• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atavisme, 23 (2), 2020,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Atavisme, 23 (2), 2020,"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SYMBOLIC ANNIHILATION TERHADAP TIGA TIPE PEREMPUAN

ERA VICTORIA DALAM HETTY FEATHER KARYA JACQUELINE WILSON

The Symbolic Annihilation of Three Types of Victorian Women

in Jacqueline Wilson’s Hetty Feather

Ayu Fitri Kusumaningruma,*

a,*Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Depok, Catur Tunggal, Yogyakarta 55281, Indonesia, Telepon/Faksimile (0274) 5035676, Pos-el: ayufitrikusumaningrum@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 18 Mei 2020— Direvisi Akhir Tanggal 20 September 2020— Disetujui Tanggal 19 Oktober 2020) Abstrak: Narasi perempuan dapat ditemukan dalam berbagai macam media sejak berabad-abad lamanya. Mulai dari yang dinarasikan oleh laki-laki sampai yang dituliskan oleh perempuan sendiri, media menampilkan bermacam-macam narasi perempuan. Novel anak, sebagai salah satu bentuk media, sebenarnya juga tidak luput memotret narasi perempuan dan isu-isu yang ber-kaitan dengan gender lainnya, meski penelitian terhadap sastra anak masih terpinggirkan dalam kalangan komunitas sastra. Penelitian ini melihat adanya narasi perempuan yang dimusnahkan dalam novel anak Hetty Feather karya Jacqueline Wilson. Menggunakan teori symbolic annihila-tion yang digagas Gaye Tuchman dan beberapa konsep pendukung mengenai tipe-tipe perempuan era Victoria, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bentuk-bentuk symbolic annihilation ter-hadap tiga tipe perempuan era Victoria. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menemukan adanya trivialization, omission, dan condemnation terhadap sosok angel in the

house, fallen woman, dan new woman dalam Hetty Feather.

Kata kunci: Era Victoria; narasi perempuan; media; sastra anak

Abstract: Women’s narratives can be found in various types of media for centuries. Starting from one narrated by men to one written by women themselves, the media presents a variety of women’s narratives. Children’s novels, as one form of media, actually also capture women’s narratives and other gender-related issues, although research on children’s literature is still marginalized within the literary community. This research examines the existence of the annihilation of women’s narratives in a children’s book, Hetty Feather, by Jacqueline Wilson. Using the theory of the sym-bolic annihilation proposed by Gaye Tuchman and some supporting concepts about types of Victorian women, this study aims to identify the forms of the symbolic annihilation of three types of Victorian women. This study uses a qualitative method. This study finds that there are trivialization, omission, and condemnation of the angel in the house, fallen woman, and new woman in Hetty

Feather.

Keywords: Victorian Era; women’s narratives; media; children’s literature

How to Cite: Kusumaningrum, A.F. (2020). Symbolic Annihilation terhadap Tiga Tipe Perempuan Era Victoria dalam

Hetty Feather Karya Jacqueline Wilson. Atavisme, 23 (2), 189-205 (doi: 10.24257/atavisme.v23i2.641.189-205)

Permalink/DOI: http://doi.org/10.24257/atavisme.v23i2.641.189-205

PENDAHULUAN

Era Victoria berlangsung dari tahun 1837–1901 ketika pemerintahan Inggris dipimpin oleh Ratu Victoria. Pada masa

inilah Inggris mengalami masa kejayaan-nya. Era Victoria ini merupakan zaman transisi yang pertama dan terpenting dalam sejarah Inggris. Inggris yang

(2)

pernah menjadi masyarakat pertanian dan feodal, bertransformasi menjadi ma-syarakat industri dengan sistem peme-rintahan monarki konstitusional. Antara tahun 1837–1901 terdapat perubahan-perubahan yang signifikan di hampir semua aspek politik, hukum, ekonomi, dan masyarakat (Mitchell, 2009: xiii– xiv).

Sayangnya, kemajuan yang signifi-kan tersebut dibayangi oleh persoalan gender yang dapat dikatakan nantinya menjadi cikal bakal feminisme gelom-bang pertama di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Meskipun Ratu Victoria adalah perempuan, seperti kebanyakan orang pada masa itu, Ratu menentang memberikan suara (vote) pada perem-puan (Kirsty.Oram, 2015). Dalam kaitan-nya dengan permasalahan gender yang kemudian diangkat dalam banyak karya sastra berlatar era Victoria, gambaran paling konvensional dari perempuan Victoria yang sempurna adalah sosok angel in the house yang dapat ditemukan dalam kumpulan puisi yang ditulis Coventry Patmore yang berjudul The Angel in The House (Patmore, 1854).

Sosok angel in the house ini menjadi sosok perempuan ideal di era Victoria karena secara tidak langsung mencer-minkan sosok Ratu Victoria yang menja-di istri dan ibu, yaitu memiliki perni-kahan yang harmonis, selalu mendukung suami, memiliki kesadaran untuk meng-abdi pada keluarga dan tugasnya sebagai ibu, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moralitas. Hal ini lantas mengakibatkan ketidakadilan gender dan permasalahan gender lainnya, se-perti apakah narasi perempuan pada masa itu hanya berkutat pada sosok angel in the house atau apakah sosok perempuan lainnya seperti fallen woman dan new woman juga dinarasikan?

Sejak era Victoria sampai sekarang, media massa (seperti koran, televisi, majalah, buku, dan sebagainya)

sebenarnya menarasikan tiga tipe pe-rempuan yang sudah disebutkan; mulai dari angel in the house, fallen woman, sampai new woman. Akan tetapi, pena-rasian dalam media tersebut mencer-minkan nilai-nilai dominan dalam ma-syarakat Inggris pada era Victoria se-hingga perempuan-perempuan yang dinarasikan dapat dikatakan mengalami symbolic annihilation atau pemusnahan secara simbolis (Kusumaningrum, 2020: 5). Artinya, ketika para perempuan dina-rasikan atau dimunculkan dalam media, mereka diposisikan dalam ruang yang sangat berbeda dengan laki-laki (Udasmoro, 2015: 27).

Permasalahan gender ini bagaikan persoalan abadi yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Sejak puluhan bah-kan ratusan tahun lalu, novel-novel Ing-gris sudah banyak yang mengangkat isu gender, seperti Pride and Prejudice, Wuthering Heights, Jude the Obscure, Mrs Dalloway, dan sebagainya. Menariknya, tema gender ini tidak hanya dapat dite-mukan dalam novel-novel untuk pem-baca dewasa. Novel-novel yang dituju-kan untuk anak-anak seperti Alice’s Adventures in Wonderland, Oliver Twist, Matilda, atau Hetty Feather juga meng-angkat isu gender yang dikemas mena-rik. Berbeda dengan tema gender yang tampak eksplisit dalam novel-novel un-tuk pembaca dewasa, peneliti melihat novel-novel anak menawarkan cerita petualangan seru yang secara implisit sebenarnya juga mempromosikan tema gender.

Hetty Feather merupakan novel anak karya Jacqueline Wilson yang diter-bitkan pertama kali pada tahun 2009. Meskipun diterbitkan pada abad 21, novel ini mengisahkan seorang anak yang hidup di era Victoria pada tahun 1876. Si karakter utama, Hetty Feather, adalah seorang anak perempuan yang diserahkan kepada Foundling Hospital oleh ibunya sendiri. Foundling Hospital

(3)

adalah sebuah yayasan atau panti asuh-an milik pemerintah Inggris yasuh-ang dikhu-suskan untuk bayi-bayi yang ditelantar-kan orang tuanya karena masalah kemis-kinan atau ketidakhadiran sosok ayah.

Di Foundling Hospital inilah anak-anak dididik untuk kemudian dipekerja-kan sebagai pelayan atau perawat rang (untuk anak perempuan) dan pe-laut atau tentara (untuk anak laki-laki). Sepanjang perjalanan hidupnya, Hetty Feather merasakan dan mengamati keti-dakadilan gender di sekitarnya yang ke-mudian membuatnya menjadi anak pe-rempuan yang pemberontak. Dapat di-katakan sikap Hetty Feather ini mencer-minkan nilai-nilai yang melekat pada sosok new woman.

