• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam memperkaya bahan kajian penulis. Berikut merupakan penelitian. Table 2.1 Penelitian Terdahulu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam memperkaya bahan kajian penulis. Berikut merupakan penelitian. Table 2.1 Penelitian Terdahulu."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya konsep yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian terdahulu penulis tidak menemukan penelitian dengan judul seperti judul penelitia penulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dalam penelitian yang dilakukan penulis. Table 2.1 Penelitian Terdahulu. No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Peneltian 1 Muhammad Abdul Majid, 2013. Motivasi Remaja

Wanita Yang Bekerja Sebagai Pelayan Kopi

Pangku Di Desa

Balung Lor,

Kecamatan Balung,

Kabupaten Jember.

Motivasi Remaja Berprofesi

Sebagai Pelayan Warung Kopi Pangku. Antara lain : pertama masalah ekonomi merupakan salah satu sumber motivasinya, kondisi ekonomi yang kekurangan maka remaja-remaja tersebut asal pilih pekerjaan. Kedua pergaulan juga

(2)

8

remaja yang bekerja di warung kopi pangku karena salah pergaulan. Ketiga aktualisasi diri. Artinya banyak remaja yang tidak memiliki

kesibukan/ wadah untuk

mengaktualisasikan dirinya

sehingga mencari kesibukan dengan bekerja sebagai pelayan warung

kopi pangku1.

Perbedaan : terdapat pada fokus penelitian dimana penlitian ini fokus ke prostitusi buka motivasi. Selain itu terdapat pada lokasi penelitian yang berada di Desa Sumberjo Kulon dan Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. 2 Zainudin Rosyadi, Agustus 2014. Kehidupan Malam Warung Kopi Pangkon (Studi Tentang Prostitusi Terselubung Warung Kopi Pangkon di

Pasar Agrobis Desa

Plaosan, Kecamatan

Babat, Kabupaten

Pada sejumlah warung kopi

memang dijumpai praktek-praktek terselubung yang berbau prostitusi dan seks bebas. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelayan-pelayan cantik dan seksi yang siap sedia pada jam-jam malam. Selanjutnya ialah dampak yang diakibatkan dari adanya warung kopi pangkon

1

Majid, Abdul Muhammad. 2013. Motivasi Remaja Wanita Yang Bekerja Sebagai Pelayan Kopi Pangku Di Desa Balung Lor, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember.

(3)

9

Lamongan). terhadap masyarakat desa Plaosan

kecamatan Babat kabupaten

Lamongan ialah adanya

perselingkuhan yang dilakukan oleh beberapa orang suami dengan para

pelayan warung kopi pangkon2.

Perbedaan : pada waktu penelitian yang tidak hanya berfokus pada kehidupan malam di warung kopi pangku, melainkan juga di siang hari. Terdapat juga perbedaan pada lokasi penelitian yang berada di Desa Sumberjo Kulon dan Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung. 3 Novi Kharisma Wardhani, 2016. Eksistensi Pekerja Seks Komersial di Warung Kopi Pinggir

Jalan (Studi Fenomenologi di Desa Muneng, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun).

Pertama, faktor yang melatar

belakangi para wanita ini menjadi PSK dapat dibedakan menjadi

faktor ekstrinsik, yaitu faktor

keluarga, faktor ekonomi serta kurangnya lapangan pekerjaan. dan

faktor intrinsik, yaitu faktor

rendahnya tingkat pendidikan dan tidak adanya keterampilan yang dimiliki.

Kedua, para PSK yang pernah

2Rosyadi, Zainudin. 2014. Kehidupan Malam Warung Kopi Pangkon (Studi Tentang Prostitusi Terselubung Warung Kopi Pangkon di Pasar Agrobis Desa Plaosan, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan). http://digilib.uinsby.ac.id/423/. Online 21 Oktober 2019.

(4)

10

terjaring razia dan pernah menjalani rehabilitasi ini kembali lagi pada

profesi mereka sebagai PSK.

