• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Publik (Studi Tentang Evaluasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Publik (Studi Tentang Evaluasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

67

MUHAMAD DASRIL

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU

ABSTRAK

Peraturan Daerah sebagai salah satu produk kebijakan publik tentunya harus di implementasikan dan diawasi pelaksanaannya, ada banyak produk kebijakan publik yang dihasilkan tanpa adanya tindak lanjut, setelah ditetapkan tidak pernah di sosialisasikan kepada publik dan pada akhirnya tidak terimplementasikan dengan baik. Padahal Peraturan Daerah merupakan produk kebijakan yang mempunyai landasan hukum yang kuat. Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak, menimbulkan pertanyaan apakah sudah di implementasikan dengan baik atau tidak sehingga memerlukan suatu bentuk evaluasi untuk menjawabnya, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak belum terimplementasi dengan baik.

Kata Kunci, Evaluasi Kebijakan, Peraturan Daerah

Abstract

Local regulations as one of the products of public policy should certainly be implemented and supervised its implementation, there are many public policy products produced in the absence of follow-up, after the set never socialized to the public and in the end not properly implemented. Whereas Regional Regulation is a product of policies that have a strong legal foundation. After the enactment of City of Palu No. 6 of 2012 on Control of Livestock, raises the question whether it has been research properly or not to require an evaluation form for the answer, the results penelitiaan indicate that the Regional Regulation Palu No. 6 of 2012 on Control of Livestock has not implemented well.

(2)

A.PENDAHULUAN

Peternakan merupakan salah satu faktor ekonomi yang vital, sebagai sektor pemenuhan kebutuhan pangan dan penghasil komoditi ekspor maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang peternakan yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan dipertegas lagi dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Dalam Undang-Undang ini diatur beberapa aspek di bidang peternakan antara lain, tujuan penyelenggaraan peternakan yang tertuang dalam pasal 3 yaitu :

a. Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

b. Mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan pangan nasional;

c. Melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan;

d. Mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat dan

e. Memberi kepastian hukum dan kepastian berusah adalam bidang peternakan dan kesehatan hewan

Kota Palu yang juga merupakan ibu kota Propinsi Sulawesi Tengah dibagi dalam delapan kecamatan dan 45 kelurahan. Kota Palu memiliki luas wilayah 395,06 kilometer persegi, berada pada kawasan dataran Lembah Palu dan Teluk Palu yang

VHFDUD DVWURQRPLV WHUOHWDN DQWDUD ž ´- ž ´ /LQWDQJ 6HODWDQ GDQ ž ´- ž ´

Bujur Timur, tepat berada di bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0 - 700 meter dari permukaan laut, dengan kondisi geografis tersebut Kota Palu memiliki potensi yang cukup menjanjikan di bidang peternakan sehinga dari tahun ketahun bidang peternakan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(3)

Tabel 1

Populasi Ternak Besar di Kota Palu tahun 2010-2014

No Tahun Kerbau Sapi Kuda

1 2014 3 8,474 867

2 2013 3 8,272 911

3 2012 3 8,167 1,478

4 2011 6 7,752 1,205

5 2010 3 9,168 2,801

Sumber. BPS. Kota Palu dalam Angka, 2015

Berdasarkan data dari BPS Kota Palu diatas menunjukkan adanya perkembangan populasi ternak besar di Kota Palu sejak tahun 2011 sampai 2014 khususnya ternak sapi, sedangkan ternak kuda mengalami penurunan, hal ini dikarenakan tergesernya dokar (suatu bentuk alat transportasi yang menggunakan kuda) dengan alat transportasi lainnya seperti mobil (Taxi), Motor ojek, dan becak.