Tidak hanya new woman, penelitian ini melihat bahwa dua tipe perempuan lainnya, yakni angel in the house dan fallen woman juga dapat ditemukan di dalam novel ini. Satu hal yang kemudian penting untuk dikaji lebih lanjut adalah ketiga tipe perempuan era Victoria ter-sebut rupanya memiliki satu kesamaan, yaitu ketiganya mengalami symbolic annihilation. Tidak hanya new woman dan fallen woman saja yang secara jelas tidak mendapat tempat dalam struktur sosial era Victoria, sosok angel in the house pun mengalami symbolic annihila-tion dengan caranya sendiri. Satu hal yang lalu perlu untuk diteliti adalah bentuk-bentuk symbolic annihilation yang diterima masing-masing tipe pe-rempuan tersebut.

Pemilihan novel anak yang dikaji dengan teori feminisme tidak lepas dari perkembangan penelitian dalam sastra anak. Dalam perkembangan kritik sastra anak sendiri, Peter Hunt menyatakan bahwa baik sastra yang ditulis oleh pe-rempuan (women’s literature) maupun sastra anak diremehkan dan dianggap marginal atau pinggiran oleh komunitas sastra dan pendidikan. Kritik feminis yang kemudian telah mengajarkan

pembaca untuk melihat dan mendengar kisah-kisah wanita dan anak-anak de-ngan cara yang tidak dipahami sebe-lumnya (Hunt, 1999:112). Lissa Paul dalam Hunt melanjutkan bahwa apa yang telah dilakukan teori feminis untuk studi sastra anak (dan untuk semua bidang studi sastra) adalah menekankan hak untuk diikutsertakan. Akibatnya, tidak hanya interpretasi terhadap teks yang berubah, tetapi juga produksi dan akses terhadapnya (Hunt, 1999: 113).

Penelitian ini melihat bahwa Hetty Feather yang ditujukan untuk pembaca berusia 9–12 tahun (Barnes & Noble, 2019) ini menyimpan banyak isu gender di dalamnya yang menarik untuk diteliti. Sayangnya, penelitian terkait novel-no-vel anak karangan Jacqueline Wilson masih jarang ditemukan (Clark, 2016). Menggunakan teori feminisme, peneliti-an ini kemudipeneliti-an akpeneliti-an berusaha melihat kisah perempuan dan anak-anak dalam Hetty Feather dengan cara yang tidak di-pahami sebelumnya.

Terdapat beberapa penelitian sebe-lumnya yang juga mengkaji symbolic annihilation, seperti Michelle Caswell yang melihat adanya symbolic annihila-tion dalam arsip sejarah, khususnya arsip terkait orang-orang Asia Selatan yang menetap di Amerika Serikat (Caswell, 2014) dan Diyah Ayu Karunianingsih (2015) yang menganali-sis proses produksi berita di salah satu stasiun televisi di Yogyakarta.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Berit Åström yang mengkaji serial tele visi Single Father sebagai eskalasi dari symbolic annihilation terhadap sosok ibu dalam budaya populer (Aström, 2015), Wening Udasmoro yang melihat para-doks dari narasi para perempuan gipsi di dua novel Carmen dan Notre Dame de Paris (Udasmoro, 2015), serta Shane M. Graber yang menemukan bahwa ternyata dalam teka-teki silang yang ada dalam surat kabar The New York Times

(4)

terdapat symbolic annihilation terhadap orang kulit berwarna (people of color), perempuan, dan anggota komunitas LGBT (Graber, 2019).

Berbeda dengan penelitian-peneliti-an terdahulu ypenelitian-peneliti-ang sudah disebutkpenelitian-peneliti-an, penelitian ini menawarkan kasus sym-bolic annihilation terhadap tiga tipe pe-rempuan era Victoria yang terdapat da-lam novel anak Hetty Feather.

Symbolic annihilation mulanya dike-mukakan oleh George Gerbner ketika melihat kemunculan dan ketidakmun-culan kelompok tertentu di dalam media. Gerbner mendefinisikan symbolic annihi-lation sebagai sebuah cara mendeskrip-sikan absennya representasi perempuan atau ketidakmunculan kaum perempu-an, seperti yang disebutkannya, “repre-sentasi di dunia fiksi menandakan kebe-radaan sosial; absen berarti pemusnah-an (pemusnah-annihilation) simbolis (Gerbner, George and Gross, 1976: 182)”.

Hal tersebut lantas dikembangkan oleh Gaye Tuchman. Tuchman mengata-kan bahwa perempuan sebenarnya su-dah dinarasikan atau dimunculkan dalam media. Akan tetapi, ketika mena-rasikan kaum perempuan, para perem-puan diposisikan dalam ruang yang sangat berbeda dengan laki-laki. Tuchman lantas menyebutkan ada tiga aspek symbolic annihilation, yaitu omis-sion, trivialization, dan condemnation (Tuchman, 2000: 154). Omission berarti absen atau hilang; dalam narasi perem-puan jika ada sosok-sosok yang tidak diceritakan atau tidak dimunculkan, itu berarti perempuan tersebut mengalami omission. Sebaliknya, dalam trivializa-tion, perempuan dinarasikan atau munculkan, tetapi kemunculannya di-anggap tidak penting atau diremehkan. Condemnation berarti penghukuman atau penyalahan; perempuan yang dina-rasikan biasanya dihukum atau disa-lahkan dengan stereotip tertentu.

Lebih lanjut, Tuchman mengatakan bahwa ide dan gambaran ideal yang ditunjukkan di media massa bergabung menjadi satu mewujud sebagai repre-sentasi simbolis dari masyarakat, bukan gambaran masyarakat yang sesungguh-nya. Para perempuan yang dinarasikan dalam media ini tunduk pada symbolic annihilation, representasi mereka dalam dunia fiksi melambangkan dan mengu-mumkan kepada audiens bahwa peng-gambaran perempuan tersebut disetujui oleh masyarakat luas (Tuchman, 2000: 154).

Menurut Tuchman, pada dasarnya media massa melakukan dua tugas sekaligus. Pertama, mereka mencermin-kan nilai dan sikap dominan dalam ma-syarakat. Kedua, mereka bertindak seba-gai agen sosialisasi, mereka mengajar-kan anak-anak muda pada khususnya bagaimana untuk berperilaku (Tuchman, 2000: 172). Akibatnya, berdasarkan studi dari Orwant dan Cantor (Orwant, Jack E. and Cantor, 1977) yang dikutip Tuchman, perem-puan tampaknya memiliki stereotip yang sama mengenai perempuan seperti apa yang laki-laki pikirkan (Tuchman, 1979:535). Tuchman lalu menyimpulkan bahwa pengulangan yang konsisten dari symbolic annihilation tersebut dapat dianggap sebagai hal yang melegitimasi peran subordinat perempuan dalam masyarakat (Tuchman, 2000: 150). Pendek kata, tujuan dari symbolic anni-hilation adalah melanggengkan ketim-pangan sosial (Udasmoro, 2015: 27).

Dalam berbagai literatur, peneliti melihat bahwa perempuan era Victoria dinarasikan dan dikelompokkan ke da-lam berbagai klasifikasi oleh banyak-teoretikus. Tiga tipe perempuan era Victoria yang paling terkenal dan dapat ditemukan dalam berbagai karya sastra mencakup angel in the house, fallen woman, dan new woman. Meski terlihat sebagai suatu bentuk pemberian label,

(5)

sejatinya pengelompokan ini dapat membantu memahami masing-masing perempuan dengan lebih menyeluruh. Dengan berbagai latar belakang dan pengalaman yang dialami masing-ma-sing tipe perempuan, klasifikasi ini dapat menjadi pedoman dalam studi mengenai narasi perempuan era Victoria (Kusumaningrum, 2020: 22).