Penyebabnya dari diri PSK antara lain, a) Penghasilan/ keuntungan (penghasilan yang di dapat dari membuka usaha sendiri dan saat menjadi PSK akan berbeda, karena membuka usaha ada kemungkinan gagal), b) Modal (untuk membuka usaha dibutuhkan uang sebagai modal awal, hal inilah yang tidak mereka miliki), c) Hutang (mereka sudah memiliki banyak hutang,

sehingga tidak mungkin bagi

mereka untuk menambah hutang lagi hanya untuk mendapat modal usaha). Sedangkan penyebab dari luar diri PSK (pemerintah), antara lain : a) Terbatasnya jumlah Pekerja Sosial, b) Banyaknya jumlah PSK, c) Terlalu luasnya wilayah yang

(5)

11

ditangani dan ketidak jelasan

alamat PSK3.

Perbedaan : terdapat pada motode penelitian dimana peneliti memakai

deskriptif kualitiatif sedangkan penelitian terdahulu memakai

fenomenologi. Perbedaan yang kedua terdapat pada lokasi penelitian yang berada di Desa Sumberjo Kulon dan Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

4 Idha

Rahayuning sih Witnyo, 2017.

Harga diri pada

wanita penjaga

warung kopi pangku.

Pertama, subyek memiliki latar

belakang yang sama sebagai

pelayan warung kopi pangku yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup utamanya untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Kedua power, kedua subyek mampu mengatur dan

mengontrol perilakunya sendiri

maupun orang lain (pelanggan) saat melayani pelanggan maupun dalam

menghadapi sikap negatif

masyarakat. Ketiga, kompetensi, subyek merasa telah mencapai hasil

kerja seperti yang diharapkan

sebagai penjaga warung kopi

3 Kharisma Wardhani, Novi. 2016. Eksistensi Pekerja Seks Komersial di Warung Kopi Pinggir Jalan. https://eprints.uns.ac.id/31822/1/D0312058_pendahuluan.pdf. Online 15 November 2019.

(6)

12

pangku untuk menyekolahkan

anak-anak mereka dan memenuhi

kebutuhan lainnya. Keempat,

subyek kurang taat dalam menjalan ibadah dan cenderung melanggar aturan-aturan yang ada dalam

masyarakat4.

Perbedaan : Terdapat pada fokus penelitian yaitu prostitusi. Dalam penelitian ini peneliti secara menyeluruh ingin mengungkap potret prostitusi dari berbagai sudut pandang, tidak hanya harga dirinya saja. Selain itu terdapat pada lokasi penelitian yang berada di Desa Sumberjo Kulon dan Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

5 Muhammad Faqihil Muqoddam, 2018. Eksistensi Pelayan Perempuan Warung

Kopi Pangkon di Desa Abar-Abir Kecamatan

Bungah Kabupaten

Gresik.

Pertama, keberadaan para pelayan perempuan ini disebabkan oleh

beberapa faktor yang dimana

dirinya bekerja sebagai pelayan entah itu disebabkan oleh beberapa

masalah dalam segi

ekonomi,pendidiakan,sosial, dan

keluarga sehingga mereka

menyebabakan mau tidak mau

4Witnyo, Idha Rahayuningsih. 2017. Harga diri pada wanita penjaga warung kopi pangku. http://journal.umg.ac.id/index.php/psikosains/article/view/146/122. Online 6 Desember 2019.

(7)

13

harus bekerja sebagai pelayan perempuan diwarung kopi pangkon ini.

Kedua, pandangan masyarakat desa terhadap para pelayan perempuan diwarung kopi pangkon awalnya keberadaan warung kopi pangkon ini dalam masyarakat dianggap biasa-biasa saja tidak menganggu dengan aktivitas pada warga yang warga memandang pada warung kopi ini seperti warung kopi yang

pada umumnya tidak bersifat

keperbuatan menyimpang, akan tetapi lama kelamaan warung kopi ini semakin bermunculan dan meresahkan masyarakat dengan

perilaku yang dilakukan para

perempuan tersebut menjerumus

keperilaku yang bersifat

menyimpang dan pihak perangkat desa sudah membuat aturan, jika para pelayan perempuan diwarung kopi pangkon ini masih tidak bisa

(8)

14

mengikuti aturan-aturan yang ada di desa akan adanya penggusuran

warung kopi pangkon tersebut5.

