• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN INSTITUSI UNTUK MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI PADA SWP DAS ARAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN INSTITUSI UNTUK MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI PADA SWP DAS ARAU"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN INSTITUSI UNTUK MEMBANGUN MODEL PENGELOLAAN DAS TERPADU DAN MANDIRI

PADA SWP DAS ARAU

Performa pengelolaan suatu DAS sangat ditentukan oleh performa pengelo-laan kawasan lindung di daerah hulu DAS, karena ekosistem DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS, antara lain, dari fungsi dan stabilitas tata air (Asdak, 2003). Oleh karena itu dalam pene-litian ini pengembangan institusi akan difokuskan pada model pengelolaan ka-wasan lindung pada hulu SWP DAS Arau dan institusi untuk pengembangan PES dalam rangka pengelolaan SWP DAS terpadu dan mandiri.

Performa pengelolaan hutan yang baik di daerah hulu DAS dicirikan oleh : (1) kondisi fisik (ekologi) hutan baik, yang tercermin dari penggunaan lahan yang memberikan kondisi hidrologis dan kinerja DAS yang baik; (2) kesejahteraan ma-syarakat baik, khususnya kesejahteraan mama-syarakat sekitar hutan yang tadinya marjinal menjadi lebih baik, dalam arti pengelolaan hutan memberikan manfaat (ekonomi) yang besar bagi para pihak terkait, yang tercermin dari imbalan

(re-ward) yang diterima para pihak setara dengan korbanan masing-masing dan;

(3) kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dan efisien, yang tercermin dari biaya transaksi yang minimal dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan.

Untuk mencapai kondisi hidrologis dan kinerja DAS yang baik, maka lahan-lahan kritis dan terdegradasi pada kawasan lindung pada hulu SWP DAS Arau harus direhabilitasi, sedangkan yang masih baik tutupan vegetasi permanennya harus dilindungi dan dikonservasi, seperti yang diuraikan pada Kajian 1. Untuk mengatasi kendala terbatasnya dana konservasi dan RHL serta untuk mening-katkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan yang marjinal (Kajian 2), ma-ka dilakuma-kan pengembangan pembayaran jasa hidrologis hutan (air) pada SWP DAS Arau pada lokasi yang memungkinkan. Sedangkan pada lokasi yang tidak bisa dikembangkan skema PES diberikan insentif dari dana non PES, seperti di-uraikan pada Kajian 3. Dengan demikian bentuk pengelolaan hutan yang dikem-bangkan atau model PES yang dikemdikem-bangkan, selain menjadi insentif dalam pe-laksanaan konservasi dan RHL, juga merupakan instrument untuk meningkatkan

(2)

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang marjinal tersebut, sehingga akhirnya imbalan yang diterima para pihak setara dengan korbanan masing-masing.

Terjadinya kegagalan (tidak efisiennya) pengelolaan hutan lindung pada SWP DAS Arau karena tidak adanya pengakuan terhadap hak kepemilikan lahan (property right) dan pengaturan (aturan main) pengelolaan hutan sebagai sumber-daya milik bersama (common pool resources, CPR) seperti yang diuraikan pada Kajian 2, menimbulkan masalah eksternalitas. Kondisi ini harus segera diatasi sehingga dapat dikembangkan kelembagaan pengelolaan hutan yang efisien dan bertahan lama (lestari), baik untuk implementasi PES atau pun dana non PES, yang tercermin dari biaya transaksi yang minimal dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan. Dengan demikian untuk mengembangkan model institusi pe-ngelolaan hutan pada hulu SWP DAS Arau dan pepe-ngelolaan PES pada SWP DAS Arau, permasalahan hak kepemilikan, pengelolaan sumberdaya milik bersama dan masalah eksternalitas yang ditimbulkan oleh dua masalah pertama akan di-uraikan sebagai berikut.

Eksternalitas, Hak Kepemilikan (Property Right) dan Pengelolaan Sumber Daya Milik Bersama (CPR) Ekternalitas

Eksternalitas adalah dampak (positif atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai biaya (net cost) dan manfaat (benefit), dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Atau dengan kata lain eksternalitas terjadi jika kegiatan pro-duksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak (Fauzi 2006). Eksternalitas akan menyebabkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Efisiensi alokasi sen-diri terkait dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Sum-berdaya bisa saja dialokasikan melalui berbagai pengaturan kelembagaan seperti kediktatoran, perencanaan terpusat atau melalui mekanisme pasar. Teori ekonomi standar mengatakan bahwa meskipun pengaturan kelembagaan selain pasar (free

market) bisa menghasilkan alokasi yang efisien, namun hanya mekanisme pasar

yang menghasilkan alokasi yang efisien dan optimal. Dengan kata lain, jika pasar tidak eksis, alokasi sumberdaya tidak akan terjadi secara efisien dan optimal.

(3)

Pa-sar eksis dengan hak kepemilikan yang terkukuhkan dengan jelas (well defined

property right) sehingga pembeli dan penjual bebas melakukan transaksi. Hak

kepemilikan akan terkukuhkan dengan baik jika karakteristik hak kepemilikan dipenuhi, yaitu : (a) hak milik tersebut dikukuhkan kepemilikannya baik secara individu maupun kolektif; (b) ekslusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya dari penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggungjawab) pemilik sum-berdaya; (c) dapat dipindahtangankan (transferable), sehingga menimbulkan in-sentif untuk melestarikannya; dan (d) terjamin (secure), dengan adanya jaminan memiliki, maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sum-berdaya tersebut selama masih dalam pemilikannya (Hanley et al. 1997).

Dari uraian di atas, maka terlihat jelas bahwa masalah hak kepemilikan (property right) menjadi hal pokok untuk berhasilnya efisiensi alokasi sumber-daya dan bekerjanya pasar atau keberhasilan pengelolaan sumbersumber-daya. Kegagalan dalam menentukan dengan jelas hak kepemilikan akan menimbulkan eksternali-tas, sehingga pasar bekerja secara tidak sempurna.

Oleh karena eksternalitas terkait dengan hak kepemilikan, maka menurut ahli ekonomi sumberdaya dan lingkungan, solusi terhadap eksternalitas juga ter-kait dengan pengukuhan hak kepemilikan. Secara umum ada beberapa tindakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas, yaitu memberikan hak kepemilikan (assigning property right), internalisasi eksternalitas, dan pemberla-kuan pajak (Pigovian tax).

Untuk eksternalitas negatif maka pencegahan atau pengurangan eksternali-tas dilakukan dengan prinsip pencemar membayar kepada pihak yang menderita; dan untuk eskternalitas positif, dilakukan dengan prinsip pengguna manfaat mem-bayar kepada penyedia manfaat. Dengan demikian, maka alokasi sumberdaya yang tidak efisien karena hak kepemilikannya tidak terkukuhkan dengan jelas (ill

defined property right) disebabkan orang tidak mau membayar biaya

penyediaan-nya sehingga penawaran (suplly) penyediaan-nya tidak ada, akan dapat dialokasikan dengan lebih efisien karena hak kepemilikannya terkukuhkan dengan jelas (well defined

property right), melalui transfer hak kepemilikan atau pengalokasian sejumlah

dana untuk pengelolaannya, baik melalui internalisasi ataupun pemberlakuan pajak.

(4)

Dalam konteks pengelolaan DAS dan kawasan lindung di hulu SWP DAS Arau maka eksternalitas yang terjadi adalah eksternalitas positif bila masyarakat pengelola lahan di hulu DAS mengelola kawasan lindung dengan baik. Sehingga pengelola lahan di hulu berperan sebagai penyedia manfaat bagi masyarakat hilir atau masyarakat hulu yang menjadi pengguna manfaat. Permasalahan eksternali-tas timbul karena masyarakat hilir atau pun hilir sebagai pengguna jasa (air) tidak menyediakan kompensasi bagi masyarakat hulu yang telah memasok jasa tersebut. Oleh karena itu tidak ada insentif bagi masyarakat hulu untuk penyediaan jasanya sehingga tidak ada jaminan penyediaan jasa yang berkelanjutan. Untuk mengatasi masalah eksternalitas, dilakukan dengan menerapkan prinsip pengguna manfaat membayar kepada penyedia manfaat atas manfaat jasa lingkungan yang disedia-kannya atau dikenal juga dengan konsep pembayaran terhadap jasa lingkungan (Payment for environmental services, PES).

Konsep PES merupakan salah satu bentuk insentif untuk mendorong masya-rakat pemilik lahan di kawasan lindung agar mau melakukan konservasi dan RHL serta untuk peningkatan kesejahteraannya (Rosa 2003). Selain itu, skema PES dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi kendala biaya kon-servasi dan RHL dalam pembiayaan pengelolaan SWP DAS Arau dan sebagai implementasi cost sharing hulu hilir atau pembagian biaya antara penyedia jasa (provider services) dan pengguna jasa (user services) dalam pengelolaan DAS. Dengan demikian pembiayaan konservasi dan RHL, tidak perlu menunggu “uluran tangan” dari luar DAS, sehingga dapat tercipta kemandirian dalam pem-biayaan pengelolaan DAS.

