menurut kontruktivistis dapat dirumuskan sebagai penyusun pengetahuan dari pengalaman konkret, melalui aktivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Aktivitas demikian memungkinkan siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi siswa dengan lingkungannya.

Menurut Thobroni (2015: 92) teori kontruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar sendiri menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi dan hal lain yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa. sedangkan tujuan teori kontruksivisme adalah:

a. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.

b. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.

c. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Adapun karakteristik pembelajaran secara kontruktivisme menurut Thobroni adalah:

a. Memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatannya dalam dunia sebenarnya.

b. Mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan. c. Mendukung pembelajaran secara koperatif.

(9)

e. Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru.

f. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.

g. Mendorong proses inkuiri pembelajar melalui kajian dan eksperimen.

Thobroni (2015: 96-97) menyimpulkam bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar kontruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperitahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Teori belajar kontruktivisme dibagi menjadi dua sudut pandang yaitu menurut Piaget dan Vygotsky.

1. Teori belajar Kontruktivisme Piaget

Suyono dan Hariyanto (Rachmawati dan Daryanto, 2015:70) Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitif atau peta mentalnya yang diistilahkan “scema/skema” atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan disekelilingnya.

Sedangkan menurut Cahyo (Rachmawati dan Daryanto, 2015:70-72) manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda, oleh karena itu dalam proses belajar terjadi dua proses yaitu proses informasi dan adaptasi. Proses pengkontruksi menurut Piaget adalah sebagai berikut:

(10)

a. Skema

Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat. Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skema seorang anak berkembang menjadi skema orang dewasa.

b. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.

c. Akomodasi

Akomodasi adalah cara yang dilakukan seseorang untuk menghadapi rangsangan atau pengalaman baru yang tidak dapat mengasimilasi pengalam baru tersebut kedalam skema yang telah dimilikinya dengan cara membuat skema baru atau memodifikasi skema yang sudah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

2. Teori belajar Kontruktivisme Vygotsky

Trianto (Rachmawati dan Daryanto, 2015:75) Vygotsky mengatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas-tugas tersebut berada dalam Zone of Proximal Development (ZPD).

(11)

Vygotsky mendefenisikan ZPD sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau kerjasama sebaya yang mampu. Oleh karena itu, ZPD merupakan perangkat analitik yang diperlukan untuk merencanakan pembelajaran, dan pembelajaran yang berhasil harus menciptakan ZPD yang merangsang serangkaian proses batiniah.

Rachmawati dan Daryanto (2015: 75) mengatakan bahwa ciri-ciri pembelajaran secara kontruktisme adalah menekankan pada proses belajar, mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada peserta didik, berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses bukan menekankan pada hasil, mendorong peserta didik untuk melakukan penyelidikan, mendorong perkembangan rasa ingin tahu secara alami, penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman peserta didik.

Sedangkan prinsip kontruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar mengajar menurut Rachmawati dan Daryanto (2015: 75-76) adalah pengetahuan dibangun oleh peserta didik, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik kecuali dengan keaktifan murid itu sendiri, murid aktif mengkontruksi secara terus-menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah, guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancer, mencari dan menilai pendapat peserta didik, dan menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

(12)

2.1.6 Permainan Tradisional

2.1.6.1 Pengertian Permainan Tradisional

Menurut Hamzuri dan Siregar (1998: 1) permainan tradisional adalah permainan yang dilakukan dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si pelakunya. Andriani (2012: 122) mengatakan bahwa permainan tradisional adalah salah satu aset budaya yang mempunyai ciri khas kebudayaan suatu bangsa, pendidikan karakter bisa dibentuk melalui permainan tradisional sejak usia dini.

Direktorat Nilai Budaya (Kurniati, 2016: 2-3) menjelaskan bahwa permainan tradisional pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu permainan untuk bermain dan permainan untuk bertanding. Permainan untuk bermain lebih bersifat mengisi waktu senggang, sedangkan permainan untuk bertanding kurang memiliki sifat tersebut. Ciri-ciri permainan yaitu: terorganisasi, bersifat kompetitif, dimainkan paling sedikit oleh dua orang, mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, serta mempunyai peraturan yang diterima bersama oleh pesertanya.

