• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 41

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL ORANG TUA DENGAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA

JAWA PESERTA DIDIK SMP NEGERI 2 KALIWIRO KABUPATEN WONOSOBO

Aris Hidayat, Gusti Surawening Pradanasiwi

Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK

Bahasa Jawa pada hakekatnya merupakan identitas dan sebagai pembentuk budi pekerti orang Jawa. Bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh bahasa yang khas. Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan tata krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk serta tingkah laku yang baik dan tepat.

Sekolah atau pendidikan formal menjadi salah satu cara menanamkan pendidikan karakter bagi para peserta didik. Akan tetapi, keterbatasan waktu belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua dalam membantu pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal orang tua mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik. Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara bicara peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah mencerminkan kebiasaan peserta didik dalam keluarga.

Kata-kata kunci : pendidikan karakter, peserta didik, unggah-ungguh bahasa Jawa

A. Pendahuluan

Bahasa Jawa ialah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal terutama, di propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur (Pudjasoedarma, 1979:1). Bahasa Jawa berkedudukan sebagai bahasa daerah dan identitas daerah. Selain sebagai bahasa daerah dan bahasa ibu, bahasa Jawa dijadikan sebagai media pembentuk budi pekerti yang sesuai dengan unggah-ungguh pada generasi muda, karena dalam bahasa Jawa terdapat tingkat tutur yang digunakan untuk membedakan tingkat sosial penuturnya. Tingkat tutur tersebut adalah untuk menghormati lawan tutur atau lawan bicaranya.

Dalam berkomunikasi dengan orang tua banyak yang tidak memperhatikan

unggah-ungguh.Unggah-ungguh adalah tata cara berbahasa sesuai dengan tata

krama, yakni tata cara berbicara terhadap orang lain dan tindak tanduk serta tingkah laku yang baik dan tepat. Undha usuk adalah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang

(2)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 42 ada pada pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:16). Unggah-ungguh bahasa tersebut mewujudkan adat sopan santun bahasa jawa, karena kebiasaan menggunakan sopan santun bahasa adalah ciri kepribadian masyarakat jawa (Sutardjo, 2008:10-11). Upaya pelestarian perlu dilakukan mengingat saat ini ada gejala yang menunjukkan bahwa Bahasa Jawa akan ditinggalkan oleh penuturnya, terutama kaum muda. Upaya yang paling tepat dan harus dilakukan adalah melalui jalur pendidikan, yaitu melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa dalam kerangka Budaya Jawa. Jalur ini merupakan upaya yang dapat dikatakan sangat efektif dalam usaha pelestarian Kebudayaan dan Bahasa Jawa.

Upaya pelestarian Bahasa Jawa kiranya tidak cukup jika hanya melalui pembelajaran di sekolah. Dalam kenyataannya bahwa hampir sebagian besar masyarakat Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa dalam kegiatan non-formal sehari-hari, baik dalam keluarga, dengan masyarakat, maupun dalam situasi-situasi formal yang mengharuskan orang berbahasa Jawa.

Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik. Pendidikan ini dimulai dari keluarga atau orang tua. Tingkat pendidikan formal orang tua dapat menentukan tingkat perhatian dan bimbingan dalam proses pembelajaran peserta didik di rumah yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada prestasi belajar peserta didik. Bimbingan dan perhatian orang tua dalam belajar terhadap anak di rumah berguna dalam membantu mengatasi masalah-masalah belajar atau kesulitan belajar dan membantu menyelesaikan tugas sekolah (Parmonodewo, 2003:125). Lebih lanjut Parmonodewo (2003:126) menyatakan bahwa kualitas bimbingan orang tua dalam membantu belajar di rumah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal orang tua. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal orang tua semakin menunjang proses bimbingan belajar di rumah.

Pendidikan karakter dapat diaplikasikan terutama pada mata pelajaran Bahasa Jawa. Bahasa Jawa dianggap tepat karena bahasanya sangat membedakan sopan santun berbicara antara pembicara dengan mitra bicara. Variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara (Sutardjo, 2008:11). Proses pembelajaran pada hakekatnya terjadi dua kegiatan yang berbeda, yaitu

(3)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 43 kegiatan belajar dan kegiatan mengajar. Secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahap perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif mantap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2004:137), sedangkan mengajar merupakan usaha mewariskan kebudayaan masyarakat pada generasi berikut sebagai generasi penerus (Slameto,2010:30).