Perbedaan : Terdapat pada fokus penelitian yaitu prostitusi di warung kopi pangku dan penelitian tidak membahas tentang sengketa perizinan warung kopi pangku dengan masyarakat sekitar. Perbedaan juga terdapat pada lokasi penelitian yang berada di Desa Sumberjo Kulon dan Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

Sumber : data diolah, 2019

Secara garis besar perbedaan penelitian Potret Prostitusi di Warung Kopi “Pangku” (studi di kec.Ngunut, Kab. Tulungagung) dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini melihat permasalahan dari berbagai sudut untuk menemukan fakta-fakta di balik potret pelayan warung kopi “pangku” yang menjadi prostitusi dan menghubungkan dengan tanggapan masyarakat di sekitar lokasi warung kopi pangku. B. Pengertian Potret

Menurut KBBI potret diartikan gambar yang dibuat oleh kamera, foto,

dan gambaran atau lukisan (dalam bentuk paparan)6. Sebutan potret

sebenarnya sangat luas. Pada banyak kasus potret disusun atas tujuan untuk penggambaran karakter yang unik dan atribut subjek. Dalam sebuah seni perkembangan potret tidak saja menggambarkan (rupa) wajah, tetapi juga dapat menggambarkan kehidupan sehari-hari atau kehidupan

5

Faqihil Muqoddam, Muhammad. 2018. Eksistensi Pelayan Perempuan Warung Kopi Pangkon di Desa Abar-Abir Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

http://digilib.uinsby.ac.id/24963/1/Muhammad%20Faqihil%20Muqoddam_I93214051.pdf. Online 21 Oktober 2019.

6

(9)

15

seseorang dari berbagai sudut. Potret yang dimaksud dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk kondisi yang menggambarkan keadaan dan aktifitas personality dari prostitusi di warung kopi “pangku”.

Dalam Kamus Sosiologi Personality diartikan : 1) keseluruhan dari pola interaksi, nilai, pola berfikir, sikap, norma dan pola perilaku

manusia7. Dengan demikian maka istilah potret merupakan gambaran

dalam bentuk kondisi yag menggambarkan keadaan dan aktifitas keseluruhan dari pola interaksi, nilai, pola berfikir, sikap, norma dan pola perilaku manusia dari prostitusi di warung kopi pangku kecamatan Ngunut.

C. Konsep Prostitusi

1. Pengertian Prostitusi

Professor W.A Bonger dalam tulisannnya “Maatschappelijke

Oorzaken der Prostituti” yang dikutip oleh Kartini Kartono dalam buku

Patalogi Sosial mendefinikan : Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Ada peristiwa menjual diri sebagai “profesi” atau mata

pencaharian sehari-hari, dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual8.

Commenge (dalam Soedjono, 1977) disebutkan bahwa prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita memperdagangkan atau menjual

7Soekanto, Soerjono 1993. Kamus Sosiologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 3, hal 320.

8Kartono, Kartini. 1999. Patalogi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jilid 1 Edisi Terbaru, hal 182-183.

(10)

16

tubuhnya untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki.9 Prostitusi juga

disebut pelacuran dalam bahasa Latin, yaitu Prostituere yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Dalam kamus sosiologi, prostitution diartikan proses menjualbelikan jasa seksual, yang lazim dilakukan oleh

wanita, walaupun kemungkinan adanya pria tetap ada10.

G. May dalam buku Encylopedia of Social Science yang dikutip oleh Kartini Kartono dalam buku Patalogi Sosial, prostitusi menekankan, masalah berter atau perdagangan secara tukar-menukar, yaitu menukar pelayanan seks dengan bayaran uang, hadiah, atau barang berharga

lainya11. Sedangkan menurut KBBI, prostitusi ialah terjadinya pertukaran

hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi

perdagangan12.