Permainan tradisional adalah permainan yang kaya akan nilai-nilai budaya yang turun-temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Sebagai aset budaya permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai kehidupan seperti anak-anak akan mampu mengekspresikan potensi yang ada didalam dirinya, memperoleh pengalaman yang bermakna dan berguna bagi kehidupan bermasyarakat seperti mampu membina hubungan dengan sesama teman, mengeluarkan pendapat, sportivitas atau bersedia menerima kekalahan dan mampu menyalurkan perasaan-perasaan yang tertekan dengan tetap melestarikan budaya bangsa.

(13)

2.1.5.2 Macam-Macam Permainan Tradisional

Permainan tradisional yang berkembang di Indonesia sangat banyak. Berikut adalah beberapa permainan yang tradisional yang ada dilingkungan masyarakat:

1. Lompat Tali

Menurut Aisyah (2014:18) Lompat tali atau lompatan adalah permainan yang bisa dimainkan secara perorangan atau dengan beregu. Jika permainan dilakukan oleh dua orang maka tali diikatkan pada dua buah tiang. Jika permainan beregu biasanya dimainkan jika peserta permainan memiliki jaraj usia agak jauh, misalnya siswa kelas 2 dan kelas 6. Pada permainan beregu, dipilih pemain terbesar sebagai pimpinan, disebut mbok. Level dalam permainan lompat tali antara lain sebagai berikut:

1) Karet dibawah tempurung lutut. Pada level ini semua peserta harus melompat dan tidak boleh menyentuh karet.

2) Karet sepinggang. Pada level ini, mbok harus melompat lebih dulu (tidak boleh menyentuh karet), sedangkan yang lainnya boleh melompat dengan menyentuh karet. Mulai nomor 3 dan selanjutnya, semua diperbolehkan menyentuh karet.

3) Karet setinggi dada. 4) Karet setinggi bahu. 5) Karet setinggi telinga. 6) Karet setinggi kepala.

(14)

8) Karet setinggi “merdeka” (tangan lurus ke atas). Biasanya melompat dengan cara kayang.

2. Gasing

Menurut Aisyah (2014: 21) Gasing adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan seimbang pada satu titik. Bentuknya macam-macam, ada yang berbentuk tabung ada pula yang berbentuk kerucut. Persamaan dari kedua model gasing ada di bagian tengahnya. Di bagian itu terdapat batang kecil yang dihubungkan dengan tali. Ketika tali ditarik gasing berputar. Pemain yang memiliki gasing dengan putaran lebih lama atau dapat menjatuhkan lawan lebih dulu maka dialah pemenangnya.

3. Congklak

Menurut Aisyah (2014: 24) Permainan congklak adalah permainan tradisioonal yang menggunakan bidang panjang dengan tujuh cekungan pada masing-masing sisi dan dua cekungan yang lebih besar dibagian tengah ujung kiri dan kanan disebut sebagai lumbung. Cekungan pada sisi diisi dengan biji-bijian atau batu kerikil. Selain itu, ada pula biji congklak yang berasal dari cangkang kerang yang berbentuk oval atau tiruannya berbahan plastik.

Lumbung sebelah kanan adalah milik pemain ‘A’, lumbung sebelah kiri milik pemain ‘B’. Pemain ‘A’ memilih salah satu cekungan yang ada didekatnya, mengambil bijinya dan membagikan satu per satu tanpa mengisi lumbung sebelah kanan. Jika biji terakhir jatuh pada cekungan yang ada isinya maka pemain boleh mengambil dan membaginya lagi. Akan tetapi, jika biji terakhir jatuh pada bidang kosong, itu berarti pemain ‘A’ berhenti bermain dan

(15)

ganti pemain ‘B’ yang bermain. Pada permainan congklak, kemengan dihitung berdasarkan banyak jumlah biji pada lumbung masing-masing.

4. Petak Umpet

Menurut Aisyah (2014: 66) permainan tradisional dhelikan ini dikenal dengan peta umpet. Pertama kali melakukan pengundian untuk mendapat pemain yang dadi. Setelah dapat maka pemain dadi menelungkupkan muka pada tembok, sambil berhitung hingga 100 (dengan cepat). Sementara pemain yang lain bersembunyi.