Angel in the house adalah gambaran paling konvensional dari perempuan Victoria yang sempurna. Sosok perem-puan sempurna ini dapat ditemukan dalam kumpulan puisi yang ditulis Coventry Patmore yang berjudul The Angel in the House (Patmore, 1854). Ke-hidupan perempuan sempurna tersebut seharusnya sepenuhnya berpusat pada rumah. Sosok angel in the house ini mempertahankan nilai-nilai moral yang lebih tinggi, menjaga hati nurani suami, membimbing anak-anak, dan membantu regenerasi masyarakat melalui tampilan Kristennya setiap hari (Mitchell, 2009: 266). Sarah Kuhl menambahkan bahwa angel in the house ini mewakili ibu ru-mah tangga yang sempurna, dewi di ra-nah domestik dari kelas menengah yang sangat erat kaitannya dengan abad 19, dan dalam beberapa cara menghantui perempuan sampai hari ini (Kuhl, 2016).

Virginia Woolf dalam Showalter, memvisualisasikan ‘hantu’ yang menin-das perempuan era Victoria ini sebagai perempuan muda yang anggun, dengan semangat kewanitaan Victoria, yang berbisik untuk bersikap simpatik, lem-but, pandai memuji, menipu, menggu-nakan semua seni dan tipu muslihat seks perempuan, dan jangan biarkan siapa pun menebak bahwa perempuan me-miliki pikiran sendiri, serta di atas se-galanya jadilah perempuan suci. Woolf berkesimpulan bahwa sosok perempuan teladan ini selalu menjadi sosok ideal bagi laki-laki daripada sosok perempuan yang hidup (Showalter, 1973).

Fallen woman adalah kebalikan dari angel in the house, sosok ini mengacu kepada perempuan yang dianggap ma-syarakat telah kehilangan kehormatan dan nilainya sebagai seorang perem-puan. Dikarenakan moralitas dan ke-hormatan adalah nilai-nilai yang penting di era Victoria, kehadiran fallen woman tidak diinginkan oleh masyarakat. Label fallen woman sendiri tidak hanya dise-matkan kepada perempuan yang menja-di pelacur karena definisi ‘pelacur’ menja-di era Victoria sangatlah luas. Para perempuan yang belum menikah dan menjalin hu-bungan dengan laki-laki, ibu yang belum menikah, istri dan wanita simpanan yang tidak setia hingga model para seniman dan beberapa jenis aktris ter-tentu juga masuk dalam kategori fallen woman (Kuhl, 2016: 172). Perempuan yang disebut sebagai fallen woman sebenarnya masih mampu memiliki pernikahan yang sukses ataupun cinta. Akan tetapi, masyarakat yang lebih tinggi (secara moral maupun tingkat sosial daripada fallen woman), tidak me-mungkinkan perempuan seperti fallen woman memiliki kesempatan untuk bergerak melampaui peran mereka. Fallen woman harus tetap berada dalam posisinya, sehingga dengan begitu dia tidak bisa melakukan apa pun di luar apa yang membuatnya berada dalam posisi itu (Barrett, 2013).

Di penghujung abad ke-19, muncul-lah sosok new woman sebagai counter-ideal dari angel in the house. Menurut Gail Cunningham, new woman adalah pe-rempuan yang memiliki perbedaan prin-sip dengan konvensi sosial, terutama yang berkaitan dengan gender. New woman memiliki cita-cita tinggi dan jika apa yang dilihatnya membawanya pada kesimpulan bahwa standar yang diteri-ma tidak adil atau tidak mediteri-madai, dia akan mencoba menempuh jalannya sendiri yang sesuai dengan prinsipnya. Pada dasarnya, sikap yang diperlihatkan

(6)

new woman lebih pada hal-hal yang berkaitan dengan pilihan pribadi (Cunningham, 1978: 10).

Pernikahan adalah satu hal yang paling dikritisi sosok new woman karena dapat dikatakan pernikahan adalah ‘andalan’ karya sastra berlatar era Victoria (Cunningham, 1978: 20). Hu-kum pernikahan di Inggris pada masa itu sangat mendiskreditkan perempuan, adanya separate spheres (ruang terpi-sah) di mana laki-laki diidentikkan de-ngan public sphere (ruang publik) dan perempuan hanya boleh berada dalam private sphere (ruang privat) menjadikan kepemilikan properti setelah pernikah-an akpernikah-an jatuh kepada pihak suami meski property tersebut sebelum pernikahan adalah milik pihak istri. Selain itu, hu-kum pernikahan di Inggris juga mela-rang adanya perceraian mutlak bahkan melarang pernikahan kembali dari pihak yang berpisah karena perceraian berten-tangan dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Adapun Matrimonial Causes Act of 1857 yang akhirnya meng-izinkan perceraian mutlak justru me-nerapkan standar ganda moralitas yang tidak berpihak pada kaum perempuan. Inti dari hukum pernikahan di Inggris dapat dikatakan adalah keyakinan akan superioritas laki-laki dan penundukan perempuan dalam pernikahan (Hammerton, 1990: 270–272).

Mitchell lalu berpendapat bahwa sosok new woman pada era Victoria idealnya lajang, berpendidikan baik, dan bekerja dalam pekerjaan profesional. New woman tinggal sendirian atau ber-bagi apartemen dengan teman-teman-nya dan pergi ke mana pun dia suka tanpa pendamping (Mitchell, 2009: 270). Sejatinya, new woman menentang hu-kum pernikahan yang tidak berpihak kepada perempuan, mereka mencoba menyuarakan apa yang tidak disuarakan angel in the house dan fallen woman. Di-sebabkan oleh sikapnya itu, new woman

sering disebut sebagai perempuan liar yang tidak bisa diatur karena new woman menolak untuk tunduk pada dominasilaki-laki.

METODE

Metode penelitian ini merupakan me-tode kualitatif. Meme-tode ini meliputi dua tahapan sebagai cara kerja yang dite-rapkan, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Data dalam penelitian ini sendiri berupa data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diambil dari novel Hetty Feather kar-ya Jacqueline Wilson kar-yang dikaji dengan teori symbolic annihilation yang digagas Gaye Tuchman. Data primer yang dimak-sud berupa kata, frasa, kalimat, dan dia-log yang terdapat dalam teks novel Hetty Feather yang berhubungan dengan teori dan konsep yang dibahas. Data sekunder adalah data-data yang didapat dari luar novel Hetty Feather yang berkaitan dengan penelitian ini, baik berupa artikel jurnal, tesis, buku, maupun artikel ko-ran/majalah sebagai data pendukung dalam pembahasan mengenai symbolic annihilation terhadap perempuan dan tiga tipe perempuan era Victoria.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua: pertama, peneliti membaca dan menyi-mak secara intensif satuan-satuan teks yang signifikan dalam novel Hetty Feather berdasarkan teori feminisme Gaye Tuchman dan konsep mengenai ti-ga tipe perempuan era Victoria. Kedua, peneliti menggunakan hasil pembacaan terhadap teori dan konsep tersebut un-tuk menenun-tukan penggalan-penggalan teks yang dianggap dapat menyajikan data sesuai dengan tujuan penelitian.

Langkah-langkah dalam analisis data adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti mengidentifikasi karakter-ka-rakter yang akan menjadi fokus peneli-tian ini. Penelipeneli-tian ini berfokus pada tiga tipe perempuan era Victoria, yaitu angel

(7)

in the house, fallen woman, dan new woman, sehingga pengidentifikasian ka-rakter didasarkan pada tiga tipe perem-puan tersebut. Kedua, peneliti menemu-kan tin-damenemu-kan symbolic annihilation yang dialami tiga tipe perempuan era Victoria tersebut yang meliputi tindakan omission, trivialization, dan condemna-tion.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dapat dikatakan bahwa novel Hetty Feather memotret sempurna gambaran perempuan-perempuan yang hidup di era Victoria. Tiga tipe perempuan yang sudah dijelaskan, yakni angel in the house, fallen woman, dan new woman, semuanya dapat ditemukan di dalam no-vel. Ketiga tipe perempuan tersebut ti-dak hanya digambarkan di dalam novel, tapi mereka juga saling berinteraksi se-hingga hubungan yang terjalin dapat dikatakan cukup detail dalam menunjuk-kan dinamika kehidupan para perempu-an di era Victoria. Selain itu, interaksi yang terjalin antara para perempuan tersebut juga mengindikasikan adanya tindakan symbolic annihilation yang diterima ketiga tipe perempuan itu. Tin-dakan symbolic annihilation terhadap tiga tipe perempuan tersebut adalah trivialization, omission, dan condemna-tion.

Trivialization terhadap Sosok Angel in the House

Dalam novel Hetty Feather, ibu asuh Hetty yang bernama Peg Cotton atauMrs. Cotton adalah perempuan yang sempur-na dalam menggambarkan sosok angel in the house. Sebagai sosok perempuan ideal di era Victoria, seharusnya kehadir-an Mrs. Cotton sebagai kehadir-angel in the house ini diterima oleh masyarakat. Sayangnya, sosok perempuan seideal Mrs. Cotton pun menerima symbolic annihilation yang berupa trivialization. Trivialization yang diterima Mrs. Cotton di sini

mengacu pada sosoknya yang kurang dianggap signifikan, jasanya yang tidak diapresiasi, bahkan tindakannya cende-rung dipandang negatif.

I was placed in strong arms, my face pressed against a very large soft chest. I snuffled against her. She smelled of strange new things, lard and cabbage and potatoes, but she also smelled of sweet milk. I opened my lips eagerly and I heard laughter all around.

‘There! She’s smiling at you, Mother!’ I was stunned. This was not my real mother. Was she a new mother? Her large hands held us safe as she walked out of the station, children clamouring about her.

‘I dare say you’ll do a good job with them, Missus. You bring on the scrawny ones something wonderful,’ said the basket-carrier.

‘It’s a bit of challenge, two little ones together, but I dare say I’ll manage,’ she said. ‘Let’s take you home and get you fed, my poor little lambs,’ she murmured in our ears. (Wilson, 2012a: 12)

Aku diletakkan di atas lengan-lengan kuat, wajahku menempel ke dada lunak yang sangat besar. Aku mengendusnya. Dia berbau hal-hal baru yang asing, le-mak babi, kubis, dan kentang, tapi dia juga berbau susu manis. Aku membuka mulut dengan antusias dan aku mende-ngar tawa di sekelilingku.

“Nah! Dia tersenyum padamu, Mama! Dia langsung terpikat padamu!”

Aku tertegun. Ini bukan ibuku yang se-benarnya. Apakah dia ibu baru? Dia menggendongku di satu lengan, bayi la-ki-laki saudara sekeranjangku itu di le-ngan lainnya. Tale-ngannya yang kuat me-nahan kami dengan aman ketika dia berjalan meninggalkan stasiun, anak-anak berceloteh ribut di sekitarnya. “Saya yakin Anda akan mengurus me-reka dengan baik, Missus. Anak-anak yang kurus kering saja Anda ubah men-jadi elok,” kata sang pembawa keran-jang.

(8)

“Agak sulit, dua bayi sekaligus; tapi saya yakin saya akan berhasil,” kata ibu itu. “Ayo kita pulang dan minum di rumah, domba-domba kecilku yang malang,” gumamnya di telinga kami. (Wilson, 2012b: 19–20)

Gambaran Mrs. Cotton yang disebut-kan oleh Hetty menunjukdisebut-kan bahwa Mrs. Cotton adalah seorang ibu rumah tangga sejati. Mrs. Cotton berbau susu, kentang, kubis, bahkan lemak babi, suatu tanda bahwa Mrs. Cotton menghabiskan seluruh waktunya untuk mengurus anak dan rumah. Kehadiran anak-anak yang ribut mengelilingi Mrs. Cotton juga men-jadi tanda bahwa Mrs. Cotton dekat de-ngan anak-anak.

Selain itu, panggilan missus juga da-pat dilihat sebagai tanda yang semakin menegaskan kehadiran Mrs. Cotton se-bagai sosok angel in the house. Missus yang merupakan bentuk lisan dari Mrs. mempunyai arti istri (wife). Mrs. Cotton diceritakan bernama Peg dan dia mem-punyai suami bernama John Cotton.

Panggilan Mrs. ini dapat dilihat se-bagai bentuk trivialization yang paling halus (karena tidak begitu kentara) ke-pada semua perempuan yang sudah me-nikah karena para perempuan tersebut dipanggil dengan nama belakang suami-nya dan harus merelakan nama gadis mereka (atau nama keluarga mereka sebelum menikah) dihilangkan dan di-ganti dengan nama belakang suami me-reka. Hal ini terlihat seperti suatu hal yang wajar, bahkan hingga saat ini. Akan tetapi jika diperhatikan panggilan Mrs. ini membuat Peg hanya dikenal karena dia adalah istri dari John Cotton. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Helen Franzwa yang mengatakan bahwa kehadiran perempuan dalam media ha-nya dilihat dari relasi perempuan terse-but dengan laki-laki (Franzwa, 1974, 1975).

Sebagai seorang perempuan yang mempunyai citra seorang istri dan ibu

yang cakap mengurus anak, seharusnya Mrs. Cotton menjadi teladan bagi perem-puan lainnya karena gambaran seorang angel in the house melekat sempurna pada diri Mrs. Cotton. Sayangnya, tidak semua perempuan beranggapan demiki-an. Mrs. Woodrow, istri pemilik peter-nakan tempat John bekerja, justru memi-liki interpretasi lain dalam melihat ke-teladanan Mrs. Cotton yang terlihat ha-nya berhubungan dengan materi atau uang, seperti dalam kutipan berikut.

‘So she’s one of your mother’s foundling children?’

Jem pulled me on to his lap protectively. ‘Yes, ma’am. This isour Hetty.’

‘Well, it looks as if your mother’s doing a good job with her. How much does she get paid for looking after her?’

I craned round. Jem was red in the face. ‘I don’t rightly know, ma’am,’ he said. ‘But our Hetty’s worth her weight in gold.’

‘What did that lady say?’ I asked.

‘Oh, take no notice,’ said Jem, which of course made me notice more.

‘Does Mother get paid for looking after us?’ I asked.

‘I’m big, not little like you. I don’t need looking after,’ said Jem, not really answering my question (Wilson, 2012a:

42–43).

“Jadi dia salah satu anak asuh ibumu?” Jem menarikku ke pangkuannya de-ngan sikap melindungi. “Ya, Ma’am. Ini Hetty kami.”

“Ya, kelihatannya ibumu mengurusnya dengan baik. Dia dibayar berapa untuk mengurusnya?”

Aku menengok pada Jem. Wajah Jem merah.

“Saya tidak tahu, Ma’am,” jawabnya. “Tapi Hetty kami sama berharganya de-ngan emas seberat dia.”

“Apa yang nyonya itu katakan?” tanya-ku.

“Oh, tak usah kaupikirkan,” kata Jem, yang tentu saja membuatku makin me-mikirkannya.

(9)

“Apakah Mama dibayar untuk mengu-rus kita?” tanyaku.

“Aku sudah besar, tidak sepertimu. Aku tidak perlu diurus,” kata Jem, tidak be-nar-benar menjawab pertanyaanku (Wilson, 2012b: 52–53).

Di era Victoria, merawat anak sudah sepatutnya menjadi tugas seorang istri dan ibu karena kehidupan seorang pe-rempuan ideal di masa itu adalah yang sepenuhnya berpusat pada rumah, ter-masuk menjadi ibu dan merawat anak-anak. Mendapatkan gaji untuk merawat seorang anak terdengar seperti suatu pekerjaan, seperti John dan laki-laki lain yang menjadi pegawai di peternakan Mr. Woodrow, sedangkan Mrs. Cotton dan ibu rumah tangga lainnya semestinya tidak ikut mencari nafkah atau uang karena itu merupakan tugas laki-laki.

