MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEPEMIMPINAN TINGKAT III
Hak Cipta© Pada: Lembaga Administrasi Negara
Edisi Tahun 2008
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (62 21) 3868201-06 Ext. 193, 197 Fax. (62 21) 3800188
Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
Jakarta – LAN – 2008 139 hlm: 15 x 21 cm
ISBN: 979-8619-67-6
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon III baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak, pejabat struktural eselon III memainkan peran yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat lebih terjamin.
Salah satu unsur penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III yang mengalami proses standarisasi adalah modul untuk para peserta (participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modul-modul Diklatpim Tingkat III ini.
Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengharapkan agar peserta Diklatpim Tingkat III dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
Kepada Drs. Sampara Lukman, MA, Sugiyanto, SH, MPA dan Dra. Damayani Tyastianti, MQM selaku penulis serta seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terima kasih atas kesungguhan dan dedikasinya.
Jakarta, Juli 2008
KEPALA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUNARNO
KATA PENGANTAR
Sejalan dengan upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional melalui jalur pendidikan dan pelatihan (Diklat), pembinaan Diklat khususnya Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat III ke arah Diklat berbasis kompetensi, terus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Salah satu upaya pembinaan yang telah ditempuh adalah melalui penerbitan modul Diklat.
Kehadiran modul Diklatpim Tingkat III ini memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga kebijakan pembinaan Diklat yang berupa standarisasi penyelenggaraan Diklat dapat diwujudkan. Oleh karena itu, modul ini dapat membantu widyaiswara atau fasilitator Diklat dalam mendisain pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta Diklat; membantu pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan Diklat; dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran. Untuk maksud inilah maka dilakukan penyempurnaan terhadap keseluruhan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III yang meliputi substansi dan format.
vi
melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap isi modul, sedangkan peserta Diklat dapat memperluas bacaan yang relevan dengan modul ini, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dinamis, interaktif dan aktual.
Selamat memanfaatkan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III ini. Semoga melalui modul ini, kompetensi kepemimpinan bagi peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat III dapat tercapai.
Jakarta, Juli 2008
DEPUTI BIDANG PEMBINAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
APARATUR
NOORSYAMSA DJUMARA
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ... iii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Deskripsi Singkat... 2
C. Indikator Hasil Belajar ... 3
D. Materi Pokok ... 3
E. Manfaat... 3
BAB II PELAYANAN PRIMA... 5
A. Pengertian Pelayanan... 5
B. Makna Pelayanan Prima ... 10
C. Paradigma Pelayanan... 12
D. Latihan... 21
E. Rangkuman... 22
BAB III STRATEGI KEBERHASILAN PELAYANAN PRIMA ... 23
A. Kelembagaan ... 23
B. Pengelolaan SDM... 29
C. Komitmen Pimpinan... 36
D. Fokus Kepada Pelanggan ... 42
E. Pengelolaan Pengaduan ... 50
F. Latihan... 71
G. Rangkuman... 71
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN PELAYANAN PRIMA ... 73
A. Standar Pelayanan ... 74
B. Standard Operating Procedures... 88
C. Indeks Kepuasan... 107
E. Latihan ... 125
F. Rangkuman ... 125
BAB V PENUTUP... 128
A. Simpulan ... 128
B. Tindak Lanjut ... 129
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pemberian pelayanan publik yang berkualitas dan mampu memberikan kepuasan bagi masyarakatnya merupakan kewajiban
yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kinerja pelayanan publik akan menjadi tolok ukur bagi kinerja pemerintah. Fungsi pemerintah beserta aparatnya sebagai pelayan publik (public servant) merupakan salah satu tuntutan dari reformasi. Persepsi masyarakat yang selama ini cenderung dijadikan obyek
pelayanan sehingga masyarakat dianggap yang harus ‘melayani’ harus dihilangkan. Setiap aparat pemerintah harus mulai bersikap profesional dalam memberikan pelayanan dan menjadikan masyarakat seseorang yang harus dilayani. Oleh karena itu seluruh aparat penyedia layanan pada tiap-tiap organisasi pemerintah haruslah bersinergi satu sama lain untuk berupaya
memberikan pelayanan yang terbaik.
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik sejauh ini terus menerus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan
demikian, sejauh ini penilaian negatif akan kinerja pelayanan yang masih belum sesuai harapan masyarakat masih saja
ditujukan pada pengelolaan pelayanan publik di Indonesia. Ucapan “miring” pun masih terdengar ketika menyebut kata pelayanan publik.
Menghadapi kenyataan tersebut, maka pemberian pelatihan kepada pegawai pemerintah, khususnya yang menyediakan pelayanan publik, masih dipandang perlu untuk dilakukan agar pemberian pelayanan yang berkualitas tidak hanya sebatas konsep, akan tetapi segera dapat terealisasikan. Terkait dengan hal tersebut, maka materi pengembangan pelaksanaan pelayanan
prima semakin penting untuk diberikan pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III ini.
B.
DESKRIPSI SINGKAT
Pada bagian ini akan disajikan berbagai strategi pengembangan
pelayanan publik, serta beberapa strategi yang mendukung keberhasilan dalam pengembangan pelayanan prima.
Menyadari betapa pentingnya pemberian kualitas pelayanan
prima bagi masyarakat, maka keberadaan modul ini cukup penting. Meskipun demikian, dari serangkaian strategi yang dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas pelayanan dalam modul ini hanya dipilih beberapa strategi yang dinilai mudah untuk diterapkan. Strategi tersebut antara lain penataan
kelembagaan, pengelolaan SDM, komitmen pimpinan, fokus kepada pelanggan serta strategi pengelolaan pengaduan.
Disamping penerapan strategi dalam pengembangan pelayanan prima beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan antara lain
penerapan standar pelayanan, penyusunan standard operating procedures, pengukuran kepuasan pelanggan (indeks kepuasan pelanggan) serta penerapan konsep manajemen kualitas seperti TQM, ISO 9000.
C.
INDIKATOR HASIL BELAJAR
Indikator-indikator hasil belajar adalah:
1. Peserta mampu memahami pengertian pelayanan prima, makna pelayanan prima serta paradigma pelayanan;
2. Peserta mampu memahami dan menjelaskan berbagai strategi keberhasilan dalam pelayanan prima;
3. Peserta mampu memahami dan menjelaskan strategi
pengembangan pelayanan prima.
D.
MATERI POKOK
1. Pengertian pelayanan, makna dan paradigma pelayanan; 2. Strategi keberhasilan pelayanan prima;
3. Strategi pengembangan pelayanan prima.
E.
MANFAAT
4 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
1. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang menjadi strategi penentu keberhasilan pelayanan, perbaikan pelayanan;
2. Mampu menjelaskan faktor-faktor dapat dipergunakan sebagai strategi pengembangan pelayanan prima.
BAB II
PELAYANAN PRIMA
A.
PENGERTIAN PELAYANAN
Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan (KEPMENPAN 63/KEP/M.PAN/7/2003). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.
Pelayanan merupakan kegiatan/keuntungan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen/customer yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki (Daviddow dan
Uttal, 1989). Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan.
Pelayanan yang dikatakan tidak berwujud tersebut berarti bahwa pelayanan itu hanya dirasakan. Norman (1991) mengetengahkan karakteristik pelayanan sebagai berikut:
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan pengertian pelayanan, makna
1. Pelayanan sifatnya tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi;
2. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial;
3. Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadiannya bersamaan dan terjadi di tempat yang sama.
