• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Makanan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Lakara Kabupaten

Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara

[Food of the Blue Swimming Crab ( Portunus pelagicus ) In Lakara Waters of

South Konawe, Southeast Sulawesi]

Suristiana Erlinda

1

, La Sara

2

, Nur Irawati

2

1

Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo

Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782

2

Surel: lasara_unhalu@yahoo.com

3

Surel: nur_irawati78@yahoo.com Diterima : Maret 2016 ; Disetujui : Juni 2016

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makanan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Lakara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2015 di perairan Lakara, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Sampel rajungan ditangkap menggunakan jaring (gillnet) di perairan dalam. Sampel rajungan yang tertangkap dipilih secara acak (random). Sebanyak 19 individu digunakan untuk analisis komposisi makanan. Setiap sampel di pisahkan menurut kelas ukuran dan jenis kelaminnya. Komposisi kelompok makanan dalam lambung rajungan terdiri dari empat kelompok yaitu plankton, daging, moluska dan material tidak teridentifikasi (MTT). Pada ukuran dewasa ditemukan kelompok makanan plankton dengan persentase komposisi sebesar 62,6 %, daging 26 %, material tidak teridentifikasi 8,7 % dan moluska sebesar 2,7 %. Persentase komposisi makanan antara jenis kelamin jantan dan betina tidak terlalu memiliki perbedaan. Nilai persentase komposisi makanan untuk kelompok plankton rajungan jantan adalah 62 % dan 62 % pada betina, daging pada jantan 27,3 % dan 24 % pada betina, material tidak teridentifikasi pada jantan 9,1 % dan 8.0 % pada betina dan moluska pada jantan 1,7 % dan 6,0 % pada betina.

Kata Kunci : Komposisi Makanan, Portunus pelagicus, Isi Lambung.

Abstract

The purpose of the study was to determine food composition of blue swimming crab (P. pelagicus) in Lakara

waters of South Konawe, Southeast Sulawesi. The samples were caught using gillnet in the intertidal zone. There were 19 individuals used for food composition analysis. Each sample was weighed and separated according to size class and sex. The food composition in the stomach of blue swimming crab consisted of four groups of plankton, meat, mollusca, and unidentified materials. The food composition in the adult size was found plankton groups with the percentage composition of 62,6 %. It was followed by meat of 26,0 %, unidentified material of 8.7 %, and mollusca of 2,7 %. The percentage of food composition between male and female was not significantly different. The percentage of food composition of plankton group for male and female was 62 % respectively, while the percentage of meat for male and female was 27,3 % and 24,0 % respectively. The lovest food composition was unidentified materials namely 9,1 % for male and 8.0 for female, while mollusca was only 1,7 % and 6,0 % for female and female respectively.

Key words: Food Composition, Portunus pelagicus, Stomach Content.

Pendahuluan

Secara umum Rajungan (Portunus pelagicus) memegang peranan penting dalam stabilitas ekologi dan sosial-ekonomi. Secara ekologi rajungan berperan penting sebagai biota yang menjaga keseimbangan ekologi di perairan pesisir (Rusmadi dkk., 2014).

mengkonversi nutrien, mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah dan membantu daur karbon. Peran sosial-ekonomi rajungan adalah menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat karena daging rajungan dapat dijual dan

(2)

Tingginya kebutuhan rajungan dan produk olahannya di Indonesia menyebabkan harga produk rajungan terus meningkat. Saat ini harga rajungan mencapai (Rp250.000/kg), sehingga merangsang nelayan mengeksploitasi sumber daya ini. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan tindakan pengelolaan yang tepat maka dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi rajungan yang disertai dengan rusaknya habitat rajungan. Dalam jangka panjang tindakan ini sangat merugikan bagi masyarakat khususnya nelayan sehingga menurunnya penerimaan daerah.

Wilayah perairan Lakara merupakan salah satu perairan dengan potensi perikanan rajungan yang cukup menjanjikan. Penangkapan rajungan oleh nelayan telah lama dilakukan, yaitu sejak 10 tahun terakhir. Penangkapan secara terus menerus tanpa adanya pengelolaan yang baik dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi rajungan.