Selain populasi dalam kategori ternak besar, juga terdapat kategori ternak kecil seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 2

Populasi Ternak Kecil di Kota Palu tahun 2010-2014

No Tahun Kambing Domba Babi

1 2014 108,461 4,756 -

2 2013 100,389 4,720 -

3 2012 202,693 4,880 -

4 2011 157,750 6,740 -

5 2010 175,760 7,469 -

Sumber. BPS. Kota Palu dalam Angka, 2015

Dari tabel 2 di atas, menunjukkan potensi dari populasi ternak kecil di Kota Palu tahun 2010²2014 fluktuatif dalam perkembangannya, dengan adanya populasi ternak besar dan kecil di Kota Palu seyogyanya dapat dikelola (digembalakan) dengan baik, sehingga secara umum terlihat bahwa perkembangan hewan ternak di Kota Palu setiap tahun mengalami peningkatan.

Dalam pemeliharaan hewan ternak masih banyak peternak memelihara hewan ternak berupa sapi dan kambing dengan cara dilepas pada perkarangan umum. Hal ini

(4)

menimbulkan keresahan di masyarakat setempat yang mana hewan ternak yang dipelihara dengan dilepas tadi masuk ke perkarangan rumah orang lain dan merusak tanaman-tanaman serta kebun-kebun masyarakat setempat. kemudian sering terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh ternak yang berkeliaran dijalan umum. Kotoran ternak yang berserakan diperkarangan umum, di jalan raya mengganggu kesehatan dan keindahan tata kota serta melanggar hukum.

Adanya Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak, idealnya dapat menjawab dari permasalahan tersebut, ini dimungkinkan karena pada pasal 1 ayat 10 Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak mengemukakan bahwa ³penertiban ternak adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas untuk melakukan penangkapan dan mengamankan ternak yang berkeliaran di jalan umum dan di ruang publik dalam lingkungan Kota Palu´, dari pasal tersebut idealnya petugas telah mempunyai legitimasi dalam melaksanakan penertiban ternak.

Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak sebagai salah satu produk kebijakan publik di tingkat daerah tentunya harus di implementasikan dan diawasi pelaksanaannya, tanpa adanya tindak lanjut setelah ditetapkan dan tidak pernah di sosialisasikan kepada publik pada akhirnya berdampak tidak terimplementasikannya dengan baik. Padahal Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak merupakan produk kebijakan yang mempunyai landasan hukum yang kuat.

B.LANDASAN TEORI B.1. Kebijakan Publik

Istilah kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Friedrich mengemukakan bahwa

Kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan

(5)

adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai WXMXDQ DWDX PHZXMXGNDQ VDVDUDQ \DQJ GLLQJLQNDQ´1.

Berdasarkan pengertian di atas menunjukan bahwa Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural) dengan mendayagunakan berbagai instrumen baik kelompok, individu maupun pemerintah untuk mengatasi persoalan publik.

Eksistensi pemerintah sebagai organisasi publik dan administrator publik dalam kegiatannya mempunyai tanggung jawab kepada publiknya, dalam pelaksanaan kegiatan tersebut pemerintah dituntut untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan permasalahan-permasalahan di masyarakat. Maksud dan tujuan pembuatan kebijakan oleh pemerintah adalah demi kepentingan masyarakat. Permasalahan-permasalahan dalam masyarakat dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan, maka sebelum dibuat kebijakan, kebijakan tersebut akan dirumuskan terlebih dahulu. Kebijakan diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.

0HQXUXW (DODX GDQ 3UHZLW PHQJHPXNDNDQ EDKZD ³.HELMDNDQ DGDODK VHEXDK ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik GDUL \DQJ PHPEXDWQ\D PDXSXQ \DQJ PHQWDDWLQ\D \DQJ WHUNHQD NHELMDNDQ LWX ´2. Pada prinsipnya secara umum istilah kebijakan atau policy menurut Ealau dan Prewit digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (pejabat, suatu kelompok, maupun lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu.