Keterbatasan waktu belajar di sekolah menuntut peran serta orang tua dalam membantu pembentukan karakter peserta didik, tingkat pendidikan formal orang tua mempengaruhi cara mendidik dan membentuk karakter peserta didik. Karakter peserta didik yang baik dapat terlihat dari sopan santun dan cara bicara peserta didik. Sopan santun keseharian peserta didik di sekolah mencerminkan kebiasaan peserta didik dalam keluarga. Disinilah akan terlihat bagaimana peran orang tua dalam pembentukan karakter peserta didik. Berdasarkan uraian maka dilakukan penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro Kabupaten Wonosobo, sebagai salah satu cara untuk mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhi semakin berkurangnya pengguna bahasa Jawa, diantaranya dengan membandingkan dengan tingkat pendidikan formal orang tua.

B. Unggah-ungguh Bahasa Jawa sebagai sumber pendidikan karakter Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang memiliki ciri-ciri: (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan (Kbj5, 2012) Nilai moral terdiri dari ajaran-ajaran,

wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, kumpulan peraturan dan ketetapan baik

lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Nilai moral yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa yang berwujud tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan,

(4)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 44 kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya dapat digunakan sebagai sumber pendidikan karakter (Kbj5, 2012).

Realisiasi pendidikan budi pekerti bangsa yang digali dari sumber bahasa dan sastra Jawa dapat dimulai dari kalangan pendidikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Jawa dan pengembangan kultur sekolah. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa, hendaknya dapat berlangsung melalui proses membuat bermakna dimata peserta didik, sehingga akan terjadi internalisasi nilai-nilai dalam diri siswa. Pengembangkan kultur sekolah dapat dilakukan dengan cara memberi keteladanan secara langsung sesuai dengan nilai-nilai cultural bahasa dan sastra Jawa. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pendidikan budi pekerti dengan cara menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik (Kbj5, 2012). Bahasa Jawa juga sebagai sarana pendidikan karakter yang paling baik, maka setelah kita mengetahui penyebab kemerosotan penggunaan bahasa Jawa kita juga harus mencari solusi dari permasalahan yang didapat. Melalui

unggah-ungguh basa, siswa dapat ditanamkan nilai-nilai sopan santun. Upaya yang lain

adalah melalui berbagai karya sastra Jawa. Sastra wayang misalnya, selain berfungsi sebagai tontonan (pertunjukan) juga berfungsi sebagai tuntunan (pendidikan). Melalui sastra wayang, para siswa dapat ditanamkan nilai-nilai etika, estetika, sekaligus logika. Ungkapan tradisonal Jawa juga banyak mengandung nilai-nilai local Jawa untuk kepentingan pendidikan. Semboyan pendidikan nasional kita “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan

Tutwuri Handayani” juga berasal dari ungkapan tradisional Jawa. Dalam

khasanah bahasa dan sastra Jawa banyak mengandung nilai-nilai lokal Jawa yang dapat berfungsi untuk mengembangkan fungsi edukatif, yaitu fungsi untuk pembentukan kepribadian (Kbj5, 2012).

C. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Unggah-ungguh basa jawa dapat dibedakan menjadi berbagai jenis

tingkatan, menurut Sasangka (2009:15-27) pada dasarnya tingkat tutur dalam bahasa jawa dapat dibedakan menjadi dua yakni ngoko (ragam ngoko) dan krama (ragam krama). Jika terdapat bentuk unggah-ungguh yang lain dapat dipastikan

(5)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 45 bahwa bentuk-bentuk itu hanya merupakan varian dari ragam ngoko atau krama. Varian bahasa jawa yang ada diantaranya terbagi menjadi 3 yakni ngoko, madya,

dan krama (Sutardjo, 2008:20). Pendapat lain dikatakan oleh Ki Padmasusastra

(dalam Sutardjo, 2008:20) yakni unggah-ungguh basa jawa dibedakan menjadi 6 tataran, yaitu ngoko, krama, kram inggil, krama desa, basa kedhaton atau basa

bagongan, dan basa kasar. Sedangkan Soepomo (dalam Sutardjo, 2008:21)

berpendapat bahwa unggah-ungguh basa dapat dibedakan menjadi 9, yaitu mudha

krama, kramantara, wredha krama, madya krama, madyantara, madya ngoko, basa antya, antya basa, dan ngoko lugu. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas

dapat dilihat bahwa pendapat dari Sasangka (2009:15-27) yang paling mudah dipelajari, karena tidak terlalu banyak membedakan tataran unggah-ungguh basa.