2. Prostitusi Sezaman dengan Masyarakat

Pada perkenalan ras manusia yang paling awal mengungkapkan jenis masyarakat yang ada. Adanya ikatan pernikahan, beragam alasan sesuai dengan iklim, moral, agama tidak menjadi penghalang bagi keinginan tersembunyi manusia untuk merasakan persetubuhan dengan orang lain. Hanya saja, masih ada di setiap zaman laki-laki tidak melakukan perjanjian pernikahan, atau tidak terikat oleh ketentuannya, dan keinginan mereka telah menciptakan permintaan akan kesenangan yang kotor, yang dimungkinkan karena kelemahan perempuan. Hal ini

9

Sukmana, Oman. 2017. Jaringan Sosial Praktek Prostitusi Terselubung di Kawasan Kota Wisata Batu https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/481. Online 21 Oktober 2020.

10 Soekanto, Soerjono 1993. Kamus Sosiologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 3, hal 351.

11 Ibit. Hal 184. 12

(11)

17

diasumsikan sebagai asal mula pelacuran di seluruh dunia, meskipun di daerah tertentu, penyebab awal itu telah didukung oleh nafsu perempuan, pemahaman agama yang salah, atau keramahan yang disalahtafsirkan.

Pelacuran sezaman dengan masyarakat, hal itu ada dalam catatan mitologis paling awal. Hal ini diakui sebagai fakta yang ada dalam sejarah Alkitab. Catatan paling awal sejarah manusia adalah Kitab Musa. Menurut mereka harus diakui bahwa pelacuran umum di antara orang-orang Yahudi pada abad kedelapanbelas sebelum Masehi. Ketika Tamar, menantu perempuan Yahuda menaklukkan kebiasaan Yahudi yang kejam, dan untuk melahirkan anak-anak, meskipun dia janda, dia tidak mengenakan pakaian janda dari ibunnya. Dia menutupi diri dengan kerudung dan duduk di tempat terbuka, dan ketika Yehuda melihatnnya, dia pikir Tamar adalah pelacur karena dia menutupi wajahnya. “Catatan Kitab Kejadian dengan demikian menunjukkan bahwa pelacur, dengan wajah tertutup, adalah hal yang biasa saat itu. Ini lebih penting, karena memberikan keterangan transaksi. Untuk menutupi penyamarannya, Tamar meminta anak sebagai ganti ruginya, Yehuda setuju, dan meninggalkan bagianya “cap materai

dan gelang, juga tongkatnya” sebagai janji jika anak itu lahir13

.

3. Faktor-faktor Penyebab Prostitusi14.

a. Faktor moral dan akhlak

1) Adanya demoralisasi atau rendahnya faktor moral, ketakwaan individu dan masyarakat, serta ketidaktakwaan terhadap ajaran agama.

13

Walace Sanger, Wiliam. 1913. The History Of Prostitusi. Terjemahan Khusnul Harsul, Natalisa Krisnawati, dan Bayu S. Pramesthi. 2019. Yogyakarta : Grub RELASI INTI MEDIA, Hal 1-2. 14

(12)

18

2) Standar pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah. 3) Berkembangnya pornografi secara bebas dan liar.

b. Faktor ekonomi

Adanya kemiskinan dan keinginan untuk meraih kemewahan hidup, khususnya dengan jalan pintas dan mudah. Tanpa harus memiliki keahlian khusus, meskipun kenyataannya mereka buta huruf, pendidikan rendah, berfikir pendek, sehingga menghalalkan pelacuran. c. Faktor sosiolgis

Ajaran dari teman-teman sedaerahnya yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia pelacuran. Pengalaman dan pendidikan yang sangat minim, akirnya dengan mudah terbujuk dan terkena tipuan. Terutama dengan menjajikan pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi yang akhirnya dijebloskan ke tempat-tempat pelacuran.

d. Faktor psikologis

Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan dan mengalami kekerasan seksual dalam keluarga, serta adanya pengalaman traumatis (luka jiwa) dan rasa ingin balas dendam yang diakibatkan oleh hal-hal, seperti gagalnya perkawinan, dimadu, dinodai oleh kekasihnya yang kemudian ditinggal begitu saja.

e. Faktor kemalasan

Faktor kemalasan biasanya diakibatkan oleh psikis serta mental yang rendah, tidak memiliki norma agama dan susila menghadapi persaingan hidup. Hanya dengan modal fisik, kecantikan sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.