Gronroos (1990) dan beberapa ahli lain mencoba menjelaskan
keabstrakan bentuk pelayanan jasa dengan menyusun beberapa karakteristik jasa pelayanan dan barang. Perbedaan karakteristik antara barang dan jasa dapat dilihat dalam tabel berikut:
Barang Jasa
Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud
Satu jenis barang dapat berlaku untuk semua orang (homogen)
Satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sesuai/sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen)
Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses komunikasi
Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung bersamaan pada saat bersamaan
Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan
Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli
Pembeli pada umumnya tidak terlibat dalam proses produksi
Pembeli terlibat dalam proses produksi
Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan
Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan
Karakteristik tersebut dapat dijadikan dasar bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik (prima). Pengertian yang
lebih luas seperti dikemukakan Daviddow dan Uttal (1989) bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer satisfaction).
Pelayanan publik harus diartikan sebagai kewajiban yang diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik (masyarakat), merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang
dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan perundang-undangan.
Pelayanan publik mempunyai perbedaan dengan pelayanan jasa lainnya. Karakteristik pelayanan publik antara lain adalah sebagai berikut:
1. Memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya;
2. Memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders); 3. Memiliki tujuan sosial;
4. Dituntut untuk akuntabel kepada publik;
5. Memiliki konfigurasi indikator kinerja yang perlu kelugasan (complex and debated performance indicators);
8 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
Berbeda dengan pelayanan yang dikelola oleh pemerintah, penyediaan pelayanan oleh sektor swasta memiliki karakteristik:
(1) didasarkan kepada kebijakan Dewan Direksi, (2) terfokus pada pemegang saham dan manajemen, (3) memiliki tujuan mencari keuntungan, (4) harus akuntabel pada kalangan terbatas, (5) kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja manajemen, termasuk di dalamnya kinerja finansial, serta (6) tidak terlalu terkait dengan isu politik.
Berbagai karakteristik pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut menimbulkan persoalan dalam penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan
tersebut antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara
output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas. Ketiga, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Keempat, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalitis, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalitis. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Meskipun demikian, penyediaan pelayanan publik tetap harus
Modul Diklatpim Tingkat III 9
diupayakan untuk selalu dilakukan, mengingat penyediaan pelayanan publik yang berkualitas merupakan suatu kewajiban
bagi setiap instansi penyedia pelayanan publik.
Pelayanan prima atau pelayanan yang berkualitas menurut Evans and Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika
dilihat dari sudut pandang konsumen, maka pelayanan prima selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari sudut ”product based”, maka pelayanan prima dapat didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan
karakteristik produk yang bersangkutan. Pelayanan prima jika dilihat dari sudut “user based”, maka pelayanan prima adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sedangkan, jika dilihat dari “value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan dengan harga.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan dilakukan pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak antara pelanggan
B.
MAKNA PELAYANAN PRIMA
Layanan dan dukungan kepada customer (pelanggan) dapat
bermakna sebagai suatu bentuk layanan yang memberikan kepuasan bagi pelanggannya, selalu dekat denganpelanggannya, sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh para pelanggannya. Selain itu, membangun kesan yang dapat memberikan citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali/terjangkau bagi pelanggan yang membuat pelanggan
terdorong/termotivasi untuk bekerja sama/berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang prima.
Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Zeithaml, et al, (1990) seperti dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan. Oleh karena itu, mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan atau keinginan dengan kenyataan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dimensi yang sangat melekat dengan mutu pelayanan adalah:
1. Tak nyata: penampilan fasilitas fisik, peralatan, tenaga kerja, dan metode yang digunakan dalam berkomunikasi dengan pelanggan;
2. Daya uji: Kemampuan menunjukkan sebagai jasa yang dapat diandalkan dan akurat seperti yang dijanjikan (standar);
3. Daya tanggap: Kemauan membantu pelanggan dan
menyediakan layanan dengan segera;
4. Keterampilan: Memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan;
5. Keramahan: Sopan dan santun, penghargaan, perhatian, dan persahabatan, dari orang yang menghubungi;
6. Kredibilitas: Ketulusan, kepercayaan, kejujuran dari pemberi layanan;
7. Keamanan: Kebebasan dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan;
8. Akses: Kemudahan untuk didekati dan atau dihubungi;
9. Komunikasi: Memberikan pengetahuan yang dapat dipahami oleh pelanggan dan mendengarkan mereka;
10. Pengertian: Berusaha mengenal pelanggan dan kebutuhannya.
12 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
1. Keramahan, kesopanan, perhatian dan persahabatan dengan orang yang menghubunginya;
2. Kredibilitas dalam arti bahwa dalam melayani pelanggan, berpedoman pada prinsip ketulusan dan kejujuran dalam menyajikan jasa pelayanan yang sesuai dengan kepentingan
pelanggan, sesuai dengan harapan pelanggan, dan sesuai dengan komitmen pelayanan yang menempatkan pelanggan pada urutan nomor satu;
3. Akses dalam arti bahwa seorang aparatur yang tugasnya melayani pelanggan mudah dihubungi baik langsung atau tidak langsung;
4. Penampilan fasilitas pelayanan yang dapat mengesankan pelayanan sesuai dengan keinginan pelanggan;
5. Kemampuan dalam menyajikan pelayanan sesuai dengan
keinginan pelanggan (waktu, biaya, kualitas, dan moral).
C.
PARADIGMA PELAYANAN
Paradigma yang kini sedang menjadi gerakan organisasi
(public/private) sejalan dengan adanya revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu. Mutu yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai suatu paradigma perubahan yang perlu mendapat perhatian serius, karena mutu merupakan inti kelangsungan hidup organisasi. Perlu disadari bahwa mutu sangat tergantung pada kepentingan dan atau penilaian
pelanggan/stakeholders.
Modul Diklatpim Tingkat III 13
Birokrasi sebagai wujud organisasi sektor publik tidak terlepas dari pengaruh perubahan paradigma tersebut. Mutu yang
diberikan aparatur birokrasi (birokrat) akan sangat menentukan kelangsungan hidup birokrasinya, dan mutu pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh pengguna/yang berkepentingan dengan jasa layanan (stakeholders).
Paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur birokrasi (birokrat), pada dasarnya menuntut perubahan dalam orientasi pelayanan, dimana aparatur/birokrat dituntut memiliki visi dan misi yang jelas, dan pasti dalam mewujudkan pelayanan prima kepada pelanggan (masyarakat). Salah satu pendekatan yang
dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (Empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuh-kembangkan, saling memperkuat, dan
menambah nilai daya saing global yang sama-sama menguntungkan.
Paradigma adalah suatu konsepsi yang dapat mendasari
seseorang untuk merefleksikan keyakinannya dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya, sehingga pelanggan yang dilayani tidak lagi menyatakan bahwa pelayanan aparatur pemerintah dalam melayani pelanggan selama masih bisa
pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan (pelayanan yang cepat, tepat, akurat, murah, dan dengan pelayan yang
ramah). Ungkapan ini memang sangat menggelitik aparatur yang salah satu tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah:
1. Apakah masyarakat tidak cukup pengetahuan dalam hal sistem dan prosedur pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat?
2. Apakah masyarakat belum menyadari betapa pentingnya pemahaman terhadap sistem dan prosedur pelayanan yang dijadikan panduan dalam memperoleh jasa pelayanan yang diinginkan? atau
3. Aparatur pemerintah belum menyadari dirinya sebagai abdi negara dan atau abdi masyarakat?
Pertanyaan tersebut di atas, seharusnya tidak terjadi apabila semua komponen menyadari tugas pokok dan fungsinya masing, menyadari kewajiban dan haknya masing-masing, semua aparatur pemerintah sadar bahwa dirinya adalah seorang visioner dan misioner yang tidak lepas dari tanggung
jawab membawa bangsa ini ke masa depan yang ideal.