Saat ini populasi rajungan di perairan Lakara sudah menunjukan penurunan populasi yang sangat nyata seperti ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap semakin kecil (<6 cm) (La Sara dkk., 2015). Untuk mencegah penurunan populasi rajungan akibat penangkapan intensif maka perlu tindakan pengelolaan sumber daya ini. Langkah awal yang dilakukan dalam pengelolaan sumber daya rajungan adalah dengan mengetahui aspek-aspek reproduksi biologinya salah satunya makanan dan kebiasaan makan. Penelitian makan rajungan sudah di lakukan di beberapa lokasi penelitian seperti di perairan Teluk Dalam Riau (2014), di perairan Purirano Sulawesi Tenggara (2002) dan Teluk Lawele Sulawesi Tenggara (2001), tetapi di perairan Selat Tiworo belum pernah dilakukan. Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk pengelolaan populasi dan habitatnya, serta untuk manipulasi makanannya ketika dibudi dayakan.

Ketersediaan makanan di perairan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rajungan.

Ketersediaan makanan sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Kondisi lingkungan perairan sewaktu-waktu dapat berubah sehingga dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makanan rajungan.

Manfaat penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengelola sumber daya rajungan di perairan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menjadi penting dilakukan.

Wilayah perairan Lakara memiliki potensi sumber daya rajungan yang cukup besar dilihat dari jumlah hasil tangkapan nelayan dan peneliti rajungan yang telah dilakukan diperairan ini. Ironisnya gejala menurunnya populasi rajungan di perairan ini sangat jelas sebagaimana ditunjukan oleh ukuran lebar karapasnya lebih banyak berukuran kecil (<6 cm), sehingga dibutuhkan pengelolaan lebih lanjut seperti diadakannya budi daya rajungan namun ilmu pengetahuan tentang makanan organisme ini belum pernah diungkapkan di perairan Lakara, Kabupaten Konawe Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa makanan rajungan (P. pelagicus). Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi awal untuk keperluan budi daya rajungan. Selain itu dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2015. Lokasi penelitian di perairan Lakara (04028.4051 LS dan 122020.7921 BT) Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 3).

Analisis makanan rajungan dilakukan di Laboratorium Pengujian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari. Variabel yang diamati meliputi lebar karapas, jenis kelamin, dan komposisi isi lambung, sedangkan parameter kualitas perairan meliputi suhu, salinitas dan kedalaman.Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

(3)

Tabel 1. Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian.

No Alat dan Bahan Satuan Kegunaan

A. Alat

1. Jaring (gillnet) - Alat tangkap

2. Perahu unit Sarana tangkap

3. Box unit Menyimpan sampel

4. Alat bedah set Membedah sampel

5. Mikroskop, gelas objek dan penutup - Untuk mengidentifikasi jenis makanan 6. Gelas ukur (10 ml) ml Mengukur volume pencernaan isi lambung 7. Cawan petri dan pipet tetes - Wadah pengenceran organisme makanan 8. Botol film - Wadah untuk mengawetkan saluran pencernaan 9. Buku identifikasi makanan - Panduan identifikasi organisme makanan 10. Tissue - Untuk membersihkan wadah

11. Kertas label - Untuk kode pada sampel 12. Pipet tetes ml Untuk mengukur volume larutan 16. Thermometer 0C Untuk mengukur suhu perairan 17. Handrefraktometer ppt Untuk mengukur salinitas 19. Tongkat berskala cm Untuk mengukur kedalaman

B. Bahan

1. Rajungan (Portunus pelagicus) - Objek penelitian

2. Larutan alkohol 10% - Mengawetkan alat pencernaan rajungan

3. Aquades - Mengencerkan isi lambung

Pengambilan sampel individu rajungan dilakukan secara acak di sepanjang Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan. Pengambilan sampel rajungan menggunakan jaring (gillnet) dengan mesh size 3,5─4,5 inci dengan panjang keseluruhan 50 m. Adapun kedalaman perairan lokasi pengambilan sampel ini adalah 20 m.

Kegiatan ini dilakukan dua kali dalam sebulan dimana setiap pengambilan jumlah individu yang diambil 7─12 individu. Rajungan yang tertangkap dipisahkan menurut jenis kelamin yaitu jantan dan betina kemudian digolongkan menjadi tiga kategori ukuran berdasarkan lebar karapasnya yaitu ukuran juvenil (lebar karapas 4,00─5,99 cm), ukuran remaja (lebar karapas 6,00─7,99 cm), dan ukuran dewasa (lebar karapas >8 cm), kemudian melakukan pengukuran sampel individu.