+HJOR PHQJDWDNDQ EDKZD ³.HELMDNDQ OHELK GDSDW GLJRORQJNDQ VHEDJDL VXDWX DODW analisis daripada sebagai suatu rumusan kata-kata. Sebab itu, katanya, isi dari suatu kebijakan lebih dapat dipahami oleh para analis daripada oleh para perumus dan

1

Friedrich dalam Kadji, 2008 Implementasi Kebijakan Publik Dalam Prespektif Realitas, Cahaya Abadi, Tulungagung hlm. 9

2

Ealau dan Prewit dalam Suharto 2008 Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung hlm 7

(6)

SHODNVDQD NHELMDNDQ LWX VHQGLUL´3. Pendekatan yang di ungkapkan oleh Heglo lebih berorientasi pada kebijakan itu merupakan alat analisis atau metode. Dalam masyarakat sering timbul keluhan bahwa hasil suatu analisis yang dilakukan dalam suatu bidang, sulit diterapkan. Kesulitan dalam penerapan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat merupakan kancah pertautan berbagai aspek yang bersifat multidimensi. Dalam masyarakat, berbagai aspek saling mempengaruhi. Karena itu diperlukan analisis yang bersifat multidimensi pula.

Dalam menjawab tantangan dari kesulitan penerapan inilah maka William Dunn menanamkan ilmu analisis kebijakan Applied Social Science, karena ilmu ini menggunakan pendekatan yang bersifat menyeluruh. Bertolak dari sini, Jones PHUXPXVNDQ NHELMDNDQ VHEDJDL ³«behavioral consistency and repeatitiveness associated with efforts in and through government to resolve public problems´ (Perilaku yang tetap dan berulang dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah untuk memecahkan masalah umum). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu bersifat dinamis. (www.idonbiu.com/.../ilmu-kebijakan-dan-pengertian-kebijakan.html).

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, sebaik-baik kebijakan itu mempertimbangkan siapa yang menjadi sasaran dari kebijakan itu sendiri. Dunn dalam Suharto, (2008:85- PHQJXQJNDSNDQ EDKZD ³$GD WLJD EHQWXN DWDX PRGHO DQDOLVLV NHELMDNDQ \DLWX PRGHO SURVSHNWLI PRGHO UHWURVSHNWLI GDQ PRGHO LQWHJUDWLI ´

1. Model Prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan, model ini dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memuat prediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan. 2. Model Retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap

akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan di implementasikan. Model ini biasanya disebuat sebagai model evaluative, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan.

3

(7)

3. Model Integratif adalah model perpaduan antara kedua model di atas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistic, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan peramalan dan evaluasi secara terintegrasi 4

Dari pengertian dan pendapat yang telah dikemukakan diatas tentang kebijakan maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kebijakan merupakan hasil penyaringan. 2. Kebijakan adalah sebuah ketetapan.

3. Kebijakan merupakan tindakan seseorang kelompok atau pemerintah.

4. Dalam kebijakan terdapat model analisis kebijakan yaitu model prospektif, model retrospektif dan model integrative.

Di era demokrasi dan otonomi daerah, publik policy atau kebijakan publik tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah namun menjadi produk legislasi yang dilahirkan dari oleh dan untuk publik. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, menjadi penting untuk memahami mengapa kebijakan publik harus disusun dengan tepat, siapa yang mesti terlibat, dan kenapa harus dipelajari dengan benar.

Penyusunan kebijakan publik dalam konteks demokrasi memang terkadang menimbulkan berbagai tarik ulur antara kepentingan pemerintah, modal dan publik jika harus melibtakan berbagai pihak dalam menformulasikannya. Belum lagi berbagai hal yang menyangkut persinggungan antara urusan privat dan publik serta berbagai konflik kepentingan yang terjadi.

Kebijakan publik pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, kegagalan atau kesalahan dalam mendefinisikan kebijakan publik akan berpengaruh pada kebijakan publik secara umum, ini disebabkan karena dalam proses kebijakan, pendefinisian masalah merupakan tahap yang paling mendasar yang akan menentukan tahap-tahap kebijakan selanjutnya. Dengan demikian, seberapa akurat masalah-masalah publik didefinisikan akan menentukan tingkat keterpecahan masalah-masalah tersebut di masa akan datang.