Setelah selesai berhitung, pemain dadi mencari tempat persembunyian pemain lainnya. Jika menemukan salah satu pemain yang ngumpet maka anak yang dadi harus segera menyebutkan nama dan berlari menuju tembok jaga sambal menyebut skit. Jika pemai yang ketahuan tepat persembunyiannya lebih cepat dari yang jaga, berarti terbebas. Namun, jika pemain yang dadi lebih cepat, berarti dianggap telah sah menemukan satu lawan. Pemainan berakhir ketika semua telah ditemukan atau pemain yang dadi dmenyerah.

2.1.6.3 Alat dan Bahan Permainan Tradisional

Menurut Hamzuri dan Siregar (1998: 2-4) permainan tradisional banyak memanfaatkan bahan dari alam untuk peralatan dalam permainan. Seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta memanfaatkan biji kemiri untuk permainan Jirak, biji kemiri atai biji kuranji untuk permainan kubuk, dan biji bengguk untuk permainan dhuk ther. Di Maluku memanfaatkan tempurung kelapa seperti gole-gole, sekual kui, dan

ero tampurung. Di Aceh permainan meupet-pet nyet dan peh kaye menggunakan kayu, asak-asakan dan geuteut-geunteut menggunakan bambu. Di Sumatera Selatan permainan pantak leleh dan setembak menggunakan rotan atau kayu; dan

(16)

pencang menggunakan batang pinang. Di Irian Jaya permainan foo dan anakati

menggunakan pelepah sagu, bokhusu khave menggunakan batang lengkuas,

ampakeari menggunakan buah mange-mange dan amiogo menggunakan roda dibuat dari tumbuhan hutan dan materau menggunakan tali.

Selanjutnya ada juga permainan tradisional yang memanfaatkan barang bekas Hamzuri dan Siregar (1998: 5) menjelaskan seperti di Aceh kekuriken,jangut ngkurik dan meuen kom menggunakan bola karet atau bola janur; di sumatera Selatan platok menggunakan uang logam dan papan dan merak-merak sintir

menggunakan kaleng; di Yogyakarta laying menggunakan bola janur dan sliring gendeng menggunakan kelapa tabon; di Kalimantan Timur lempar-lempar bola dan

tambi-tambian menggunakan bola karet; sedang peca blek di Sulawesi Utara menggunakan kaleng.

Seiring perkembangan zaman, alat/bahan permainan tradisional sudah banyak dibuat dengan olahan pabrik menggunakan bahan plastik seperti permainan gasing, congklak, dan yoyo yang beredar dipasar-pasar.

2.1.7 Permainan Congklak

Permainan congklak adalah permainan yang hampir ada disetiap daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti didaerah Jawa sering dikenal dengan nama dakon atau dhakon, di Sumatera dikenal dengan nama congkak, di Sulawesi dikenal dengan nama Mokaotan, Manggaleceng, Anggalacang dan Nagarota, sedangkan di Lampung disebut dengan nama dentuman lambat.

Kurniati (2016:93) menjelaskan bahwa permainan congklak permainan yang menggunakan kemampuan berhitung. Permainan ini dimainkan oleh 2 orang

(17)

pemain yang duduk saling berhadapan. Alat yang digunakan adalah congklak, biji-bijian atau batu. Dan lokasi bermain didalam ruangan atau di halaman.

2.1.7.1 Papan Congklak

Menurut Rusmana (2010:539-540) Papan Congklak biasanya terbuat dari kayu, tetapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari plastik. Papan congklak berbentuk perahu dengan ukuran kurang lebih: pangang 80 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm. Pada kedua ujungnya terdapat cekungan yang besar dan disebut indung. Antara kedua indung tersebut berderet dua lubang kecil yang masing-masing terdiri dari 7 cekungan yang lebih kecil, kira-kira berdiameter 5 cm.

Gambar 2.1 Alat Permainan Congklak 2.1.7.2 Cara Bermain Congklak

Permainan congklak dilakukan oleh dua orang pemain yang saling berhadapan dengan papan congklak diantara mereka. Kurniati (2016:93) prosedur permainan congklak adalah pertama-tama anak-anak harus mempersiapkan congklak dengan cara menyimpan biji/batu di setiap lekukan sebanyak 7 buah. Setelah semua lubang terisi kecuali lubang gunung maka anak-anak secara bersamaan memainkan congklak sesuai dengan jumlah batu yang dimiliki. Permainan congklak dilakukan dengan mengambil salah satu isi dilubang congkak

(18)

kemudian sesuai arah jarum jam membagi masing-masing satu biji congklak yang berada ditangan pada setiap lubang yang dilewati termasuk lubang induk tetapi lubang induk kawan tidak diisi. Setiap biji habis maka pemain langsung mengambil isi dilubang terakhir termasuk biji terakhir tersebut dan membagikannya kembali. Demikian terus menerus sampai pemain bertemu lubang yang kosong dan berhenti. Pemain yang pertama kali berhenti, maka dia akan dikatakan lasut

(berhenti) dan dia harus menghentikan permainannya dan menunggu giliran pemain lainnya untuk bermain congklak. Pemain dinyatakan berhenti jika bertemu lubang kosong. Jika salah satu pemain berhenti pada lubang yang pasangannya didepannya terdapat sejumlah biji congklak, maka semua biji congklak tersebut boleh dimilikinya dan dimasukkan kelubang induknya sendiri. Setiap kubangan hanya boleh diisi satu batu. Permanian ini akan berhenti apabila batu/biji yang berada diarena kubangan telah habis disimpan di gunung atau lubang induk. Gunung tersebut merupakan base camp tempat menyimpan batu peserta. Mereka yang memiliki jumlah batu terbanyak dinyatakan sebagai pemenang.

Prosedur permainan tersebut juga sesuai dengan cara permainan menurut Hamzuri dan Siregar (1998: 72) yaitu sebelum dimulai lobang-lobang tersebut diisi dengan anak permainan masing-masing 7 buah, kecuali gunung tidak diisi. Untuk menentukan siapa yang lebih dahulu memulai permainan kedua pemain lebih dulu sut, yang menang lebih dahulu memulai permainan, dengan menhambil salah satu lobang yang diisikan kesetiap lobang satu persatu searah jarum jam. Lobang yang terakhir diisi diambil semuanya untuk diteruskan diisi pada lobang-lobang selanjutnya dan begiti seterusnya. Namun jika kerikil jatuh pada lobang yang kosong, maka pemain dianggap mati dan berganti kepemain lawan, tetapi si lobang

(19)

dihadapannya (milik lawan) diambil semuanya dan diisikan ke dalam gunung miliknya. Pemainan berakhir jika seluruh lobang kosong dan anak permainan berkumpul pada gunung masing-masing. Siapa yang paling banyak mengumpulkan kerikil atau kulit kerang pada gunungnya dianggap menang.

Gambar 2.2 Anak-Anak Sedang Bermain Congklak

2.1.8 Keterkaitan Etnomatematika pada Permainan Congklak dengan Teori belajar Kontruktivisme

Menurut Alfonsa (2016: 4) etnomatematika adalah integrasi budaya dalam pembelajaran matematika atau dengan kata lain matematika yang berunsur budaya. Budaya yang diangkat tergantung di mana dan kepada siapa matematika itu diajarkan. Dengan asumsi bahwa etnomatematika yang diangkat sudah dikenal dan dapat membantu peserta didik dalam belajar matematika. Terdapat bentuk-bentuk hasil budaya masyarakat yang memuat konsep matematika dan dibangun menjadi sebuah pendekatan dalam pembelajaran. Pembelajaran inilah yang disebut sebagai pembelajaran berbasis budaya.

Menurut Alexon (2010: 14-15) pembelajaran dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman awal budaya siswa serta menjadikan budaya sebagai cara

(20)

atau metode dalam mempelajari materi pembelajaran tertentu. Pembelajaran seperti ini merupakan pembelajaran berbasis budaya yang bersifat kontruktivistik. Pembelajaran berbasis budaya yang bersifat kontruktivistik dan menekankan untuk pembelajaran dengan budaya merupakan pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa meningkatkan penguasaan materi pelajaran simultan dengan apresiasinya terhadap budaya lokal. Pembelajaran terpadu berbasis budaya merupakan pembelajaran yang fokus pada tema budaya yang dikembangkan berdasarkan pengalaman awal budaya siswa.