Salah satu tip menuju ke masa depan yang ideal bagi aparatur
dalam kapasitasnya sebagai pelayan (sektor publik) adalah dengan menyajikan pelayanan yang prima kepada masyarakat (pelanggan), pelayanan yang memusatkan perhatian pada masyarakat (pelanggan). Hal ini dapat diwujudkan dengan
memusatkan perhatian kepada pelanggan dengan menggunakan cara sebagai berikut:
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dibicarakan oleh pelanggan;
2. Memperhatikan sikap tubuh, dan bertindak secara tenang dan rileks saat melayani pelanggan;
3. Menatap mata pelanggan saat ia berbicara, dan senyum yang dapat menyejukkan hati orang yang memandangnya;
4. Memperhatikan ekspresi wajah dengan menampilkan senyum yang sesuai dengan konsep pribadi prima. Pribadi prima adalah pribadi yang:
a. Tampil rapi dalam melayani pelanggan;
b. Tampil sopan dalam menghadapi pelanggan;
c. Tampil ceria dalam menyambut pelanggan;
d. Tampil yakin dan meyakinkan bahwa dirinya dapat meyakinkan dan diyakini oleh pelanggan, bahwa dirinya dapat menyajikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggannya;
e. Tampil dengan prinsip senang belajar (learning) untuk tujuan menyenangkan pelanggan;
f. Senang menyenangkan orang lain.
16 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
6. Menempatkan kepentingan pelanggan pada urutan nomor satu;
7. Mengetahui siapa pelanggannya dan apa keinginannya.
Selanjutnya, dalam agenda Reinventing Government
dijelaskan tentang pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster and cheafer government. Osborne dan Gaebler (1993) seperti dikutip Sudarsono Hardjo Soekarto dalam "Manajemen Pembangunan No.19/V/April 1997" menyatakan bahwa agenda ini mengacu pada prinsip customer driven government.
Instrumen dari prinsip di atas, menurut Sudariono Hardjo
Soekarto adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan lebih suka dilayani menuju kepada lebih suka melayani. Yang pertama menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya yang
kedua, menempatkan warga negara (customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah.
Sasaran akhir pengembangan organisasi ini menurut Sudarsono
Hardjo Soekarto adalah tidak lain dicapainya pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dalam manajemen sektor publik, pelayanan prima kepada masyarakat telah menjadi bagian penting dari accountability manajemen. Untuk itu perlu disadari bahwa datangnya era pelayanan terbaik kepada
masyarakat/pelanggan sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan daya saing global. Salah satu konsep yang
Modul Diklatpim Tingkat III 17
disodorkan Osborne dan Plastrik (1996) dalam strategi menerapkan reinventing government adalah Putting the
customer in the drivers seat.
Sudarsono Hardjo Soekarto (1997) selanjutnya menyatakan bahwa implementasi dari prinsip reinventing government
tersebut di atas, dapat ditempuh melalui tiga agenda penting, yaitu:
1. Public-private partnersip atau privatization;
2. Budgeting reform; dan
3. Organizational development and change.
Pembangunan sistem kualitas pada awalnya diungkapkan oleh W. E. Deming yang berbicara dihadapan para ilmuan Jepang
pada tahun 1950. Pada kesempatan itu antara lain disoroti mengenai keberhasilan yang dramatis dari industri Jepang dalam meningkatkan kualitas menjadi pusat perhatian berbagai negara di dunia yang tertarik untuk mempelajari bagaimana strategi perusahaan-perusahaan Jepang dalam menerapkan
manajemen kualitas.
Hasil studi tentang perusahaan-perusahaan industri kelas dunia yang berhasil mengembangkan konsep kualitas dalam
bidang kehidupan masyarakat sebagai alat untuk memenangkan persaingan global.
Pasar global adalah suatu pasar yang diselimuti oleh situasi dan sistem kompetisi yang demikian ketat, sehingga kita dihadapkan oleh tuntutan "ditemukannya suatu jawaban tentang kualitas produk jasa pelayanan yang memuaskan masyarakat pelanggannya". Konsep dasar dalam memuaskan pelanggan minimal mengacu pada; (1) keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif (mempunyai daya tarik; bersifat menyenangkan) yang dapat memenuhi keinginan pelanggan, dan
dengan demikian dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk itu, (2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Acuan dari kualitas seperti dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan (Customer Focused Quality). Dengan demikian, menurut (Vincent Gaspearsz, (1997) produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi
keinginan pelanggan. Oleh karena itu, maka kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar.
Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat baik langsung maupun tidak
langsung dalam pelayanan dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima.
Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur, seyogianya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayanan itu? dan siapakah pemimpin-pelayan?
Istilah kepemimpinan-pelayan pada awalnya diciptakan dalam karya Robert K. Greenleaf (1970) yang berjudul The Servant as Leader (pelayan sebagai pemimpin). Salah satu tujuan dari penulisan buku Greenleaf ini adalah ingin merangsang pemikiran dan tindakan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan peduli.
Kembali pada pertanyaan apakah kepemimpinan-pelayan itu, Greenleaf mengkaji keperluan akan jenis baru model
kepemimpinan. Kajian Greenleaf menempatkan satu model pelayanan kepada orang lain termasuk karyawan, pelanggan, dan masyarakat sebagai prioritas nomor satu. Kepemimpinan - pelayan menekankan pada peningkatan pelayanan kepada orang lain, yang merupakan sebuah pendekatan holistik dalam pekerjaan.
Jawaban atas pertanyaan "Siapa Pemimpin - Pelayan itu?" Greenleaf dalam karyanya berjudul The servant as Leader
(pelayan sebagai pemimpin) menyatakan bahwa
20 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
pelayan yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani.
Untuk mencapai kepuasan total dan atau keuntungan pelanggan, aparat yang bertugas melayani masyarakat dituntut untuk menghayati berbagai elemen yang dapat memberi
kepuasan kepada pelanggan. Dalam bisnis diperkenalkan berbagai elemen pemberi kepuasan seperti; 1) elemen produk, 2) elemen penjualan, 3) elemen purna jual, 4) elemen lokasi, 5) elemen waktu, dan elemen budaya.
Kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama dalam pelayanan prima, karena itu, sebagai aparatur pelayan dituntut untuk menciptakan citra positif di mata pelanggan melalui:
1. Peningkatan kualitas pelayanan kepada pelanggan dengan memperhatikan aspek-aspek; komunikasi, psikologis, dan perilaku dalam melayani (paradigma senang dilayani, menjadi gemar melayani).
2. Menciptakan citra positif di mata pelanggan dengan cara; menemukan cara terbaik dalam memproyeksikan citra positif di mata pelanggan, pengembangan citra dan cara pendekatan yang positif, penerapan interaksi sosial yang
baik dengan pelanggan, serta pengelolaan lingkungan kerja yang dapat memotivasi karyawan/pegawai untuk berfokus pada pelanggan.
3. Membuat pelanggan merasa diperhatikan. Perhatian bagi seorang aparatur pelayan kepada pelanggannya dapat menyenangkan pelanggan, dapat memuaskan pelanggan,
Modul Diklatpim Tingkat III 21
dan dapat merubah keluhan pelanggan menjadi senyuman.
4. Menyelaraskan antara apa yang dikatakan dengan cara mengatakannya melalui nada, tekanan, dan kecepatan suara, sikap tubuh, mimik, dan pandangan mata.