1. Pengambilan Sampel Rajungan di Lapangan Adapun prosedur kerja pengambilan sampel di lapangan adalah sebagai berikut: - Menangkap sampel di perairan dengan

menggunakan jaring (gillnet).

- Sampel rajungan dipisahkan menurut jenis kelamin dan kelas ukuran

- Memasukan sampel rajungan ke dalam box yang berisi es.

- Membawa sampel rajungan ke laboratorium pengujian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo untuk dilakukan pengukuran lebar karapas dan komposisi makanan dalam lambung rajungan. 2. Lebar Tubuh

Adapun prosedur kerja pengukuran lebar tubuh rajungan adalah sebagai berikut:

- menggunakan jangka sorong dengan ketelitian (0,05 mm)

- Pengukuran lebar tubuh rajungan dimulai dari bagian ujung karapas kiri hingga ujung karapas kanan

- Hasil pengukuran panjang tubuh sampel dicatat

3. Identifikasi Makanan

Prosedur kerja identifikasi jenis makanan pada rajungan adalah sebagai berikut:

(4)

- Kemudian dibuka cangkangnya untuk mengambil isi lambung.

- Selanjutnya isi lambung rajungan dimasukkan ke dalam botol sampel untuk diawetkan dengan menggunakan alkohol 10 %.

- Isi lambung sampel diamati dengan menggunakan mikroskop binokuler

- Identifikasi jenis makanan menggunakan buku identifikasi plankton menurut Yamaji (1984) - Hasil identifikasi makanan rajungan dicatat. Data dari hasil identifikasi komposisi jenis makanan dalam lambung rajungan maka

dilakukan pengolahan data untuk mengetahui besar persen komposisi makanan. Kelompok makanan pilihan pada rajungan dideterminasikan dengan mengunakan persen komposisi setiap bagian makanan yang ditemukan dalam lambung mengikuti persamaan (La Sara, 2001):

% Komposisi kelompok makanan ke-i = 𝑛i

N x 100

…………...…… (1) Keterangan:

ni = Jumlah bobot makanan ke-I dalam lambung N = Jumlah bobot keseluruhan makanan dalam

lambung

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel rajungan di Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan

Hasil

Desa Lakara terletak di Kecamatan Palangga Selatan dengan luas wilayah 2500 Ha. Wilayah desa ini terletak sepanjang pesisir pantai pada posisi 4027’18,07” LS dan 122o19’57,7” BT.

Perairan Lakara dipengaruhi oleh aliran air tawar dari empat sungai pada bagian barat yang mengalir sepanjang tahun. Perairan ini ditumbuhi pohon mangrove dan mempunyai dasar perairan dengan tipe substrat pasir

bercampur dengan lumpur dan ditumbuhi oleh vegetasi lamun. Perairan ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas penambangan nikel. Selain itu, terdapat pembangunan pelabuhan konteiner di sebelah utara desa Lakara. Dampak dari kegiatan tersebut adalah sedimen yang berasal dari daratan masuk ke perairan ini yang menimbulkan pendangkalan cukup luas. Pengaruh sedimen tersebut menyebabkan perairan ini sangat keruh. Penebangan hutan

(5)

mangrove juga terjadi intensif untuk pembangunan pelabuhan kapal pengangkut tanah nikel.

Total sampel rajungan yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring selama penelitian yaitu sebanyak 19 ekor yang kemudian dianalisa kebiasaan makannya. Rajungan yang tertangkap di Perairan Lakara pada kedalaman 20 meter hanya terdapat kelas ukuran dewasa. Untuk ukuran juvenil dan remaja tidak ditemukan pada perairan dalam ini.

Dari seluruh sampel individu rajungan yang diperoleh dari Perairan Lakara

memperlihatkan nilai koefisien determinan yang kuat dan positif antara isi lambung dengan lebar karapas dimana diperoleh nilai R2 = 0,764 (Gambar 2).

Berdasarkan hasil pengamatan isi lambung pada kelas ukuran dewasa dari 19 individu rajungan terdapat empat kelompok makanan yang terdiri dari moluska (bivalvia), daging, plankton, dan MTT (material tidak teridentifikasi).