Nurhidayati (2017: 4) menjelaskan bahwa belajar menurut kontruktivistis dapat dirumuskan sebagai penyusun pengetahuan dari pengalaman konkret, melalui aktivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi siswa dengan lingkungannya.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat kaitan antara etnomatematika dengan teori belajara kontruktivisme, dimana etnomatematika adalah pembelajaran yang berbasis budaya, dan pembelajaran kontruktivisme adalah pembelajaran dimana siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungannya. Sehingga didalam pembelajaran siswa bisa mengkontruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan budaya yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

Dalam kegiatan pembelajaran disekolah, tujuan guru adalah pembentukan pengetahuan/skema baru pada diri siswa. Skema baru tersebut sebaiknya dari skema yang sudah ada. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam mengajarkan matematika formal disekolah, guru memulainya dengan matematika yang tidak formal yang diterapkan

(21)

dalam kehidupan sehari-hari anak didalam masyarakat. Melalui pembelajaran dengan pendekatan etnomatematika guru dapat mengkaji budaya yang berkembang didalam masyarakat dan menggunakan aspek-aspek matematika yang terkandung didalamnya dalam pembelajaran matematika. Sehingga ketika siswa menerima pengalaman baru yang dalam pembelajaran matematika berupa konsep-konsep baru maka siswa siswa lebih mudah memahami matematika formal tersebut karena mareka sudah memiliki skema tentang budaya yang ada dilingkungannya. Hal itu tentu sesuai dengan teori belajar kontruktivisme menurut Piaget.

Menggunakan budaya sebagai informasi awal ke dalam pembelajaran matematika, siswa akan dapat mengkontruksi pengetahuanya sendiri dengan mengaitkan pengetahuan relevan yang dimiliki siswa berdasarkan kebiasaan yang dilakukan dengan pengetahuan matematika baru (konsep matematika formal disekolah). Seperti pada permain congklak salah satu skema yang akan dimiliki siswa adalah konsep berhitung. Pada permainan congklak anak-anak sudah menghitung biji congklak untuk memperkirakan agar biji congklak yang dijalankanny agar tidak sampai kelubang kosong atau bisa sampai kelubang induk. Kemudian melakukan penjumlahan pada saat menambah lubang tertentu dengan menjalankan biji congklak di lubang lain sehingga lubang tertentu tersebut sampai kelubang induknya. dan pembagian pada saat memasukkan satu biji congklak kesetiap lubang kecuali lubang induk lawan sehingga ketika bertemu dengan materi operasi hitung pada matematika formal di sekolah siswa akan mudah memahami materi tersebut berdasarkan skema yang sudah dimilikinya.

Sedangkan menurut Vygotsky pembelajaran akan terjadi apabila anak belajar mangani tugas-tugas yang belum dipelajarinya namun tugas-tugas tersebut

(22)

masih berada dalam jangkauan Zone of Proximal Development (ZPD). Untuk menggali kemampuan tersebut, guru harus menciptakan proses belajar mengajar yang dapat membuat siswa aktif dalam mengkontruksi pengetahuannya secara terus menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah. Salah cara yang dapat diguakan dalan proses mengkontruksi pengetahuan yaitu membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan permbedaan. Contoh dalam etnomatematika pada permainan congklak untuk konsep persamaan linear satu variabel yaitu untuk bisa sampai kelubang induk (dalam istilah congklak yaitu pulang) jika didalam lubang ke-3 hanya terdapat 2 biji congklak, maka berapa biji yang harus diusahakan agar sampai ke lubang induk? Berdasarkan pengalamannya siswa akan menjawab satu. Sehingga guru bisa menjelaskan bahwa biji congklak yang diusahakan itu adalah variabelnya, secara matematika dapat ditulis:

𝑥 + 2 = 3 𝑥 + 2 − 2 = 3 − 2

𝑥 = 3 − 2 𝑥 = 1

Berdasarkan hal tersebut siswa akan bisa membuat persamaan bahwa variabel adalah biji congklak yang harus diusahakan atau bilangan yang akan ditentukan nilainya untuk menyelesaikan persamaan linear satu variabel.