5. Mengenal siapa pelanggan anda, dan apa kebutuhannya. Pelanggan membeli selain produk, juga pelayanan yang sesuai dengan harapannya.
D.
LATIHAN
1. Apakah yang dimaksud dengan pelayanan prima? Serta apa
yang menjadi tujuan dari pelayanan prima?
2. Perbedaan apakah yang harus diperhatikan dalam mengelola pelayanan jasa dan pelayanan barang? Mengapa antara pelayanan barang dan pelayanan jasa sesungguhnya sulit di bedakan?
3. Dimensi-dimensi apakah yang melekat pada mutu pelayanan? Dimensi-dimensi apakah yang dijadikan tolok ukur pada pelaksanaan pelayanan di instansi bapak/Ibu? 4. Paradigma pelayanan yang seperti apakah yang seharusnya
diterapkan dalam manajemen pelayanan prima pada organisasi publik?
E.
RANGKUMAN
1. Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pelayanan prima adalah pelayanan yang mampu memberikan kepuasan sesuai atau melebihi harapan pelanggannya. Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan.
3. Paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur birokrasi (birokrat), pada dasarnya menuntut perubahan
dalam orientasi pelayanan, dimana aparatur/birokrat dituntut memiliki visi dan misi yang jelas, dan pasti dalam mewujudkan pelayanan prima kepada pelanggan (masyarakat).
4. Kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama dari
pelayanan, untuk mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tersebut aparatur penydia pelayanan dituntut untuk membangun citra positif dimata pelanggan melalui: berperilaku melayani, membuat pelanggan merasa di
BAB III
STRATEGI KEBERHASILAN
PELAYANAN PRIMA
Keberhasilan suatu organisasi penyedia pelayanan dalam
mengembangkan pelayanan prima, dipengaruhi oleh berbagai strategi dalam pengelolaan manajemen pelayanannya. Faktor-faktor yang dinilai sangat berpengaruh dalam pengembangan kualitas pelayanan, antara lain: kelembagaan organisasi, pengelolaan sumber daya manusia, komitmen pimpinan, perhatian kepada pelanggan dan
manajemen pengaduan.
A.
KELEMBAGAAN
Salah satu kelemahan dari penyediaan pelayanan publik di Indonesia yang masih banyak terjadi adalah birokrasi pelayanan yang dinilai belum memudahkan penyelesaian proses pelayanan. Permasalahan semacam ini muncul dikarenakan untuk
menyelesaikan suatu proses pelayanan terkadang, masyarakat harus berkeliling dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain, sehingga disamping merepotkan masyarakat, proses pelayanan juga berjalan lebih lama. Hal tersebut terjadi dikarenakan unit-unit yang terkait dalam pengurusan suatu jenis pelayanan berada
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh dalam
pengembangan kualitas pelayanan.
24 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
terpisah, bahkan terkadang dilakukan oleh instansi yang
berbeda-beda.
Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu strategi yang menjadi penentu keberhasilan pelayanan adalah bentuk kelembagaan organisasi pelayanan seharusnya disusun dibentuk berdasarkan kepentingan penggunanya. Dalam penyusunan organisasi pelayanan haruslah memperhatikan unsur-unsur pokok
kelembagan seperti struktur organisasi, desain organisasi dan budaya organisasi.
Struktur organisasi merupakan bagian yang memberikan gambaran secara konkrit hubungan hirarkhis antara pimpinan yang menduduki jabatan yang paling atas dengan pimpinan tingkat menengah, maupun dengan pimpinan level terbawah. Di samping itu struktur organisasi juga meggambarkan hubungan
yang bersifat horisontal antara unt-unit yang setara namun berbeda dalam organisasi; serta hubungan diagonal yang merupakan hubungan fungsi antara unit organisasi.
Desain organisasi merupakan gambaran tentang pola hubungan antara unit-unit yang ada dalam organisasi. Desain organisasi ini pada dasarnya menggambarkan hubungan kerja dan tata kerja
dalam organisasi. Sedangkan budaya organisasi menggambarkan interaksi antara organisasi dengan individu-individu dalam organisasi, yang didalamya terdapat norma-norma umum, keyakinan antara organisasi dan individu-individu dalam organisasi.
yang terdiri dari beberapa sub sistem yang saling terkait.
Sistem-sistem tersebut melaksanakan kegiatannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan seluruh sistem yang ada dalam organisasi haruslah berorientasi kepada pemberian pelayanan
yang berkualitas.
Pentingnya penataan kelembagaan dalam mewujudkan pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka setiap
penyelenggara pelayanan publik haruslah mengevaluasi kembali bentuk kelembagaannya. Pembentukan Pelayanan Terpadu, pelayanan satu, pelayanan satu pintu ataupun pelayanan bersama merupakan bentuk-bentuk kelembagaan yang dinilai sesuai untuk
penyediaan pelayanan yang berkualitas.
Sebagaimana termuat dalam Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik
diklasifikasikan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu atap dan terpadu satu pintu. Pola penyelenggaraan terpadu satu atap merupakan pola penyelenggaraan berbagai jenis pelayanan yang tidak memiliki keterkaitan proses yang dipusatkan pada satu
tempat tertentu, masyarakat dapat mengakses “pintu” mana yang dikehendaki sesuai dengan jenis pelayanan yang akan dimintanya. Sedangkan pola penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu merupakan pola penyelenggaraan berbagai jenis
pelayanan yang memiliki keterkaitan proses yang dilayani melalui satu pintu.
Dalam pengertian pola penyelenggaraan terpadu satu atap,
seluruh unit yang memberikan pelayanan dipusatkan pada satu tempat sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses
pelayanan yang dibutuhkannya. Keuntungan dari pola
penyelenggaraan pelayanan seperti ini, antara lain: masyarakat akan mudah mengakses pelayanan, dan antara satu “pintu” dengan “pintu” yang lain akan terjadi kompetisi pelayanan yang
mendorong terjadinya peningkatan kualitas pelayanan. Secara kelembagaan, pemerintah daerah dapat pula membentuk unit yang secara khusus menangani pengelolaan pelayanan satu atap. Setiap instansi teknis yang memberikan pelayanan perijinan, membuka counter-nya pada unit ini. Tugas yang dilakukan oleh unit pelayanan satu atap ini tidak lain hanya sekedar untuk menjaga agar pelayanan dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Sementara pada pola penyelenggaraan terpadu satu pintu, berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan dilayani oleh satu manajemen. Biasanya dibentuk unit pelayanan terpadu yang menangani pengelolaan pelayanan ini. Pada perkembangan
selanjutnya, kelembagaan unit pelayanan terpadu yang menganut pola penyelengaraan satu pintu, dilakukan berbagai pengembangan.
Sedangkan pengertian penyelenggaran pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan
Modul Diklatpim Tingkat III 27
Tujuan dari penyelenggaraan pelayanan terpadu masih
berdasarkan ketentuan yang sama adalah:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
2. Memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.
Sedangkan sasaran dari penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah,
mudah, transparan dan pasti terjangkau. Serta meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Unit pelayanan terpadu merupakan unit yang menjadi front liner
pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara seluruh proses pengolahan dilaksanakan oleh masing-masing instansi teknis yang terkait. Dalam kewenangan ini, unit pelayanan terpadu memiliki kewenangan
yang sifatnya administratif, seperti memeriksa seluruh kelengkapan proses administratif, melakukan dokumentasi, memfasilitasi penyelesaian sengketa antara masyarakat pemohon ijin dengan instansi teknis, melakukan koordinasi instansi teknis
dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Bahkan sebagai unit yang langsung berhadapan dengan masyarakat, maka unit pelayanan terpadu seharusnya juga memiliki kewenangan menegur instansi yang dipandang tidak kooperatif dalam proses
pemberian pelayanan melalui pola penyelenggaraan terpadu. Dengan kata lain, unit pelayanan terpadu sebenarnya merupakan unsur lini yang melaksanakan kewenangan Kepala Daerah di Bidang Perijinan. Keberhasilan Kepala Daerah memberikan
28 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
pelayanan perijinan yang berkualitas dapat terlihat dari
berfungsinya unit pelayanan terpadu di daerah.