Hak Kepemilikan (Property Right)

Hak kepemilikan (property rights) adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat atau negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya. Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Pengaturan kelembagaan hak kepemilikan

(5)

(property regime) terdiri dari : (1) Milik pribadi (Private property); (2) Milik Ne-gara (State property); (3) Milik komunal, adat, ulayat (Communal/common

property); (4) Milik umum (Public property) dan (5) Tidak berpemilik (Open access property atau no-property right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan

adalah : dapat diperjual belikan (tradable); dapat dipindah tangankan (transferable); dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable); dan dapat ditegakkan hak-haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, maka semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya.

Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan hak yang disebut dengan biaya ekslusi. Semakin mahal biaya ekslusi, maka semakin tidak berharga suatu asset. Bila manfaat yang didapatkan dari asset lebih kecil dari biaya ekslusi maka asset akan ditinggalkan atau diabaikan, sedangkan jika biaya penegakannya tidak tertanggulangi maka tidak ada yang mau memilikinya. Menurut North (1990) hak mudah ditegakkan bila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan atau aliran manfaat bervariasi, tapi dapat diprediksi. Hak tidak mudah ditegakkan (biaya ek-slusi mahal) bila aliran manfaat dapat dinikmati pihak lain, atau aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, akibatnya masing-masing pihak akan berlomba memperoleh manfaat dari sumberdaya tersebut. Seringkali, hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat (dan negara). Implikasinya hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya tersebut.

Kepastian hak kepemilikan merupakan syarat diperlukan (necessary

condition) bagi pengembangan mekanisme PES dan pengelolaan hutan lestari.

Jaminan keberlangsungan investasi dalam sumberdaya penghasil manfaat jasa lingkungan, dalam konteks ini hutan pada kawasan lindung di hulu SWP DAS Arau akan diperoleh apabila hak kepemilikan atas sumberdaya penghasil jasa lingkungan jelas dan pasti. Kejelasan dan kepastian hak juga menjadi syarat yang diperlukan agar penanggung jawab kontrak dapat diketahui dengan pasti.

(6)

Berdasarkan aturan formal, kawasan pada daerah hulu SWP DAS Arau terdiri dari kepemilikan negara, berupa kawasan suaka alam (KSA) dan hutan lindung (HL); dan kepemilikan komunal dan pribadi pada areal penggunaan lain (APL). Sedangkan menurut aturan adat, nagari di sekitar hutan mempunyai hak kepemilikan terhadap hutan dalam bentuk hak ulayat nagari. Hutan milik nagari terdiri dari : (1) Hutan larangan, berfungsi sebagai daerah perlindungan dan sumber air nagari; (2) Hutan cadangan, dimanfaatkan masyarakat nagari untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dalam bentuk pemungutan hasil hutan atau perluasan lahan garapan. Evolusi hak kepemilikan kawasan hutan SWP DAS Arau terlihat pada Tabel 66.

Tabel 66 Evolusi hak kepemilikan kawasan hutan pada SWP DAS Arau Periode Status Hutan Penguasaan / Pengelola Sebelum 1916 Hutan Ulayat Penghulu sesuai aturan adat 1916 - 1945 Ada kesepakatan Belanda dan Tokoh Adat;

kawasan hutan dibagi atas Hutan Register (HR) dan Hutan Ulayat (HU)

HR, Pemerintah Belanda HU, Penghulu, Aturan adat 1945 - 1983 Hutan Register (HR) dan Hutan Ulayat

(HU) HR , Pemerintah; HU, Penghulu, 1983 - Sekarang HSAW, HL (HN, milik Negara) dan APL

(milik Masyarakat); ada tumpang tindih lokasi HN dengan Hutan Ulayat

Hutan Negara, Pemerintah (Formal)

APL, Masy, aturan adat

Dengan terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, dilakukan pembagian fungsi kawasan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan areal penggunaan lain melalui kegiatan penataan batas kawasan hutan. Pembagian fungsi kawasan ini diterapkan di Sumatera Barat tahun 1983. Kendatipun dalam prosedurnya penataan batas dilakukan melalui konsultasi dan koordinasi dengan masyarakat sekitar hutan, namun dalam implementasinya sering tanpa melibatkan masyarakat dan tokoh adat sebagai penguasa hutan ulayat. Penetapan kawasan hutan secara “sepihak” oleh Pemerintah, menyebabkan sebagian besar hutan nagari telah ditetapkan sebagai HL dan KSA, sehingga per-masalahan hak kepemilikan atas lahan pada SWP DAS Arau adalah tumpang tin-dihnya lokasi lahan ulayat yang berada di bawah penguasaan masyarakat adat dan lahan negara yang berada di bawah penguasaan Pemerintah. Sehingga karakteris-tik hak kepemilikan (property right) seperti yang telah disampaikan di atas akan sulit terpenuhi karena tidak adanya pengakuan dari masing-masing pihak terhadap

(7)

yang lain, padahal sumber hak yang paling terjamin adalah sumber hak yang mendapat legitimasi lokal yang kuat. Hal ini berakibat hak kepemilikan Hutan Lindung pada hulu SWP DAS Arau tidak terkukuhkan dengan jelas (ill defined

property right). Kondisi ini merugikan kedua belah pihak, baik masyarakat adat

maupun pemerintah karena akan menimbulkan biaya ekslusi yang sangat besar untuk penegakan hak masing-masing, dan kelestarian hutan lindung juga akan te-rancam karena setiap orang berlomba-lomba untuk memanfaatkannya, sementara kemampuan Pemerintah Kota Padang untuk mengawasinya sangat terbatas.

Untuk implementasi PES dan pengelolaan hutan yang lestari pada hulu SWP DAS Arau, ketidakjelasan hak kepemilikan pada kawasan lindung, yang menimbulkan konflik dalam pengelolaan hutan, karena tumpang tindihnya hutan lindung dan hutan ulayat sehingga berakibat hak kepemilikan Hutan Lindung ti-dak terkukuhkan dengan jelas (ill defined property right), harus diselesaikan ter-lebih dahulu agar hak kepemilikan pada hutan lindung menjadi terkukuhkan den-gan jelas (well defined property right), sehingga penyedia jasa dan pengguna jasa dapat melakukan pertukaran dengan bebas.

Beberapa alternatif untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan ter-sebut disajikan pada Tabel 67, yaitu : (1) Pemerintah tetap mempertahankannya sebagai hutan Negara dan melarang setiap aktivitas masyarakat Nagari untuk me-manfaatkan hutan lindung, seperti yang dilakukan saat ini. Namun biaya ekslusi yang dikeluarkan Pemerintah akan sangat mahal, dan dengan kemampuan peme-rintah yang terbatas, kenyataannya pemepeme-rintah telah gagal dalam menegakkan hak nya. Hal ini terlihat dengan masih adanya ekstraksi hutan lindung secara liar atau pemerintah tidak dapat mencegah pihak luar untuk mengambil aliran manfaatnya, sementara itu konflik dengan masyarakat adat tetap berlanjut; (2) Menyerahkan hak kepemilikan kepada masyarakat adat. Hal ini juga rumit karena aturan perun-dang-undangan kehutanan tidak memberikan ruang untuk pengalihan kepemilikan hutan lindung kepada masyarakat, dan bila pun memungkinkan butuh prosedur pelepasan kawasan yang panjang dan butuh waktu yang lama; dan (3) Tetap mempertahankan sebagai hutan Negara namun memberikan hak pengelolaan ke-pada masyarakat adat, khususnya ke-pada kawasan yang terjadi konflik tumpang tin-dih lahan, dalam bentuk pengakuan pemerintah terhadap pengelolaan atau

(8)

peman-faatan hutan oleh masyarakat adat melalui pemberian ijin pemanpeman-faatan kawasan, pemungutan hasil hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan hutan dengan persya-ratan atau aturan main mempertimbangkan kemampuan masyarakat setempat se-hingga dapat diimplementasikan.

Solusi yang ketiga tampaknya lebih realistis, dan lebih dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak, sehingga cenderung akan lebih diterima oleh kedua pi-hak. Dengan adanya pengakuan hak kepemilikan dari kedua belah pihak, maka biaya penegakan hak akan lebih kecil sehingga dapat dikelola secara lebih efisien. Solusi ini mungkin tidak sulit diterapkan karena ada ruang dalam peraturan perundangan untuk pemindahan sebagian hak pemerintah kepada masyarakat dan pengakuan hak masyarakat adat tersebut, dan adanya norma-norma kearifan pe-ngelolaan hutan pada masyarakat adat. Misalnya pada UU Nomor 41 Tahun 1999, pemerintah mengakui keberadaan hutan adat dalam hutan Negara dan pada kawasan hutan lindung dapat diberikan ijin pemanfaatan kawasan, pemungutan hasil hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan kepada masyarakat untuk peningkat-an kesejahterapeningkat-an masyarakat, selama tidak merubah fungsi kawaspeningkat-an hutpeningkat-an lin-dung. Pelaksanaannya hanya perlu komitmen (good will) dari Pemerintah dan masyarakat adat, Pemerintah berlapang dada untuk menyerahkan hak pengelolaan kepada masyarakat adat, dan masyarakat adat juga punya komitmen yang diwu-judkan dalam tindakan nyata untuk mengelola dan menjaga hutan secara lestari. Tabel 67 Alternatif solusi masalah property right pada HL SWP DAS Arau

Masalah Alternatif Implikasinya

Tidak ada pengakuan hak ulayat dalam kawasan hutan Negara bera-kibat tumpang tindih hutan ulayat dan hutan Negara