(23)

2.1.9 Keterkaitan Etnomatematika pada Permainan Congklak dengan Pembelajaran Matematika

Alfonsa (2016: 5) menyimpulkan bahwa etnomatematika merupakan matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari usia tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya. Ini berarti etnomatematika bukan sekedar bicara tentang etnis/suku. Karena pengajaran matemaika di sekolah dan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berdeda, maka pembelajaran matematika sangat perlu memberi muatan/menjembatani antara matematika dalam kehidupan sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah. Melihat kurikulum 2013 yang menanamkan pemikiran ilmiah dan pendidikan karakter, menjadi rasional untuk mengintegrasikan etnomatematika dan pembelajaran matematika.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa etnomatematika memiliki keterkaitan dengan pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah. Salah satu budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat adalah permainan tradisonal. Permainan tradisional memiliki banyak manfaat terutama sebagai sarana sosialisasi bagi anak karena permainan tradisional biasanya dimainkan oleh dua orang atau lebih. Ningsih (2018:44) mengatakan permainan tradisional dapat membuat anak menjadi lebih kreatif dan bekerjasama untuk menjadi pemenang. Cara permainan yang dapat melibatkan dua orang atau lebih dapat menumbuhkan sikap social pada diri anak.

Menurut Ningsih (2018:44) banyak permainan tradisional yang aman dan berkualitas untuk dipilih sebagai sarana belajar anak. Permainan tradisional seperti

(24)

congklak, engklek, dan bekel merupakan permainan yang dapat dikaitkan dengan materi pelajaran, terutama pelajaran matematika. Jadi dapat disimpulkan bahwa Permainan tradisional congklak merupakan salah satu permainan yang aman dan berkualitas dan dapat dikaitkan dengan pembelajaran matematika.

Pembelajaran matematika melalui permainan tradisional dapat digunakan guru sebagai media pembelajaran matematika sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nataliya (2015: 354) yang menujukkan hasil terdapat peningkatan kemampuan berhitung siswa setelah diberikan media pembelajaran matematika berupa permainan congklak sehingga media pembelajaran congklak efektif untuk meningkatkan kemapuan berhitung siswa.

Menurut Kurniati (2016: 93) salah satu perosedur bermain congklak yaitu anak-anak mempersiapkan congklak dengan cara mengisi lekukan sebanyak 7 buah dengan biji congklak. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan aspek etnomatematika menurut Bishop (1994: 1) pada aspek counting dimana terdapat kegiatan berhitung ketika pemain mengisi setiap lubang congklak dengan biji congklak. Dalam bermain congklak setiap pemain memiliki strategi untuk menang sehingga akan memenuhi aspek playing, menurut Bishop (1994: 1) aspek ini berkaitan dengan aturan dan strategi untuk memang. Tidak hanya dua aspek tersebut yang dapat digali namun pada permain congklak terdapat aspek locating karena adanya arah dalam menjalankan biji congklak, dan aspek explaining berupa kegiatan menjelaskan mengapa pemain menggunakan strategi tertentu.

Aspek-aspek matematika dari kegiatan permainan tradisional tersebut dapat dikaitkan dengan kompetensi dasar pembelajaran matematika pada tingkat SMP. Seperti pada kelas VII kompetensi dasar 3.1 menjelaskan dan menentukan urutan

(25)

pada bilangan bulat (positif dan negatif) dan pecahan (biasa, campuran, desimal, persen). Kompetensi dasar tersebut dapat dikaitkan dengan aktivitas permainan congklak pada tahap akhir dengan aspek matematika counting yaitu menghitung dan membandingkan jumlah biji congklak yang di peroleh pemain sehingga dapat di ketahui pemenangnya. Untuk dapat mengaitkan lebih banyak lagi permainan congklak dengan kompetensi dasar pada pembelajaran matematika maka perlu dilakukan kajian lebih dalam lagi tentang permainan congklak.

Permainan congklak merupakan salah satu permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran dan pertemanan yang dapat mengarahkan tingkah laku individu di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap budaya ini sebagai upaya untuk melestarikan dan memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak. Dari sisi etnomatematika, ada aktivitas permainan congklak yang perlu dikaji. Pengkajian ini untuk menggali informasi mengenai permainan congklak untuk mengungkapkan aspek-aspek matematika apa saja pada permainan tersebut sehingga dapat dikaitkan dengan pembelajaran matematika pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Sehingga apabila dikaitkan maka penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi budaya itu sendiri melainkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan.