Meskipun demikian, keberhasilan pengembangan pelayanan terpadu juga tergantung dari aspek kelembagaan yang akan diterapkannya. Aspek kelembagaan tidak hanya menyangkut kewenangan, tetapi juga menyangkut masalah organisasi. Pada aspek kewenangan, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain
adalah kewenangan apa yang akan diberikan/diserahkan kepada organisasi pelayanan terpadu, bagaimana kaitan kewenangan yang diserahkan dengan kewenangan instansi teknis, sejauhmana kewenangan ini memberikan dampak terhadap peningkatan
kualitas pelayanan (terutama dalam kaitan dengan waktu dan biaya), apakah terdapat kemungkinan terjadinya tumpang tindih atau konflik kewenangan, dan sebagainya. Pada aspek organisasi, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain berkaitan dengan tingkatan eselon pejabat yang akan menduduki (sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki), jabatan-jabatan apa yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki, fungsi-fungsi apa yang nantinya akan dijalankan oleh staf yang ditunjuk, sekaligus pula jumlah pegawai yang dibutuhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan adalah Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten Sidoarjo. Dinas ini melaksanakan
Ijin Usaha Industri, maupun pelayanan non perijinan seperti:
Catatan Sipil dan pengurusan KTP.
Di Kota Bontang, Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Bontang, tidak hanya menangani pelayanan yang memiliki keterkaitan, tetapi juga pelayanan-pelayanan lain yang tidak terkait dengan pelayanan perijinan. Fungsi KPT Bontang adalah menerima permintaan pelayanan dari masyarakat, baik berupa perijinan,
seperti IMB, Ijin Lokasi, Ijin Gangguan, Ijin Tambang Galian C, Ijin Reklame, dan lainnya, serta pelayanan non perijinan seperti: Akta Kelahiran, Akta Kematian, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan lainnya.
Daerah lain yang juga berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publiknya melalui penataan kelembagaan pelayanan adalah Kabupaten Sragen, Kota Pare-pare, Kabupaten Lamongan dan
Kabupaten Jembrana.
B.
PENGELOLAAN SDM
Suatu organisasi akan dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan efisien, apabila didukung oleh sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi di bidangnya. Pegawai merupakan
kunci pokok keberhasilan dalam penyediaan pelayanan. Segala bentuk output pelayanan baik yang berupa barang atau jasa sangatlah ditentukan oleh bagaimana sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut melaksanakan pekerjaannya. Oleh
karena itu suatu organisasi penyedia pelayanan harus dapat mengelola pegawainya dengan baik dan benar.
Strategi yang paling sesuai dalam pengelolaan pegawai untuk
mewujudkan pelayanan yang berkualitas adalah melalui pemberdayaan pegawai. Pemberdayaan pegawai merupakan suatu proses untuk mengikutsertakan para karyawan pada semua
level organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Pemberdayaan pegawai juga diartikan sebagai pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan/mengendalikan dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa harus
mendapatkan otorisasi secara eksplisit. (Tjiptono; 2005).
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh organisasi
untuk melakukan pemberdayaan pegawai, yaitu:
1. Manajer/pimpinan dan penyelia memberi tanggung jawab kepada pegawai;
2. Melatih penyelia dan pegawai mengenai bagaimana cara melakukan pendelegasian dan menerima tanggung jawab;
3. Melakukan komunikasi dan umpan balik dari manajer dan penyelia kepada bawahan;
4. Memberikan penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi kepada pegawai atas jas dan kontribusinya kepada
organisasi.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam pemberdayaan pegawai sebagaimana dikemukan oleh Fandy Tjiptono dan
Modul Diklatpim Tingkat III 31
1. Brainstorming
Strategi ini sebagai upaya pemberdayaan pegawai yang
dilakukan dengan mendorong para peserta untuk berani mengungkapkan ide dan pemikiran dalam memecahkan masalah yang pada saat itu dibicarakan. Dalam hal ini pimpinan hanya bertindak sebagai katalisator untuk mendukung kelancaran jalannya diskusi. Namun demikian
pimpinan harus memahami permasalahan yang sedang didiskusikan dan mempunyai jurus tertentu untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut Myers dan Lamm dalam Tjiptono (1995:137) dalam brainstorming dikenal adanya dua konsep, yaitu
groupthink adalah merupakan fenomena yang terjadi manakala peserta lebih banyak berfokus pada usaha untuk
mencapai suatu keputusan daripada upaya menghasilkan suatu keputusan yang baik, hal ini terjadi karena pemimpin terlalu banyak memberikan ketentuan dan tekanan untuk mencapai kesesuaian. Strategi yang dapat diterapkan guna
mengatasi groupthink antara lain:
a. Mendorong disampaikan kritik-kritik;
b. Mendorong pengembangan berbagai alternatif;
c. Menugaskan salah seorang atau beberapa orang untuk memainkan peranan sebagai penentang ide atau saran yang diajukan;
d. Melibatkan orang yang tidak familiar dengan isu yang
dibahas;
e. Menyelenggarakan pertemuan tindak lanjut.
32 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
Salah satu bentuk lain dari Brainstorming adalah Nominal group technique. Teknik ini terdiri dari lima langkah yang harus dilalui:
a. Merumuskan permasalahan;
b. Mencatat ide masing-masing; c. Mencatat ide kelompok; d. Memperjelas ide-ide;
e. Masing-masing anggota kelompok memilih ide yang dianggap sesuai.
2. Gugus Kualitas (Quality Circle)
Dalam gugus kualitas pegawai mengadakan pertemuan secara teratur untuk mengidentifikasi, menganjurkan dan membuat perbaikan lingkungan kerja, antara lain mendiskusikan permasalahan pekerjaan, bagaimana mengatasi masalah, menawarkan konsep perbaikan, menetapkan tujuan dan membuat
rencana. Perbedaan yang mendasar dengan brainstorming adalah setiap peserta merupakan sukarelawan yang melaksanakan pertemuan sendiri, sedangkan brainstorming dilakukan bersama dengan pimpinan (manajer).
3. Kotak Saran
4. Management by Walking Around
Strategi ini dilakukan oleh pimpinan sebagai cara untuk
memonitor para pegawainya dengan cara berbicara dan melihat langsung proses pekerjaan pegawai dan memperoleh berbagai masukan langsung dari pegawai. Dengan cara ini pegawai akan benar-benar memahami apa yang mereka kerjakan, dan pimpinan akan dapat dengan cepat mengetahui berbagai kendala yang
dihadapi.
Melalui penerapan prinsip pemberdayaan pegawai ini diharapkan
mampu bersikap lebih profesional dalam melaksanakan berbagai pekerjaannya, sehingga mereka dapat memberikan pelayanan secara profesional.