Gambar 2. Hubungan lebar karapas (cm) dengan bobot total isi lambung rajungan pada alat tangkap jaring (gillnet) di Perairan Lakara

Tabel 2. Komposisi makanan rajungan selama penelitian

Kelompok Jenis Anggota

Plankton Bacillariophyceae Nitzschia sp.

Sagittidea Sagitta sp. Spirotricha Ophistobranchia Tintinnis sp. Cereises sp. Daging Ikan - Moluska Bivalvia -

Material tidak teridentifikasi (MTT) - -

w = 3.221L0.0000 R² = 0,764 N = 30 r =0.87 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 0 5 10 15 20 B er at l am b u n g (g) Lebar karapas (cm)

(6)

Persentase komposisi kelompok makanan yang paling besar terdapat pada kelas ukuran dewasa adalah plankton sebanyak 62,6 %, daging sebesar 26 %, moluska sebesar 2,7 % dan material tidak teridentifikasi sebesar 8,7 % (Gambar 3).

Gambar 3. Persentase komposisi makanan rajungan kelas ukuran dewasa pada alat tangkap jaring (gillnet) di Perairan Lakara.

Persentase komposisi makanan berdasarkan jenis kelamin jantan dan betina kelas ukuran dewasa diketahui kelompok makanan plankton menjadi makanan yang mendominasi di dalam lambung rajungan. Persentase komposisi makanan antara rajungan jantan dan betina pada alat tangkap jaring rajungan kelas ukuran dewasa adalah plankton dengan nilai sebesar 62 % pada jantan dan 62 % pada betina. Daging merupakan kelompok makanan yang mendominasi kedua setelah plankton dengan nilai persentase komposisi 27,3 % untuk jantan dan 24% untuk betina. Setelah daging, material tidak teridentifikasi (MTT) terdapat dengan nilai

persentase sebesar 8,7 % dan dibawah nilai material tidak teridentifikasi (MTT) terdapat kelompok makanan moluska dengan nilai persentase 2,7 % (Gambar 4).

Gambar 4. Persentase komposisi makanan rajungan berdasarkan jenis kelamin kelas ukuran dewasa pada alat tangkap jaring di Perairan Lakara.

Parameter kualitas perairan yang diukur selama penelitian pada perairan Lakara terdiri dari parameter fisika dan kimia perairan. Parameter fisika perairan yang diamati meliputi: suhu dan kedalaman, sedangkan parameter kimia perairan meliputi salinitas.

Hasil pengukuran suhu di perairan Lakara selama penelitian berkisar 29 sampai 31 0C. suhu yang terukur pada penelitian ini adalah suhu air permukaan yang dipengaruhi intensitas matahari dan hasil pengukuran kedalaman selama penelitian ini adalah berkisar 20 meter. Hasil pengukuran salinitas selama penelitian diperoleh nilai berkisar 29 sampai 30 ppt.

Table 3. Rata-Rata Nilai Parameter Kualitas Air di Perairan Lakara

Parameter Nilai Kisaran Rata-rata

Suhu (0C) 29─31 30 Salinitas (ppt) 29─30 29,5 Kedalaman (m) 20 20 62,6 26,0 2,7 8,7 0 10 20 30 40 50 60 70

Plankton Daging Moluska MTT

Pe rs en (% ) Dewasa 62 27,3 1,7 9,1 62 24 6 8 0 10 20 30 40 50 60 70

Plankton Daging Moluska MTT

Pe rs en (% ) Dewasa Jantan Betina

(7)

Pembahasan

Salah satu faktor yang memengaruhi bobot isi lambung yaitu lebar karapas rajungan. Lebar karapas cenderung memengaruhi banyaknya makanan yang terkandung dalam lambung rajungan (Gambar 4). Menurut Hill (1976) dalam La Sara (2001), lebar karapas lebih berperan dibandingkan dengan berat tubuh. Hal serupa juga ditemukan La Sara (2001) pada kepiting bakau (Scylla serrata) di Teluk Lawele, bahwa volume isi lambung akan bertambah seiring dengan pertambahan karapasnya.

Rajungan yang ditangkap di perairan Lakara ditemukan tiga rajungan dalam keadaan pasca molting yang memiliki berat lambung lebih berat dibandingkan dengan rajungan lainnya yang memiliki lebar karapas yang sama. La Sara (2001) dalam penelitiannya di perairan estuary Harvey dan Leschehault, barat daya Australia, menemukan bahwa rajungan yang baru saja selesai molting bobot lambungnya akan lebih berat dibandingkan bobot lambung rajungan yang akan memasuki proses molting.

Rajungan memakan beragam jenis makanan yang dapat dibagi menjadi 4 kategori/kelompok yaitu: plankton, moluska, daging, dan material tidak teridentifikasi (MTT). Hal serupa juga ditemukan La Sara (2001) pada kepiting bakau di Teluk Lawele kepiting bakau memangsa beberapa jenis makanan antara lain moluska, crustacea, tumbuhan air dan material tidak teridentifikasi.

Data jenis-jenis makanan alami dianalisa menggunakan metode persen komposisi. Metode persen komposisi digunakan untuk menjelaskan pereferensi jenis-jenis makanan yang dikonsumsi. Dari keseluruhan individu rajungan yang tertangkap pada perairan Lakara dengan kedalaman 20 meter menggunakan jaring (gillnet) diketahui hanya terdapat kelas ukuran dewasa.

Hal ini disebabkan oleh siklus hidup rajungan dimana saat fase juvenil dan remaja, rajungan hidup di daerah pesisir pantai atau daerah intertidal, dan setelah dewasa rajungan akan ke perairan yang lebih dalam atau biasa disebut dengan laut dalam yang memiliki salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pesisir pantai. Hal ini didukung oleh Effendy dkk., (2006) yang menyatakan bahwa rajungan pada fase juvenil hidup di daerah estuaria, setelah memasuki fase dewasa rajungan bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya.

Plankton menjadi kelompok makanan dengan persentase tertinggi dikarenakan jumlahnya yang lebih banyak dari moluska, daging dan material tidak teridentifikasi. Nikolsky (1963) dalam Waskhitoseno (1994) menyatakan bahwa makanan utama adalah makanan yang dimakan dalam jumlah yang besar. Menurut Beckmen (1962) dalam Halili dkk., (1998) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menentukan suatu organisme akan memakan suatu organisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna makanan, dan selera terhadap makanan tersebut. Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu jenis organisme perairan tergantung macam makanan, kebiasaan makan, suhu air, dan kondisi umum dari organisme tersebut. Efendie (1979) mengemukakan kebiasaan makan dari suatu organisme dapat disesuaikan dengan persediaaan makanan yang berada dalam perairan sehubungan dengan musim yang berlaku.

Kelompok makanan peringkat kedua yang ditemukan dalam lambung rajungan adalah

(8)

daging dengan nilai persentase komposisi 26 %. Hal ini didukung oleh Tuda (2005), setelah menjadi dewasa rajungan memakan daging dan makanan yang telah ditangkap dan dihancurkan oleh capitnya akan segera dimasukkan ke dalam mulut. Rusmadi (2014) yang menyatakan bahwa kepiting rajungan (P. pelagicus) diketahui bahwa makanan dari kepiting ini adalah daging. kelompok makanan daging di temukan adanya segumpalan serat berwarna putih, tulang dan sisik. Daging merupakan kelompok makanan yang ditemukan lebih rendah jumlahnya dari pada plankton. Hal serupa juga ditemukan dalam La Sara (2001) pada S. serrata. Hal ini juga perkuat oleh Patel et al., (1976) dalam La Sara (2001) yang menemukan sisik dan tulangdalam lambung S. serrata sangat sedikit hanya sekitar 5 %. Hal ini juga di dukung oleh Williams (2002) bahwa ikan sangat sedikit dikonsumsi karena S. serrata tidak dapat memangsa organisme yang bergerak cepat.

Kelompok makanan peringkat ketiga berupa material tidak teridentifikasi (MTT). Material tidak teridentifikasi hanya ditemukan dengan nilai persentase komposisi 8,7 %. Kelompok makanan dengan persentase komposisi makanan terendah adalah moluska dengan nilai

sebesar 2,7 %. Hasil analisa data (Gambar 6) menunjukan bahwa persentase komposisi makanan kelompok moluska lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plankton, daging dan material tidak teridentifikasi (MTT). Hal ini menunjukan bahwa kelompok makanan jenis serasah bukan makanan utama bagi rajungan.