Ngoko itu sendiri yakni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa

ada unsur untuk menghormati satu sama lain, biasanya digunakan oleh sesama teman dan orang tua pada anaknya. Sedangkan krama adalah bahasa yang yang dalam penyampaiannya mengandung unsur untuk menghormati dengan kadar kehalusan dan penghormatannya yang tinggi (Sutardjo, 2008:33-34). Bahasa

ngoko digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah terbiasa serta

yang dianggap sesama atau satu strata sosial. Adapun bahasa krama digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang belum terbiasa dan yang strata sosialnya lebih tinggi (Harjawiyana, 2001:2). Bahasa Jawa merupakan bahasa yang kaya akan variasi bahasanya.

Sudaryanto (dalam Sasangka, 2009:18), membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi empat, yaitu: ngoko,ngoko alus, krama, dan krama alus. Kajian lain yang lain adalah kajian yang dilakukan oleh Ekowardono, dkk (dalam Sasangka, 2009:18), mengelompokkan unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu :

ngoko dan krama. Jika unggah-ungguh ngoko ditambah kata krama inggil, unggah-ungguh tersebut akan berubah menjadi ngoko alus. Jika unggah-ungguh krama ditambah krama inggil, unggah-ungguh tersebut berubah menjadi krama alus. Tanpa pemunculan kata krama inggil, unggahungguh itu hanya berupa ngoko lugu atau krama lugu. Menurut Kridalaksana (2001:22), mengemukakan

bahwa secara garis besar, unggah-ungguh basa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: ngoko, madya, dan krama. Selain itu Koentjaraningrat (1984:21),

(6)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 46 menyebutkan bahwa terdapat tiga gaya yang paling mendasar, yaitu gaya tidak resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi (yaitu ngoko, madya, dan krama), dan ada enam gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tersebut. Kecuali dari kesembilan gaya bahasa tersebut, masih ada basa kedhaton atau

bagongan. Kosakata bahasa Jawa dipakai untuk membicarakan milik, bagian

tubuh, tindakan, atau sifat-sifat orang kedua yang sederajat, atau orang ketiga yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih senior umurnya.

Skema pembagian unggah-ungguh basa adalah sebagai berikut: 1) basa

ngoko: ngoko lugu, ngoko andhap;2)basa madya:madya ngoko, madya krama, madyantara;3)basa krama:mudho krama, kramantara, wredha krama, krama inggil, krama desa. Unggah-ungguh basa Jawa berdasarkan pada leksikon atau

kata bakunya ada tiga, yaitu, ngoko, madya, dan krama. Atau unggah-ungguh

basa mempunyai makna dan manfaat yang dapat mewujudkan sopan satun pada

bab bahasa (linguistic etiquette), yang dibagi menjadi tiga, yaitu: 1)low honorifict yang artinya sopan santun rendah;2)midle honorifict, artinya sopan santun cukup atau sedang;3)high honorifict, artinya sopan santun yang tinggi (Sutardjo, 2008:20). Unggah-ungguh basa Jawa yang sampai saat ini masih digunakan, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Kedua ragam tersebut memiliki beberapa variasi, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus serta krama lugu dan krama alus.

D. Faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat penggunaan bahasa Jawa dan cara penanggulangannya

Menurut Purwo (dalam embunsayan, 2012) ada beberapa faktor yang menyebabkan bahasa menjadi punah selain globalisasi dan modernisasi, yaitu:

a. Bahasa mati karena penduduknya mati semua karena wabah penyakit parah, seperti yang dialami penduduk asli Tasmania

b. Ada bahasa yang mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Karena mereka meninggalkan bahasa ibunya dan pindah ke bahasa lain karena dipaksa. Ini terjadi pada penduduk asli Australia.

c. Penuturnya terpaksa memilih pindah kebahasa lain karena bahasa lain dianggap lebih maju dan modern, sedangkan bahasa ibu dianggap terbelakang. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Papua Nugini.

(7)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 47 d. Penuturnya berjumlah di bawah 100.000. di Indonesia ada 109 lebih

bahasa yang penuturnya di bawah jumlah itu.

e. Mengajarkan bahasa non-ibu sebagai bahasa pendidikan.

Para pelajar Bahasa Jawa dialek Banyumas tidak bersusah payah mempelajari Bahasa Jawa dialek Surakarta yang terlalu sulit bagi mereka, baik dari segi fonologi, morfologi, maupun kosa katanya (Embunsayan, 2012). Dalam situasi-situasi formal inilah hendaknya kita lebih menggiatkan pemakaian Bahasa Jawa tidak menjadi asing di rumah kita sendiri, khususnya bagi generasi muda. Karena memang generasi muda Etnis Jawa saat ini telah banyak yang tidak bias berbahasa Jawa terutama Bhasa Jawa ragam krama. Padahal ini penting kaitannya dengan unggah-ungguh (tingkat tutur) dalam kehidupan masyarakat.

