• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003 dianggap sebagai sebuah momentum bagi kembalinya prinsip forward defence policy sebagai basis kebijakan pertahanan Australia.1 Anggapan ini kemudian menimbulkan perdebatan antara kubu

the imperialist dan the australianist, dua kubu yang telah mewarnai dunia pertahanan

Australia sejak tahun 1901. Sejak dulu, keduanya memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan prinsip pertahanan yang paling ideal untuk diaplikasikan di Australia. Kubu the australianist meyakini bahwa Australia sebagai negara bekas jajahan Inggris harus mampu mandiri dengan tidak bergantung kepada Inggris dan memaksimalkan kemampuannya untuk menjaga pertahanan nasionalnya, sementara

the imperialist meyakini bahwa dengan terlibat aktif dalam aktivitas pertahanan

Inggris atau negara sekutu lainnya, maka Australia akan dianggap sebagai bagian dari kerajaan Inggris dan hal tersebut memberi keuntungan bagi pertahanan Australia.2 Namun, mengingat pada masa itu Australia memiliki keterbatasan ekonomi dan populasi maka perdebatan pun “dimenangkan” oleh the imperialist karena pemerintah Australia memutuskan untuk mengandalkan kekuatan negara sahabat yang kuat, baik dalam kerangka pakta pertahanan ataupun menjadi anggota dari sebuah aliansi dimana kemudian keputusan tersebut mengantarkan pasukan militer Australia sebagai pasukan yang dikenal dengan expeditionary forces mentality.3

Dalam Perang Irak 2003, Australia sebagai salah satu mitra utama Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik turut memberikan dukungan terhadap komitmen

1 Stewart Firth, Australia in International Politics: An Introduction to Australian Foreign Policy, 2nd

edn, Allen & Unwin Australia Ltd Pty, New South Wales, 2005, p156.

2 F.A. Mediansky(ed),Australia Foreign Policy: Into the New Millenium, Macmillan Education, South

Melbourne, 1997, p.74.

3 Grey & Wrigley ‘Security Objectives, dalam F.A Mediansky(ed), Australia Foreign Policy: Into the

(2)

2

Amerika Serikat dalam memerangi terorisme melalui keputusannya untuk berpartisipasi dalam operasi ini. Keputusan mengenai keterlibatan tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri John Howard pada 18 Maret 2003 dan diikuti dengan keputusan pemerintah Australia untuk menarik seluruh diplomatnya dari Irak.4 Dalam operasi ini, pemerintah Australia mengerahkan seluruh komponen pertahanan militer terbaiknya, baik personel maupun alat utama sistem senjata (alutsista) , dibawah tiga kode operasi yang berbeda yaitu operasi bastil (operation

bastille), operasi falkoner (operation falconer), dan operasi katalis (operation catalyst).

Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keputusan Australia untuk terlibat dalam Perang Irak 2003 kemudian menjadi menarik untuk dikaji seiring dengan munculnya perdebatan antara the imperalist dan the australianist. Kubu the

Imperialist meyakini bahwa keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003

merupakan sebuah momentum bagi kembalinya prinsip forward defence yang menekankan pada upaya pencegahan akan hadirnya ancaman keamanan bagi Australia dengan melakukan penyerangan terhadap musuh yang dianggap berbahaya terlebih dahulu, langsung ke wilayah musuh serta pemberian dukungan terhadap pihak sekutu melalui partisipasi dalam operasi militer.5 Kubu ini berargumen bahwa kebijakan ini semata merupakan bentuk dukungan bagi Amerika Serikat selaku mitra utama Australia yang diharapkan akan memberikan dukungan serupa saat Australia berada dibawah ancaman kekuatan besar yang tidak mampu dihadapi oleh militer Australia serta sebagai ilustrasi nyata dari ketakutan Australia akan adanya ancaman keamanan dari jauh yang mungkin mendekat sehingga perlu diantisipasi kehadirannya dan dilumpuhkan aktivitasnya sedini mungkin.

4 BBC News, Australia to Join War in Iraq (Daring), 18 Maret 2001,

<http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/2859225.stm>, diakses pada 15 Januari 2013.

5 F.A. Mediansky(ed),Australia Foreign Policy: Into the New Millenium, p.77-81

(3)

3

Sementara di sisi lain, kubu the Australianist memandang bahwa keterlibatan Australia dalam perang Irak sejalan dengan prinsip self-reliance yang menekankan pada asas kemandirian dalam menjaga pertahanan dan stabilitas keamanan nasional. Kubu ini berargumen bahwa keterlibatan ini tidak mencederai asas kemandirian menjadi basis pertahanan Australia karena dalam operasi ini, Australia mengerahkan seluruh kekuatan militernya secara maksimal sebagai bentuk keseriusan komitmen Australia untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional tanpa mengharapkan kekuatan militer negara lain yang turut terlibat dalam operasi ini. Selain itu, mereka pun turut meyakini bahwa keterlibatan ini bukan semata merupakan bentuk dukungan terhadap Amerika Serikat selaku pihak yang menginisiasi namun keterlibatan ini merupakan bentuk implementasi komitmen Australia untuk senantiasa berperan aktif dalam menjaga stabilitas keamanan dunia sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pencapaian tujuan dan kepentingan nasionalnya tanpa mencederai kemandirian pasukan militer Australia dalam menjaga dan mempertahankan stabilitas keamanan nasionalnya.

Australia sendiri sejak tahun 1976 menerapkan prinsip self-reliance sebagai prinsip pertahanan Australia, seperti yang tercantum dalam Australian Defence White

Paper 1976:

A primary requirement emerging from our finding is for increased self reliance. In our contemporary circumstances we no longer base our policy in the expectation that Australia’s Navy or Army or Air Force will be sent abroad to fight as part of some other nation’s force, supported by it. We do not rule out an Australian contribution to operations elsewhere if the requirement arose and we felt our presence would be effective, and if our forces could be spared from their national task. But we believe that any operations are much more likely to be in our own neighbourhood than in some distant theatre, and that our Armed Forces will be conducting joint operation together as the Australian Defence Force.6

6 Department of Defence, “Australian Defence”(Daring), November 1976, <

(4)

4

Sebelum periode ini, Australia menggunakan prinsip forward defence policy sebagai prinsip pertahanan nasional. Prinsip yang telah digunakan Australia sejak masa pasca perang dunia II ini dianggap selaras dengan paradigma Australia yang pada masa itu meyakini bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Australia maka cara terbaik untuk mencapai serta menjaga pertahanan dan keamanan nasional adalah melalui kerangka aliansi. Seperti yang disampaikan oleh Sir Robert Menzies, Perdana Menteri Australia ke-12, yaitu:

“My Government’s defence policy was one of forward defence: to keep any war as far away as possible from our own shores; to provide Australian defence in depth; to help to produce a secure environment for our neighbours with whom we are bound to have a close association as the years goes by.”7

Namun, relevansi prinsip forward defence policy menjadi dipertanyakan seiring dengan adanya perubahan konstelasi politik dunia yang kemudian menuntut Australia untuk mereformasi prinsip dan strategi pertahanannya sebagai upaya mencapai dan mempertahankan stabilitas keamanan dan pertahanan nasionalnya dari waktu ke waktu.

Kini, seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan kondisi politik internasional, prinsip forward defence policy yang telah lama tidak diaplikasikan dianggap telah lahir kembali dan digunakan sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri Australia pada era pemerintahan Perdana Menteri John Howard, yaitu keputusan pemerintah Australia untuk berpartisipasi dalam Perang Irak tahun 2003.8 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, skripsi ini bertujuan untuk menganalisa penerapan prinsip forward defence policy dalam kebijakan pertahanan dan keamanan Australia pada masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard.

7 The Menzies Research Cente LTD, “Sir Robert on Menzies International Relations and

Defence”(Daring),<http://www.mrcltd.org.au/aboutsirrobertmenzies/menzies/Sir%20Robert%20Menzi es%20on%20International%20Relations%20and%20Defence.pdf>,diakses pada 24 Februari 2013.

8 Stewart Firth, Australia in International Politics: An Introduction to Australian Foreign Policy ,

(5)

5

Kasus yang akan diteliti adalah kebijakan keterlibatan Australia dalam Perang Irak pada tahun 2003.

Topik ini menarik untuk dibahas mengingat keputusan Australia untuk mengedepankan kembali penerapan prinsip forward defence policy melalui keterlibatannya dalam perang Irak 2003 tidak selaras dengan prinsip self-reliance yang sejak tahun 1976 telah digunakan sebagain landasan bagi pembuatan kebijakan pertahanan dan keamanan Australia sebagaimana yang tercantum dalam Australia

Defence White Paper 1976. Selain itu, keputusan ini juga menarik karena berpotensi

mengancam stabilitas hubungan Australia dengan negara lain, khususnya negara yang berada di sekitar wilayahnya seperti Indonesia, mengingat penerapan forward defence

policy sangat erat kaitannya dengan pelanggaran kedaulatan wilayah negara lain. Bagi

Indonesia, keputusan ini cukup meresahkan mengingat cukup banyak aktivitas terorisme yang ditemukan bersarang di Indonesia dan sikap Australia yang agresif dengan menerapkan forward defence policy di Irak bukan tidak mungkin dapat diterapkan juga di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan melihat perdebatan yang terjadi terkait dengan keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003, maka terdapat dua rumusan masalah, yaitu:

1. Mengapa Australia memutuskan untuk mengedepankan penerapan prinsip

forward defence policy melalui keterlibatannya dalam Perang Irak 2003?

2. Bagaimana respons negara-negara di sekitar kawasan Australia terhadap penerapan forward defence policy melalui keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003?

(6)

6 C. LANDASAN KONSEPTUAL

Penelitian ini akan menempatkan isu pertahanan dan keamanan sebagai variabel utama dalam kebijakan politik luar negeri. Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan menggunakan prinsip forward defence policy sebagai pisau analisis untuk menjelaskan mengapa Australia kembali mengedepankan penerapan prinsip

forward defence policy melalui keterlibatannya dalam Perang Irak 2003.

Prinsip forward defence policy dapat didefinisikan sebagai bentuk pertahanan

militer suatu wilayah atau negara, baik dalam bentuk penempatan pasukan di luar wilayah tersebut maupun penguatan pasukan militer di perbatasan, sebagai upaya untuk menutup ataupun menyangkal akses bagi para agresor yang memberi ancaman ke wilayah tersebut9. Atau dengan kata lain, forward defence policy terkait dengan serangan atau aktivitas militer suatu negara yang ditujukan ke wilayah atau negara lain yang dianggap memberikan ancaman ke wilayah negara tersebut sebagai upaya untuk melumpuhkan ancaman tersebut harus segera dilumpukan sedini mungkin.10

Penerapan forward defence policy dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu

forward deployment dan defensive forward defense. Meskipun keduanya sama sama

bertujuan untuk menjaga pertahanan suatu wilayah namun kedua bentuk tersebut memiliki tujuan spesifik dan aktivitas militer yang berbeda. Dalam forward

deployment, pasukan militer ditempatkan di luar wilayahnya, di tempat yang

dianggap memberikan ancaman atau menjadi sumber ancaman bagi wilayahnya. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa ancaman yang diterima oleh wilayah tersebut harus segera dihancurkan atau minimal dijaga untuk tetap berada sejauh mungkin dengan wilayahnya sebagai upaya untuk meminimalisasi kerusakan yang terjadi di

9 BJØRN MØLLER,The Dictionary of Alternative Defence(Daring),1994<

http://www.diis.dk/graphics/_staff/bmo/pdf/the%20dictionary%20of%20alternative%20defence.pdf>, diakses pada 13 Mei 2013.

(7)

7

lingkungan pada wilayah yang dijaga.11 Penerapan bentuk ini secara umum seringkali merefleksikan komitmen wilayah tersebut terhadap aliansinya dan dapat juga dikatakan sebagai dukungan untuk upaya pencegahan atau deterrence.

Sementara defensive forward defence dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas militer yang dilakukan di dalam wilayah pertahanan suatu negara dan ditujukan untuk menjaga pertahanan wilayah tersebut dari wilayah lain yang dianggap mengancam. Aktivitas militer yang dilakukan dimulai dari perbatasan wilayahnya dan hal ini memberikan keuntungan tersendiri bila dibandingkan dengan in-depth territorial

defence12 yaitu (1) bila berhasil, maka kerusakan yang mungkin terjadi di wilayahnya

dapat diminimalisir, (2) dapat memperlambat ritme invasi yang mungkin terjadi sehingga memungkinkan adanya mobilisasi sisa pasukan militer, mengambil posisi tempur serta keuntungan dari segi taktik militer lainnya, dan (3) dapat menjadi sinyal bagi upaya penyelesaian yang mungkin cocok untuk krisis manajemen mengingat adanya unsur pengelakan dan penyelidikan.13 Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa karakteristik umum dari forward defence policy adalah

1. Adanya pihak yang dianggap sebagai sumber ancaman,

2. Adanya aktivitas militer yang dilakukan di luar wilayahnya atau jauh dari pusat wilayah

3. Aktivitas militer dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan segala bentuk ancaman

11 BJØRN MØLLER,The Dictionary of Alternative Defence(Daring),1994<

http://www.diis.dk/graphics/_staff/bmo/pdf/the%20dictionary%20of%20alternative%20defence.pdf>, diakses pada 13 Mei 2013.