(13)

19 f. Faktor biologis

Ada nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian yang tidak merasa puas mengandalkan hubungan seks dengan satu istri/suami.

g. Faktor yuridis

Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacur, serta tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan hubungan seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan sedangkan yang dilarang dalam undang-undang adalah muncikari dan germo.

h. Faktor pendukung

Adanya media atau alat pendukung dalam melakukan kegiatan prostitusi sangat mempengaruhi mereka yang bekerja di bekerja di bidang ini. Dengan adanya teknologi pendukung, seperti internet maupun ponsel membuat seseorang dengan mudah dapat bertransaksi. D. Sejarah Prostitusi Modern di Indonesia

1. Fase Kerajaan

Asal usul prostitusi modern di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke masa kerajaan Jawa di mana modifikasi perempuan adalah bagian dari integral dari sistem faeodal. Dua kerajaan Jawa yang paling kuat dan abadi terbentuk pada 1755, ketika kerajaan Mataram dibagi menjadi dua: Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram adalah kerajaan Jawa-Islam yang terletak di pedalaman Selatan Jawa Tengah. Pada masa ini konsep kewenangan raja Jawa dijelaskan (Moedjanto, 1990)

(14)

20

sebagai kekuasaan yang Agung-binatara (megah dan berkuasa)15.

Kekuasaan raja Mataram memang besar. Mereka sering digambarkan sebagai pemilik dari segala sesuatu; tidak hanya tanah dan properti, tetapi juga kehidupan subyek mereka. Dalam kasus perempuan, ini adalah atribusi yang sering diambil secara harfiah.

Raja memiliki pemuliaan yang saleh; 'segala sesuatu di Jawa, bumi tempat kita hidup, rumput, daun, semuanya milik raja. Semua itu merupakan tugas raja untuk menegakkan hukum dan keadilan dan semua orang diharapkan untuk mematuhinya tanpa syarat. Luasnya kekuasaan besar raja diwakili oleh sejumlah besar selir (versi singkat sineliran secara harfiah berarti yang dipilih, tetapi diterjemahkan oleh Belanda sebagai

bijwiff atau selir) di pengadilan (Kumar 1980:18)16. Beberapa selir adalah

putri bangsawan yang diberikan kepada raja. Sebagai tanda kesetiaan mereka; yang lainnya adalah upeti dari kerajaan lain; dan banyak yang wanita kelas bawah dijual atau diberikan oleh keluarga mereka untuk mengambil posisi kecil di rumah tangga kerajaan. Wanita seperti itu bisa mencapai status yang lebih tinggi dengan menghasilkan anak untuk raja. Masing-masing pengadilan Jawa menggambar selir dari wanita khusus dan memikat. Reputasi regional seperti itu telah bertahan dalam cerita rakyat sampai sekarang.

Akumulasi dari Selir adalah upaya untuk memperkuat dalil raja. Dari poin pandangan kekuatan fisik, yang mengambil banyak selir berarti reproduksi cepat kekuasaan kepangeranan dan bukti superioritas spiritual.

15

Hull, Terence H. Sulistyaningsih, Endang. Jones, Gavin W. 1999. PROSTITUTION IN

INDONESIA Its History and Evolution, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hal 1.

(15)

21

Hanya raja dan bangsawan dalam masyarakat yang memiliki selir. Dalam memberikan saudara perempuan atau putrinya kepada Bupati atau pejabat tinggi lainnya, raja termotivasi oleh keinginan yang sama untuk mengumpulkan kekuasaan seperti yang tercermin dalam akuisisi sendiri sejumlah besar selir: yaitu, untuk memperkuat dukungan politik dan untuk mengembangkan keagungan dan kekuasaan. Status perempuan di bawah Kerajaan Mataram, tercermin dalam peran mereka sebagai mata uang dari upeti (upeti dibayar oleh subyek) dan sebagai selir mencerminkan kekuasaan raja. Sementara orang biasa diizinkan oleh agama Islam untuk membawa hingga empat istri, namun ekonomi mencegah sebagian besar dari mereka untuk poligami karena status sosial yang menghalangi mereka untuk mengambil selir.

2. Fase Kolonial

Pada masa penjajahan Belanda penyelenggara industri seks berkembang pesat. Sistem perbudakan dan selir tradisional didirikan di daerah pelabuhan nusantara yang disesuaikan dengan kebutuhan dan adat istiadat masyarakat Eropa. Dalam konteks ini, hubungan komersial langsung menjadi pilihan yang tersedia bagi pria Eropa, dan ditoleransi oleh para pemimpin mereka. Situasi ini membuat perempuan Indonesia berada dalam posisi tidak adil dan menjadikan mereka banyak kerugian terkait dengan hukum, penolakan masyarakat dan kesejahteraan serta keamanan pribadi.

Pada tahun 1852 pemerintahan mengakui industri seks komersial dengan memperkenalkan undang-undang baru yang mengakui industri

(16)

22

seks komersial tetapi menetapkan serangkaian peraturan untuk menghindari konsekuensi berbahaya yang dihasilkan dari pelacuran. Dalam peraturan tersebut terdapat pengawasan langsung dan ketat polisi (Pasal 2) dan hari ini wanita tuna susila (wanita WTS-kurang moral) disebut dalam tindakan 1852 sebagai wanita publik. Semua wanita publik menjalani pemeriksaan medis mingguan untuk mendeteksi penyakit menular atau penyakit menular lainnya (pasal 8,9,10,11). Jika wanita pubik ditemukan mengidap penyakit, ia harus segera menghentikan praktiknya, dan diisolasi di sebuah institusi (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan untuk perawatan wanita yang terinfeksi. Isi undang-undang itu banyak melibatkan orang-orang di pemerintah dan industri seks, sehingga pada tahun 1858 klarifikasi lebih lanjut dikeluarkan untuk mengatakan bahwa tindakan 1852 tidak boleh ditafsirkan sebagai pelacuran yang dilegitimasi sebagai institusi komersial. Sementara perbedaan antara pengakuan dan persetujuan mungkin sudah jelas bagi pemerintah namun bagi publik dan pelacur perbedaan adalah wilayah abu-abu.

Menurut sebagian besar laporan, terlepas dari peraturan ini, tingkat pelacuran meningkat secara dramatis pada abad ke-19, terutama setelah amandemen undang-undang agraria pada tahun 1870 ketika ekonomi

kolonial dibuka untuk modal swasta (Ingleson 1986)17. Pertumbuhan

industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan di Sumata, Perluasan perkebunan di Jawa Barat, pembangunan jalan dan

17 Opcit. Hal 6.

(17)

23

kereta api sehingga melibatkan dan membutuhkan migrasi pekerja laki-laki yang cukup besar. Ini menciptakan permintaan akan layanan pelacur. Prostitusi tidak hanya berkembang untuk melayani para pekerja konstruksi selama pembangunan rel yang menghubungkan kota-kota Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 1884, tetapi juga di setiap kota besar yang dilayani oleh kereta api dan kedatangan stasiun kereta api di setiap kota.

3. Fase Orde lama dan Orde baru

Pada akhir 1940-an penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di daerah pedesaan dan terkonsentrasi di pulau Jawa. Tahun 1950 ditandai oleh setengah pengangguran dan kemiskinan. Untuk meningkatkan status sosial pekerjaan non-pertanian juga sangat umum di kalangan rumah tangga tingkat menengah dan memanfaatkan peluang yang tersedia. Karena kesempatan kerja yang terbatas dan persaingan yang ketat di daerah pedesaan, banyak perempuan muda dari rumah tangga miskin bermigrasi ke kota-kota terdekat. Migran yang dari desa begitu mereka tiba di kota-kota cenderung mengalami perubahan nilai-nilai sosial.

Greetz (1963) menggambarkan dua jenis ekonomi yang berbeda di daerah perkotaan. Pertama, ekonomi perusahaan komersial di mana perdagangan dan kegiatan industri dilakukan dengan cara yang relatif impersonal, dengan berbagai pekerjaan khusus yang berkaitan dengan produksi dan distribusi barang dan jasa. Kedua, ekonomi pasar yang terdiri dari berbagai kegiatan yang diatur oleh kebiasaan khusus kelembagaan dan dikelola oleh kelompok pedagang dalam persaingan ketat, yang

(18)

24

berkomunikasi satu sama lain melalui transaksi yang dibentuk untuk salah

satu tujuan saja18. Selama periode kolonial, struktur dualistik yang

diwakili oleh perusahaan dan pasar sehingga seks komersial mengikuti bentuk perdagangan dan berkembang sebagai cabang ekonomi perkotaan. Bentuk-bentuk organisasi ini membentuk komersialisasi hubungan seksual di daerah-daerah seperti pasar yaitu Jalan Braga, di pusat kota Bandung, dan daerah Mataram-Salemba di Jakarta, berbeda dengan perdagangan seks di rumah-rumah pelacuran yang lebih terorganisir secara formal. Pada akhir 1960-an dan 1970-an, arus para pendatang dari daerah pedesaan yang mayoritas perempuan meningkat dalam mencari pekerjaan di sektor formal, terutama di sekitar kota-kota terbesar.

Meningkatnya persaingan di antara pekerja perempuan, dan antara pekerja perempuan dan laki-laki di kota-kota besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah migran perempuan yang datang kota-kota besar. Kebanyakan dari migran perempuan yang datang ke kota masih muda dan tidak berpengalaman, pendidikan yang rendah dan keterampilan yang terbatas, menyebabkan peluang mereka terbatas pada pekerjaan berstatus rendah dengan upah rendah. Kegiatan yang paling umum bagi pekerja perempuan ini adalah di sektor formal sebagai pedagang, pekerja rumah tangga dan yang lain menjadi pelacur.

Faktor perceraian sangat tinggi juga menjadi penyebab perempuan muda masuk ke dalam pelacuran. Pada 1950-an, perceraian di Jawa Barat mungkin yang tertinggi di dunia, dan tarif di Jawa Tengah dan Jawa Timur

18 Opcit. Hal 15.

(19)

25

tidak jauh lebih rendah (Jones, 1994, Bab 5)19. Perceraian cenderung

terjadi pada usia yang sangat dini, karena pernikahan yang diatur orang tua dengan seorang pria yang tidak dapat diterima oleh gadis itu.

Sejak awal 1970-an, transformasi struktural ekonomi Indonesia telah dramatis. Bagian sektor primer dari total pekerjaan turun dari 74 persen pada tahun 1971 menjadi 49 persen pada tahun 1990, dan populasi kota naik dari 17 persen dari total pada tahun 1971 menjadi 31 persen pada tahun 1990. Ini telah menjadi pemindahan besar perempuan dari kegiatan pertanian (walaupun mungkin tidak sebanyak yang sering diperdebatkan: lihat Manning, 1998): banyak dari mereka telah pindah ke kota untuk

mencari pekerjaan20. Pada bidang manufaktur, kegiatan administrasi,

penjualan, hotel dan restoran, dan servis domestik telah membuka lowongan pekerjaan untuk wanita. Namun, upah dalam pekerjaan ini sangat rendah, dan dibandingkan dengan industri seks yang kemungkinan mendapatkan penghasilan lima atau sepuluh kali lipat. Rendahnya pengawasan keluarga saat berada di kota memfasilitasi masuknya prostitusi.

Industri seks di Indonesia menjadi semakin kompleks, konsisten dengan meningkatnya mobilitas penduduk Indonesia, peningkatan kecepatan hidup, peningkatan pendapatan, dan panggilan ke adat-istiadat yang diterima. Populasi yang berpindah memiliki lebih banyak motivasi dan peluang untuk perselingkuhan. Konsentrasi stasiun dan halte di pinggir jalan untuk pengemudi truk jarak jauh adalah kesaksian atas

19

Opcit. Hal 16. 20 Opcit. Hal 16-17.