4

Dunn dalam Suharto 2008 Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung hlm 85-86

(8)

Dari beberapa konsep tersebut menunjukan makna bahwa kebijakan publik merupakan pemanfaatan sumber-sumber daya serta hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan selain itu kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan yang sifatnya mengikat baik itu terhadap pemerintah, swasta dan masyarakat pada umumnya. Berbagai produk kebijakan publik berdasarkan tahapan-tahapan menurut Dunn. adalah sebagai berikut :

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy Issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik sehingga dapat diangkat menjadi kebijakan publik diantaranya: a. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang

serius.

b. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu dàn berdampak dramatis.

c. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa.

d. Menjangkau dampak yang amat luas.

(9)

f. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya).

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi-cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.

4. Implementasi kebijakan

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber-sumber daya finansial dan manusia

5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan,

(10)

program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. 5

B.2. Evaluasi Kebijakan Publik

Evaluasi merupakan salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik, evaluasi adalah suatu cara untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan baik atau tidak. Evaluasi mempunyai definisi yang beragam. Dunn dalam Suharto, (2008:105), memberikan arti pada istilah evaluasi bahwa:

Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (ratting) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.6

Pengertian di atas menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan hasil kebijakan publik dimana pada kenyataannya mempunyai nilai dan hasil tujuan atau sasaran kebijakan publik. Bagian akhir dari suatu proses kebijakan publik adalah evaluasi kebijakan publik. Menurut Lester dan Stewart menyatakan bahwa :

Evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan publik dan untuk mengetahui apakah kebijakan publik telah dirumuskan dan dilaksanakan dengan menghasilkan dampak yang diinginkan. Jadi, evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik dapat meraih hasil yang diinginkan. 7

Adapun menurut Ndraha, berpendapat bahwa ³evaluasi merupakan proses perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa hasilnya´8. Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya, sehingga dapat disimpulkan dengan analisa akhir

5

Dunn, 2003, Pengantar Analisis kebijakan Publik, Edisi kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta hlm, 24

6

Dunn dalam Suharto 2008 Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung hlm 105

7

Lester dan Stewart dalam Agustino 2006, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung hlm 186

8

(11)

apakah suatu kebijakan publik harus direvisi atau dilanjutkan. Dalam hal ini Danim mengemukakan definisi penilaian (evaluating) adalah:

Proses pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:

1. Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.

2. Bahwa penilaian itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan manajemen. 3. Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan yang

sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya di capai9.

Pendapat di atas dapat diperoleh gambaran bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur serta membandingkan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan yang telah dicapai dengan hasil yang seharusnya menurut rencana. Sehingga diperoleh informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan publik, serta dapat dilakukan perbaikan bila terjadi penyimpangan di dalamnya.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang evaluasi kebijakan publik di atas, kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan mengapa evaluasi kebijakan publik dilakukan. Pertanyaan tersebut menimbulkan sebuah jawaban bahwa evaluasi kebijakan publik dilakukan karena pada dasarnya setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. Wahab mengutip pendapat Hogwood dan Gunn, menjelaskan bahwa ³penyebab dari kegagalan suatu kebijakan (policy failure GDSDW GLEDJL PHQMDGL NDWHJRUL \DLWX NDUHQD ³non implementation´ WLGDN WHULPSOHPHQWDVL GDQ NDUHQD ³unsuccessful´ LPSOHPHQWDVL \DQJ tidak berhasil)´. Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan publik itu berarti bahwa kebijakan publik itu tidak dilaksanakan sesuai dengan direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan publik tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak

9

Danim Sudarwin, 2008. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok, PT. Gava Media, Yogyakarta, hlm 14

(12)

menguntungkan, maka kebijakan publik tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki10.

Selain itu evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan publik. Menurut Dunn (2003:609-610) fungsi evaluasi, yaitu:

Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan yang lebih banyak meneliti pada aspek instrumental dari kebijakan yang ada. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, dalam hal ini memfokuskan diri pada substansi dari kebijakan publik yang ada. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi dari penilaian yang dilakukan atas kebijakan publik yang dievaluasi11.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses kebijakan yang paling penting karena dengan evaluasi kita dapat menilai seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan dengan melalui tindakan publik, dimana tujuan-tujuan tertentu dapat dicapai. Sehingga kepantasan dari kebijakan publik dapat dipastikan dengan alternatif kebijakan publik yang baru atau merevisi kebijakan publik. Dunn, mengemukakan bahwa evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode kebijakan publik lainnya yaitu

1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan publik dan program.