Mempertahankan sebagai Hutan Negara

dan melarang total pemanfaatan HL Biaya ekslusi mahal, kemampuan menjaga terbatas, aliran manfaat tidak terkontrol, gagal menegakkan hak, hutan rusak, konflik berlanjut

Menyerahkan hak kepemilikan hutan kepada masyarakat adat

Tidak diakomodasi peraturan perundangan

Mempertahankan sebagai hutan Negara tapi memberikan hak pemanfaatan kepada masyarakat adat

Ada pengakuan hak, biaya ekslusi rendah, lebih efisien, aliran manfaat terkontrol, diakomodasi Perpu, meminimalkan konflik

(9)

Pengelolaan Sumberdaya Milik Bersama

Kawasan hutan pada hulu SWP DAS Arau adalah sumberdaya milik bersama. Dalam perspektif ekonomi lingkungan, CPR adalah barang milik bersama yang dapat dimanfaatkan siapa saja (non excludable property). Ekonomi lingkungan sangat tidak menghendaki munculnya sumberdaya milik bersama (common

property) untuk mencegah munculnya fenomena “the tragedy of the common”

(Hardin, 1969; 1991) (semua orang berlomba mengambil manfaat, tetapi tidak seorangpun tertarik membangun penawaran (supply) nya, terutama pada barang publik yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti hutan. Untuk men-gatasi masalah sumberdaya milik bersama (common property), Hardin (1969; 1991) memberikan solusi dengan menyarankan pemberian hak kepemilikan

(as-signing property right), misalnya dengan mentransfer rejim hak kepemilikan dari

milik bersama menjadi milik pribadi.

Cara pandang yang berbeda terhadap sumberdaya milik bersama (common

property) diberikan oleh para ahli ekonomi kelembagaan (institusionalis). Dalam

perspektif ekonomi kelembagaan, sumberdaya milik bersama (common property) adalah barang milik bersama yang penggunaannya diatur oleh anggota dalam kelompok (excludable property). Institusionalis melihat banyak cerita sukses pengelolaan SDA dalam pengaturan kelembagaan “common property”, seperti pada pengelolaan lahan penggembalaan di Swiss, pengelolaan lahan komunal se-cara tradisional di Jepang (iriaichi), English and Andean common fields, pengelo-laan hutan di pegunungan Nepal, termasuk pengelopengelo-laan hutan ulayat di Sumatera Barat (Schmid, 1987; Brommley, 1992; Nugroho, 2003; Gautam and Shivakoti, 2005; Ostrom, 2008). Menurut Institusionalis, permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property) adalah pertentangan dalam pemanfaatannya di antara anggota kelompok (Brommley, 1992). Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan membuat keputusan bersama dalam pengelolaannya diantara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kebe-radaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Degradasi kawasan hutan SWP DAS Arau terjadi karena hutan sebagai sumberdaya milik bersama tidak dikelola dengan pengambilan keputusan bersama antara para pihak yang berkepentingan dengan keberadaan hutan, dalam hal ini

(10)

adalah masyarakat adat dan pemerintah. Tidak adanya pemanfaatan hutan, pemantauan, dan rencana pemeliharaan yang disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah, menyebabkan terjadinya ekstraksi hutan secara liar, dan terbatas-nya kapasitas pemerintah dalam pengelolaan hutan serta lemahterbatas-nya penegakan peraturan membuat hutan mendapat tekanan yang lebih berat dan degradasi meluas memasuki wilayah hutan konservasi.

Selain itu, perbedaan tataran kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah dan masyarakat adat dan tumpang tindihnya hutan ulayat dan hutan negara, telah menimbulkan konflik yang berdampak pada kelestarian hutan. Kawasan lindung pada hulu SWP DAS Arau, secara hukum formal (de jure), merupakan kawasan hutan negara, yang sebagian wilayahnya diakui oleh masyarakat sebagai hutan ulayat nagari (de facto). Ketidakpastian penguasaan masyarakat adat atas hutan (ulayat) seperti telah diuraikan pada Bab 6 merupakan salah satu penyebab degra-dasi hutan di hulu SWP DAS Arau dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan, yang berarti telah terjadi kegagalan pengelolaan hutan dengan model insti-tusi pengelolaan hutan yang diterapkan (Pemerintah) saat ini, atau dalam bahasa ekonomi telah terjadi alokasi sumberdaya yang tidak efisien dalam pengelolaan kawasan lindung pada hulu SWP DAS Arau. Agar pengelolaan hutan lestari, memberi manfaat (ekonomi) bagi masyarakat sekitar dan fungsinya sebagai pe-ngatur tata air berjalan baik, sehingga ada jaminan ketersediaan sumberdaya air secara berkelanjutan sebagai persyaratan untuk terlaksananya PES, maka masalah tidak adanya pengecualian pemanfaat (non excludability) dalam pengelolaan ka-wasan hutan harus segera diatasi.

Dalam konteks pengelolaan kawasan hutan lindung pada SWP DAS Arau, solusi merubah rejim hak kepemilikan bersama (common property) menjadi hak milik pribadi (private property), tampaknya tidak bisa dilakukan karena aturan pengelolaan kawasan hutan belum memberikan peluang untuk menjadikan ka-wasan hutan konservasi dan hutan lindung pada SWP DAS Arau sebagai hak mi-lik pribadi (private property). Kalaupun hal tersebut memungkinkan berpotensi menimbulkan fragmentasi lahan dan masyarakat yang miskin lahan (landless

society). Dengan demikian, untuk mengatasi masalah non excludability, pilihan

(11)

membuat keputusan bersama antar pihak-pihak yang berkepentingan, dalam arti pengelolaan kawasan hutan dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar hu-tan, terutama pada daerah-daerah yang terjadi konflik akibat adanya klaim-klaim tumpang tindihnya hutan ulayat dan hutan negara. Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat ini diharapkan bisa jadi instrument untuk penanggulangan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan sekaligus sebagai instrument untuk mempertahankan kelestarian hutan pada SWP DAS Arau. Harapan ini merujuk pada paparan para Institusionalist tentang cerita sukses pengelolaan CPR dan pe-nelitian Hobley (1996) di India dan Nepal yang menyimpulkan pergeseran pola pengelolaan SDA oleh Negara-swasta menuju kolaborasi antara pemerintah de-ngan masyarakat merupakan kebutuhan. Penerapan partisipasi masyarakat secara luas di kedua Negara ternyata menunjukkan hasil yang baik, produktivitas terca-pai tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan keberadaan masyarakat lokal.

Lalu, seperti apakah model pengelolaan hutan bersama masyarakat tersebut pada kawasan lindung SWP DAS Arau ? Apakah dalam bentuk pengelolaan hutan ulayat yang berdasarkan hasil evaluasi terhadap institusi yang mengatur hutan menunjukkan keunggulan relatif terhadap institusi pengelola hutan yang dite-rapkan pemerintah dan pemerintah kota Padang saat ini ? ataukah model pengelo-laan hutan bersama masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, mi-salnya dalam bentuk Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan ?

Berdasarkan uraian pada Bab 6, disimpulkan bahwa kelestarian Hutan Lin-dung pada SWP DAS Arau akan sangat tergantung pada kemampuan institusi pengelola hutan dalam mengatur pemanfaatan, pemantauan dan pemeliharaan hu-tan bagi masyarakat sekitar huhu-tan. Implikasinya bahwa pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan hutan adalah sangat penting untuk meningkatkan tata kelola sumber daya hutan lestari. Dengan demi-kian untuk merancang institusi pengelolaan hutan atau memperbaiki tata-kelola hutan pada SWP DAS Arau yang akan dikembangkan, maka kesimpulan ini akan dijadikan rujukan dengan mempertimbangkan kondisi kekinian dan beberapa as-pek lainnya, seperti yang akan diuraikan berikut ini.

(12)

Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan SWP DAS Arau

Model pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau akan menentukan kelesta-riannya. Model-model pengelolaan hutan yang terkait dengan aksi kolektif seba-gai karakteristik CPR adalah pengelolaan hutan berbasis masyarakat, berbasis pemerintah atau kolaborasi masyarakat dengan pemerintah (Ostrom, 1990). Da-lam kondisi saat ini, Hutan Lindung SWP DAS Arau dikelola secara dominan oleh pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Se-dangkan institusi masyarakat (Nagari) dan pengguna lain belum dilibatkan secara nyata, padahal hutan memiliki arti penting bagi masyarakat. Dengan pengelolaan berbasis pemerintah ini, kenyataannya kerusakan hutan terus berlangsung.

Beberapa kelemahan pengelolaan hutan berbasis pemerintah ini adalah :

pertama, aturan-aturan pengelolaan dibuat oleh pemerintah (pusat maupun

dae-rah), sehingga tidak terinternalisasi dalam masyarakat nagari. Hal ini akan me-nyebabkan aturan tersebut tidak mudah diimplementasikan. Padahal kenyataan-nya masyarakat Nagari sudah mempukenyataan-nyai aturan adat yang memiliki nilai-nilai yang pro-konservasi, misalnya azas kelestarian (tata ruang), keadilan ekonomi (bagi hasil, pengenaan bungo dalam pengelolaan hutan), dan kepatutan pemanfa-atan hutan (tebang pilih), yang diawasi secara ketat oleh Nagari melalui “tuo rim-bo” dalam pengelolaan hutan serta kewajiban menjaga hak ulayat nagari.