(20)

26

permintaan dari sumber-sumber ini. Survei pengemudi truk di rute Surabaya-Denpasar menemukan bahwa 68 persen membayar untuk seks di

tempat istirahat (Suarmiartha et al., 1992)21. Konsentrasi pekerja seks juga

ditemukan di dekat pangkalan militer, kamp kayu dan pertambangan, dan universitas. Fenomena, sejak 1980-an, tentang 'petek' (perempuan eksperimental), yang berarti perempuan eksperimental atau 'longgar', telah mendapat perhatian media yang cukup besar.

E. Jenis Prostitusi

Jenis prostitusi dapat terbagi menutut aktifitasnya, yaitu terdaftar dan

terorganisir, dan yang tidak terdaftar22.

1. Prostitusi yang terdaftar

Pelaku diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja-sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada

umumnya mereka dilokalisir dalam suatu daerah tertentu.

Penghunianya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar.

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya-pun tidak tentu. Bisa di sembarang tempat, baik mencari “mangsa” sendiri, maupun

21

Opcit. Hal 17. 22

Kartono, Kartini. 1999. Patalogi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jilid 1 Edisi Terbaru, hal 240.

(21)

27

calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Dalam tema penelitian potret prostitusi di warung kopi “pangku”, termasuk ke dalam jenis protitusi yang tidak terdaftar.

F. Warung Kopi Pangku

Sebuah warung kopi adalah merujuk kepada sebuah organisasi

yang secara esensial menyediakan kopi atau minuman panas lainnya23.

Seperti namanya, warung kopi berfokus untuk menyajikan minuman kopi dan teh bahkan makanan ringan. Warung kopi merupakan istilah yang identik dengan berkumpulnya para pecinta kopi. Pada beberapa warung kopi juga memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Contohnya saja warung kopi “pangku” yang menyediakan perempuan-perempuan sexy sebagai pelayan sekaligus teman minum para pengunjungnya.

Pelayan wanita ini juga memiliki peran lain berupa memberikan stimulus ke konsumen agar si konsumen secara bertahap penasaran dan kecanduan dengan pelayanan di warung kopi “pangku” tersebut. Konsumen-konsumen yang kecanduan nantinya akan menjadi pelanggan yang setiap waktu akan sering datang ke warung kopi “panggu”. Ketika si konsumen sering datang ke warung kopi “pangku”, konsumen ini akan sering berkomunikasi dengan pelayan wanita tersebut. Seringnya konsumen berkomunikasi dan kontak langsung dengan pelayan wanita menimbulkan keakraban antara ke dua belah pihak, yang akirnya dari

23 KBBI. Pengertian Warung Kopi. https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Warung_Kopi, Online

(22)

28

pihak konsumen atau pelayan wanita mulai menawarkan pelayanan lain di luar pelayanan warung kopi pangku. Pelayanan itu adalah Prostitusi dimana terjadi pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah

sebagai suatu transaksi perdagangan24.

24

Referensi

Dokumen terkait

Dan seharusnya pihak bank lebih meningkatkan produk pembiayaan bagi hasil dengan cara lebih antusias lagi dalam menyalurkan dana, mencari pangsa pasar dan memperkenalkan

Begitu juga pada Penelitian Rina Indrayani, Isna Yuningsih, Salma Pattisahusiwa memberikan hasil bahwa LAZ DPU belum menjurnal pada saat pengakuan awal penerimaan

Menurut Jefkins (2012 : 67), “hubungan pers (press relations) adalah usaha untuk mencapai publikasi atau penyiaran yang maksimum atas suatu pesan atau informasi PR dalam

Pada dasarnya program pengalaman lapangan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada mahasiswa supaya mahasiswa siap masuk dalam dunia kerja.

Menurut La Midjan dan Azhar Susanto (2001) menyatakan bahwa Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu sistem pengolahan data akuntansi yang merupakan alat koordinasi dari manusia,

Menurut SAK ETAP tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi menyangkut laporan keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan. Tujuan

Pengungkapan Corporate Sosial Responsibility merupakan sebuah sinyal untuk mengkomunikasikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, karena Corporate Sosial Responsibility

Tugas akhir yang mengangkat judul Analisis Interpretasi Lagu After The Love Has Gone Karya David Foster Dalam Format Trio Vokal ini dapat disusun dan diselesaikan dengan