2. Interdependensi )DNWD 1LODL 7XQWXWDQ HYDOXDVL WHUJDQWXQJ EDLN ³IDNWD´

mauSXQ ³QLODL´

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokad, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan.

10

Abdul Wahab, Solichin, 2005. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta hlm 47-48.

11

Dunn, 2003, Pengantar Analisis kebijakan Publik, Edisi kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta hlm, 609-610

(13)

4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.12

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari suatu kebijakan publik dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan publik. Kedua yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu kebijakan publik bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti atau fakta bahwa kebijakan publik dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari kebijakan publik tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.

Penelitian tentang evaluasi kebijakan publik seringkali terpaku pada evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan. Padahal tidak semua evaluasi kebijakan publik berbicara dalam tataran tersebut. Hal tersebut sangat bergantung pada evaluasi kebijakan publik macam apa yang sedang kita lakukan. Untuk itu ada tiga macam evaluasi kebijakan publik, yaitu:

a. Evaluasi administratif, evaluasi kebijakan publik yang dilakukan dalam lingkup pemerintahan atau di dalam instansi-instansi,

b. Evaluasi yudisial, evaluasi yang berkaitan dengan objek-objek hukum, dan c. Evaluasi politik, dilakukan oleh lembaga-lembaga politik atau oleh masyarakat

secara umum.

Dunn mengemukakan bahwa dalam mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan publik dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi sebagai berikut:

1. Efektifitas, ini berkaitan dengan apakah hasil yang diinginkan telah tercapai.

12

Dunn, 2003, Pengantar Analisis kebijakan Publik, Edisi kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta hlm, 608-609

(14)

2. Efisiensi, seberapa tingkat usaha yang telah dilakukan dalam melaksanakan kebijakan tersebut dalam mencapai hasil yang diinginkan tersebut.

3. Kecukupan, seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah.

4. Perataan, apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda.

5. Responsivitas, apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai dari kelompok-kelompok tertentu.

6. Ketepatan, apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai.13

Kriteria-kriteria evaluasi kebijakan di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak.

B.3. Peraturan Daerah

Pengertian Peraturan Daerah. Sesuai dengan ketentuan Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per Undang-Undangan, \DQJ GLPDNVXG GHQJDQ 3HUDWXUDQ 'DHUDK 3HUDWXUDQ 'DHUDK DGDODK ³SHUDWXUDQ perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan beUVDPD .HSDOD 'DHUDK´ 'DVDU +XNXP 3HQ\XVXQDQ Produk Hukum Daerah.

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan;

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Pasa1136 s.d Pasa1147);

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun dari Bupati. Apabila dalam satu kali masa sidang Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan Daerah dengan

13

Dunn, 2003, Pengantar Analisis kebijakan Publik, Edisi kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta hlm, 610

(15)

materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh Bupati dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan Daerah.

Pembentukan Peraturan Daerah yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 yaitu sebagai berikut :

a. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundangundangan dibuat karena memang benar benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. Keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

(16)

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Di samping itu materi muatan Peraturan Daerah harus mengandung asas-asas sebagai berikut :

a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus

mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Daerah merupakan bagian dari sistem hokum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus

memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.

h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah

harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(17)

j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. k. Asas lain sesuai substansi Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Peraturan Daerah terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:

a. Proses penyiapan rancangan Peraturan Daerah yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskahakademik dan naskah rancangan Peraturan Daerah.

b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD. c. Proses pengesahan oleh Bupati dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif, yakni sebuah penelitian yang berusaha untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang persoalan yang dijadikan topik penelitian dengan mengutamakan data-data verbal. diharapkan penelitian ini mampu menggali dan membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Adapun penelitian ini difokuskan pada kajian evaluasi kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak.