Adanya separate spheres di era Victoria yang memisahkan ruang publik dan privat menjadikan ruang publik hanya milik laki-laki dan ruang privat hanya milik perempuan yang berarti bahwa dalam urusan mencari nafkah atau uang (yang biasanya berada di ruang publik) seharusnya hanya menjadi milik laki-laki. Perempuan hanya diper-bolehkan mengurus ruang privat yang berarti perempuan hanya mengurus ma-salah rumah tangga, seperti mengasuh anak-anak, memasak, mencuci, sampai membersihkan rumah. Seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik adalah se-orang perempuan yang hanya mengurus masalah domestik yang berhubungan dengan suami, anak, dan rumah.

Muka merah Jem, salah satu anak kandung keluarga Cotton dan sikap Jem yang tidak mau menjawab langsung per-tanyaan Hetty terkait upah yang diteri-ma Mrs. Cotton juga menunjukkan bah-wa sebenarnya Jem malu ketika orang lain mengetahui ibunya menerima ba-yaran untuk merawat anak-anak asuh. Sama seperti Mrs. Woodrow, Jem tam-pak tidak sepenuhnya menyetujui

gagasan ibunya ikut ‘bekerja’ mencari uang.

Apa yang dilakukan Mrs. Woodrow dan Jem ini dapat dikatakan sebagai tin-dakan trivialization terhadap Mrs. Cotton karena mereka kurang menghargai pe-ran Mrs. Cotton sebagai seope-rang ibu asuh bahkan cenderung memandang negatif perannya karena mengidentikkan peran ibu asuh tersebut dengan bayaran yang diterima dari Foundling Hospital.

Trivialization yang diterima Mrs. Cotton ini pada akhirnya menunjukkan bahwa sebagai seorang istri dan ibu, tidak seharusnya Mrs. Cotton ‘bekerja’ sebagai ibu asuh dalam mencari uang. Di era Victoria, mencari nafkah adalah tugas suami dan ayah, bukan tugas istri dan ibu. Terlepas dari upah siapa yang lebih tinggi, usaha Mrs. Cotton untuk membantu memenuhi kebutuhan kelu-arga tidak pernah dihkelu-argai dan justru dipandang negatif; dia dicap hanya men-cari bayaran dalam merawat anak-anak asuh.

Omission terhadap Sosok Fallen Woman

Berbanding terbalik dengan angel in the house yang merupakan perempuan ideal dan idaman masyarakat era Victoria, fallen woman adalah mimpi buruk bagi para perempuan saat itu. Ibu kandung Hetty, yang di akhir cerita kemudian diketahui bernama Ida, adalah satu-satunya sosok fallen woman yang ada di dalam novel Hetty Feather.

‘My little Hetty—my own child,’ she [Ida] murmured.

I raised my head ... ‘You are my mother?’ I whispered. ‘But . . . but . .’ I saw the strands of our hair side by side on the pillow, Ida’s light-brown locks and my fiery red ones.

‘Your father has red hair,’ Ida whispered ... ‘His name’s Robert—but every one always called him Bobbie. He was the brightest boy in our village and I loved

(10)

him with all my heart, though he did not truly care for me. He left to go to sea and voyage round the world.’

‘And where is he now, my father?’

‘I truly do not know, Hetty. He never came back. He swore he’d write to me but he never did. I waited and waited for him to return—because I realized I was having his baby.’

‘Me!’

‘Yes, you, Hetty!’... ‘I did not know what to do. I didn’t tell a soul but soon I became so big that people started to notice. My parents could not stand the shame and turned me out.’ (Wilson, 2012a: 391–

392).

“Hetty kecilku—anak kandungku,” gu-mamnya.

Aku mendongak. “Kau ibuku?” bisikku. “Tapi... tapi...” Aku melihat helai-helai rambut kami yang berdampingan di bantal, untaian rambut Ida yang cokelat muda, dan untaian rambutku yang merah terang.

“Ayahmu berambut merah,” bisik Ida ... “Namanya Robert—tapi semua orang selalu memanggilnya Bobbie. Dia anak paling cerdas di desa kami dan aku mencintainya dengan segenap hati, meskipun dia tidak terlalu peduli pada-ku. Dia pergi melaut dan berlayar keliling dunia.”

“Dan di mana dia sekarang, ayahku?” “Aku benar-benar tidak tahu, Hetty. Dia tak pernah kembali. Dia berjanji untuk menulis surat padaku, tapi tak pernah melakukannya. Aku menunggu dan te-rus menunggu dia kembali—karena menyadari aku mengandung bayinya.” “Aku!”

“Ya, kau, Hetty!” ... “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak men-ceritakannya pada siapa pun, tapi tak lama kemudian perutku sudah begitu membuncit hingga orang-orang mulai tahu. Orang tuaku tidak sanggup me-nanggung malu dan mengusirku.” (Wilson, 2012b: 460–461)

Ibu kandung Hetty yang bernama Ida akhirnya memiliki kesempatan

untuk menarasikan dirinya sendiri di akhir cerita setelah tidak dimunculkan pada hampir keseluruhan cerita. Sayang-nya, porsi yang begitu sedikit ditambah dengan penarasian yang mengulang narasi sebelumnya berkembang di masyarakat justru semakin menunjuk-kan tindamenunjuk-kan omission yang diterimanya. Ida sependapat dengan orang tuanya dan masyarakat sekitar bahwa memiliki anak di luar pernikahan adalah sebuah aib untuk perempuan, meski sebenarnya dia tidak menyesali keputusannya untuk mencintai Bobbie, ayah kandung Hetty, dan mengandung anak Bobbie. Keputus-an Ida untuk menyerahkKeputus-an Hetty ke Foundling Hospital sebenarnya menun-jukkan kepedulian Ida pada Hetty. Hal ini disebabkan karena di Foundling Hos-pital, Hetty akan mendapatkan kehidup-an dkehidup-an pendidikkehidup-an ykehidup-ang menurut Ida layak, suatu hal yang tidak bisa Ida be-rikan pada Hetty.

Sayangnya, pandangan negatif ma-syarakat era Victoria mengenai fallen woman begitu kuat sehingga orang tua Ida dengan tega mengusir anak perem-puan mereka yang tengah mengandung dan membutuhkan dukungan. Sebagai orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan pada anak, orang tua Ida justru seperti tidak mau mengakui bah-wa Ida adalah anak mereka karena Ida sudah mencoreng nama keluarga de-ngan hamil di luar nikah.

Menurut Barrett, pilihan untuk me-maafkan dan membantu atau mengucil-kan fallen woman adalah masalah besar di masyarakat era Victoria yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang fallen woman (Barrett, 2013). Jika pada akhirnya orang tua Ida memutuskan untuk mengusir Ida, hal tersebut dapat dilihat sebagai cara mayoritas masyarakat untuk memisah-kan diri mereka dari perempuan tercela seperti fallen woman.

(11)

Begitu kuatnya ketidaksukaan ma-syarakat pada sosok fallen woman, bah-kan Ida sendiri terlihat seolah mende-finisikan dirinya melalui sudut pandang orang lain juga, yaitu seorang fallen woman yang sudah kehilangan kehor-matan dan nilainya sebagai seorang pe-rempuan. Ida seperti tidak memiliki ku-asa untuk mendefinisikan dirinya mela-lui sudut pandangnya sendiri; Ida meli-hat dirinya sebagai seorang fallen woman, sama seperti orang lain yang melihat sosoknya. Perhatikan kutipan teks berikut ini.

‘... It was an agony to give you up. I missed you so badly. I nearly lost my mind with wretchedness. I ended up in the work house, changing my name so that no one should ever know. It was very hard there, but I did my best to bear it. I could never earn enough to buy you back, and the governors would not deem me a fit mother anyway.’

‘It’s been such a secret joy these past five years watching you grow, but a torment too, unable to give you a true mother’s love. I resolved never to tell you. If anyone found out, I would be sent away in disgrace.’ (Wilson, 2012a: 392–393)

“... Menyerahkanmu itu sangat menya-kitkan. Aku sangat merindukanmu. Aku nyaris gila saking sedihnya. Akhirnya aku ke rumah penampungan, meng-ubah namaku agar tidak ada yang tahu jati diriku. Kehidupan di sana sangat ke-ras, tapi aku berusaha menjalaninya se-maksimal mungkin. Aku tak akan per-nah punya cukup uang untuk menebus-mu kembali, dan para governor tak akan menganggapku layak sebagai ibu.” “Menyaksikanmu tumbuh dewasa lima tahun terakhir ini sungguh merupakan suka cita besar penuh rahasia, namun sekaligus siksaan, tak bisa memberimu cinta sejati seorang ibu. Aku memutus-kan tak amemutus-kan pernah memberitahumu. Kalau sampai ada orang yang tahu, aku akan dipecat dengan tidak hormat.” (Wilson, 2012b: 461–462)

Sesuai dengan pernyataan Barrett, masyarakat yang lebih tinggi (secara moral maupun tingkat sosial) daripada fallen woman tidak memungkinkan pe-rempuan seperti fallen woman memiliki kesempatan untuk bergerak melampaui peran mereka (Barrett, 2013). Sampai kapan pun Ida tidak akan dapat ‘membe-li kemba‘membe-li’ Hetty karena masyarakat tidak akan pernah menganggapnya layak menjadi seorang ibu. Ida akan tetap menjadi pelayan di Foundling Hospital yang hanya dapat menyaksikan Hetty tumbuh besar dari jauh. Satu hal yang lebih menyedihkan lagi adalah Ida pun merasakan hal yang sama bahwa sampai kapan pun dia tidak akan bisa menjadi ibu yang layak untuk Hetty.

Tindakan-tindakan omission yang diterima Ida ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menghilangkan sosok fallen woman yang pada dasarnya tidak men-dapat tempat di struktur sosial era Victoria. Kehadiran fallen woman pun akhirnya dibatasi jika dinarasikan; pena-rasiannya dilakukan oleh orang lain atau jika dia menarasikan dirinya sendiri maka bentuk penarasiannya harus sesu-ai dengan narasi yang sudah berkem-bang di masyarakat.

Condemnation terhadap Sosok New Woman

Dalam novel Hetty Feather terdapat dua karakter yang bisa dikatakan merepre-sentasikan sosok new woman, yakni Hetty Feather sendiri dan Madame Adeline. Sebagai sosok new woman yang memiliki pendapatnya sendiri dan men-coba mendobrak ide-ide konvensional mengenai perempuan di era Victoria, Hetty dan Madame Adeline mengalami symbolic annihilation yang berupa con-demnation. Condemnation di sini menga-cu pada hukuman yang berupa tindakan labeling atau pemberian stereotip nega-tif kepada new woman dan domestication atau usaha ‘menjinakkan’ new woman

(12)

dengan hal-hal yang berhubungan de-ngan kerumahtanggaan.

Sejak awal kemunculannya, Hetty Feather diceritakan sebagai anak yang berbeda dengan tipikal anak perempuan pada umumnya. Dia suka berkhayal, su-ka berbicara, tidak bisa diam, dan yang paling menonjol dari dirinya adalah keberaniannya. Keberanian Hetty ini mencakup keberanian berbicara juga keberanian bertindak. Jika ada hal yang mengusiknya dan tidak sesuai dengan kata hati, Hetty tidak akan tinggal diam dan memendam perasaan saja, tapi dia akan mengutarakan pendapatnya secara terang-terangan. Hal tersebut dapat dili-hat dalam kutipan berikut.

‘Now, Hetty, are you sorry for being such a bad girl?’

‘No, I am not sorry. You should be sorry for being a bad mother,’ I mumbled beneath my blanket. (Wilson, 2012a: 26) [...]

‘Don’t you grin at me, girl!’ she spluttered. ‘I’ve never known such an imp as you. What am I going to do with you?’ She put her arms round me and hugged me tight. ‘Oh, I’m going to miss you so, little Hetty, even though you’re such a bad, bad girl.’ (Wilson, 2012a: 27)

“Nah, Hetty, apakah kau menyesal kare-na menjadi gadis kare-nakal?”

“Tidak, aku tidak menyesal. Mama yang harusnya menyesal karena menjadi Ma-ma nakal,” guMa-mamku di bawah selimut. (Wilson, 2012b: 36)

[...]

“Jangan nyengir begitu, Nona!” ujarnya, merepet. “Aku belum pernah bertemu anak senakal kau. Apa yang mesti kula-kukan padamu?”

Dia melingkarkan lengannya dan melukku erat. “Oh, aku akan sangat me-rindukanmu, Hetty kecil, meskipun kau nakal luar biasa.” (Wilson, 2012b: 36– 37)

Keberanian Hetty mengungkapkan pendapatnya dan mengkritisi perbuatan

Mrs. Cotton yang sering memukulnya tentu mengagetkan Mrs. Cotton yang berujung pada stereotip anak nakal yang disematkan pada Hetty. Sebutan imp dan bad girl yang berarti anak setan dan gadis nakal adalah stereotip yang lekat dengan Hetty sejak kecil. Hetty yang saat itu belum genap lima tahun memang su-dah menunjukkan keberaniannya dalam mengungkapkan pendapat dan bertin-dak, tetapi hal itu justru dipandang nega-tif karena orang-orang melihatnya seba-gai sebuah kenakalan, bukan sikap kritis. Masyarakat di era Victoria tampak-nya belum siap menerima sosok new-woman yang begitu berani menentukan sikap. Sebagai perempuan, semestinya para perempuan bersikap lemah lembut dan keibuan, merujuk pada nilai-nilai yang diusung angel in the house. Perem-puan yang ideal adalah yang tinggal di rumah, menjadi istri dan ibu yang baik, bukan bekerja di sirkus sambil memakai pakaian minim seperti Madame Adeline.

‘Yes, pink spangles!’ said Mother, shud-dering. ‘A grown woman flaunting her-self in front of decent folk, and men capering about foolishly, and a dreaded beast all set to run amok and trample everyone. It shouldn’t be allowed. Of course I’m not spending precious money on such a wicked show.’ (Wilson, 2012a:

68–69)

“Ya, jumbai merah muda! kata Mama, bergidik. “Perempuan dewasa yang mempertontonkan diri di depan banyak orang baik-baik, dan laki-laki yang me-lompat-lompat seperti orang bodoh, dan binatang mengerikan yang semua-nya siap menyerbu dan menginjak-injak semua orang. Seharusnya itu tidak dibo-lehkan. Tentu saja aku tidak akan bu-ang-buang uang berharga untuk per-tunjukan jahat semacam itu.” (Wilson, 2012b: 82)

Jika Hetty dicap sebagai anak nakal, Madame Adeline dicap sebagai

(13)

perempuan ‘nakal’ atau perempuan ‘ti-dak benar’ karena dia memakai baju yang memperlihatkan kemolekan tubuh-nya. Sebagai seorang perempuan dewa-sa yang sudah tahu norma dan nilai, ma-syarakat melihat Madame Adeline de-ngan sengaja tidak mengindahkan se-mua itu dan tetap memamerkan tubuh-nya di depan orang-orang. Kata flaunting herself yang disandingkan dengan kata decent folk menunjukkan bahwa Mrs. Cotton melihat dirinya dan masyarakat sekitar sebagai orang baik dan bermoral, sedangkan Madame Adeline sebaliknya.

Condemnation berupa label negatif ini kemudian diberikan pada Madame Adeline hanya karena pilihannya untuk bekerja di sirkus dan pakaian yang dike-nakannya membuatnya terlihat seperti perempuan yang tidak terhormat. Orang-orang pada masa itu masih meli-hat sirkus sebagai tempat yang buruk untuk seorang perempuan. Dikarena-kan sosok angel in the house adalah gam-baran perempuan yang ideal di era Victoria, masyarakat pun lebih me-nyukai perempuan yang tinggal di ru-mah, menjadi istri dan ibu, serta meng-urus hal-hal domestik lainnya. Sosok-new woman seperti Madame Adeline yang bekerja di ruang publik dengan pakaian ketat dan minim itu jelas bertentangan dengan norma dan nilai yang ada di masyarakat.

Seperti Madame Adeline, sejak kecil Hetty sudah memiliki opini sendiri me-ngenai banyak hal dan opini-opini itu sering berseberangan dengan opini ma-syarakat, terutama opininya mengenai citra seorang perempuan. Sebagai seo-rang new woman, Hetty selalu melihat dirinya memiliki banyak kesempatan dalam hidup, berbeda dengan orang lain yang melihat terbatasnya kesempatan yang ada untuk seorang anak perem-puan Foundling Hospital seperti dirinya. Hal tersebut dapat ditemukan dalam kutipan teks berikut ini.

‘I said she needs encour aging, Matron,’ she said.

‘And why’s that, pray?’ Matron Pigface enquired.

‘Because she’s clever,’ said Ida ... ‘She learns so fast. I think she could become a real scholar.’

Matron Pig face snorted with laughter. ‘A foundling? Don’t be ridiculous, girl. She’ll be a servant, like all the others. That’s all she’s fit for and don’t ever think otherwise. (Wilson, 2012a: 200)

“Saya bilang, dia butuh dukungan, Matron,” katanya.

“Kenapa begitu?” selidik Matron Muka Babi.

“Karena dia pintar,” jawab Ida ... “Dia sa-ngat cepat belajar. Saya pikir dia bisa bersekolah sampai tingkat yang tinggi.” Matron Muka Babi mendenguskan ta-wa. “Anak asuh? Jangan konyol, Nona. Dia akan menjadi pelayan, seperti se-mua anak asuh lainnya. Hanya itu yang pantas untuknya, dan jangan pernah berpikir selain itu.” (Wilson, 2012b: 238–239)

Menjadi pelayan yang notabene berhubungan dengan hal-hal kerumah-tanggaan ini dapat dikatakan merupakan sebuah usaha domestication untuk ‘men-jinakkan’ Hetty yang berjiwa bebas dan ‘liar’. Foundling Hospital kemudian men-jadi sebuah institusi pemerintah yang menggalakkan upaya domestication.

Domestication yang dialami Hetty ini dapat dikatakan merujuk pada konsep angel in the house. Para anak perempuan di Foundling Hospital hanya mendapat pendidikan yang berhubungan dengan tugas-tugas rumah tangga, seperti men-jahit, mencuci baju, dan menyikat lantai. Para anak perempuan tersebut seperti diarahkan untuk menjadi angel in the house yang hanya akan berada di ruang privat dan melakukan tugas-tugas ru-mah tangga.

Tidak hanya pemikiran mengenai pelayan, ide mengenai pernikahan pun

(14)

tak luput menjadi upaya domestication lainnya, seperti yang tampak pada kutip-an di bawah ini.

‘I will come to fetch you and look after you, and as soon as you are old enough I will make you my wife. I know I am your brother, but not by blood so we can marry! We will have our own cottage and work on the farm and you will keep house and look after our babies. It will be just like our games in the squirrel house, but real, Hetty,’ said Jem. (Wilson, 2012a:

63–64)

“Aku akan datang dan menjemputmu dan mengurusmu, lalu setelah kau cu-kup dewasa, aku akan menjadikanmu istriku. Aku tahu aku saudaramu, tapi tidak sedarah, jadi kita bisa menikah! Kita akan punya pondok sendiri dan mengurus kebun, lalu kau akan mengu-rus rumah dan merawat bayi-bayi kita. Pasti akan seperti permainan kita di rumah tupai, tapi itu sungguhan, Hetty,” kata Jem.(Wilson, 2012b: 76)

Pernikahan adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari angel in the house karena seorang istri dan ibu sudah semestinya menikah dan memiliki sua-mi. Upaya Jem yang memberikan impian pada Hetty mengenai pernikahan ini juga merupakan bentuk domestication yang ingin menjinakkan new woman. Hetty memang masih terlalu kecil untuk memahami bahwa pada dasarnya men-jadi pelayan dan istri Jem adalah dua hal yang kurang lebih sama; keduanya sama-sama berhubungan dengan tugas-tugas rumah tangga yang sebenarnya tidak disukai Hetty.

Domestication yang berupa pena-naman impian mengenai pernikahan dan pembelajaran menjadi pelayan ini sejatinya merupakan upaya-upaya untuk menjinakkan new woman seperti Hetty. Domestication ini pada dasarnya bertu-juan untuk melekatkan nilai-nilai seo-rang angel in the house pada seoseo-rang

new woman yang jelas tidak menyukai pemujaan terhadap sosok angel in the house.

Sosok new woman seperti Hetty dan Madame Adeline berani memilih dan memutuskan sendiri jalan hidupnya. Namun, mereka justru mengalami con-demnation dari masyarakat sekitar. Me-lihat keberanian Hetty dan Madame Adeline, orang-orang justru memberikan stereotip-stereotip negatif dan tampak ingin ‘menjinakkan’ sikap mereka yang dianggap ‘liar’. Masyarakat di era Victoria seolah tidak bisa menerima bahwa perempuan pun memiliki pilih-annya sendiri dan tidak semua perem-puan ingin menjadi seorang angel in the house.

SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang sudah dijelas-kan sebelumnya dapat dikatadijelas-kan bahwa terdapat beberapa bentuk symbolic annihilation yang dapat ditemukan da-lam Hetty Feather yang meliputi tin-dakan trivialization terhadap sosok angel in the house, omission terhadap sosok fallen woman, dan condemnation terhadap sosok new woman.

Trivialization yang diterima sosok angel in the house adalah stigma negatif yang membuat orang-orang melihat sosok ibu rumah tangga sebagai seorang ibu yang materialistis hanya karena dia ikut bekerja mencari uang dengan menjadi ibu asuh dan merawat anak-anak asuh dari Foundling Hospital. Sosok angel in the house yang seharusnya men-jadi sosok perempuan idaman pada era Victoria pada praktiknya juga mengala-mi symbolic annihilation berupa triviali-zation karena seorang angel in the house sejati tidak seharusnya ikut bekerja, senada dengan pernyataan Suzanne Fagence Cooper yang mengatakan bah-wa masyarakat era Victoria percaya bahwa tempat perempuan adalah di rumah untuk merawat keluarganya dan

(15)

menjaga rumah tangga. Sementara itu, suami bekerja mencari uang dan melin-dungi keluarga. Ini menjadi sebuah sim-bol status terhormat ketika para perempuan (istri dan anak perempuan) tidak perlu keluar dan bekerja, tapi bisa tinggal di rumah dan mengasah kete-rampilan mereka untuk menjadi perem-puan seperti melukis, menyanyi, dan menjahit dengan baik (Cooper, 2001: 12).

Omission yang dialami sosok fallen woman bukanlah suatu hal yang menge-jutkan karena pada dasarnya fallen woman tidak pernah mendapatkan tem-pat dalam masyarakat era Victoria. Se-bagai sosok fallen woman yang mempu-nyai anak di luar nikah, perempuan yang masuk kategori ini jelas dipandang tidak memedulikan norma dan nilai dalam masyarakat dengan tidak memegang teguh nilai-nilai yang dipercaya. Ma-syarakat era Victoria menjunjung tinggi kehormatan dan moralitas, sedangkan fallen woman dinilai tidak dapat mem-pertahankan kedua hal tersebut. Omission yang diterima sosok fallen woman pun berupa pemusnahan narasi-nya karena kehadirannarasi-nya dipandang menyalahi norma dan nilai yang ada. Kalaupun seorang fallen woman diberi-kan ruang untuk menarasidiberi-kan diri, mi-salnya, narasinya hanya akan mengula-ngi narasi dominan yang pada dasarnya juga berusaha menghilangkannya.