Umumnya rajungan yang tertangkap di Perairan Lakara lebih banyak mengkonsumsi makanan yang bergerak lambat, seperti plankton, moluska (gastropoda dan bivalvia). hal ini menunjukan bahwa secara umum rajungan pada perairan Lakara dikategorikan sebagai omnivora dengan kecenderungan terhadap karnivora. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Williams (2002) yang mengemukakan bahwa bentuk dewasa rajungan merupakan karnivora dasar perairan yang dapat memangsa berbagai jenis hewan bentik dan invertebrata yang bergerak lamban.

Dari data yang diperoleh, menunjukan persentase komposisi antara rajungan betina dan rajungan jantan dengan menggunakan alat tangkap jaring (gillnet) tidak terlalu memiliki perbedaan nilai persentase. Persentase komposisi makanan utama kelompok plankton pada kelas ukuran dewasa yang tertangkap adalah 62 % untuk jantan dan 62 % untuk betina.

Tabel 4. Perbandingan komposisi makanan rajungan dibeberapa perairan di Sulawesi Tenggara berdasarkan kelas ukuran.

Lokasi Spesies Makanan Pustaka

Plankton Moluska Daging Ikan MTT

Teluk Lawele, Sulawesi Tenggara S. serrata - 10 % 7,98 % 40 % La Sara, 2001 Perairan Purirano, Sulawei Tenggara P. pelagicus - 40 % 20,21 % 17,32 % Ernawati, 2002 Perairan Lakara, Sulawesi Tenggara

(9)

Untuk makanan pelengkap seperti daging diketahui nilai persentase komposisi pada jantan adalah 27,3 % dan 24 % pada betina, material tidak teridentifikasi (MTT) pada jantan adalah 9,1 % dan 8 % pada bertina serta kelompok makanan terendah adalah moluska dengan nilai persentase komposisi pada jantan 1,7 % dan 6 % pada betina. Makanan utama yang dikonsumsi oleh rajungan jantan maupun betina selama penelitian tidak terjadi perubahan dalam variasi makanan, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sumberdaya makanan rajungan selalu ada di perairan. Hal ini didukung oleh Ila (2014) yang menyatakan bahwa tidak terjadinya perubahan variasi makanan pada suatu organisme baik jantan atau betina dikarenakan ketersediaan makanan organisme tersebut selalu tersedia di perairan.

Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 1986). Kordi (1997) mengemukakan bahwa perubahan suhu lingkungan secra tiba-tiba dapat menimbulkan stres atau bahkan kematian beberapa jenis organisme. Everhart (1953) dalam Kordi (1997) mengemukakan bahwa proses pencernaan makanan yang dilakukan oleh biota laut yang berjalan sangat lambat pada suhu yang rendah, sebaliknya lebuh cepat pada perairan hangat. Kordi (1997) mengemukakan bahwa suhu kelarutan oksigen didalam perairan, ikut pula mempengaruhi kecepatan makan.

Salinitas perairan Lakara yang diukur selama penelitian adalah berkisar 29─30 ppt dengan nilai rata-rata 29,5 ppt. Salinitas di Perairan Lakara masih memungkinkan rajungan untuk dapat hidup dengan baik hal ini di perkuat dengan pernyataan Juwana (1997) yang mengemukakan bahwa rajungan lebih cocok pada

salinitas 30─40 ppt. Salinitas air merupakan parameter penting bagi kelangsungan hidup rajungan di perairan laut. Salinitas juga mengendalikan distribusi gas-gas terlarut dalam air dimana oksigen akan turun dengan meningkatnya salinitas (Nybaken, 1988). Salinitas air sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi tekanan salinitas semakin besar pula tekanan osmotiknya (Kordi, 1997).

Kedalaman air saat penangkapan dilakukan bekisar 20 meter. Banyak rajungan dewasa yang terdapat pada kedalaman ini hal ini dikarenakan rajungan dewasa akan berimigrasi kelaut dalam untuk memijah. Nontji (1993) menyatakan bahwa rajungan dewasa hidup berdiam diri di dasar laut dan sering terlihat berenang dekat permukaan air serta dapat ditemukan kurang dari 65 meter.

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan yaitu: 1. Kelompok makanan yang ditemukan dalam

lambung rajungan terdiri atas plankton, daging, moluska, dan material tidak teridentifikasi (MTT). Kelompok makanan yang paling dominan adalah plankton dan yang paling rendah adalah moluska.

2. Lebar karapas mempunyai hubungan yang kuat terhadap pertambahan bobot isi lambung rajungan.

Daftar Pustaka

Efendie MI. 1979. Metode biologi perikanan . Pustaka Nusatama. Bogor. 112 hal. Ernawati WOU. 2002. Studi Kebiasaan Makanan

P. pelagicus Pada Fase Bulan Baru di

Perairan Pantai Purirano Kota Kendari Sulawesi tenggara. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

(10)

Halili, Yasidi F dan Lawele SA. 1998. Penuntun Praktikum Metode Perhitungan Biologi Perikanan. Laboratorium Unit Budidaya Pertanian Unit Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Halu Oleo. 54 hal. Ila W. 2014. Studi Kebiasaan Makan Ikan

Belanak di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Skripsi. Universitas Halu Oleo. Kendari.

Indra D. 2011. Sekilas Tentang Rajungan Portunu s. http://denny-indra.blogspot. com /2011/10/sekilas-tentang-rajungan-portunus.html. (diakses 2011).

Jafar L. 2011. Perikanan Rajungan di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko dan Sagara) Kabupaten Pangkep. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Juwana S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (P.s

pelagicus, Linn). Oseana, 22 (4) : 1 – 12.

Kordi. M. G. H. 1979. Budidaya Air Payau. Dahara Prize. Semarang. Hal : 110-114. La Sara, Astuti O. 2015. Harvest Control Rule

Rajungan (Portunus pelagicus). Sulawesi Tenggara.

. 2001. Ecology and Fisheries of Mud Crabs (Scylla serrata) in Lawele Bay Southeast Sulawesi, Indonesia. Disertation. University Philippines in The Visayas. 198 p.

Nontji. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Hal :51-53.

_____. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hal.

Rusmadi, Henky Irawan, Falmi Y. 2014. Studi Biologi Kepiting di Perairan Teluk dalam Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.

Tuda MD. 2005. Teknik Pemeliharaan Induk Rajungan (Portunus pelagicus)Matang Gonad Di Balai Budidaya Air Payau Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.

Waskhitoseno G. 1994. Studi Kebiasaan Makan Teripang Holothuridae di Pantai Blebu Lampung Selatan. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. 74 hal. Williams LE. 2002. Fisheries resources.

Department of primary industries. Brisbane. 5 p.

Yamaji I. 1984. Illustrations of the Marine Plankton. Hoikusha. Japan.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel rajungan di Perairan Lakara Kabupaten Konawe Selatan
Gambar 2.  Hubungan lebar karapas (cm) dengan bobot total isi lambung rajungan pada alat tangkap jaring (gillnet) di  Perairan Lakara
Gambar  3.  Persentase  komposisi  makanan    rajungan  kelas  ukuran  dewasa  pada   alat  tangkap  jaring (gillnet) di  Perairan Lakara

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan akad istishna’ di kawasan pengrajin meubel Antang Kota Makassar berperan sebagai salah satu instrumen dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang tidak memilki

Kandungan gizi yang dimiliki ubi jalar sangat melimpah, antara lain karbohidrat, protein, vitamin, β - karoten dan pigmen antosianin yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat berperan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh Permodalan, Likuiditas dan Rentabilitas yang diwujudkan dalam rasio keuangan Capital Adequacy Ratio

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada metode relatif dengan menggunakan perangkap yellow sticky trap pada area anorganik individu serangga yang diperoleh adalah

Penelitian yang dilakukan oleh Zachari Abdallah 2018 dengan judul “Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Return Saham dengan Return On Asset sebagai Variabel Intervening Pada

penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung

Melalui ragam media, citra perempuan ditampilkan dengan berbagai daya tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu, pakaiannya yang modis dan up

Kegiatan ini melibatkan 68 mahasiswa dari berbagai program studi dan dibimbing oleh tiga dosen pembimbing lapangan (DPL). Kegiatan dimulai pada bulan Agustus hingga Desember