D.PEMBAHASAN

Berbagai kebijakan yang semula diproyeksikan untuk mengatasi masalah pada kenyataannya melahirkan masalah baru, yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani masalah tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan adanya evaluasi kebijakan yang merupakan aktivitas yang mengevaluasi aktivitas tertentu, dimana dalam konteks penelitian ini aktivitas atau kegiatan tersebut

(18)

adalah mengevaluasi aktivitas atau implementasi dari kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak dengan indikator sebagai berikut : A.Efektivitas

Efektivitas adalah kriteria dari evaluasi kebijakan yang berkaitan dengan apakah hasil yang diinginkan dari kebijakan itu telah dicapai. Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.

Jika dikaitkan tentang impelementasi kebijakan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak maka dapat dikatakan belum efektif dalam pelaksanaanya, seperti yang terungkap sebagai berikut di media Palu Metro.Com:

Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang penertiban ternak masih mandul. Pasalnya, hewan ternak seperti sapi dan kambing masih bebas berkeliaran bebas di dalam Kota Palu. Seorang warga Palu Utara, Anis mengatakan, pihaknya sangat prihatin melihat kondisi Kota Palu yang masih diwarnai dengan berkeliarannya hewan ternak seperti sapi dan kambing. Padahal peraturannya ada, namun masyarakat tetap saja tidak peduli dengan peraturan tersebut. Fenomena ini terjadi karena kurang tegasnya pemerintah dalam hal menegakan aturan, karena jika pemerintah tegas pasti masyarakat tidak melanggar. Selain itu, pemerintah juga kurang mensosialisasikan Perda ini kepada masyarakat khususnya warga yang memiliki hewan ternak. (Sumber. Palu Metro.Com, 2016)

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan ukuran daripada efektivitas belum terlaksana dengan baik, dalam hal ini ukuran efektivitas mengindikasikan tingkat kepuasan, adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi. Artinya ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki sehingga hasil yang diinginkan dari kebijakan itu dapat tercapai.

(19)

B.Efisiensi

Efisiensi merupakan suatu prinsip dasar untuk melakukan setiap kegiatan dengan tujuan untuk dapat memperoleh hasil yang dikehendaki dengan usaha yang seminimal mungkin dikaitkan dalam hubungannya dengan waktu, metode kerja dan biaya uang.

Dengan kata lain efisiensi merupakan pelaksanaan cara-cara tertentu dengan tanpa mengurangi tujuannya dan merupakan cara yang termudah mengerjakannya, termurah biayanya, dan tersingkat waktunya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Sehingga Secara konseptual bahwa untuk mengimplementasikan suatu kebijakan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan, harus didukung dengan sumber daya antara lain berupa biaya/ dana yang memadai.

Masih banyaknya hewan ternak yang berkeliaran dan lalu lalang di jalanan Kota Palu, sehingga menunjukkan Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang penertiban ternak tersebut dianggap tidak efisien. Hal ini ditanggapi Anggota DPRD Kota Palu Komisi B Muh. Rum. Pada media Satu Sulteng.com, tanggal 5 April 2016 yang menyatakan

Tidak adanya kandang untuk menampung hewan yang sudah di tangkap SATPOL PP dijalanan, sehingga ia menginginkan Pemerintah Kota Palu (Pemkot) untuk menyediakan kandang bagi hewan ternak yang sering berkeliaran dijalanan tersebut. Dia juga mengatakan, bahwa kesusahan pemerintah dalam menangani hewan ternak ini, di karenakan melemahnya Perda yang telah lama di bentuk, apalagi fasilitas untuk menegakkan hewan ternak itu tidak di lengkapi. Dia pun akan mengupayakan Perda ternak agar dilakukan revisi kembali, karena sudah banyak yang harus di rubah dalam Perda ternak ini.