12 BJØRN MØLLER,The Dictionary of Alternative Defence(Daring),1994<

http://www.diis.dk/graphics/_staff/bmo/pdf/the%20dictionary%20of%20alternative%20defence.pdf>, diakses pada 13 Mei 2013.

13 Krause ‘Forward Defence’ dalam BJØRN MØLLER,The Dictionary of Alternative

Defence(Daring),1994<

http://www.diis.dk/graphics/_staff/bmo/pdf/the%20dictionary%20of%20alternative%20defence.pdf>, diakses pada 13 Mei 2013.

(8)

8

Dalam konteks Australia, keterlibatan Australia dalam perang Irak 2003 sejalan dengan karakteristik forward deployment dimana pemerintah Australia memutuskan untuk meminimalisasi dampak terorisme sebagai sesuatu yang dianggap sebagai ancaman melalui penempatan pasukan militernya di wilayah Irak yang dianggap sebagai sumber ancaman. Dengan asumsi bahwa sumber ancaman harus segera dihancurkan atau minimal dijaga untuk tetap sejauh mungkin dari wilayah kedaulatannya, maka Australia mengirimkan pasukan militernya untuk beroperasi di Irak dan menghancukan segala sesuatu yang diidentifikasi sebagai ancaman demi upaya pencegahan atau detterence. Keputusan ini tidak hanya diambil sebagai upaya untuk menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan Australia tapi juga merefleksikan komitmen Australia terhadap aliansinya, Amerika Serikat.

D. HIPOTESIS

Dari uraian diatas, maka dapat ditarik dua hipotesis sementara, yaitu:

Pertama, keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003 merupakan bentuk dukungan terhadap upaya pemberantasan terorisme sebagai strategi utama dari gerakan global

war on terror yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.

Kedua, penerapan forward defence policy melalui keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003 berpotensi menuai respon negatif dan mengganggu stabilitas hubungan Australia dengan negara di sekitar kawasannya mengingat penerapan prinsip ini sangat erat kaitannya dengan pelanggaran wilayah kedaulatan negara lain.

E. JANGKAUAN PENELITIAN

Penelitian skripsi ini akan membahas mengenai penerapan prinsip forward

defence policy dalam kebijakan pertahanan dan keamanan Australia pada masa

pemerintahan Perdana Menteri John Howard. Sebagai studi kasus, penulis akan memfokuskan pembahasan terhadap keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003.

(9)

9

Studi kasus ini dipilih karena keterlibatan Australia dalam Perang Irak 2003 dianggap sebagai momentum kembalinya prinsip forward defence policy dalam pertahanan Australia.. Untuk memperkuat argumen tersebut, penulis juga akan membahas mengenai alasan yang menjadi faktor pendorong bagi keterlibatan Australia dalam operasi ini.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan akan dilakukan dalam empat bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab pertama, akan menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, kerangka berpikir, hipotesis, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, akan mendeskripsikan mengenai sejarah singkat penerapan

prinsip forward defence policy dalam kebijakan pertahanan dan keamanan Australia serta konteks dan karakteristik dari prinsip forward defence policy yang diterapkan di Australia.

Bab ketiga, akan membahas sejarah penerapan prinsip forward defence policy di Australia serta keputusan Australia untuk kembali mengedepankan

penerapan prinsip forward defence policy melalui keterlibatannya dalam perang Irak 2003.

Bab keempat, akan membahas mengenai tanggapan negara negara di sekitar

Australia terkait keputusan Australia untuk terlibat dalam Perang Irak 2003 serta hubungan Australia dengan negara-negara tersebut pasca diambilnya keputusan ini.

(10)

10

Bab kelima, akan menyajikan kesimpulan dari keseluruhan rangkaian

pembahasan dan analisa sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kedudukannya sebagai Pemilik Rekening (yang untuk selanjutnya disebut Pemilik Rekening ) dengan ini menyatakan tunduk pada ketentuan yang berlaku di PT

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Antara Penggugat dengan Para Tergugat telah terjadi hubungan perjanjian utang piutang yang belum dibayar kepada Penggugat sebesar Rp.673.755.000,- (Enam ratus tujuh puluh tiga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

Durasi dari strong ground motion sangat mempengaruhi kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa. Proses-proses fisik seperti penurunan kekakuan dan kekuatan bangunan tertentu

Sehingga diketahui penerapan teknik permainan “siapa di sampingku” dalam bimbingan kelompok memberikan pengaruh untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diripada siswa