Dalam konsep pemberdayaan pegawai terkandung dua hal yang saling berkaitan namun mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. Pelibatan pegawai adalah suatu proses untuk mengikutsertakan para pegawai pada semua level organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan semua masalah (Tjiptono, 2005, 128). Arti penting kegiatan ini mengingat
pegawai yang paling dekat dengan masalah adalah sangat tepat untuk ikut pula memikirkan keputusan penyelesaian.
b. Pemberdayaan pegawai diartikan sebagai pelibatan pegawai yang benar-benar berarti. Dengan demikian pemberdayaan tidak sekedar pemberian masukan dari pegawai melainkan juga memperhatikan, mempertimbangkan, menindaklanjuti masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak. Tanpa
adanya pemberdayaan, pelibatan pegawai hanya merupakan
alat manajemen yang tidak ada gunanya. Oleh karena itu
pelibatan harus dibarengi dengan pemberdayaan pegawai (Tjiptono, 128).
Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh organisasi untuk melakukan pemberdayaan pegawai, yaitu:
a. Manajer/pimpinan dan penyelia memberi tanggung jawab kepada pegawai;
b. Melatih penyelia dan pegawai mengenai bagaimana cara melakukan pendelegasian dan menerima tanggung jawab;
c. Melakukan komunikasi dan umpan balik dari manajer dan
penyelia kepada bawahan;
d. Memberikan penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari
evaluasi kepada pegawai atas jasa dan kontribusinya kepada organisasi.
Upaya pemberdayaan pegawai ini pada gilirannya akan
meningkatkan kompetensi pegawai dalam mendukung organisasi dalam meningkatkan pelayanan kepada pelanggannya.
Namun yang perlu diingat adalah bahwa keberhasilan upaya tersebut harus pula didukung oleh kepemimpinan yang kondusif terutama dalam menciptakan budaya yang sesuai untuk menjalankan pemberdayaan pegawai, misalnya tidak ada resistensi
Modul Diklatpim Tingkat III 35
Pemberdayaan pegawai merupakan strategi yang tepat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan. Karena dengan pemberdayaan pegawai secara otomatis akan memotivasi pegawai serta meningkatkan produktifitas kerjanya. Seorang
pegawai yang merasa dihargai dan memiliki kontribusi akan berkembang secara pribadi dan profesional sehingga akan meningkatkan daya kreativitas, inovasi serta inisiatif dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Semua hal tersebut pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan
pegawai dapat menghasilkan kinerja yang optimal.
Faktor-faktor yang Menghambat Pemberdayaan Pegawai:
a. Penolakan dari Manajemen (level Pimpinan) 1) Ketidakamanan;
2) Nilai-nilai pribadi;
3) Ego;
4) Pelatihan manajemen;
5) Karakteristik kepribadian pada pimpinan; 6) Ketidak-terlibatan Pimpinan;
7) Struktur organisasi dan praktik manajemen.
b. Penolakan dari karyawan dan Serikat Pekerja
Faktor lain yang penting dalam pengelolaan SDM agar dapat tercipta pelayanan yang berkualitas adalah pemberian
pendidikan dan pelatihan bagi pegawai. Tujuan dari pelatihan bagi pegawai adalah memutakhirkan keterampilan dan kemampuan karyawan seiring dengan perkembangan teknologi; mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru sehingga memiliki kompetensi dalam pekerjaan; membantu
36 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
memecahkan permasalahan operasional; mempersiapkan
karyawan untuk pengembangan karier; serta mengorientasikan karyawan kepada organisasi (Iqbal; 2004)
Sedangkan manfaat dari pelatihan pegawai adalah: 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas produktifitas; 2). Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk memenuhi standar-standar kinerja yang diinginkan; 3). Menumbuhkan
sikap loyalitas dan kerjasama yang lebih menguntungkan; 4). Memenuhi persyaratan-persyaratan perencanaan sumber daya manusia; 5). Membantu pegawai dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pribadi.
C. KOMITMEN PIMPINAN
Leadership (kepemimpinan) merupakan faktor pertama yang menjadi kunci keberhasilan kinerja suatu organisasi. Kesuksesan suatu organisasi tergantung pada kinerja para pegawai yang berada paling bawah dalam suatu piramida organisasi, karena
dengan baik. Bahkan sebagus apapun suatu kebijakan itu dibuat,
tanpa adanya komitmen pimpinan untuk menerapkan kebijakan tersebut, tidak akan dirasakan keberhasilannya.
Salah satu konsep kepemimpinan yang sering digunakan dalam prinsip TQM dalam dunia pelayanan adalah tender loving care (TLC). TLC merupakan suatu pendekatan untuk memperlakukan pegawai organisasi dengan penuh kasih sayang serta perhatian
yang simpatik/ramah yang dapat pula diterapkan pada pelanggan (Dow. 1993). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan konsep TLC ini adalah: keadilan dan kebebasan; pengembangan dan pelatihan; kompensasi; penghargaan; serta
partisipasi dan kesempatan.
Figur pimpinan merupakan kunci penting agar organisasi mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
penggunanya. Oleh karena itu kebutuhan akan pemimpin yang kompeten dan memiliki jiwa melayani menjadi syarat mutlak dalam penyediaan pelayanan.
Agar kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan dapat berjalan dengan baik, perlu diterapkan strategi manajemen yang lebih mengarah kepada kepentingan pelanggannya. Beberapa
strategi yang dapat dilakukan oleh pimpinan organisasi untuk memperbaiki kinerja organisasi dalam menyediakan pelayanan adalah:
Pertama, organisasi penyedia jasa pelayanan harus lebih
diarahkan ke arah pemberian kepuasan pelanggan. Struktur
organisasi yang lebih datar, akan lebih mudah menciptakan
komunikasi antara pimpinan organisasi dengan pelanggannya. Kebalikannya bila terlalu banyak hirarki di dalam struktur organisasi, akan semakin menyulitkan terjalinnya komunikasi
yang efektif antara pelanggan dan pimpinan organisasi. Akibatnya pihak manajemen akan lebih sulit dalam menterjemahkan apa yang menjadi kepentingan pelanggan. Organisasi pelayanan yang berkualitas juga harus lebih mementingkan proses produksi pelayanan melalui kerjasama
antar instansi dibandingkan mengupayakan eksistensi per unit, hal ini sekaligus untuk menghindari terjadinya persaingan antar unit yang dikhawatirkan akan mengurangi efektifitas organisasi.
Kedua, upaya peningkatan kualitas organisasi dapat dilakukan melalui kemampuan pimpinan dalam menterjemahkan visi organisasi menjadi strategi kepuasan. Bagaimana upaya pemberian kepuasan dapat dilakukan dengan mempergunakan
sumber-sumber daya yang dimiliki dengan efektif dan efisien. Selanjutnya visi-misi organisasi yang sudah menjadi suatu dasar dalam strategi kepuasan diterjemahkan ke dalam kebijakan organisasi. Kemudian dalam rangka implementasinya, kebijakan
organisasi ini haruslah disosialisasikan dan dikomunikasikan ke dalam seluruh jajaran pimpinan dan staf, sehingga masing-masing unsur dalam organisasi dapat berperan dan berkontribusi sesuai dengan apa yang menjadi keinginan organisasi.
Modul Diklatpim Tingkat III 39
survei terhadap pelanggan untuk mengetahui apa yang menjadi
keinginan mereka serta apa yang belum sesuai dengan harapan pelanggan, merupakan sesuatu yang harus dilakukan, sebelum datangnya keluhan dari pelanggan.