2.2 Kerangka berpikir

Eksplorasi etnomatematika pada permainan congklak ini digunakan untuk menggali aspek-aspek matematika dalam etnomatematika menurut Bishop. Aspek-aspek matematika dalam etnomatematika menurut Bishop (1994: 1-2) ada 6 Aspek-aspek yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, dan explaining. Dari ke-enam aspek tersebut akan digali empat aspek yaitu counting, locating, playing, dan

(26)

explaining dari permainan congklak dengan melakukan wawancara langsung terhadap budayawan yang memiliki pengetahuan tentang permainan congklak dan peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan terhadap anak-anak yang sedang bermain congklak. Aktivitas wawancara dan observasi di tunjang dengan hasil dokumentasi berupa foto, dan video.

Aspek counting akan digali dari kegiatan awal bermain yaitu ketika siswa mengisi lubang congklak dengan 7 biji congklak, selama permainan berlangsung yaitu ketika siswa menghitung biji congklak agar biji congklak yang diambil sampai kelubang induk dan diakhir permainan yaitu ketika siswa menghitung biji congklak yang berhasil dikumpulkannya. Aspek Locating akan digali dari arah biji congklak dijalankan. Dan aspek playing akan digali dari strategi pemain untuk memenangkan permainan. Kemudian aspek explaining digali dari mengapa pemain memilih strategi tertentu untuk memenangkan permainan.

Aspek-aspek matematika yang ada pada permainan congklak tersebut akan dikaitkan dengan pembelajaran matematika pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) sesuai dengan kurikulum 2013 revisi 2018. Sehingga dari penelitian ini akan diperoleh konsep-konsep matematika dalam konteks permainan congklak. Konsep-konsep ini nantinya dapat digunakan guru untuk menciptakan pembelajaran yang inovatif berbasis budaya yaitu permainan congklak. Sehingga siswa lebih mudah memahami konsep matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardiarti (2017:99-100) yang menyatakan bahwa matematika seseorang dipengaruhi oleh budayanya, karena apa yang mereka lakukan merupakan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan memengaruhi perilaku individu dan

(27)

memiliki peran besar dalam perkembangan pemahaman individual, termasuk pemahaman dalam pembelajaran matematika.

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Aspek-aspek matematika

dalam etnomatematika

Aspek

Counting Locating Aspek Playing Aspek Expaining Aspek

Kegiatan Menghitung selama permainan Congklak Posisi Lubang Congklak Strategi bermain Pembelajaran Matematika Permainan Congkalak Pembelajaran matematika dikelas

Gambar

Gambar 2.1 Alat Permainan Congklak   2.1.7.2 Cara Bermain Congklak
Gambar 2.2 Anak-Anak Sedang Bermain Congklak
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Aspek-aspek matematika

Referensi

Dokumen terkait

Implikasinya adalah setiap rumah sakit dituntut untuk senantiasa meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pasiennya dalam semua aspek  pelayanan, baik yang bersifat

Berdasarkan analisis data dan hasil pengujian hipotesis pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara simultan pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah,

Kondisi Agak Basah diprakirakan terjadi di sebagian wilayah Kab./Kota : Bengkayang (Ledo), Kayong Utara (Simpang Hilir), Ketapang (Manis Mata, Sungai Laur, Simpang Hulu), Kubu

Kami perlu memberi komentar semua file aturan individual yang dirujuk dalam file konfigurasi Snort, karena alih-alih mendownload setiap file secara terpisah, kami

Ablasio retina dapat dihubungkan dengan malformasi congenital, sindrom metabolik, trauma mata (termasuk riwayat operasi mata), penyakit vaskuler, tumor  koroid,

menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu produk, apakah produk itu disukai atau tidak disukai, dan apakah produk itu baik atau buruk. Petani yang

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dari pengembangan perangkat lunak ini adalah untuk mewujudkan pengembangan perangkat lunak Magic Profile Book

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah suatu variabel normal atau tidak. Normal disini dalam arti mempunyai distribusi data yang normal. Untuk menguji