Melaksanakan suatu kebijakan atau kegiatan apapun seharusnya didukung dengan sumber dana yang memadai karena setiap pelaksanaan kegiatan apapun memang diperlukan dukungan biaya, tanpa dukungan biaya yang memadai maka kegiatan apapun tidak akan dapat terlaksana secara baik dan hasil yang dicapaipun tidak akan optimal.

C.Kecukupan

Kecukupan menunjukkan seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan dari kebijakan publik mampu memecahkan masalah. Pada konteks penelitian ini, kecukupan berkaitan dengan seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah

(20)

tentang ternak. Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal.

Berdasarkan wawancara dengan Sabil Akbar S.Sos, M,Si (Camat Mantikulore) menyatakan bahwa :

Adanya Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang ternak, saya rasa belum cukup untuk mentertibkan hewan ternak di Kota Palu, perlu adanya sinergitas dari seluruh elemen yang ada pada Perda tersebut, seperti SATPOL PP dinas terkait serta kelurahan, terutama bagi Lurah-Lurah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, agar dapat menghimbau pada masyarakatnya untuk tidak melepas hewan ternak disembarangan tempat. (Wawancara Juni, 2016) Kebijakan Penertiban Ternak melalui Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang penertiban ternak belum cukup untuk mengatasi masalah ternak yang berkeliaran karena masih banyak hewan ternak yang berkeliaran di jalan-jalan, di Kota Palu.

D.Perataan

Kebijakan yang berorientasi pada perataan merupakan kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran. Aspek perataan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang penertiban ternak tidak terjadi karena untuk pelaksanaan penertiban hewan ternak, tidak dialokasikan biaya operasional secara khusus, baik kepada Satuan Polisi Pamong Praja, Kelurahan sebagai pelaksana penertiban hewan ternak, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada aspek efisiensi di atas. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang penertiban ternak menjadi tidak maksimal.

Anggota DPRD Kota Palu Komisi B Muh. Rum. Pada media Satu Sulteng.com, tanggal 5 April 2016 yang menyatakan :

Adapun sejumlah keluhan dari Satuan Polisi Pamong Praja yang saat pembahasan bersama dengan komisi B, beralasan bahwa SATPOL PP dalam menertibkan ternak tidak memiliki kendaraan semacam mobil bak terbuka, mereka tidak di fasilitasi kendaraan mobil untuk mengangkut hewan ternak yang berkeliaran, karena mereka hanya mempunyai mobil untuk mengangkut

(21)

pasukannya. Kalau hewan itu dinaikkan di mobil pasukan, terus pasukannya di muat dimana ? ini lah yang harus kita perhatikan bersama, fasilitas yang memadai adalah NXQFL SHQGXNXQJ SHQHJDN 3HUGD ´-HODVQ\D

Ketiadaan alokasi dana, sarana dan prasarana merupakan salah satu indikasi tidak adanya perataan dari Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak. Disini sebenarnya seorang pemimpin dituntut untuk melakukan inovasi agar dana dan sarana prasarana tidak menjadi penghambat, minimal dengan melakukan perubahan mind set dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran dari task oriented menjadi service oriented karena pejabat birokrasi pada dasarnya merupakan pelayan masyarakat yang seharusnya dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran yang dikelolanya senantiasa berorienasti kepada kepentingan masyarakat.

E.Responsivitas

Suatu keberhasilan kebijakan publik dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan publik akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan publik sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

Wawancara dengan Sabil Akbar S.Sos, M,Si (Camat Mantikulore) menyatakan bahwa :

Respon masyarakat atas Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 tentang ternak cukup baik, karena mereka merasakan bagaimana dampaknya jika hewan ternak berkeliaran dimana mana, malah terkadang berdampak adanya gesekan yang negatif antara masyarakat dengan pemilik ternak, karena yang membandel disini adalah pemilik ternak. (Wawancara Juni, 2016)

Dasarnya masyarakat Kota Palu justru memiliki responsivitas yang baik terhadap penerapan penertiban tersebut melalui Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak. Dengan demikian sebenarnya para pelaksana kebijakan itu yang harus memperbaiki sistem dan cara kerjanya dalam melaksanakan penertiban ternak karena respon dari masyarakat pada dasarnya sudah sangat baik. F. Ketepatan