Keempat, pimpinan organisasi dalam menerapkan strategi organisasi yang baru sebagai upaya perbaikan kinerja pelayanan haruslah dilakukan secara bertahap, dikarenakan proses
pembelajaran organisasi dan proses perubahan strategi organisasi memerlukan pemahaman tertentu yang harus dilakukan dengan kesabaran. Dampak dari perubahan strategi yang baru itu pasti ada meskipun secara perlahan, seiring dengan terjadinya
perubahan budaya dalam organisasi. Oleh karena itu seorang pimpinan dalam organisasi janganlah menciptakan atau mengharapkan hasil yang berlebihan dan tidak realistis.
Kelima, pimpinan memberikan peluang kepada pegawai untuk lebih banyak berpartisipasi dalam proses produksi pelayanan dan menempatkan orang-orang yang tepat dalam organisasi sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Hal ini penting
mengingat organisasi pelayanan mempunyai sifat yang sangat tergantung pada kualitas pegawainya. Penerapan prinsip pemberdayaan pegawai merupakan salah satu cara untuk membuka peluang bagi pegawai dalam berpartisipasi.
Pemberdayaan (empowerment) adalah merupakan konsep motivasional atau “state of mind” yang memungkinkan pegawai untuk mencapai prestasi melalui kebebasan individu dan rasa tanggung jawab. Penerapan konsep pemberdayaan pegawai ini membutuhkan penyesuaian nilai dan budaya kerja yang berlaku
40 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
dalam organisasi. Pengertian diatas juga menuntut
dikembangkannya sifat kepemimpinan untuk dipunyai oleh semua pegawai dalam organisasi yang bergerak dibidang pelayanan. Sifat kepemimpinan ini tidak hanya didominasi oleh
kalangan pemimpin saja tapi harus dikembangkan pula pada semua pegawai sampai di tingkat pegawai yang langsung berhubungan dengan pelanggan (frontline level). Dengan pengembangan dan penerapan budaya tersebut suatu organisasi diharapkan mempunyai pegawai yang mandiri (LAN; 2006)
Karakteristik pemimpin yang berorientasi pada kualitas pelayanan sebagaimana dikatakan oleh Ross dalam Fandy
Tjiptono adalah:
1. Visible, commited, dan knowledgeable
Kepemimpinan yang baik mengembangkan fokus pada aspek kualitas, melibatkan setiap pegawai dalam pendidikan dan pelatihan, serta mengembangkan hubungan yang rutin antara
pegawai dan pelanggan/customer.
2. Semangat misionaris
Pemimpin yang baik berusaha mempromosikan aspek kualitas di luar organisasi, misalnya melalui customer.
3. Target yang agresif
4. Strong Driver
Tujuan yang ingin dicapai dalam aktifitas perbaikan
ditetapkan dengan jelas dalam ukuran kepuasan pelanggan dan kualitas.
5. Komunikasi Nilai-nilai
Berupaya melakukan perubahan budaya ke arah budaya kualitas secara efektif. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyusun system komunikasi yang jelas dan konsisten melalui kebijakan tertulis, misi, pedoman, dan pernyataan lainnya mengenai nilai-nilai kualitas.
6. Organisasi
Struktur organisasinya datar (flat structure) yang memungkinkan adanya wewenang yang lebih besar bagi
level-level yang lebih rendah. Setiap karyawan diberdayakan dan dilibatkan dalam tim-tim perbaikan interdepartemental.
7. Kontak dengan pelanggan
Para pelanggan atau costumer diberikan akses untuk menghubungi para pimpinan organisasi.
Sebagai negara yang sebagian besar anggota masyarakatnya
menganut paham paternalistik, konsep kepemimpinan dalam pemberian pelayanan publik menjadi suatu hal yang amat penting bahkan dapat dikatakan sangat menentukan keberhasilan pelayanan. Di Indonesia faktor pemimpin saat ini yang diyakini
memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan. Hal tersebut terbukti dari keberhasilan beberapa
daerah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
anggotanya dikarenakan faktor pimpinan yang memiliki visi kuat dalam pemberian pelayanan prima. Beberapa daerah yang dinilai berhasil dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas antara
lain adalah Kabupaten Sragen; Kabupaten Jembrana, Kota Tarakan, Propinsi Gorontalo, Kota Pare-pare, Kabupaten Sidoarjo, Kota Balikpapan.
D.
FOKUS KEPADA PELANGGAN
Pelanggan merupakan kunci penting dalam suatu organisasi
pelayanan, bahkan suatu organisasi penyedia jasa pelayanan didirikan dikarenakan adanya kepentingan untuk mememenuhi kebutuhan pelanggan. Dengan kata lain pelanggan merupakan orang yang tidak tergantung pada kita, akan tetapi justru kita
yang bergantung kepada pelanggan.
Pentingnya peran pelanggan dalam suatu organisasi pelayanan mengharuskan kita untuk memberi perhatian yang lebih pada
mereka, bahkan harus senantiasa berupaya memenuhi dan memuaskan kebutuhan mereka.
Apabila suatu organisasi pelayanan ingin memberikan perhatian yang pada pelanggannya, beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah:
1. Siapa konsumen saya? 2. Dimana konsumen saya
Modul Diklatpim Tingkat III 43
4. Apa ukuran atau harapan konsumen terhadap produk/jasa
saya?
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan suatu jasa pelayanan seperti responsiveness, tangibles, intangibles, accuracy, dan reliability.
6. Apa yang harus diproses untuk memenuhi kebutuhan konsumen?
7. Apakah produk/jasa saya dapat memenuhi kebutuhan dan harapan?
8. Tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki proses?
Dalam organisasi publik,yang menjadi pelanggan pada suatu unit
pelayanan adalah masyarakat sebagaimana yang menjadi prinsip dalam konsep New Public Service (NPS). Konsep NPS memandang masyarakat sebagai warga negara dengan hak dan kewajibannya, bukan sebagai pelanggan. Menurut pendekatan ini pelayanan publik harus: dilakukan secara demokratis, dilakukan
secara strategis dan rasional atas dasar pertimbangan politik, ekonomi, serta organisasi, dilakukan dengan mengutamakan dialog penyedia jasa dengan yang dilayani untuk mencapai kesepakatan pelayanan, menganggap pengguna jasa sebagai
warganegara (citizen) dengan hak dan kewajibannya yang melekat, bukan dianggap sebagai pelanggan, responsif terhadap kebutuhan warga negara, memperhatikan aturan-aturan yang telah disepakati bersama atas nilai-nilai yang profesional, serta
interes warga negara, memberlakukan diskresi dan akuntabel meski banyak kendala, memiliki stuktur yang terbuka dan kepemimpinan yang kolaboratif, memiliki motivasi yang kuat untuk melayani dan berkonstribusi pada masyarakat banyak.
44 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
Fokus pada pelanggan (customer focus) merupakan manajemen yang berfokus kepada kepentingan pelanggan serta senantiasa berusaha memenuhi harapan pelanggannya. Kualitas suatu produk dan jasa diukur berdasarkan kepuasan pelanggannya.
Partisipasi dimaksudkan suatu kewenangan yang diberikan manajemen (pimpinan) kepada karyawan untuk membuat suatu keputusan dan mendorong mereka untuk dapat berpartisipasi/berinisiatif dalam setiap pekerjaan. Memberdayakan pegawai untuk membuat suatu keputusan yang
dapat memuaskan pelanggan tanpa harus melalui suatu prosedur melalui pemberian kepercayaan kepada pegawai merupakan wujud dari penciptaan organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-driven organisation) yang mengarah pada penerapan TQM. Disamping partisipasi, juga diperlukan kerjasama, kerjasama disini dimaksudkan kerjasama antar pegawai, antar unit maupun antar organisasi. Suatu kerjasama diperlukan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil terbaik agar
dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggannya.