Condemnation yang diterima sosok new woman terbagi menjadi dua, yaitu labeling dan domestication. Label negatif yang diberikan pada new woman dapat mengalami perbedaan yang signifikan karena dipengaruhi oleh faktor umur. Seorang anak perempuan yang vokal dan pemberani, misalnya, mendapatkan label negatif seperti anak nakal, anak setan, anak liar, dsb. karena dinilai masih terlalu kecil dan belum paham betul mengenai nilai dan norma sosial yang berkembang di masyarakat. Sebaliknya,

seorang perempuan dewasa justru akan menerima stereotip negatif seperti pe-rempuan nakal dan pepe-rempuan tidak be-nar karena sebagai orang dewasa yang dengan jelas memahami norma yang ada, dia justru tidak mengindahkan nilai-nilai yang dipercaya masyarakat.

New woman yang vokal menyuara-kan opininya dipandang masyarakat se-bagai perempuan liar yang tidak bisa diatur. Masyarakat juga melihat new woman yang bekerja di luar rumah (mi-salnya sebagai pemain sirkus dengan pakaian mini dan ketat) dengan jelas bertentangan dengan norma dan nilai yang mereka percaya, serta melihat bah-wa seharusnya perempuan menjadi makhluk domestik yang dependen.

Domestication yang dialami seorang new woman dapat dikatakan bertujuan untuk menjinakkan sosoknya yang ber-pikiran dan bertingkah laku liar. Dengan melekatkan nilai-nilai domestik seperti pernikahan dan tugas-tugas rumah tang-ga, masyarakat yang berusaha menjinak-kan new woman memiliki agenda khusus untuk mengubahnya menjadi seorang angel in the house yang menjadi idaman pada masa itu. Condemnation yang diala-mi sosok new woman, baik yang berupa labeling maupun domestication, semua-nya diberikan sebagai bentuk pemus-nahan citra mereka yang bertentangan dengan citra perempuan ideal angel in the house.

DAFTAR PUSTAKA

Aström, B. (2015). The Symbolic Annihilation of Mothers in Popular Culture: Single Father and the Death of the Mother. Feminist Media Studies, 15(4), 593–607. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https:// doi.org/10.1080/14680777.2014. 994100

Barnes & Noble. (2019). Hetty

(16)

Noble. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https:// www.barnesandnoble.com/w/ hetty-feather-jacqueline-wilson/ 1102933383?ean=978044086835 4

Barrett, K. L. (2013). Victorian Women and Their Working Roles. State University of New York College at Buffalo. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https:// digitalcommons.buffalostate.edu/e nglish_theses/9/

Caswell, M. (2014). Seeing Yourself in History: Community Archives and the Fight Against Symbolic Anni-hilation. Public Historian, 36(4), 26–37. https://doi.org/10.1525/ tph.2014.36.4.26

Clark, C. N. (2016). Girl in Progress: Navigating the Mortal Coils of Growing Up in the Fiction of Jacqueline Wilson. Christchurch: University of Canterbury.

Cooper, S. F. (2001). The Victorian woman. London: V&A Publ.

Cunningham, G. (1978). The New Woman and the Victorian Novel. London: Macmillan Education UK. Diper-oleh pada tanggal 20 September 2020 dari https://doi.org/ 10.1007/978-1-349-03257-0 Franzwa, H. (1974a). Working Women

in Fact and Fiction. Journal of Communication, 24(2), 104–109. Franzwa, H. (1975b). Female Roles in

Women’s Magazine Fiction, 1940-1970. (R. K. Unger and F. L. Den-mark, Ed.), In Women: Dependent or Independent Variable. New York: Psychological Dimensions.

Gerbner, G and Gross, L. (1976). Living with Television: The Violence Profile. Journal of Communication, 26(2), 172–199.

Graber, S. M. (2019). A Puzzling Problem: Symbolic Annihilation in The New York Times Crossword Puzzle.

Journalism Practice, 13(3), 383– 395. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https://doi. org/10.1080/17512786.2018. 1478745

Hammerton, A. J. (1990). Victorian Marriage and The Law of Matrimonial Cruelty. Victorian Studies, 33(2), 269–292.

Hunt, P. (Ed.). (1999). Understanding Children’s Literature: Key Essays from the International Companion Encyclopedia of Children’s Litera-ture. London and New York: Routledge.

Karunianingsih, D. A. (2015). Anihilasi Simbolis terhadap Perempuan dalam Proses Produksi Berita di Lembaga Penyi-aran Publik TVRI D.I Yogyakarta. Yogyakarta: Uni-versitas Gadjah Mada. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari http://lib. ugm.ac.id/ind/ ?page_id=248

Kirsty.Oram. (2015). Victoria(R. 1837-1901). Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https:// www.royal.uk/queen-victoria Kuhl, S. (2016). The Angel in the house

and Fallen Women: Assigning Women their Places in Victorian Society. Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https:// open.conted.ox.ac.uk/resources/d ocuments/angel-house-and-fallen- women-assigning-women-their-places-victorian-society Kusumaningrum, A. F. (2020). Symbolic Annihilation terhadap Tiga Tipe Perempuan Era Victoria dalam Hetty Feather: Kajian Feminisme pada Novel Anak Karya Jacqueline Wilson. (Tesis) Yogyakarta: Uni-versitas Gadjah Mada.

Mitchell, S. (2009). Daily Life in Victorian England (2nd ed.). Westport, Conn: Greenwood Press.

(17)

Orwant, Jack, E and Cantor, M. (1977) How Sex Stereotyping Affects Perceptions of News Preferences. Journalism Quarterly, 54 (Spring). Patmore, C. (1854). The Angel in the

House (H. Morley, Ed.). Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https://www.gutenberg. org/files/4099/4099-h/4099--htm

Showalter, E. (1973). Killing the Angel in the house: The Autonomy of Women Writers. Antioch Review, 32(3), 339–353.

Tuchman, G. (1979). Women’s Depiction by the Mass Media. Signs, 4(3), 528–542.

Tuchman, G. (2000). The Symbolic Annihilation of Women by the

Mass Media. Culture and Politics, 150–174. Diperoleh pada tanggal

20 September 2020 dari https:// doi.org/10.1007/978-1-349-62965-7_9

Udasmoro, W. (2015). Gypsies in 19th-Century French Literature: the Paradox in Centering the Periphery. K@ta, 17(1). Diperoleh pada tanggal 20 September 2020 dari https://doi.org/10.9744/ kata.17.1.26-32

Wilson, J. (2012a). Hetty Feather, and, Sapphire Battersea. London: Corgi Yearling.

Wilson, J. (2012b). Hetty Feather (D. Natalia, penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis dari penelitian ini menyatakan bahwa hipotesis diterima, yaitu ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kematangan emosi dengan aggressive

Ein Verhaltenswissenschaftler ging der Sache nach und kam zu dem an sich schon bekannten Ergebnis, daß es in jeder Kultur eine für richtig gehaltene Entfernung gibt, die man

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka identifikasi masalah pada penelitian ini adalah “Adakah Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Balita

Selain itu respon dari konverter Cuk dengan pengendali sliding mode memiliki waktu pemulihan (t rec ) yang selalu lebih cepat dan deviasi tegangan (∆V) yang selalu

Styrofoam merupakan sejenis sampah platik yang sulit terurai,dan tidak dapat dengan mudah untuk didaur ulang, sehingga limbah styrofoam akan terus menggunung dan

Pada ketika itu, Kandungan Kurikulum Standard Sekolah Menengah (KSSM) telah dijajarkan bagi tujuan kegunaan pengajaran dan pembelajaran bagi memenuhi keperluan pembelajaran

Menyetujui untuk memberhentikan dengan hormat seluruh anggota Dewan Komisaris yang masa jabatannya akan berakhir terhitung sejak ditutupnya Rapat ini, kecuali Bapak MOHAMMAD

(jadi diibaratkan agar bisa lebih akrab sama seseorang cara yang dipakai adalah dengan menggojlok). Subjek menegaskan bahwasanya dirinya tidak merasa kasihan jika