Kedua, dalam pengelolaan hutan berbasis pemerintah tidak melibatkan

ma-syarakat nagari secara nyata. Mama-syarakat nagari tidak dilibatkan sejak awal dalam perencanaan. Hal ini menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah dan seluruh pembiayaan untuk pelaksanaan menjadi beban pemerintah. Memang ada masyarakat yang dilibatkan tetapi hanya dalam bentuk hadir dalam rapat-rapat proyek pemerintah, namun kehadiran tersebut hanya sebatas menyampaikan pen-dapat tetapi keputusan akhir tetap ditangan pemerintah ataupun hanya sebagai pe-kerja upahan dalam kegiatan penanaman. Padahal masyarakat nagari memiliki nilai-nilai yang memiliki perhatian untuk menjaga lingkungan.

Ketiga, dari aspek ruang, kawasan hutan mencakup wilayah pengelolaan

yang luas, oleh karena itu pengawasan kelestarian hutan membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang besar dari pemerintah, karena masyarakat nagari tidak berpartisipasi. Sedangkan kapasitas Pemerintah Kota Padang tidak memadai

(13)

se-hingga menyebabkan lemahnya penegakan aturan dan hukum. Kalau masyarakat dilibatkan akan mengurangi biaya pengawasan, karena masyarakat akan mengon-trol diri dan anggotanya sendiri dalam pengelolaan hutan.

Untuk memperbaiki kondisi pengelolaan hutan SWP DAS Arau, maka di-perlukan perbaikan, salah satu alternatifnya yaitu mengembalikan pengelolaan hutan kepada masyarakat Nagari atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat na-gari. Kelebihan pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari adalah : pertama, masyarakat nagari diberikan kewenangan untuk pengambilan keputusan pengelo-laan hutan dalam kelembagaan nagari. Pengambilan keputusan dan inisiatif dila-kukan pada tingkat nagari sehingga semakin memenuhi aspirasi masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap aturan yang dibuat akan semakin tinggi sehingga aturan akan lebih mudah ditegakkan.

Kedua, biaya pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan hutan

berba-sis nagari jauh lebih rendah dari pada pengelolaan berbaberba-sis pemerintah, karena tingginya partisipasi masyarakat nagari dan terbangunnya aksi kolektif dalam pengelolaan hutan. Masyarakat nagari memiliki budaya saling membantu, terma-suk kaum perantau dengan daerah asal. Para perantau yang terma-sukses di daerah pe-rantauan, dapat diminta partisipasinya untuk ikut membantu pembiayaan pengelo-laan hutan sebagai ulayat nagari yang wajib dijaga keberadaannya. Dalam masya-rakat nagari sendiri, keikutsertaannya dalam pengelolaan hutan akan mengurangi biaya pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan hutan. Sebagai contoh, budaya masyarakat nagari bergotong royong dalam pembangunan fisik nagari akan me-ngurangi biaya pemerintah dalam pembangunan fisik tersebut. Dari hasil wa-wancara dengan responden masyarakat hulu SWP DAS Arau, hampir sebagian besar responden (94%), bersedia, bergotong royong menyumbangkan tenaganya dalam kegiatan konservasi dan RHL dalam nagari mereka, dengan alasan hal ter-sebut dilakukan untuk kepentingan bersama. Kemudian kalau masyarakat nagari sudah ikut dalam perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan kehutanan, maka masyarakat tersebut juga akan ikut menjaga berbagai hasil pembangunan hutan tersebut bersama-sama.

(14)

Model pengelolaan hutan berbasis nagari akan membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap hutan karena bagian dari ulayat nagari. Pelaksanaan dan pengelolaan hutan akan lebih efektif karena dilakukan oleh nagari.

Namun penerapan pengelolaan hutan berbasis nagari secara murni memiliki beberapa kelemahan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari membutuh-kan kemampuan manajerial dalam pengelolaan hutan dan tingkat pendidimembutuh-kan ma-syarakat yang merata. Di samping itu, pengelolaan berbasis mama-syarakat nagari membutuhkan kelembagaan nagari yang kuat, sedangkan lembaga nagari pada SWP DAS Arau telah mengalami penurunan fungsi akibat pelaksanaan UU No-mor 5 Tahun 1979, dan saat ini karena bentuk pemerintahan terkecil di Kota Pa-dang masih berbentuk Kelurahan maka terjadi pemisahan kepemimpinan dalam pemerintahan dan kepemimpinan dalam adat. Sehingga ciri khas nagari yang me-nyatukan kepemimpinan adat dan pimpinan pemerintahan telah terbelah, sehingga Nagari dan perangkatnya telah mengalami penurunan fungsi dan kehilangan fung-si dalam mengelola pemerintahan nagari. Padahal Nagari merupakan sumber kekuatan pembangunan, namun belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika Nagari menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri, sehingga Nagari sebagai sumber kehidupan masyarakat harus diperkuat kemandiriannya.

Untuk itu pada tahap awal diperlukan peningkatan kapasitas perangkat na-gari serta pendidikan masyarakat. Sedangkan fungsi kelembagaan adat lainnya, seperti peran Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai (cendekiawan), ma-sih cukup kuat dan mampu menyatukan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Secara konsep, kepemimpinan masyarakat yang kuat dapat dimanfaatkan untuk mengarahkan masyarakat agar ikut menjaga lingkungan (hu-tan). Kapasitas masyarakat Nagari yang tinggal di nagari dirasakan masih rendah untuk dapat mengelola hutan secara mandiri, karena penduduk yang produktif lebih banyak merantau atau terlibat dalam kegiatan non kehutanan untuk menda-patkan penghidupan yang lebih baik, karena selama ini kegiatan kehutanan tidak menjanjikan. Di samping itu, dalam kondisi sekarang, Nagari belum mampu membiayai pengelolaan hutan disebabkan kelemahan kapasitas anggaran nagari.

(15)

Kelemahan lain adalah kelemahan nagari dalam membangun jaringan antar pemerintah dan para pihak lain yang terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan di luar komunitas nagari, baik dalam Kota ataupun Propinsi atau bahkan tingkat Na-sional. Karena itu, diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan koordinasi an-tar pihak terkait, anan-tar instansi ataupun anan-tar tingkatan pemerintah tersebut. Na-gari sangat baik bergerak dalam aspek lokalitas yakni menyatukan anggota komu-nitas dan nagari-nagari sekitar hutan melalui mekanisme adat pasukuan (se-suku walaupun berbeda nagari), membangkitkan partisipasi masyarakat dalam bentuk aksi kolektif, namun kalau mengalami kelemahan pada tingkat antar pemerintah daerah, antar instansi dan kelompok pengguna di luar masyarakat nagari, disinilah diperlukan peran pemerintah.

Melihat kondisi objektif nagari pada lokasi penelitian saat ini, maka penge-lolaan hutan berbasis nagari murni belum dapat diterapkan. Karena itu diperlukan masa transisi melalui fasilitasi pemerintah terhadap kelemahan-kelemahan nagari sampai kapasitas nagari membaik. Jalan tengah dari permasalahan tersebut adalah memilih alternatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari tetapi memerlu-kan peran pemerintah dalam bentuk pengelolaan bersama (co-manajemen). Na-mun bila nantinya kapasitas nagari telah membaik melalui fasilitasi pemerintah dalam revitalisasi kapasitas nagari, maka model pengelolaan dapat bergeser men-jadi model pengelolaan hutan berbasis masyarakat nagari murni.

Pertimbangan lainnya pengelolaan hutan dalam bentuk co-manajemen ada-lah pilihan yang lebih sesuai pada saat ini akan diuraikan sebagai berikut :

(1) Memberi peluang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat

Kendatipun hingga saat ini, status Hutan Ulayat (adat) nagari belum menda-pat pengakuan formal oleh Pemerintah, namun pada prakteknya tetap saja hutan ulayat nagari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Nagari sehingga berbedanya sistem nilai, konsep dan strategi mengelola hutan yang diterapkan pemerintah saat ini melahirkan perlawanan masyarakat Nagari terhadap tekanan kebijakan kehutanan. Adapun bentuk perlawanannya adalah pengabaian terhadap penentuan kawasan hutan dan pencabutan patok batas kawasan hutan. Hutan bagi masyarakat nagari yang berada pada status ulayat nagari (hutan ulayat nagari) berfungsi sebagai

(16)

hutan simpanan dan hutan cadangan untuk keberlanjutan kehidupan antar generasi mereka. Walaupun pemerintah menentukan hutan ulayat nagari sebagai hutan lindung, tetap saja menurut mereka hutan negara tidak berlaku di lahan ulayat nagarinya. Di sisi lain, hutan ulayat nagari berfungsi lindung karena kebutuhan akan keselamatan sumber air dan reduksi bencana alam. Nagari ini menerapkan sanksi adat bagi siapa saja yang memanfaatkan hutan, terutama komoditi kayu, yang dianggap di luar kebutuhan masyarakat nagari.

Pergulatan pengelolaan hutan antara masyarakat Nagari dengan pemerintah merupakan perwujudan dari tuntutan pluralisme hukum di lapangan sosial. Masyarakat Nagari adalah aktor dari pengusung tuntutan atas pilihan-pilihan hukum tersebut. Secara konseptual fenomena di atas bisa diukur dari seberapa lemahnya (weak legal pluralism) atau seberapa kuatnya pluralisme hukum (strong legal pluralism). Menurut Griffiths, penjelasan singkat mengenai pluralisme kuat dan pluralisme lemah: bahwa pluralisme hukum kuat berlaku pada kondisi di mana suatu masyarakat tidak hanya tunduk pada hukum negara ataupun aturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga negara, sehingga tertib hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut tidak seragam dan sistematis. Sementara pluralisme hukum yang lemah merujuk pada situasi berlakunya berbagai sistem hukum dalam lapangan atau wilayah sosial yang sama, namun hukum atau aturan yang lain ditentukan dan dikontrol oleh negara. Bentuk-bentuk perlawanan atas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah bisa dilihat sebagai perwujudan dari pluralisme hukum kuat. Di sisi lainnya, aturan-aturan dari luar (kebijakan kehutanan/hukum negara) mencoba memberlakukan diri dalam lapangan sosial tersebut secara bersamaan, sehingga hal ini menggambarkan situasi, yang oleh Falk Moore dinyatakan sebagai kemampuan komunitas untuk mengatur diri sendiri (self-regulating) dalam lapangan sosial tertentu terlihat otonom. Namun, otonominya tidak bersifat total karena masih dipengaruhi oleh aturan atau hukum dari luar lapangan sosial tersebut. Persinggungan antar hukum (hukum adat dengan hukum negara) bukan hanya melahirkan kontradiksi atau pertentangan,

(17)

namun juga melahirkan hubungan penggabungan sebagian aturan sebuah sistem hukum ke dalam sistem hukum lainnya (inkoorporasi) dan penghindaran (salah satu sistem hukum menghindari keberlakuan sistem hukum lainnya).

Dengan demikian alternatif pengaturan model institusi pengelolaan hutan ber-sama masyarakat pada SWP DAS Arau adalah dengan melakukan proses inkoorporasi antara aturan adat dengan aturan negara. Pilihan ini dilakukan karena Nagari sebagai kesatuan masyarakat adat adalah bagian integral dari Negara, sehingga hukum formal pada ruang lingkup Nagari dalam bentuk Peraturan Nagari juga merupakan entitas hukum. Diharapkan dengan pengelolaan yang menerapkan model inkoorporasi aturan formal dan aturan adat akan ada ruang yang lebih besar untuk menguatkan hak ulayat dan pola pengelolaan hutan yang berbasiskan kearifan tradisonal, yang dapat membangun sinergi antara sistem pengelolaan hutan adat dan pengelolaan berdasarkan aturan pemerintah, karena sesungguhnya hutan sebagai ulayat Nagari adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Nagari. (2) Diakomodasi oleh Peraturan Perundangan Kehutanan Nasional

Pada Pasal 26 UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan pemanfaatan Hutan Lin-dung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, melalui pemberian izin usaha pemanfa-atan kawasan (kepada perorangan dan koperasi), izin usaha pemanfapemanfa-atan jasa lingkungan (kepada perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indone-sia, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah) dan izin pe-mungutan hasil hutan bukan kayu (perorangan dan koperasi). Dalam kawasan Hutan Lindung diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan tradisional berupa pemungutan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Namun dalam kawasan Hutan Lindung tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat merubah bentang alam. Peningkatan peran serta masyarakat secara positif, aktif dan saling menguntungkan dalam rangka peningkatan pemanfaatan Hutan Lindung dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam Hutan Lindung sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

(18)

Dengan demikian, terdapat ruang yang memungkinkan untuk melakukan pe-ngelolaan Hutan Lindung bersama masyarakat sekitar hutan untuk mening-katkan perekonomian dan kesejahteraannya, dengan mengintegrasikan aturan pengelolaan hutan berdasarkan norma-norma adat dan aturan berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999.

Model pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat sekitar hutan yang te-lah dijalankan oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) adate-lah model pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang diatur dengan Permenhut Nomor : P.37/Menhut-II/2007 dan Hutan Desa yang diatur dengan Permenhut Nomor : P49/Menhut-II/2008. Pada prinsipnya substansi pelaksanaan model pengelolaan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa hampir sama, perbe-daannya terletak pada lembaga pengelolanya. Hutan Kemasyarakatan dikelola oleh kelompok masyarakat tanpa melibatkan lembaga desa (pemerintahan te-rendah) dalam pengelolaannya, sedangkan Hutan Desa dikelola oleh masyara-kat melalui lembaga desa di lokasi tersebut. Namun karena persyaratan yang ditetapkan dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan atau pun Hutan Desa ti-dak fkelsibel, dengan prosedur yang rumit dan panjang serta berpotensi me-nimbulkan biaya transaksi tinggi, sehingga sulit untuk diimplementasikan ka-rena kapasitas masyarakat sekitar hutan yang masih rendah. Oleh kaka-rena itu diperlukan perbaikan-perbaikan sesuai kondisi dan kapasitas masyarakat seki-tar hutan agar lebih mudah diimplementasikan.

(3) Sesuai dengan norma-norma adat Minangkabau

Bila dilihat dari kondisi sosial budaya masyarakat sekitar hutan, maka sesung-guhnya pengelolaan hutan bersama masyarakat telah ada dalam aturan penge-lolaan hutan berdasarkan adat. Sebagaimana disampaikan sebelumnya dalam sejarah terbentuknya Nagari, yang diawali dengan pembukaan hutan untuk pe-ladangan atau parak, maka Nagari (merupakan representasi dari pemerintahan adat) mengakui hak-hak orang yang membuka lahan pertama sekali atas lahan tersebut. Lahan hutan yang boleh dibuka untuk kegiatan ekonomi diatur oleh Nagari, dan pengelolaan hutan yang dilakukan harus mengikuti aturan adat, yang berazaskan : (a) kelestarian (tata ruang); (b) keadilan ekonomi (bagi ha-sil); dan (c) kepatutan pemanfaatan hutan (tebang pilih), dan diawasi secara

(19)

ketat oleh Nagari melalui “tuo rimbo” (petugas lapangan kehutanan). Dengan pengakuan hak oleh Nagari maka terjadi pengukuhan hak terhadap lahan se-hingga orang akan bersedia mengelolanya dengan baik atau menanamkan in-vestasinya sehingga bisa terus menghasilkan untuk peningkatan kesejahteraan anggota Kaum. Sehingga hutan bisa memberikan manfaat (ekonomi dan so-sial) yang besar bagi masyarakat dan Nagari (Negara) yang menunjang keber-hasilan pengelolaan hutan.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Nugroho (2010) bahwa pemba-ngunan hutan berbasis masyarakat adalah keniscayaan. Karakteristik “hak‐hak” lahan tidak produktif yang secara de facto diakui oleh institusi lokal sebagai “hak milik” individu yang membuka lahan hutan pertama kali, dapat dijadikan faktor pemungkin (enabling factor) untuk mendorong kesediaan se-seorang menanamkan investasi jangka panjangnya. Mengandalkan “pengusa-ha” rentan mengkonversi hutan alam. Karakteristik “keterjangkauan pengeta-huan pengelolaan hutan” dan “kearifan lokal” mampu melestarikan hutan. Karakteristik “padat karya” dapat membantu memecahkan masalah pengang-guran dan kemiskinan di pedesaan. Implikasinya apabila didukung oleh kebi-jakan yang memadai, maka pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat men-jadi sokoguru pembangunan kehutanan.

Model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Co-manajemen)

Kerusakan SDA dan lingkungan antara lain terjadi karena adanya dominasi manusia terhadap SDA sehingga nilai-nilai berubah; dan adanya dominasi manusia atas manusia, yang mengakibatkan adanya pilihan dan prioritas. Kegagalan praktek pengelolaan dan pemanfaatan SDA berdampak pada kemiskinan penduduk yang menyebabkan konflik karena pendekatan lama yang gagal, yang cenderung bersifat top-down, government mandated dan

expert-driven. Terjadinya perubahan realitas dan adanya tantangan dalam pengelolaan

SDA berupa : (1) diversitas para partisipan pengambil keputusan; (2) tuntutan

bottom-up participation; (3) kebutuhan akan model yang lebih holistik untuk

memahami bagaimana sistem SDA bekerja dan dilestarikan; (4) keberlanjutan fungsi ekosistem, biodiversitas dan kesejahteraan manusia; dan (5) pengelolaan

(20)

SDA yang semakin kompleks berakibat adanya kebutuhan terhadap interdisiplin ilmu pengetahuan dalam pengelolaan SDA. Oleh karena itu muncul berbagai inisiatif dan pemikiran bagaimana agar fungsi pengelolaan SDA berjalan efektif dalam menghadapi tantangan konteks ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan politik yang kompleks? Untuk mencapai hal tersebut, maka inisiatif pendekatan baru dalam pengelolaan SDA dilakukan dengan pengambilan keputusan bersama, berdasarkan kerjasama, bukan permusuhan dan melibatkan akar rumput

(grass-roots), yang disebut dengan community based-natural resources management.

Pendekatan pengelolaannya berdasarkan satuan bentang ekosistem

(landscape-level), bukan satuan bentang buatan (artificial).

Dalam pengelolaan SDA sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem berlaku premis-premis ilmiah, antara lain : (1) Ilmu dan masyarakat dipengaruhi oleh nilai-nilai individu dan masyarakat yang seringkali diakui tetapi lebih sering dilupakan; (2) Keanekaragaman sangat penting untuk kemampuan penyesuaian; (3) Pola-pola dan proses-proses ekosistem tampak, dan harus dikaji, pada skala geografis dan waktu yang berbeda; Merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan ini adalah sulit; (4) Sistem secara keseluruhan harus dikelola di dalam konteksnya; dan (5) Hasil baik dapat muncul dari manajemen. Selain itu berlaku pula premis-premis kemasyarakatan dalam manajemen ekosistem, antara lain : (1) Dalam suatu masyarakat yang komunitas-komunitasnya beranekaragam dan seringkali tidak harmonis, konflik-konflik mungkin muncul dan berkembang ketika terlalu banyak tujuan-tujuan bagi manajemen ekosistem yang berkembang dalam kompetisi satu sama lain, menghasilkan beberapa orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan; (2) Keputusan-keputusan manajemen ekosistem memperoleh manfaat dari visi dan tujuan-tujuan masyarakat yang jelas, singkat, terinformasikan dan terintegrasi dan yang mengakui dan menerima bahwa ekosistem-ekosistem itu adalah kompleks melampaui keseluruhan kita; dan (3) Pembuat kebijakan menterjemahkan informasi ilmiah tentang ekosistem dan tujuan-tujuan masyarakat ke dalam perjanjian, hukum-hukum, birokrasi pemerintahan, perencanaan, dan anggaran.

Dengan adanya berbagai perubahan realitas, tantangan dan kompleksitas yang dihadapi maka pengelolaan SDA memerlukan kerjasama berbagai pihak

(21)

agar dapat diwujudkan pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Karena pada da-sarnya kontrol manusia terhadap ekosistem tidak hanya sulit tetapi juga tidak nyata. Akan tapi, fleksibilitas dan pendekatan adaptif terhadap manajemen lah yang menuntun keberhasilan pendekatan ekosistem. Untuk keberhasilan pelaksanaan pengelolaan kolaborasi (Co-manajemen) memerlukan keterlibatan para pihak karena pengelolaan ekosistem biasanya berlangsung pada skala besar. Kolaborasi adalah bekerja bersama-sama dengan kompetensi masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama dengan reward yang proporsional dengan konsepsi yang sama. Co-manajemen mengandalkan konsensus yang dibangun untuk mengurangi konfrontasi, dan secara ideal mencari solusi untuk berbagai issue melalui kerjasama dan keterlibatan para pihak yang lebih luas. Publik tidak lagi dianggap sebagai lawan akan tetapi diterima sebagai sumberdaya yang beragam dan pemecah masalah yang efektif; atau secara singkat, masyarakat merupakan mitra dalam tindakan atau usaha pengelolaan SDA.

Berangkat dari pemikiran di atas, maka model pengelolaan hutan bersama masyarakat nagari dalam bentuk co-manajemen memadukan unsur masyarakat nagari dengan pemerintah serta dengan kelompok lainnya dalam pengelolaan hu-tan dalam setiap proses pengelolaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, peman-faatan dan pengawasan. Seberapa besar peran pemerintah, sangat ditentukan oleh kondisi dan kapasitas para pihak lainnya serta kesepakatan bersama untuk mewu-judkan tujuan bersama, yaitu pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan mensejah-terakan masyarakat. Peran pemerintah yang dominan tidak selalu berarti buruk selama dominansi peran tersebut dibutuhkan, disepakati dan didedikasikan dalam kerangka mencapai tujuan bersama. Bahkan pada model pengelolaan berbasis masyarakat murni yang telah mencapai kemandirian (self governing), peran peme-rintah tetap diperlukan sebagai regulator, pengawas dan penjamin hak-hak para pihak. Pada dasarnya setiap orang punya kecenderungan untuk menjadi penung-gang gratis (free rider), karena selalu ada kondisi yang menggoda beberapa individu untuk menipu agar mendapatkan sesuatu, dan merugikan orang lain (Ostrom 2000). Selain itu, peran Pemerintah sebagai penegak hukum yang kon-sisten dan efektif juga sangat diperlukan karena kebutuhan untuk memiliki sanksi timbul karena dua alasan: pertama, untuk memberikan pesan kepada pengguna

(22)

SDA bahwa kecurangan apapun akan diperhatikan dan dihukum, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa mereka yang melanggar aturan akan menghadapi hukuman, sehingga membuat mereka merasa membuat biaya melanggar peraturan lebih tinggi daripada manfaat yang akan diterima sehingga melanggar aturan akhirnya menjadi pilihan yang tidak menarik bagi pengguna.

Dalam konteks pengelolaan hutan bersama masyarakat nagari dalam bentuk co-manajemen, peran pemerintah adalah mengatasi atau mengisi kelemahan naga-ri, yaitu koordinasi antar instansi/antar pemerintah atau para pihak di luar komuni-tas nagari; pembiayaan pengelolaan hutan, dan pelaksanaan pengembangan kapa-sitas (capacity building) kelembagaan nagari. Dalam co-manajemen disepakati secara jelas pembagian wewenang antara pemerintah, masyarakat nagari dan ke-lompok pengguna hutan lainnya. Pemerintah secara formal mengakui aturan-aturan informal yang ada dalam nagari, khususnya dalam pengelolaan SDA dan menyerahkan pelaksanaan aturan tersebut kepada nagari. Pemerintah hanya membuat aturan umum dan aturan detilnya dibuat oleh Nagari.

Keuntungan dari pengelolaan hutan secara co-manajemen adalah dapat mengurangi biaya transaksi dalam pengelolaan hutan, yang mencakup : (1) biaya koordinasi; biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk waktu, personil dan biaya operasional pengawasan dan penjagaan hutan semakin rendah karena masyarakat ikut menjaga hutan; (2) biaya informasi pengelolaan hutan semakin rendah, ma-syarakat nagari dan pemerintah sama-sama mengetahui informasi dari pemerintah ke masyarakat atau dari masyarakat ke pemerintah; (3) biaya strategi, yaitu biaya akibat informasi, kekuasaan dan penguasaan sumberdaya yang tidak sepadan, se-perti biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna hutan liar (free riding) kepada oknum-oknum pencari rente (rent seeking) bisa diminimalkan. Selain itu, bentuk ini akan memberikan dampak (out come), yaitu : (1) meningkatkan kesadaran ma-syarakat nagari akan pentingnya hutan dalam menunjang kehidupan mama-syarakat nagari sekitar hutan; (2) membangkitkan partisipasi masyarakat dan aksi kolektif dalam setiap tahapan pengelolaan hutan; dan (3) meningkatkan pendapatan ma-syarakat karena adanya pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Sehubungan dengan pengembangan kapasitas nagari di atas, maka tercakup tiga tingkatan :

(23)

(1) Tingkat individu, yaitu peningkatan kemampuan individu masyarakat nagari berupa pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan pemanfaatan hutan se-cara berkelanjutan untuk peningkatan perekonomian masyarakat nagari

(2) Tingkat kelembagaan nagari, yaitu struktur organisasi, proses pengambilan keputusan dalam organisasi, tata cara dan mekanisme kerja pengelolaan hutan, hubungan dan jaringan antar nagari dalam melakukan pengelolaan hutan. Struktur organisasi pengelola hutan dimodifikasi dari struktur kelembagan na-gari. Khusus untuk Kota Padang yang belum menjalankan pemerintahan da-lam bentuk pemerintahan nagari, struktur organisasi pengelola hutan harus be-risi gabungan unsur-unsur lembaga adat (KAN) dan lembaga pemerintahan. Unsur pemerintahan harus mencakup Lurah dan Camat, karena pada dasarnya wilayah Nagari di Kota Padang mencakup beberapa kelurahan dan ada yang mencapai wilayah satu kecamatan, seperti Nagari Koto Tangah dan Lubuk Ki-langan, masing-masing mencakup satu kecamatan.

(3) Tingkat sistem, yaitu pengembangan kapasitas dalam hal peraturan, kebijakan, dan kondisi lingkungan yang mendukung pencapaian tujuan kelembagaan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Dalam melakukan pengembangan kapasitas nagari dilakukan secara berta-hap dan suatu proses yang saling terkait antara lain : (1) pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas nagari (need assessment) dilakukan dengan melibatkan masyarakat nagari; (2) perumusan program pengembangan kapasitas yang meli-batkan berbagai pihak terkait; (3) implementasi program pengembangan kapasitas nagari dengan menggunakan sumberdaya nagari atau sumberdaya yang disediakan oleh pihak lain, seperti kalangan pengusaha dan lembaga donor; dan (4) evaluasi atas dampak-dampak kegiatan pengembangan kapasitas dilakukan agar manfaat-nya dirasakan oleh masyarakat nagari.

Untuk pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis nagari ditemui beberapa senjangan kapasitas. Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa narasumber ke-senjangan kapasitas terkait dengan issu kelembagaan pengelolaan hutan berbasis nagari adalah : secara kebijakan pemerintah propinsi telah menunjukkan perhatian kepada gerakan kembali ke nagari, namun untuk Kota Padang hal tersebut belum dilaksanakan. Sedangkan pada tingkat institusi KAN yang ada pada Nagari,

(24)

di-perlukan kesiapan perangkat nagari, tentang proses implementasi perencanaan partisipatif, penguatan kapasitas kepemimpinan dan manajemen nagari. Memang hal tersebut sudah ada dalam masyarakat nagari, tetapi sudah lama ditinggalkan semenjak orde baru, sehingga perlu dilakukan peningkatan kapasitas. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas dalam perencanaan pengelolaan hutan partispa-tif, penguatan kepemimpinan adat dalam mengelola sumberdaya hutan, manaje-men pemerintahan bagi para Lurah, Camat dan aparatnya dalam pengelolaan hu-tan berbasis masyarakat nagari.

Pada konteks berpemerintahan, nagari sangat mendukung proses pemerin-tahan menuju proses demokratisasi dan partisipatif. Hubungan masyarakat dan pemimpin nagari, baik nagari sebagai masyarakat maupun nagari sebagai kesatuan hukum adat, merupakan faktor penting dalam mendorong pemerintahan yang de-mokratis dan masyarakat yang partisipatif. Sebagai contoh adanya falsafah “pe-mimpin didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting” merupakan hal yang penting dalam membangun pemerintahan bersama masyarakat. Maksud falsafah tersebut adalah masyarakat nagari yang menghormati pemimpinnya, namun jarak antara pemimpin dengan masyarakat sangat dekat, masyarakat dapat mengoreksi pemimpinnya dan antara pemimpin dan yang dipimpinnya selalu terjadi dialog. Hal ini menunjukkan demokratisasi yang telah terjadi dalam proses kepemim-pinan nagari dan masyarakat yang partisipatif dalam pembangunan nagari.

Dari uraian di atas, untuk mengembangkan institusi pengelola hutan yang lestari pada SWP DAS Arau, maka pilihannya adalah melakukan inkoorporasi antara norma-norma adat dalam pengelolaan hutan yang direpresentasikan dalam pengelolaan hutan ulayat, dengan aturan pengelolaan hutan berdasarkan aturan formal, melalui substansi pengelolaan hutan bersama masyarakat sesuai Permen-hut Nomor : P49/MenPermen-hut-II/2008 tentang Hutan Desa, sehingga diharapkan akan terbentuk model institusi pengelola hutan yang sejalan dengan aturan Pemerintah dan aturan adat, dapat diterima oleh semua pihak dan bertahan lama. Model insti-tusi pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dipilih adalah model

(25)

Model Pengelolaan Hutan Nagari

Terminologi Hutan Nagari. Hutan Nagari adalah hutan Negara yang dike-lola oleh Nagari dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Nagari serta belum dibe-bani izin/hak. Istilah Hutan Nagari digunakan karena istilah ini lebih diterima oleh masyarakat adat dan tidak menyalahi aturan Pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, digunakan istilah Hutan Desa. Bila dilihat lebih lanjut pada Pasal 1, point 6 Permenhut tersebut, dinyatakan defi-nisi “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk konteks Sumatera

Barat berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, tidak dikenal istilah Desa. Na-mun Pemerintahan terkecil adalah Nagari. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Dengan mengacu pada Pasal 1 point 6 Permenhut Nomor : P.49/Menhut-II/2008 tersebut, maka untuk Propinsi Sumatera Barat, sangat patut bila terminologi Hutan Desa diganti dengan istilah Hutan Na-gari. Hal ini juga merujuk pada bentuk dan penamaan pengelolaan hutan di berbagai tempat di Indonesia, seperti Hutan Mukim dan Gampong di Nangroe Aceh Darussalam; Hutan Marga di Jambi dan Sumatera Selatan; Hutan Dusun di Kabupaten Bungo; Rimbo Pusako dan Rimbo Parabukalo di Batang Kibul.

Bentuk Hak Pemanfaatan. Berdasarkan Permenhut Nomor : P.49/Menhut-II/2008, Hutan Desa merupakan hak pemanfaatan (user right) yang diberikan ke-pada komunal (communal right/common property) yang dibatasi oleh teritori wi-layah administrasi desa dan ada kekuatan hukum untuk menolak pihak yang tidak berhak (excludable). Namun tidak secara otomatis sebagai Hutan Adat. Hutan Adat memiliki karakter batasan keturunan (genetis) yang dapat meliputi wilayah

(26)

lintas desa; merupakan sumberdaya milik bersama (common property) dan bukan tidak berpemilik (open access property) (Nugroho 2010).

Analog dengan hal tersebut, Hutan Nagari merupakan hak pemanfaatan (user right) yang diberikan kepada Masyarakat Nagari (communal right/common

property) yang dibatasi oleh teritori wilayah administrasi Nagari (ada kekuatan

hukum untuk menolak pihak yang tidak berhak (excludable)). Dengan catatan tambahan, untuk konteks Sumatera Barat maka Hutan Nagari adalah hutan adat karena dalam teritori wilayah administrasi Nagari berarti juga merupakan batasan keturunan (genetis) berdasar Suku, dan hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesa-tuan Masyarakat Hukum Adat Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari.

Pemberian hak pemanfaatan Hutan Nagari ini adalah juga solusi untuk mengatasi masalah tumpang tindihnya kawasan hutan Negara dan hutan ulayat (adat) maka melalui pemberian Hak pemanfaatan Hutan Nagari, Negara membe-rikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat yaitu masyarakat yang mempunyai akses langsung dengan hutan dalam kesatuan masyarakat adatnya, yaitu komunitas anak nagari diatas Hutan Nagari (pada hutan simpanan/hutan lin-dung atau hutan panabangan/hutan produksi) yang belum terbebani hak. Hal ini berarti juga adanya pengakuan Negara terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap hutannya.

Bentuk Pengelolaan Hutan Nagari. Hutan Nagari dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan pemerintah yang sejiwa dengan adat Minangkabau sebagai norma hukum. Pemerintah hanya memberikan aturan umum, sedangkan aturan opersionalnya diatur oleh nagari sesuai norma-norma pengelolaan hutan adat lestari. Lahan hutan yang boleh dibuka untuk kegiatan ekonomi diatur ber-sama oleh Nagari (dan pemerintah, pada daerah yang belum menerapkan pemerin-tahan nagari), dan pengelolaan hutan yang dilakukan berazaskan : (a) kelestarian (tata ruang); (b) keadilan ekonomi (bagi hasil); dan (c) kepatutan pemanfaatan hutan (tebang pilih), dan diawasi secara ketat oleh Nagari melalui “tuo rimbo” (petugas lapangan kehutanan).

(27)

Pengelolaan Hutan Nagari ditujukan guna menghasilkan jasa lingkungan, kayu, atau hasil hutan non kayu dan hasil hutan ikutan oleh kelompok masyarakat dalam kawasan hutan atau di pinggir kawasan hutan secara profesional. Kelom-pok masyarakat itu terhimpun dalam lembaga kemasyarakatan, koperasi, atau lembaga swadaya masyarakat yang ditetapkan menjadi Badan Usaha Milik Nagari (BUM Nagari) dengan Peraturan Nagari.

Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN). Hak Pengelolaan Hutan Naga-ri (HPHN) dapat dibeNaga-rikan pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, namun tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan. Bentuk HPHN pada Hutan Lindung adalah pemanfaatan kawasan; jasa lingkungan dan pemungutan Hasil Hutan Bu-kan Kayu (HHBK), dan pada Hutan Produksi adalah pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan Hasil Hutan Kayu (HHK), dan pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). HPHN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan, sesuai dengan ketentuan berikut :

(1) Diusulkan oleh Wali Nagari (untuk daerah yang belum menjalankan pemerin-tahan Nagari, seperti Kota Padang, diusulkan oleh Lembaga yang berisikan unsur pemerintahan dan pimpinan adat dalam Nagari, katakanlah bernama

Lembaga Kerapatan Pengelolaan Hutan Nagari (LK-PHN)) melalui

Bupa-ti/Walikota, melalui Gubernur kepada Menteri Kehutanan atas Hutan Lindung atau Hutan Produksi.

Bila dalam pengurusan izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) sesuai P.49/Menhut-II/2008 terdapat 7 lembaga yang terlibat dengan 14 kegiatan, yang menunjukkan kompleksnya prosedur perijinan dan pelaporan yang bere-siko menimbulkan biaya transaksi tinggi. Oleh karena itu, agar bisa memini-malkan biaya transaksi maka prosedur perijinan untuk HPHN harus lebih se-derhana. Sehingga Kementerian Kehutanan perlu mempertimbangkan untuk menghadirkan unit pengelola program yang dekat dengan masyarakat, akan lebih baik bila dapat melakukan pelayanan satu atap untuk perijinan, penda-naan dan pelaporan kegiatan HPHN, misalnya hanya sampai tingkat Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengu-rusan perijinan tidak lama (Nugroho, 2010). .

(28)

(2) Pengusulan HPHN oleh Wali Nagari/LK-PHN harus melalui pembahasan da-lam sidang Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan mendapat persetujuan dari Ba-dan Perwakilan Nagari (BPN).

(3) Pengkajian terhadap potensi dan status lokasi Hutan Nagari yang diusulkan Hak Pengelolaannya dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Nagari (LPN) bekerjasama dengan Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Badan Usaha Milik Negara atau Swasta (BUMN/S).

(4) Dalam keputusan pemberian HPHN ditetapkan : (a) luas kawasan HPHN; (b) wilayah administrasi; (c) fungsi hutan; (d) lembaga pengelola; (e) jenis ke-giatan pemanfaatan; (f) hak dan kewajiban; dan (g) jangka waktu hak.

(5) Hak dan Kewajiban Pemegang HPHN (a) Kewajiban Pemegang HPHN

Pemegang HPHN berkewajiban untuk melakukan penataan batas HPHN; menyusun rencana kerja; melakukan perlindungan hutan; rehabilitasi dan pengkayaan tanaman areal kerja Hutan Nagari; menyusun dan menyam-paikan laporan kinerja HPHN kepada Bupati / Walikota melalui Dinas Kehutanan dengan tembusan kepada Wali Nagari / KAN, Gubernur dan Menteri Kehutanan.

Sedangkan penataan batas HPHN dilakukan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan Pemegang HPHN.

(b) Hak Pemegang HPHN

Pemegang HPHN berhak mendapatkan fasilitasi dari pemerintah dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pengembangan hutan nagari, serta akses pendanaan dari pemerintah melalui Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Kehutanan.

(6) Fasilitasi Pengembangan Hak Pengelolaan Hutan Nagari

Pemerintah (Kementrian Kehutanan) dan Pemerintah Daerah mengatur dan memfasilitasi pengembangan Hutan Nagari baik langsung atau tidak langsung melalui LSM / PT / BUMN / BUMD dalam hal : pendidikan dan latihan, pen-gembangan kelembagaan, bimbingan teknis, bimbingan penyusunan rencana kerja, pemberian informasi pasar dan modal kerja, dan pengembangan usaha.

(29)

(7) Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Nagari

Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) adalah lembaga kemasya-rakatan, koperasi, atau LSM, yang ditetapkan menjadi Badan Usaha Milik Nagari (BUM Nagari) dengan Peraturan Nagari. Pemegang HPHN ini dapat mengajukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Hasil Hu-tan Bukan Kayu (IUPHHBK), PemanfaaHu-tan Kawasan (IUPK) dan Pemanfaa-tan Jasa Lingkungan (IUPJL).

Penyelenggaraan pengelolaan Hutan Nagari dilakukan oleh Koperasi Nagari yang ditetapkan menjadi BUM Nagari dengan Peraturan Nagari, karena Hutan Nagari adalah hutan adat milik masyarakat adat. Koperasi Nagari dapat me-minta bantuan teknis jasa keahlian dari PT, LSM, BUMN/S.

(8) Pembinaan dan Pengendalian

Menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Wali Kota sesuai kewenangannya membina, mengendalikan, dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan Hu-tan Nagari. Biayanya dibebankan kepada APBN, APBD, dan Sumber lain yang tidak mengikat. Pelaksanaan pengelolaan Hutan Nagari oleh BUM Na-gari dibiayai oleh APB NaNa-gari (dengan fasilitasi pemerintah). Dalam melaku-kan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pelaksanaan pengelolaan Hu-tan Nagari oleh BUM Nagari, maka pemerintah, pemerintah provinsi, peme-rintah kabupaten / kota dapat memanfaatkan kompetensi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) karena pengelolaan Hutan Nagari berkai-tan erat dengan hak ulayat.

Untuk pengembangan hutan nagari pada hutan lindung SWP DAS Arau, se-lain pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung, beberapa issu yang terkait dengan air dapat dijadikan pintu masuk untuk konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya, adanya kebutuhan pemenuhan kebutuhan listrik pada masyarakat di daerah Batu Busuk pada DAS Kuranji yang mengusulkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Karena dengan adanya PLTMH maka otomatis hutan dan vegetasi akan dipelihara. Menurut Tri Mumpuni (2007) untuk menghasilkan 1 KWh listrik, paling tidak membutuhkan satu pohon besar di hutan untuk menyimpan

(30)

air. Agar PLTMH mampu berfungsi sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Itu berarti tidak boleh ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi. Sehingga kesadaran warga untuk konservasi akan terbangun dengan sendirinya karena melihat dan merasakan manfaatnya. Kalau hutan tidak dijaga, sumber air berkurang dan pembangkit listrik tidak bisa jalan. Energi listrik yang dihasilkan sebesar 1 KWh mampu memfasilitasi listrik 24 jam kepada 200 keluarga, dengan adanya listrik, bisa menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Di Swiss, PLTMH ada yang berusia 57 tahun, dan di Jepang bahkan bisa mencapai usia 110 tahun. Di samping bersifat terbarukan, yaitu dengan memanfaatkan aliran air serta debit dan ketinggian jatuhnya air pada sungai kecil, PLTMH juga bisa dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat. Menurut Nugroho (2010) contoh pintu masuk (entry point) dari isu air sudah dilaksanakan dengan adanya bantuan Bank Dunia sebesar USD 38 ribu untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), mendorong masyarakat Desa Sebadak Raya (Kecamatan Nanga Tayap, Ketapang, Kalimantan Barat) mengajukan permohonan Hutan

De-PT-BUMN-LSM (Konsultan)

LKAAM (Verifikasi Hak Ulayat)

Bupati/Walikota (Ijin Lokasi) LPN (Pemrakarsa usul) Draft Proposal Final Proposal Wali Nagari / Ketua KN-PHN (Pengusul) KAN + BPN (Persetujuan) Gubernur

(Ijin Prinsip) Pertimbangan Teknis Penetapan BUM Nagari Operasional

Menhut

(Pemberi Hak Kelola) Teknis/Tata Batas Pertimbangan Hak Pengelolaan Hutan Nagari HHK, HHBK, JL IUP

(31)

sa. Hutan Desa Lubuk Beringin di Kabupaten Bungo dijaga masyarakat dari aksi penebangan liar karena membaiknya debit air sungai sehingga PLTMH dapat te-rus beroperasi.

Pengembangan Institusi untuk Implementasi PES

Untuk pengembangan PES pada SWP DAS Arau, maka diperlukan penga-turan kelembagaan yang sesuai dan memenuhi kriteria-kriteria yang diperlukan. Secara umum kelemahan sistem kelembagaan pengelolaan SWP DAS Arau saat ini adalah ketidakjelasan peran dan tanggungjawab para pihak terkait dalam pe-ngelolaan DAS dan tidak sinergisnya perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dalam DAS serta pemanfaatan sumberdaya dalam DAS oleh berba-gai pihak terkait, berakibat tumpang tindihnya kepentingan, sehingga menimbul-kan konflik yang dapat mengancam kelestarian ekosistem DAS.

Berbagai masalah tersebut timbul akibat proses pembuatan kebijakan dalam pengelolaan DAS tidak mempertimbangkan keterkaitan hulu hilir, keterkaitan an-tar sektor dan partisipasi masyarakat dalam DAS. Padahal pengelolaan sumber-daya alam dan lingkungan memerlukan dua kata kunci, yaitu terpadu dan rasa memiliki (partisipasi para pihak) serta pengelolaan DAS mensyaratkan kerjasama, partisipasi dan kolaborasi para pihak yang terlibat. Tidak adanya kelembagaan yang bisa mengakomodasi hal tersebut dalam pengelolaan DAS pada SWP DAS Arau hingga saat ini menyebabkan berbagai kegiatan pemanfaatan jasa lingkung-an air permukalingkung-an dalam DAS tidak terkoordinasi dlingkung-an cenderung tidak pro konser-vasi atau mengabaikan kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan airnya.

Uraian di atas memberi pemahaman bahwa untuk implementasi pembayaran jasa lingkungan pada SWP DAS Arau, paling tidak ada 3 (tiga) masalah yang ha-rus dipecahkan, yaitu : (1) jaminan kepastian hak kepemilikan atas lahan kawasan lindung di hulu DAS agar bisa menjamin ketersediaan jasa DAS, (2) pengaturan pemanfaatan jasa lingkungan air permukaan (jasa hidrologis hutan) oleh berbagai pihak, dan (3) kebijakan atau aturan main yang memayunginya. Permasalahan tersebut memerlukan penanganan yang sistematis dengan memperhatikan kondisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan setempat. Masalah degradasi hutan pada hulu SWP DAS Arau akibat konflik tenurial diharapkan

Gambar

Gambar 20  Diagram alir pengusulan hak pengelolaan hutan nagari
Tabel 68  Kriteria pemilihan institusi pengelola PES pada SWP DAS Arau
Gambar 21  Proses kelembagaan ideal dalam PES pada SWP DAS Arau   (modifikasi dari Nugroho 2010)
Gambar 23  Model pengembangan institusi untuk  membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu pada SWP DAS Arau

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisis X terhadap Y1 juga dapat diketahui besarnya pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap motivasi berwirausaha dengan melihat R2 sebesar 0,053, yang

Untuk memastikan bahwa peralatan uji ONH-2000 Eltra yang baru dibeli dapat berfungsi dengan baik dan memiliki performa sesuai spesifikasi teknisnya, maka setelah selesai

Penilaian proyek dapat digunakan un- tuk mengetahui pemahaman, kemampuan melakukan penyelidikan dan kemampuan menerapkan keterampilan membuat produk atau karya; (6)

Penelitian bertujuan: (1) untuk mengetahui proses pengelolaan mangrove di Desa Bahoi khususnya dari sapek keterlibatan masyarakat; (2) untuk mengetahui faktor-faktor

[r]

perbedaan teknologi secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan tenaga kerja, efisiensi usaha dan produktivitas tenaga kerja pada

1) Variabel dependen (variabel kriteria): merupakan variabel yang menjadi fokus utama untuk menjelaskan atau memprediksikan variabilitas variabel dependen. Melalui

Prioritas dalam melakukan transaksi efek di Bursa Efek (di Pasar Regular), dimana pihak yang menawarkan harga paling tinggi untuk membeli atau paling rendah untuk