Fokus pelanggan pada sektor publik merupakan proses
memfokuskan kembali tujuan pelayanan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat yang merupakan pelanggan suatu organisasi pelayanan publik. Hal tersebut berarti suatu organisasi pelayanan harus memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan,
merupakan ruang lingkup dalam fokus pelanggan di sektor
publik.
Di Inggris persyaratan fokus pelanggan meliputi 9 (sembilan) prinsip pelayanan publik (nine principles of public service delivery), yaitu setiap organisasi pelayanan publik harus:
1. Membuat seperangkat standar pelayanan;
2. Terbuka dan menyediakan informasi yang lengkap;
3. Melibatkan dan melakukan konsultasi dengan masyarakat; 4. Memberikan kemudahan dalam mengakses pelayanan dan
menyediakan pilihan;
5. Memberikan pelayanan yang adil;
6. Melakukan perbaikan sesuatu ketika terjadi kesalahan; 7. Efektif dalam mempergunakan sumber-sumber daya; 8. Melakukan perbaikan; dan
9. Bekerjasama dengan unit pelayanan lain. (LAN; 2006)
Strategi dalam mengutamakan kepentingan pelanggan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh jajaran pegawai dalam
suatu organisasi. Oleh karena itu, suatu departemen atau organisasi penyedia pelayanan perlu membuat program pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Seperti menentukan pejabat tertentu yang bertanggung jawab
dalam merancang dan menerapkan program consumer champion. Program semacam ini di Indonesia pernah dicanangkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui pencanangan tahun pelayanan publik pada tahun 2003. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam konteks pelayanan di Indonesia, unit-unit
pelayanan publik yang masih menganut prinsip “dilayani”, harus
segera beralih pada prinsip “melayani”.
Pemberian fokus pada pelanggan ini penting untuk dilakukan mengingat pada dasarnya empat tujuan suatu organisasi pelayanan tersebut adalah:
1. Memberikan kepuasan kepada pelanggan;
2. Memberikan kepuasan terbaik bagi pelanggannya dibanding apa yang telah diberikan oleh pesaingnya;
3. Agar pelanggan terus menerus menggunakan jasa
pelayanannya dalam jangka waktu yang lama; 4. Meningkatkan daya saing.
(Evans and Lindsay;1996)
Organisasi penyedia pelayanan yang memberikan perhatian khusus kepada pelanggannya, cenderung akan mengelola pelayanan publik lebih baik, bahkan kedekatan penyedia pelayanan dengan pelanggannya merupakan salah satu metode
baru yang terus menerus dikembangkan dalam organisasi swasta untuk memenangkan persaingan. Sementara pada organisasi publik, khususnya unit pelayanan yang ada di daerah memberikan perhatian yang lebih kepada pelanggannya
merupakan salah satu strategi yang akan mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya, agar tercipta pelayanan yang berkualitas sehingga pada gilirannya masyarakat akan mengetahui dengan baik pemimpin seperti apakah yang paling mereka inginkan.
Modul Diklatpim Tingkat III 47
(tahapan menarik pelanggan); customer retention
(mempertahankan pelanggan); customer engagement (keterikatan dengan pelanggan) (Iqbal; 2004). Ketika hubungan dengan pelanggan masih pada tahap awal, berbagai kegiatan promosi
perlu dilakukan untuk menarik minat pelanggan. Ukuran keberhasilan organisasi pada tahapan ini adalah jumlah unit penjualan dan jumlah pelanggan baru. Sedangkan pada tahap mempertahankan pelanggan aktifitas organisasi yang menonjol adalah berbagai upaya untuk meningkatkan pemahamannya atas
keinginan pelanggan serta durasi hubungan dengan pelanggan yang menjadi tolok ukur keberhasilannya. Sementara puncak hubungan antara penyedia jasa pelayanan dengan pelanggannya adalah pada tahapan ketiga customer engagement, pada tahapan ini masing-masing pihak harus sudah dapat saling memahami kebutuhannya, bahkan masing-masing pihak telah menjadi bagian dari pihak lainnya.
Prinsip customer relationship management ini yang harus dengan sungguh-sunguh diterapkan dalam organisasi pelayanan publik. Tahap pengenalan dilakukan dengan melakukan berbagai sosialisasi tentang program-program pelayanan publik yang
diberikan instansi pemerintah, agar masyarakat mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam pelayanan. Tahapan selanjutnya, pemerintah harus mulai melibatkan masyarakat dalam penyediaan pelayanan, agar pemerintah dapat lebih memahami
apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Sehingga dapat dicapai tahapan ketiga, dimana antara masyarakat dengan pemerintah saling bahu membahu dalam mensukseskan
48 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima
pelayanan publik dan dapat mempermudah penciptaan
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pelayanan publik.
Citizen charter merupakan salah satu model yang banyak diterapkan oleh organisasi pelayanan publik di berbagai negara seperti Inggris, Amerika, Australia, Malaysia, Canada, India serta beberapa unit pelayanan publik di Indonesia. Citizen charter atau di Indonesia dikenal dengan maklumat pelayanan
merupakan sebuah publikasi singkat yang menggambarkan kualitas pelayanan yang dapat diharapkan oleh pelanggan instansi penyedia layanan. Maklumat Pelayanan ini memungkinkan sebuah pendekatan yang terbuka dan transparan
sehingga semua pihak yang terlibat di dalam proses pelayanan memahami dan dapat bekerja di dalamnya.
Maklumat Pelayanan juga dimaknai sebagai suatu pendekatan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pelanggan/pengguna sebagai fokus pelayanan. Dalam hal ini kepentingan pelanggan/pengguna lebih diutamakan dari pada kepentingan penyedia layanan dalam keseluruhan proses dan
praktik penyelenggaraan pelayanan (Dwiyanto, et. al, 2003). Konsep maklumat pelayanan mengutamakan kepercayaan antara penyedia pelayanan dengan pelanggannya. Konsep ini pertama kali dicanangkan dan diimplementasikan di Inggris oleh
kemudian dicanangkan kembali pada tahun 1998 oleh
Pemerintahan Partai Buruh Tony Blair yang namanya diubah dari
citizen charter (maklumat pelayanan) menjadi ‘service first’. Makna dan tahapan pengembangannya sebenarnya sama dengan
nama sebelumnya.
Aspek yang menjadi pusat perhatian dari Service First ini adalah: 1. Setiap organisasi publik diharapkan dapat mengenali
pelanggan dan menciptakan charter sendiri. Charter tersebut didesain untuk mengcover semua pelayanan ke dalam
dokumen yang berbeda-beda;
2. Setiap charter memberikan jaminan tingkatan kinerja untuk setiap aspek pelayanan;
3. Menetapkan standar pelayanan berdasarkan masukan dari pelanggan;
4. Setiap organisasi publik mempunyai sistem untuk berkompromi dengan komplain/kritikan;
5. Adanya pergantian paradigma di antara pekerja publik;
6. Organisasi publik yang dapat memenuhi kriteria Service First
dapat mengajukan diri untuk Charter Mark, simbol kualitas sektor publik.
Masyarakat atau pelanggan yang mendapat perhatian lebih dari penyedia jasa pelayanan, secara otomatis akan lebih mudah mendapatkan rasa kepuasan pelanggan. Manfaat kepuasan
pelanggan antara lain:
1. Hubungan antara perusahaan dan pelanggannya menjadi
harmonis;
2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang; 3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan;
4. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut ( word-of-m