Ketepatan menunjukkan apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai sehingga ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan

(22)

program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Keberadaan kegiatan penertiban ternak sangat diperlukan, baik oleh para birokrat pelaksana Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak maupun oleh masyarakat karena masyarakat merasakan adanya manfaat dari adanya penertiban ternak yang pemeliharaannya tidak dikandangkan dan berkeliaran di tempat-tempat umum yang dapat mengganggu keindahan kota, ketertiban umum, kerusakan tanaman masyarakat oleh ternak dan kenyamanan pengendara di jalan raya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sabil Akbar S.Sos, M,Si (Camat Mantikulore) menyatakan bahwa :

Sangat tepat adanya Peraturan Daerah Kota Palu No 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak, karena ini merupakan kegelisahan dan harapan dari masyarakat atas ternak yang berkeliaran. (Wawancara Juni, 2016)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangatlah tepat diterbitkannya Perda yang mengatur tentang penertiban hewan ternak di Kota Palu ini.

D.KESIMPULAN

Fakta-fakta yang telah diuraikan di atas secara implisit menggambarkan bahwa ada berbagai macam masalah yang ditimbulkan oleh hewan ternak yang tidak di kelola sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dan setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak, menimbulkan pertanyaan apakah sudah di implementasikan dengan baik atau tidak sehingga memerlukan suatu bentuk evaluasi untuk menjawabnya, dari hasil penelitiaan menunjukkan bahwa Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak belum terimplementasi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Zainal Said, Edisi Revisi, 2004. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.

Abdul Wahab, Solichin, 2005. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta, Jakarta.

(23)

Danim Sudarwin, 2008. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. PT. Gava Media, Yogyakarta.

Dunn, N. William, 2003. Pengantar Analisa Kebijakan Publik Edisi Kedua. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Lukman Offset & YPAPI, Yogyakarta.

Kadji Yulianto, 2008. Implementasi Kebijakan Publik Dalam Perspektif Realitas. Cahaya Abadi, Tulungagung.

Miles Matthew B, Huberman A Michael, 2004. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi. Cetakan Pertama. Universitas Indonesia, Jakarta.

Ndraha Taliziduhu 1997. Budaya Organisasi. Rineka Cipta: Jakarta.

Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 tahun 2012 Tentang Penertiban Ternak.

Suharto Edi, 2008. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta: Bandung.

Wibawa, Samudra, Pusbokusuma, Yuyun Pramusinto, Agus, 2004. Evaluasi Kebijakan Publik. Rajawali Press: Jakarta.

Widodo Joko, 2010. Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplokasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Bayumedia Publishing: Malang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi tween 80 berpengaruh terhadap respon kimia yaitu analisis kadar air dan analisis total antosianin dimana semakin meningkat konsentrasi tween 80 maka kadar air

Rendahnya populasi dan intensitas serangan kutu kebul pada tanaman kedelai, mengakibatkan kombinasi sistem pengairan dan teknik budidaya tidak memberikan pengaruh yang

Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari jaringan

Judul : Efektivitas Metode Eksperimen dengan Pendekatan Scientific pada Hasil Belajar Peserta Didik Mata Pelajaran IPA Materi Pokok Sifat-Sifat Benda Di Kelas III

Alat ini dilengkapi dengan sensor suhu dan kelembaban DHT11, motor inkubator digunakan untuk proses pemutaran telur, sensor suara digunakan untuk mendeteksi apabila

Sebagai contohnya, Nek Kiah tidak suka akan menantunya Embong dan cucu- cucunya kerana hidup dalam kemiskinan sedangkan anak-anaknya yang lain berjaya dalam kehidupan..

merupakan seluruh invensi, peningkatan dan penemuan yang dibuat bersama-sama oleh satu atau lebih karyawan Sponsor dan satu atau lebih karyawan Institusi dalam melaksanakan

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan