• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang dilakukan untuk mengubah perilaku individu, agar dapat mencapai potensi terbaik dari dalam diri individu tersebut. Pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia dalam suatu negara, serta turut menentukan kualitas pembangunan bangsa. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kemdikbud, 2003).

Di dalam UU tersebut, secara implisit dinyatakan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Hal ini menjadi sebuah hal yang patut diperhatikan mengingat Indonesia adalah negara yang sangat multikultur, kaya akan keberagaman suku, ras, golongan, agama, bahasa, bahkan status sosial ekonomi. Keberagaman yang seharusnya dapat menjadi kekuatan bangsa, namun kenyataannya sangat rentan menimbulkan konflik

(2)

konflik-konflik sosial yang terjadi disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan ataupun ide orang lain. Kurangnya pemahaman tentang multikultur adalah salah satu penyebab dari beragam konfik di negeri ini (Gumono,2011;Muslimin, 2012).

Betapa banyak contoh-contoh yang terjadi di negara Indonesia, konflik yang menelan ratusan bahkan ribuan korban jiwa, dikarenakan adanya prasangka ataupun stereotip terhadap budaya lain (Gumono, 2011 ). Dimulai dari G30S/PKI, kekerasan terhadap etnis China di Jakarta tahun 1998, perang suku Dayak dan Madura tahun 2000, konflik di Papua, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan semakin maraknya pelajar yang melakukan tawuran. Hal ini mengindikasikan rendahnya rasa toleransi antara orang yang satu terhadap orang lain. Antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Nilai-nilai dan karakter bangsa seperti gotong royong, kerjasama, kekeluargaan, toleransi terasa semakin pudar. Apalagi saat ini, pengaruh globalisasi yang menawarkan budaya individualisme semakin menggerogoti nilai-nilai bangsa ini (Mania, 2010).

Dahulu, bangsa Indonesia dibangun dengan semangat multikultural yang berlandaskan falsafah Pancasila, dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Namun kini, pemahaman akan multikultural semakin rendah, sehingga berakibat pada terkikisnya nilai-nilai bangsa. Walau demikian, satu hal yang dapat memperbaiki kondisi ini adalah melalui pendidikan (Hanum,2009; Sutjipto, 2005). Pendidikan sebagai upaya untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang demokratis dan humanis (Arifudin, 2007;Chaeruman, 2011). Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah salah satu sarana yang efektif untuk

(3)

memupuk kembali nilai-nilai multikultural tersebut, yakni melalui pendidikan multikultural (Suparlan, 2002; Tan, 2006).

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berupaya mengembangkan potensi anak didik dengan prinsip kesetaraan. Artinya, pendidikan multikultural memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk mengecap bangku pendidikan. Pendidikan multikultural berupaya menekankan kesetaraan dalam keberagaman bagi setiap peserta didik sehingga diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai multikultural semenjak dini (Banks, dalam Amirin, 2012). Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa dengan berperilaku humanis, demokratis, dan pluralis, disamping memperhatikan aspek akademis siswa (YPSIM, 2012).

Melalui pendidikan multikultural, nilai-nilai yang mulai pudar dari masyarakat Indonesia diharapkan dapat dipupuk kembali, seperti kekeluargaan, kerjasama, toleransi, dan sebagainya. Dengan diterapkannya pendidikan ini, segala bentuk prasangka dan diskriminasi juga diharapkan dapat diminimalisir keberadaannya (Wasitohadi, 2012; Syaifuddin, 2006). Konsep ini memang tergolong baru di Indonesia, namun di luar negeri seperti Amerika dan Eropa, pendidikan multikultural telah mulai diterapkan sejak tahun 60an dan 70an, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kaum imigran di negara tersebut (Banks dalam Amirin, 2012). Walau relatif baru di Indonesia, pendidikan multikultural memiliki peluang besar untuk mengubah kondisi bangsa saat ini. Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk dapat mencapai hal tersebut, karena pendidikan

(4)

multikultural ini adalah sebuah on going process, artinya akan terus berkelanjutan hingga akhirnya tujuan dari pendidikan ini dapat terwujud (Wasitohadi, 2012).

Salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang telah menerapkan konsep pendidikan multikultural adalah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, yang terletak di Jl. Sunggal Medan. Yayasan yang telah berusia 25 tahun ini adalah Yayasan pendidikan yang didirikan oleh Sofyan Tan, dengan tujuan membangun putra/putri Indonesia yang cerdas, berakhlak mulia, dan menghargai kemajemukan. Semenjak berdiri pada tahun 1987, sekolah ini memiliki visi untuk mengatasi dua permasalahan sosial negeri ini, yakni kemiskinan dan diskriminasi. Kemiskinan yang menyebabkan warga miskin tidak mampu mengecap pendidikan, dan berbagai konflik yang disebabkan oleh perilaku diskriminasi dan prasangka. Sofyan Tan, selaku pendiri yayasan ini, meyakini bahwa kedua hal tersebut dapat dihilangkan lewat pendidikan. Sehingga diupayakanlah sekolah yang berkualitas bagi setiap orang, dan menerapkan pembelajaran yang menghargai kemajemukan (YPSIM, 2012).

Pendidikan multikultural yang diterapkan di YPSIM diimplementasikan dalam setiap aspek yang ada di dalam sekolah sekolah, seperti dalam kurikulum, kultur sekolah, kultur kelas, guru, hingga pihak luar sekolah. Dalam kurikulum misalnya, materi pelajaran diintegrasikan dengan topik multikultural, tidak hanya pada mata pelajaran humaniora seperti PKn, tetapi juga pada pelajaran inti lainnya. Dalam kultur sekolah, diupayakan agar setiap fasilitas sekolah menonjolkan kemajemukan Indonesia, seperti penyediaan rumah ibadah dan

(5)

pendopo dari lima agama besar di Indonesia untuk membiasakan anak didik melihat, menerima, dan menghargai perbedaan di sekitar mereka (Tempo, 2012).

Selain itu, para guru juga berupaya membangun kemampuan kerjasama dan kemampuan memecahkan masalah para siswa dengan membuat pembagian kelompok berdasarkan suku atau agama yang berbeda. Demikian pula dengan pembagian teman sebangku, diupayakan agar berbeda budaya. Dalam hal sosial ekonomi, sekolah ini juga berusaha menerima setiap siswa yang berasal dari sosial ekonomi tinggi maupun rendah. Bagi mereka yang kurang mampu, disediakan beasiswa dan juga orangtua asuh yang akan meringankan biaya pendidikan siswa tersebut (YPSIM, 2012).

Selama hampir 25 tahun, YPSIM telah mengimplementasikan dan mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam setiap aspek pembelajaran maupun kebijakan sekolah, serta dalam perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus untuk diterapkan dalam pembelajaran di kelas oleh semua tenaga pendidik di YPSIM. RPP dan Silabus yang dikembangkan sebagian mengadopsi pendidikan multikultural dan pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional, dan pihak sekolah mengembangkannya dengan menetapkan sejumlah nilai, deskripsi, serta indikator multikultural yang diterapkan di YPSIM (YPSIM, 2012).

Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, nasionalisme, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

(6)

sosial, tanggungjawab, kesetaraan gender, dan pluralisme. Nilai religius berkaitan dengan toleransi terhadap agama lain dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Nilai jujur artinya menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Nilai toleransi yang dimaksud adalah menghargai perbedaan yang ada dalam segala aspek. Nilai disiplin berkaitan dengan perilaku tertib dan patuh terhadap peraturan. Nilai kerja keras mencakup upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu. Nilai kreatif dan mandiri berkaitan dengan inovasi dan tidak bergantung pada orang lain. Nilai demokratis berkaitan dengan persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan. Nilai rasa ingin tahu berkaitan dengan keinginan untuk tahu lebih dalam tentang sesuatu.

Nilai nasionalisme berkaitan dengan kepedulian yang tinggi terhadap bangsa. Nilai menghargai prestasi berkaitan dengan kemampuan untuk mengakui dan menghargai keberhasilan orangl lain. Nilai bersahabat/komunikatif ditunjukkan oleh rasa senang bergaul dengan orang lain. Nilai cinta damai ditunjukkan oleh adanya kemampuan untuk membuat orang lain merasa aman di sekitarnya. Nilai gemar membaca berkaitan dengan kegemaran membaca buku yang bermanfaat. Nilai peduli lingkungan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Nilai peduli sosial dan kesejahteraan berkaitan dengan kepedulian terhadap orang lain. Nilai tanggungjawab berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban dengan baik. Nilai kesetaraan gender artinya tidak membeda-bedakan pria dan laki-laki dalam hak dan kewajiban. Nilai pluralisme berkaitan dengan penghargaan terhadap setiap perbedaan yang ada.

(7)

Nilai dan indikator inilah yang menjadi acuan bagi setiap guru dalam merancang RPP dan Silabus dalam pembelajarannya. Guru dituntut untuk menerapkan pembelajaran bermuatan multikultural ini, tidak hanya pada pelajaran humaniora seperti IPS, tetapi juga pada pelajaran eksakta seperti IPA. Untuk bisa mengintegrasikan ke dalam pembelajaran, guru perlu melakukan analisis terhadap karakteristik mata pelajarannya, dan juga melihat kondisi yang ada di YPSIM (YPSIM, 2012).

The Center for Research on Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California, Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan pembelajaran untuk siswa multikultur yakni: aktifitas produktifitas bersama, perkembangan bahasa, kontekstualisasi, percakapan instruksional, dan aktifitas menantang. Dalam aktifitas produktifitas bersama, guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran, khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda. Dalam perkembangan bahasa, guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis, membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan kemampuan literasi.

Dalam kontekstualisasi guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi siswa. Dalam aktifitas menantang, guru harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Dalam percakapan instruksional, guru menggunakan dialog

(8)

antara guru dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan siswa. Ke 18 nilai-nilai multikultural yang diterapkan di YPSIM telah tercakup secara implisit di dalam ke 5 standar tersebut.

YPSIM terdiri dari jenjang TK, SD, SMA, dan SMK. Hal ini menunjukkan bahwa yayasan ini berupaya untuk menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini kepada siswa. Di dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada siswa SMA yayasan SIM. Siswa SMA pada umumnya berusia 15-18 tahun. Masa SMA sebagai masa remaja merupakan masa yang rawan bagi individu. Studi menunjukkan bahwa siswa SMA sangat rentan menjadi pelaku bullying maupun tawuran. Kasus bullying yakni group bullying, dimana sekolompok siswa mem-bully siswa lain pada umumnya dilakukan oleh siswa SMA (Djati, 2008). Demikian pula dengan perilaku tawuran di kota-kota besar yang telah marak terjadi sejak awal tahun 70an umumnya dilakukan oleh siswa SMA. Pada umumnya perilaku tawuran sudah merupakan tradisi dari sekolah-sekolah yang melakukannya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan perilaku tersebut, diantaranya adalah adanya prasangka maupun tindak diskriminasi terhadap kelompok lain (Kompas, 2014). Selain itu, tugas perkembangan remaja seperti keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok sebaya dan keinginan untuk tampak kuat atau berharga (Hurlock, 1996). Hal ini menunjukkan siswa SMA sangat rentan menjadi pelaku maupun korban dari tindakan bullying maupun tawuran tersebut. Perilaku bullying maupun tawuran antar pelajar tentu saja menunjukkan semakin

(9)

lunturnya nilai-nilai multikultural seperti nilai toleransi di dalam diri generasi muda Indonesia.

Dari beberapa siswa SMA yang diwawancarai peneliti, diungkapkan bahwa secara umum mereka merasa nyaman bersekolah di SMA YPSIM ini dan mendukung pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan oleh sekolah. Salah satu diantaranya disebabkan oleh banyaknya jumlah kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dipilih oleh setiap siswa dengan bebas seperti yang diungkapkan salah satu siswa di bawah ini,

“Kami senang kak sekolah di sini, ekskulnya banyak, gurunya enak ngajarnya, teman juga banyak di sini. ”

(komunikasi personal, 9 Desember 2013) Beberapa siswa yang diwawancarai peneliti mengungkapkan bahwa pada awalnya mereka belum mengetahui mengenai pembelajaran bermuatan multikultural yang diterapkan di YPSIM, namun seiring mereka menjalani pendidikan di sana, mereka merasakan manfaat pendidikan multikultural tersebut. Keragaman yang ada di sekolah ini dipandang sebagai suatu hal yang positif. Bahkan, dengan adanya pembelajaran berbasis multikultural yang diterapkan di sekolah mereka, salah satu siswa menyebutkan bahwa hal tersebut dapat menjadi modal yang baik bagi mereka untuk dapat beradaptasi dengan baik di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.

“Iyalah kak, disini kami diajari untuk saling menghargai perbedaan yang ada. Karena udah diajari dari sekarang, nantinya kami udah bisa beradaptasi sama perbedaan yang ada. Jadi modal buat kami untuk bergaul di masyarakat. ”

(10)

Beberapa siswa yang lain merasakan kurangnya kebersamaan diantara sesama siswa di sekolah mereka, kurang merasakan adanya manfaat dari pembelajaran yang diterapkan sekolah, sehingga cenderung tidak mendukung pembelajaran bermuatan multikultural seperti yang diungkapkan oleh Y dan H dalam wawancara di bawah ini,

"Yah, kalo kami kak masih kurang berbaur kalo yang di kelas saya. Masih banyaklah yang bertemannya, masih sesama suku atau sesama agama kak. Jadi sama teman yang lain cuma sekedar say hallo aja."

(komunikasi personal, 27 November 2014) "Kami emang diajarin kak saling menghargai diantara kami, tapi kalo yang namanya berantem kak, masih ada aja kak, terutama yang cowok-cowok ini. Biasanya ya karena hal-hal sepele aja sih. Namanya remaja kak, masih labil, hahhaa"

(komunikasi personal, 27 November 2014) Selama lebih dari 25 tahun YPSIM telah berupaya untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cakap dalam bidang akademis, namun juga menjadi pribadi yang menghargai kemajemukan ditengah bangsa Indonesia yang sangat multikultural. Hal ini tidak terlepas dari dedikasi setiap pendidik di YPSIM, termasuk juga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan multikultural yang ditawarkan oleh YPSIM ini. Pada kenyataannya, untuk menghasilkan generasi yang sungguh-sungguh menghargai kemajemukan bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini memerlukan waktu yang lama dan berkelanjutan. Seperti yang terdapat pada siswa SMA YPSIM. Ada beberapa siswa yang mendukung serta memandang positif pembelajaran bermuatan multikultural, namun ada pula siswa yang masih kurang mendukung dan mamndang negatif pembelajaran tersebut. Artinya, terdapat variasi sikap siswa

(11)

Sikap adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan untuk bereaksi secara positif atau negatif yang relatif permanen terhadap objek sikap. Sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative) (Azwar, 2013). Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu. Komponen kogtitif juga meliputi fakta, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap apa yang benar dan apa yang berlaku pada objek sikap.

Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif. Komponen afektif meliputi masalah sosial subjektif yang dirasakan oleh seseorang kepada suatu objek sikap. Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap. Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya.

Konsep pendidikan multikultural memang masih tergolong baru di Indonesia, serta memiliki beberapa perbedaan dengan konsep pendidikan pada umumnya. Ada banyak hal baru yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran multikultural ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Karena itulah, peneliti merasa perlu untuk mengetahui bagaimana gambaran sikap siswa SMA terhadap pembelajaran multikultural, yakni bagi siswa SMA YPSIM kota Medan.

(12)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin mengetahui hal yang dirumuskan dalam pertanyaan : Bagaimana gambaran sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap siswa SMA terhadap pembelajaran bermuatan multikultural.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Memberikan tambahan literatur mengenai Psikologi Pendidikan, khususnya konsep pendidikan multikultural di Indonesia

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi mengenai konsep pendidikan multikultural dan dapat menjadi salah satu referensi untuk menerapkan pendidikan multikultural di sekolah.

b. Menjadi masukan bagi SMA YPSIM mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran bermuatan multikultural, sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembinaan sikap siswa sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan multikultural yang diterapkan.

(13)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori sikap. Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, instrument yang akan digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan

Berisikan mengenai gambaran umum dan karakteristik dari responden penelitian, serta penggunaan analisa statistik dalam menganalisis data. Pada bab ini pula dibahas mengenai interpretasi data yang kemudian diuraikan ke dalam pembahasan.

(14)

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Berisikan mengenai kesimpulan mengenai hasil penelitian dan saran untuk penyempurnaan untuk penelitian–penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis tingkat resiko tsunami, daerah dengan resiko sangat tinggi dan tinggi terdapat di dua wilayah pesisir utara yaitu Kecamatan Alok dan Magepanda dengan

Pembakaran adalah reaksi kimia antara komponen-komponen bahan bakar (karbon dan hidrogen) dengan komponen udara (oksigen) yang berlangsung sangat cepat, yang membutuhkan

Rincian Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah.. Rekapitulasi Belanja Langsung menurut Program dan Kegiatan Satuan

Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan, serta juga disiapkan siput dan daun hydrilla Setelah alat dan bahan siap, air

Jika membahas masalah etika dan sopan santun maka kita tidak bisa melapas dari tradisi atau budayamasyarakat. Mengapa demikian, karena etika dan sopan santun setoap daerah

dimanfaatkan meminimalkan kelemahan sedangkan skor total faktor ekternal sebesar 2,6 memeberikan arti bahwa pada Café Rame-Rame Jember mempunyai peluang untuk

Menimbang, bahwa oleh karena pada waktu putusan perkara Nomor : 122/Pdt.G/2014/PN.Cbi dibacakan dipersidangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong pada

Sebagaimana diketahui bahwa makna ibadah di dalam Islam adalah luas menyangkut segala aktivitas kehidupan yang ditujukan untuk memperoleh ridla Allah, maka fungsi Masjid