Unggah-ungguh ini bias secara otomatis tertanam dalam jiwa orang manakala ia

memahami unggah-ungguh dalam berbahasa. Dalam kegiatan non-formal lain, misalnya pemakaian Bahasa Jawa dalam kesenian, khususnya sastra, juga tak kalah pentingnya. Saat ini karya Sastra Jawa sangat sedikit, cerpen, novel, drama. Yang masih sering muncul adalah dalam bentuk tembang campursari. Akan tetapi, ini pun tampaknya telah mulai meredup (Embunsayan, 2012).

E. Hubungan tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh Bahasa Jawa peserta didik

Data hasil penelitian tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik berupa skor angket dan tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik berupa nilai dari tes yang telah diberikan kepada peserta didik sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 122 orang tua peserta didik yang dijadikan sebagai sampel memiliki tingkat pendidikan formal yang bervariasi. Skor maksimal untuk angket tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik, yaitu 32 yang menunjukan tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik tinggi. Skor tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik terendah 10 dan tertinggi 30, sehingga skor 10 dikategorikan untuk orang tua peserta didik dengan tingkat pendidikan formal rendah dan skor 30 dikategorikan untuk orang tua peserta didik dengan tingkat pendidikan formal tinggi.

(8)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 48 Data tingkat kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik diperoleh dari tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik yang telah diberikan sebelumnya. Data skor nilai tes kemampuan unggahungguh bahasa Jawa peserta didik diperoleh skor terendah 4 dan tertinggi 9 dengan rata-rata 6,66. Skor maksimal untuk kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik adalah 10 yang menunjukan skor kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik tinggi, sehingga nilai 9 dikategorikan nilai yang tinggi dan nilai 4 dikategorikan sebagai nilai yang rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa data unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro termasuk dalam kriteria baik. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil tes kemampuan unggah-ungguh bahasa Jawa yang telah diberikan kepada peserta didik dengan rata-rata 6,66. Berdasarkan persentase keseluruhan dari 122 sampel peserta didik didapat 5,74% peserta didik dengan hasil tes baik, 92,64% peserta didik dengan hasil tes cukup, dan 1,64% dengan hasil tes rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam unggah-ungguh bahasa Jawa cukup baik.

Latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro yang dijadikan sampel sebanyak 122 memiliki tingkat pendidikan formal setingkat dasar dan menengah sebanyak 95,9%, orang tua peserta didik dengan tingkat pendidikan formal tinggi sebanyak 3,28%, dan orang tua peserta didik tidak berpendidikan formal sebanyak 0,82%. Hal tersebut menunjukkan bahwa latar belakang tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik rata-rata cukup baik, yaitu setingkat sekolah dasar dan menengah.

Berdasarkan perhitungan dengan korelasi produk momen diperoleh besarnya nilai korelasi antara variabel tingkat pendidikan formal orang tua dengan

unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik (rxy) sebesar 0,606. Harga rtabel dengan taraf kesalahan yang ditetapkan 5% (tingkat kepercayaan 95%) dan jumlah sampel 122 memiliki nilai sebesar 0,176, sehingga nilai rhitung lebih besar dari nilai rtabel. Besarnya nilai rhitung dari rtabel menunjukkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi dan terkait antara pendidikan formal orang tua dengan

unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik SMP Negeri 2 Kaliwiro. Menurut Sugiyono

(9)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 49 signifikan. Hubungan pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik memiliki nilai korelasi sebesar 0,606 termasuk tingkat hubungan yang kuat.

Pendidikan formal orang tua yang tinggi diasumsikan dapat membantu menyelesaikan tugas-tugas belajar yang belum sepenuhnya tersampaikan di sekolah. Seperti halnya dalam pendidikan karakter peserta didik yang tidak akan tercapai sepenuhnya tanpa peran serta orang tua. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal orang tua maka akan lebih kolektif dalam cara mendidik anak di rumah. Cara orang tua mendidik anak besar pengaruhnya terhadap cara belajar anak (Slameto,2010:61).

Uji signifikasi koefisien korelasi menggunakan uji F, diperoleh Fhitung sebesar 47,954. Harga Ftabel dengan taraf kesalahan 5% dengan jumlah sampel 122 menunjukkan nilai 3,07 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan formal dan unggah-ungguh bahasa jawa peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugiyono (2009:162), jika harga Fhitung > harga Ftabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, jadi koefisien korelasi yang ditemukan adalah signifikan. Dengan kuatnya hubungan antara tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik, dapat diketahui bahwa peserta didik yang memiliki latar belakang orang tua berpendidikan formal

tinggi dapat berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik. Hal tersebut terjadi karena peserta didik mendapatkan bantuan dalam kesulitan-kesulitan dengan unggah-ungguh bahasa Jawa lebih banyak, karena orang tua yang berpendidikan formal lebih tinggi memiliki lebih banyak cara dalam mengatasi kesulitan yang dialami oleh peserta didik sehingga

unggah-ungguh peserta didik dapat lebih baik. Peserta didik dengan latar belakang orang

tua berpendidikan formal rendah berpengaruh terhadap unggah-ungguh bahasa Jawa peserta didik, dimana unggah-ungguh bahasa Jawanya tidak sebaik peserta didik yang latar belakang orang tuanya berpendidikan formal tinggi. Hal ini terjadi karena peserta didik dalam meminta bantuan kesulitan terbatas oleh pengetahuan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan formal rendah. Ketika kesulitan peserta didik tidak dapat dibantu oleh orang tua akan berdampak

(10)

Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 50 pada psikologis peserta didik, dimana faktor orang tua adalah yang terpenting dalam perkembangan psikologis peserta didik (Slameto, 2010:133-134). Kerawanan hubungan peserta didik dengan orang tua dapat menyebabkan masalah psikologis dalam diri peserta didik baik di rumah maupun di sekolah.

F. Kesimpulan

Pembahasan data didapatkan tingkat pendidikan formal orang tua peserta didik cukup baik, yaitu dari sampel sebanyak 122, didapat 95,5% pendidikan formal orang tua setingkat dasar dan menengah, 3,28% pendidikan formal tinggi, dan 0,82% tidak mengenyam pendidikan formal. Selanjutnya hasil tes

unggahungguh bahasa Jawa peserta didik didapatkan cukup baik dimana 5,74%

dengan hasil baik, 92,64% baik, dan 1,64% kurang. Selanjutnya hasil tadi dikorelasikan dengan mengguanakan menggunakan rumus korelasi product

moment, dengan hasil (rxy) 0,606, dengan rtabel taraf kesalahan 5% dan tingkat kepercayaan 95% didapat skor 0,176, maka rhitung > rtabel. Hal tersebut membuktikan bahwa tingkat pendidikan formal orang tua dengan unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat hubungan yang kuat.

Daftar Pustaka

Embunsayan. 2011. Diakses melalui http://embunsayan.blogspot.com/ diunggah pada 31 Mei 2011.

Harjawiyana, H dan Th. Supriya. 2001. Kamus Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

Kbj5. 2011. Diakses melalui http://kbj5.com/ diunggah pada 31 Mei 2012. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti, dkk. 2001. Wiwaha Pengantar Bahasa dan Kebudayaan

Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parmonodewo, S. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Poedjosudarma, Soepomo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta:

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sasangka, Sry S.T.W. 2009. Unggah-Ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Paramalingua.

Referensi

Dokumen terkait

: Pengumuman diberikan segera setelah selesai dan berita acara ujian dikirim ke Subag Pendidikan pacla haridan tanggal ujian. : Keputusan ini berlaku sejak

Tidak dapat dipungkiri jika kemajuan teknologi masa kini berkembang sangat pesat.Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya inovasi-inovasi yang telah dibuat di dunia

Pembuktian bagian (ii) dilakukan dengan cara serupa. Hasil berikut memberikan kriteria untuk kekontinuan dari fungsi naik f pada suatu titik c yang bukan titik

Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama

Perustulomallia arvioitaessa ei siis pystytä tutkimaan minkä tekijöiden (byrokratia, kannustimet, informaatio) aiheuttamia mahdolliset muutokset esimerkiksi työllisyydessä ovat,

Daftar ini BUK AN m erupakan alokasi DYS final mas ing-masing perguruan tinggi, namun data dosen yang e ligible untuk diikutsertakan dalam serdos tahun 2015 sesuai dengan hasil

Pekerjaan : Pemagaran Taman Pemakaman Umum (TPU) Desa Sei Pasir (Lanjutan). Pagu Anggaran

Hipotesis dalam penelitian ini adalah kurs valuta asing berpengaruh negatif terhadap impor barang di Sumatera Utara, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto