• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Self-Compassion pada Lansia di Panti Wreda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Self-Compassion pada Lansia di Panti Wreda."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

v

Abstrak

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion pada Lansia di Panti Wreda. Penelitian dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada lansia di Panti Wreda, Kota Bandung.

Penelitian ini dilakukan kepada 24 lansia. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Purposive Sampling. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dimodifikasi oleh peneliti pada tahun 2016, berdasarkan teori self-compassion dari Kristin Neff. Perhitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dan Spearman Brown, di dalam program Ms.Excel.

Melalui perhitungan tersebut, 19 item valid dengan kisaran rentang rhitung antara 0,4222 – 0,7920 dan koefisien reliabilitas 0,93, reliabilitas tergolong sangat tinggi, berdasarkan kriteria Guilford. Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa 54,2% lansia di Panti Wreda memiliki self-compassion yang tinggi, sementara 46,8% lainnya memiliki self-compassion yang rendah.

(2)

vi

Abstract

The tittle of this research is Descriptive Study about Self-Compassion in Older Adults at Nursing Home. The researched was conducted to determine degree of self-compassion in older adults at Nursing Home.

The study was directed to 24 older adults. The study is using purposive sampling technique. The measure instrument is modifying questionnaire by researcher, based on Kristin Neff’s Self-Compassion Theory. The validity is tested using Pearson Product Meoment Technique and the realibility is tested using Spearman Brown Technique, in Microsoft Excel.

The result of validity in range 0,4222 – 0,7920 of rhitung and the realibility is 0,93, which is very high on Guilford Criteria. The result of this research showed that self-compassion of 54,2% older adults in Nursing Home is high, while the other 46,8% is low. It meant most of the older adults in Nursing Home have high degree of self-compassion.

(3)

ix

DAFTAR ISI

JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR BAGAN xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 8

1.3.1 Maksud Penelitian 8

1.3.2 Tujuan Penelitian 8

1.4 Kegunaan Penelitian 9

1.4.1 Kegunaan Teoretis 9

1.4.2 Kegunaan Praktis 9

(4)

x

1.6 Asumsi 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Self Compassion 20

2.1.1 Pengertian Self-Compassion 20

2.1.2 Komponen Self-Compassion dan Keterkaitan antara Komponennya 22 2.1.3 Self-Comppassion terkait Motivasi dan Kesehatan 25

2.1.4 Keuntungan Memiliki Self-Compassion 26

2.2 Teori Mengenai Hubungan Kognitif, Emosi, dan Kesehatan ……….27

2.3 Teori Perkembangan Masa Usia lanjut 29

2.3.1 Pengertian dan Karakteristik Orang Lanjut Usia ...29

2.3.2 Lansia dan Tempat Tinggal 30

2.3.3 Non-Marital Lifestyle ………31 2.3.4 Lansia dalam Pandangan Masyarakat ………...32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian 33

3.2 Bagan Rancangan Penelitian 33

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 33

3.3.1 Variabel Penelitian 33

3.3.2 Definisi Operasional 34

3.4 Alat Ukur 34

3.4.1 Alat Ukur Self Compassion 35

3.4.2 Data Sosiodemografis 36

(5)

xi

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur 36

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur 37

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 38

3.5.1 Populasi Sasaran 38

3.5.2 Karakteristik Populasi 38

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel 38

3.6 Teknik Analisis Data 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden………40

4.2 Hasil Penelitian……….43

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ………...43

BAB V HASIL DAN SARAN 5.1 Simpulan dan Saran ………..48

5.2 Saran ……….49

5.2.1. Saran Teoritis ………..49

5.2.2. Saran Praktis ………...49

DAFTAR PUSTAKA 50

DAFTAR RUJUKAN 52

(6)

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Bagan Kerangka Pikir 18

(7)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Indikator Alat Ukur Self-Compassion 35

Tabel 4. 1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Responden 40 Tabel 4.2 : Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden 40 Tabel 4. 3 : Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa 41 Tabel 4. 4 : Karakteristik Responden Berdasarkan Ada atau Tidak Adanya Anak 41 Tabel 4. 5 : Karakteristik Responden Berdasarkan Ada atau Tidak Adanya Penyakit

Kronis yang Diderita 41

(8)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I : Kuesioner Self-Compassion

LAMPIRAN II : Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion

LAMPIRAN III : Hasil Validitas dan Reliabilitas Try-Out Alat Ukur Self-Compassion LAMPIRAN IV : Data Hasil Pengisian Kuesioner Self-Compassion

LAMPIRAN V : Tabel Korelasi Chi-Square antara Self-Compassion dengan Data

Sosiodemografis

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) ketika telah berumur 65 tahun ke atas (Papalia, 2007). Ketika individu memasuki tahap lansia, terjadi perubahan dalam fungsi psikis, seperti menurunnya daya ingat dan kemampuan bersosialisasi (Papalia, 2007). Selain itu, lansia juga menurun dalam fungsi fisiologis. Menurunnya fungsi fisiologis membuat lansia tidak dapat bergerak secepat ketika masih muda, kemampuan sensori seperti mencium bebauan, melihat, dan mendengar pun menurun. Dalam menerima informasi, lansia tidak dapat secepat ketika masih muda. Di sisi lain, nutrisi yang masuk dalam tubuh lansia mulai berkurang karena jika terlalu banyak yang dimakan, akan berakibat tidak baik juga bagi kesehatannya (Papalia, 2007).

Seiring dengan menurunnya fungsi fisiologis, ketahanan tubuh lansia pun semakin menurun, sehingga dapat dengan mudah terserang penyakit. Menurunnya kemampuan fisik ini membuat lansia perlu dibantu oranng lain dalam melakukan berbagai kegiatan, bahkan kegiatan yang biasanya mampu dilakukan sendiri. Perasaan membebani orang lain ini dapat mengakibatkan stress pada lansia. Lansia rentan terhadap stress, khususnya lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatik kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan, serta lansia dengan isolasi sosial (http://smallcrab.com/lanjut-usia/846-stress-pada-lansia).

(10)

mendalam dengan keluarga maupun kerabat dekat (sahabat). Relasi dengan keluarga dan kerabat dekat merupakan sumber dukungan sosial yang sangat penting bagi lansia (Papalia, 2007).

Dalam kenyataannya, tidak semua lansia bisa berada dekat dengan keluarga maupun kerabat dekat, karena ada pula lansia yang tinggal di Panti Wreda. Panti Wreda adalah rumah tempat mengurus dan merawat orang jompo, dan orang jompo sendiri adalah orang yang sudah tua dan lemah fisiknya (KBBI online), yaitu lansia. Lansia di Panti Wreda harus menghadapi kenyataan dirinya hidup terpisah dari keluarga, sekalipun ada juga di antara mereka yang memutuskan sendiri untuk tinggal disana.

‘Menitipkan’ lansia di Panti Wreda agaknya masih berkonotasi negatif karena

masyarakat Indonesia mengutamakan nilai kekeluargaan. Apalagi dengan adanya anggapan bahwa Panti Wreda merupakan tempat yang ’kumuh’, tidak manusiawi, dan minim fasilitas (pesona.co.id, 20 November 2012). Padahal dengan tinggalnya lansia di Panti Wreda, keluarganya perlu membiayai lansia. Selain itu ada beberapa Panti Wreda yang sangat layak huni dan dikelola dengan professional (pesona.co.id, 20 November 2012), diantaranya adalah Panti Wreda “X”, yang menjadi salah satu tempat tinggal pengambilan data penelitian ini.

Ruangan di Panti Wreda “X” memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan yang cukup,

lantai Panti Wreda “X” disapu dan dipel setiap pagi dan sore, sehingga Panti Wreda “X”

terlihat bersih. Di sana juga terdapat taman kecil, sehingga Panti Wreda “X” terlihat asri. Selain bangunan tempat tinggal yang nyaman, Panti Wreda “X” dilengkapi berbagai fasilitas penunjang kesehatan fasilitas penunjang yang dimaksudkan di sini adalah Rumah Sakit. Panti Wreda “X” berada di lokasi yang sama dengan rumah sakit, sehingga jika ada lansia yang memerlukan layanan kesehatan, dapat segera dilayani.

(11)

3

mendengarkan siaran rohani di radio. Program kegiatan tersebut memungkinkan jasmani dan rohani lansia terbina.

Menu makanan yang diberikan pun mengikuti pedoman 4 sehat 5 sempurna, dengan rasa yang disesuaikan untuk menjaga kesehatan lansia. Lansia memiliki jadwal makan sehari 3 kali, beserta snack sebanyak 2x di waktu-waktu tertentu. Lansia diijinkan menonton televisi di ruangan yang disediakan, meskipun kebanyakan tidak menggunakan fasilitas tersebut karena lebih memilih untuk melakukan kegiatan lain.

Lansia yang masih sehat diperbolehkan pergi ke luar Panti Wreda seorang diri atau bersama teman, baik dari dalam atau luar Panti, atau sanak keluarganya. Sementara yang sudah ringkih diijinkan meninggalkan Panti Wreda jika ada yang menemani, baik pergi dengan lansia yang masih sehat maupun dengan anggota keluarga yang menjemput untuk mengajaknya jalan-jalan.

Fasilitas kesehatan dan hiburan serta program kegiatan yang telah disediakan seyogyanya membuat lansia merasa nyaman karena ada yang memerhatikan lansia dari segi jasmani sampai rohaninya. Selain itu, lansia juga bertemu dengan lansia lainnya, yang juga mengalami penurunan dan tidak tinggal dengan keluarganya. Dengan adanya teman sesama lansia ini, seharusnya membuat lansia tidak merasa sendirian, sekalipun ada di antara para lansia yang jarang, atau hampir tidak pernah dijenguk oleh keluarganya.

Dalam penelitian ini melibatkan 6 Panti Wreda, dengan karakteristik yang kurang-lebih sama. Di Panti Wreda tersebut terdapat 24 orang lansia. Hal ini dikarenakan kondisi lansia yang beragam. Ada lansia yang sehat dan mampu berkomunikasi. Namun demikian, ada pula lansia yang memiliki penyakit yang mengharuskannya menjalani bedrest, sehingga tidak dapat bangun dari tempat tidur. Selain itu, ada juga lansia yang mengakami gangguan dalam berkomunikasi, mengingat, dan memusatkan perhatian dalam jangka waktu lama.

(12)

menerima keadaan bahwa dirinya telah mengalami banyak kemunduran dan tidak lagi tinggal bersama keluarga. Bila keadaan ini dipikirkan terus-menerus, lansia dapat merasakan efek negatifnya seperti sakit kepala, sakit kaki, atau teknan darah yang naik. Disisi lain, ada 40% lansia yang dapat menerima kondisi dan situasinya saat ini, sekalipun terkadang masih teringat akan keluarga ataupun pengalaman tidak menyenangkan, namun lansia yang menerima lebih jarang merasakan efek negatifnya.

Mengenai alasan lansia tinggal di Panti Wreda, dari 20 orang lansia yang diwawancara, sebanyak 30% tinggal di Panti Wreda atas keinginan sendiri dan 70% karena keinginan pihak lain, misalnya karena dikehendaki demikian oleh keluarga. Sebanyak 85% lansia dirawat di Panti Wreda karena tidak ada sanak keluarga yang mengurus lansia secara efisien, untuk menghindari kecelakaan, seperti jatuh, terpeleset, maupun kecelakaan lainnya. Sebanyak 25% lansia menikah, sementara 75% tidak menikah. Sebanyak 60% dari 25% lansia yang menikah, tidak memiliki keturunan, sementara 40% lainnya memiliki keturunan. Lansia yang memiliki keturunan dititipkan di Panti Wreda karena ketidaksanggupan pihak keluarga, dalam hal ini anak, untuk mengurus lansia sehubungan dengan penyakit yang diderita oleh lansia, seperti pikun, stroke, dan rabun.

(13)

5

pasangan hidup. Sementara 35% lansia lainnya merasa bersyukur tinggal di Panti Wreda. Alasan lansia mensyukuri dirinya yang tinggal di Panti Wreda adalah karena ada yang mengurus kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, kebersihan tubuh dan ruangan, serta kesehatan lansia diperhatikan oleh pengurus Panti Wreda.

Saat ingatan akan pengalaman negatif seperti kekecewaan, penyesalan, dan perasaan tidak mampu datang, diantara lansia ada yang mengalihkan pikiran tersebut dengan membaca, berdoa, maupun tidur. Namun ada pula lansia yang tetap terpaku dengan pemikirannya itu, sehingga kondisi emosi lansia menjadi terganggu. Ada yang tiba-tiba menangis, sakit kepala, bahkan marah-marah, karena jauh dari anggota keluarga maupun kerabat, tidak ada yang bisa lansia ajak bicara. Pengurus Panti Wreda dan pendamping lansia memiliki kesibukannya masing-masing, sementara teman sesama lansia terkadang kurang dapat memahami, karena ketika pikiran negatif muncul, nada bicara lansia meninggi dan terkadang hal tersebut membuat salah paham di antara lansia. Keadaan tersebut membuat emosi negatif lansia semakin menumpuk

Kecenderungan lansia untuk merasakan emosi negatif dapat berkurang jika lansia memiliki self-compassion (Neff, Rude, Kirkpatrick, 2007). Self-compassion adalah keterbukaan hati terhadap aspek negatif, seperti penderitaan, kekurangan diri, dan pengalaman tidak mengenakan yang dialami individu, tanpa melebih-lebihkan dan menyadari bahwa aspek negatif tersebut dimiliki oleh semua orang (Neff, 2011).

Ketika seseorang mengalami penderitaan, maka cenderung menyalahkan orang lain, maupun diri sendiri (Neff, 2011). Sama halnya dengan lansia. Lansia menyalahkan dirinya, menyalahkan penyakit yang diderita, maupun keluarga yang ‘menitipkan’ lansia di Panti Wreda. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu komponen yang menyusun Self-Compassion, yaitu self-kindness, yang berarti kesediaan seseorang untuk tetap berbaik hati

(14)

menyalahkan diri sendiri. Kebalikan dari self-kindness adalah self-critism and self-judgement. Contoh dari self-critism dan self-judgement yaitu menyalahkan diri dan memaksakan diri melakukan hal-hal yang berbahaya, seperti berjalan dengan cepat.

Komponen lain yang terdapat dalam self-compassion, yaitu mindfulness, yang artinya tidak melebih-lebihkan kekurangan/pengalaman buruk yang dimiliki oleh diri seseorang. Hal ini ditunjukkan dengan tidak larut dalam pemikiran mengenai kekurangan/pengalaman buruk yang dimiliki seseorang, tidak meminta untuk terlalu dimaklumi atau malah mengabaikan perasaan tersebut. Lansia mampu memikirkan kekurangannya, ketidakberdayaannya, sekaligus mengambil sisi positif dari penderitaan yang dialami, seperti sekalipun mereka

‘dititipkan’ di Panti Wreda, dengan penyakit yang dimiliki, namun masih bersyukur karena

ada yang mengurus dan menyediakan kebutuhannya. Kebalikan dari mindfulness adalah over-identification, yaitu melebih-lebihkan apa yang menjadi kekurangan maupun pengalaman

buruk yang dialami, yang ditunjukkan dengan terus menceritakan dengan penuh emosi bagaimana buruknya keluarga lansia memerlakukan dirinya, serta memikirkan hal-hal tersebut sepanjang hari, sehingga tekanan darah menjadi tinggi dan lansia mengalami physical pain, di bagian kaki maupun persendian.

Komponen self-compassion berikutnya adalah common-humanity, yang artinya kemampuan seseorang untuk memahami bahwa penderitaan atau ketidaksempurnaan atau pengalaman buruk yang dimilikinya dimiliki juga oleh orang lain. Semua manusia yang hidup di dunia ini tidak ada yang sempurna. Semuanya pasti memiliki kekurangan. Kesediaan ini memungkinkan seseorang untuk tidak terpuruk dalam pemikiran bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia ini. Kebalikan dari common-humanity adalah isolation, yaitu, merasa diri satu-satunya yang merasakan penderitaan semacam itu. Lansia

(15)

7

Ketiga komponen ini penting bagi lansia dalam menjalani masa tuanya agar mampu self-compassionate, sehingga pikiran negatif yang membuat lansia menjadi sedih, tidak sabar,

mengomel, sakit kepala, dan efek lainnya dapat berkurang. Ketiga komponen pembentuk self-compassion tersebut dapat muncul jika ditunjang dengan faktor-faktor individu, seperti

kepribadian, jenis kelamin, budaya, dan pola asuh.

Self-Compassion memungkinkan seseorang untuk melihat sisi lain dari permasalahan

yang terjadi. Dengan self-compassion, seseorang mampu untuk berbaik hati pada dirinya sendiri, tanpa ada kritik tajam terhadap diri, namun bukan berarti terlalu memanjakan diri. Self-compassion juga memungkinkan seseorang untuk melihat secara seimbang apa yang

telah ia alami, tanpa melebih-lebihkan perasaan/pikirannya. Selain itu, dengan adanya self-compassion seseorang mampu melihat bahwa penderitaan/ketidakberuntungan yang ia alami

tidak hanya dirasakan oleh dirinya, bahwa ketidakberuntungan tersebut juga dirasakan oleh orang lain dan kehidupan manusia tidak ada yang sempurna (Neff, 2011). Dengan adanya self-compassion dalam diri lansia, maka lansia dapat merasakan kehidupan yang lebih baik.

Melalui penuturan di atas, telah dijelaskan betapa pentingnya self-compassion dalam diri lansia. Fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion pada lansia di Panti Wreda dan mendeskripsikan temuan-temuannya.

1.2 Identifikasi Masalah

(16)

1.3 Maksud danTujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memeroleh data dan gambaran mengenai self-compassion pada lansia di Panti Wreda.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tinggi-rendahnya self-compassion lansia di Panti Wreda dan kaitannya dengan faktor sosiodemografis.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1) Memberikan informasi tentang self-compassion pada lansia yang nantinya berguna bagi pengembangan positive-psychology.

2) Memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai self-compassion terhadap lansia..

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Memberikan informasi melalui psikoedukasi kepada pengurus dan pendamping Panti Wreda, mengenai self-compassion. Dengan diberikannya informasi ini, diharapkan pengurus Panti Wreda bisa lebih memahami lansia.

1.5 Kerangka Pikir

(17)

9

Dalam hal ini, orang-orang lanjut usia, yang dikatakan Papalia memiliki karakteristik salah satunya telah berumur 65 tahun atau lebih, biasanya dijadikan sebagai objek compassion oleh orang-orang yang lebih muda. Hal ini dikarenakan lansia memiliki

karakteristik lainnya, seperti: perubahan dalam kemampuan fisik, misalnya menurunnya daya tahan tubuh, adanya masalah kesehatan, penurunan kemampuan sensori, motorik organ-organ, dan sistem saraf, serta psikis, seperti penurunan daya ingat, kecerdasan, dan kemampuan bersosialisasi. Setiap kekurangan yang lansia miliki dapat menjadi masalah bagi fisik maupun psikis mereka. Misalnya, ketika lansia kurang bersosialisasi, mereka tidak memiliki teman bicara. Lansia dapat merasa kesepian, akibatnya lansia larut dalam pemikirannya, khususnya pemikiran negatif. Pikiran negatif dapat membuat lansia sakit kepala, sakit kaki, sampai tekanan darah tinggi.

Kondisi fisik yang dialami lansia dapat berkaitan dengan masalah emosi, karena emosi melibatkan reaksi dalam tubuh saat menghadapi situasi tertentu (J.P Du Preez, dalam Abdul Syukur, 2011). Emosi dapat berakibat positif maupun negatif, tergantung emosi seperti apa yang dirasakan oleh lansia. Emosi positif, seperti keyakinan, harapan, dan antusiasme dapat menghasilkan kreativitas, menangkal stres, membuat lansia menjadi mandiri, dan mau berbagi, sedangkan emosi negatif seperti kebencian, kepahitan, ketakutan, kesedihan, dan rasa bersalah berdampak buruk bagi yang mengalaminya. Emosi negatif dapat mengganggu perhatian seseorang dalam memproses informasi, dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan, bahkan dapat mengakibatkan penyakit serius, seperti penyakit jantung dan kanker. Emosi negatif dapat muncul dari pengalaman masa lalu maupun suatu kejadian yang dipersepsi buruk (Abdul Syukur, 2011).

(18)

Dalam konteks kehidupan nyata, emosi negatif merupakan hal yang lumrah dirasakan seseorang ketika mengalami hal yang tidak menyenangkan. Emosi negatif dapat menjadi

‘emosi yang sehat’, jika diasosiasikan dengan serangkaian perilaku dan cara berpikir yang

berbeda dengan masalah emosi, misal (Dryden, 2012). Emosi negatif dapat menjadi emosi negatif lebih sehat jika dikelola dengan benar, misalnya emosi marah dapat menjadikan seseorang bersemangat dalam bekerja, namun demikian, jika tidak dikelola dengan benar, maka akan terjadi gangguan emosi (Abdul Syukur, 2011)

Gangguan emosi berasal dari irrational belief (Dryden, 2012). Irrational beliefs dapat berupa pemikiran bahwa lansia harus memenuhi standar tertentu dan jika tidak memenuhi standar tersebut, maka lansia menganggap dirinya gagal, serta tidak adanya toleransi ketika berada dalam situasi yang tidak nyaman (Dryden, 2012).

Lansia di Panti Wreda ‘membawa’ pengalaman hidup dan belief yang dimilikinya ke kehidupan masa tuanya di Panti Wreda. Pengalaman yang lansia alami tidak selalu semuanya dipersepsi sebagai pengalaman yang menyenangkan oleh lansia. Terkadang, ada juga pengalaman yang dipersepsi sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Pengalaman tersebut menimbulkan emosi tertentu pada lansia ketika mengingat maupun mengalami kejadian serupa.

Jika pengalaman tersebut dipersepsi menyenangkan, maka akan menghasilkan emosi yang positif, yang dapat membuat lansia lebih kuat menghadapi kehidupan, mandiri, dan memiliki pengharapan dalam menghadapi masa tuanya. Namun sebaliknya, jika suatu pengalaman dipersepsi negatif, maka akan menghasilkan emosi yang negatif pula, yang jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat menghambat lansia yang dalam menerima informasi baru, bahkan mengakibatkan kondisi fisik lansia menjadi menurun.

(19)

11

terjadi (misalnya: permasalahan yang sedang dihadapi, terkait dirinya yang tinggal di Panti Wreda), ingatan akan peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu (misalnya: rasa bersalah pada orang tuanya atau merasa telah membuat pilihan yang salah di masa lalu), peristiwa yang diantisipasi (misalnya: rasa takut akan kematian), bahkan kondisi fisik yang terbatas (misalnya: tidak dapat menjahit karena pengelihatan sudah menurun). Terhadap peristiwa tersebut, lansia memiliki beliefs. Beliefs ini merupakan penilaian dan hasil evaluasi seseorang terhadap interpretasi, dugaan, dan kesimpulan berdasarkan apa yang nyata terjadi. Belief terhadap activating events menentukan bagaimana pemikiran, emosi, dan perilaku seseorang terhadap Activating events tersebut.

Lansia di Panti Wreda yang memiliki rational belief, menurut Dryden (2012) memiliki ciri pemikiran yang fleksibel dan tidak ekstrim, sekalipun di awal lansia menganggap dirinya ‘dibuang’ oleh keluarganya, namun pemikiran tersebut dapat berubah

sehingga pada akhirnya lansia dapat menolerir apa yang sudah terjadi pada dirinya. Sebaliknya, lansia yang memiliki irrational belief, yang menurut Dryden (2012) memiliki ciri kaku dan sulit ditolerir, dalam situasi yang sama, yaitu tinggal di Panti Wreda dan pada awalnya merasa diri ‘dibuang’ oleh keluarga, pemikirannya tidak akan pernah berubah,

karena belief yang dimilikinya kaku. Maka dari itu, lansia dengan irrational belief akan lebih sulit menerima dirinya tinggal di Panti Wreda.

Irrational belief dapat mengakibatkan gangguan emosi (Bernard, 1985). Gangguan

emosi yang dialami lansia dapat berakibat buruk bagi kesehatan, karena emosi berkaitan dengan respon fisik. Kondisi fisik lansia dapat menurun tatkala emosinya terganggu. Terganggunya emosi juga dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Gangguan emosi tersebut tampak dalam bentuk kecemasan dan depresi (Abdul Syukur, 2012). Namun demikian, emosi negatif bukanlah hal yang tidak dapat diubah.

(20)

dibandingkan yang tidak compassionate, sehingga dapat dikatakan bahwa self-compassion adalah faktor utama yang melindungi dari kecemasan dan depresi. Orang yang

self-compassionate juga memiliki emotional intelligence yang lebih tinggi (Neff, 2011),

dengan kata lain, lansia yang memiliki self-compassion tinggi lebih mampu untuk menjaga keseimbangan emosinya ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu, self-compassion juga menjaga agar irrational beliefs yang dimiliki seseorang tidak

membuatnya depresi (Podina, Jucan, dan David, 2015).

Self-Compassion, menurut Neff (2011), adalah keterbukaan hati terhadap aspek

negatif dan pengalaman yang dialami individu, tanpa melebih-lebihkan dan menyadari bahwa aspek negatif tersebut dimiliki oleh semua orang. Aspek negatif yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah kekurangan diri, kelemahan diri, kesalahan yang pernah dilakukan, dan pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan, memalukan, dan tidak diinginkan untuk terjadi.

Self-compassion tersusun dari tiga komponen yang saling berkaitan satu sama lain.

Lansia yang memiliki ketiganya dikatakan memiliki self-compassion. Jika lansia tidak memiliki salah satunya, maka lansia tidak dapat dikatakan memiliki self-compassion.

Self-kindness merupakan cara lansia dalam berbaik hati kepada dirinya sendiri.

Berbaik hati yang dimaksud di sini misalnya, ketika lansia mengalami penyakit menahun atau teringat akan pengalaman buruk yang dialaminya, lansia tetap berlapang dada menerima kenyataan tersebut secara objektif, tanpa melontarkan kritik maupun menyalahkan diri secara berlebihan terhadap dirinya. Ketika lansia tidak mampu untuk self-kindness, maka lansia jatuh ke dalam criticism and judgement, yang merupakan kebalikan dari self-kindness. Dalam Self-criticism and self-judgement, lansia memandang negatif serta terus

(21)

13

telah dikatakan sebelumnya, depresi dan cemas merupakan salah satu bentuk emosi negatif yang dapat dialami oleh seseorang, dalam hal ini lansia.

Common-humanity, yang merupakan kesadaran lansia bahwa kekurangan maupun kelemahan dirinya merupakan hal yang dirasakan juga oleh orang lain, bahwa setiap orang memiliki kelemahannya sendiri dan hal tersebut merupakan hal yang wajar dialami semua orang. Jika lansia tidak memiliki common-humanity, maka lansia jatuh ke dalam isolation, yang adalah kebalikannya. Isolation merupakan keadaan di mana lansia merasa terasing dari orang lain karena terpaku dengan kekurangan maupun kelemahannya, Lansia merasa sendirian dalam menghadapi sisa hidupnya dengan segala kekurangan maupun kelemahan yang ia miliki. Lansia merasa hanya dirinyalah yang memiliki kekurangan dan kelemahan tersebut, sementara orang lain tidak.

Komponen berikutnya adalah mindfulness, yang berarti kesadaran lansia akan kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya tanpa melebih-lebihkannya. Lansia tidak terpaku memikirkan kekurangan maupun kelemahannya dan tidak membesar-besarkannya. Kebalikan dari mindfulness adalah over-identification, dimana lansia membesar-besarkan kekurangan atau kelemahan dirinya.

Menurut Neff (2011), seseorang lebih peka terhadap informasi negatif dibandingkan informasi positif. Sekali pikiran lansia terhubung dengan informasi negatif, maka, akan ada kecenderungan untuk terpaku pada pemikiran akan informasi tersebut. Terpaku pada peristiwa yang tidak menyenangkan di masa lalu dapat membuat seseorang depresi, sementara terpaku pada peristiwa tidak menyenangkan yang diperkirakan akan terjadi dapat membuat seseorang menjadi cemas.

(22)

dan emosi, bukan kenyataan. Cara agar lansia dapat mindful adalah dengan menyadari emosi negatif yang sedang dialami.

Curry & Barnard (2011) menjelaskan kaitan antara ketiga komponen self-compassion yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Self-kindness akan membantu berkembangnya common humanity dan mindfulness. Jika lansia peduli, memahami dan sabar pada dirinya atas ketidaksempurnaan dan kegagalan (self-kindness), maka rasa malu dan menarik diri dari orang lain yang berlebihan akibat pengalaman negatif cenderung akan berkurang. Dengan adanya self-kindness, lansia akan dapat tetap terhubung dengan orang lain, seperti berbagi mengenai perjuangan mereka dalam menghadapi kegagalan, atau dapat mengamati bahwa orang lain memiliki perjuangan yang sama dalam menghadapi kegagalan dan kekurangannya (common humanity). Self-kindness juga akan mengembangkan mindfulness. Self-kindness membuat lansia untuk tidak terpaku pada semua

keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya akibat dari kesalahan yang telah diperbuat (mindfulness). (Green-berg, Watson, & Goldman, 1998).

Common humanity akan mengembangkan komponen self-kindness dan mindfulness.

Lansia yang merasa bahwa kegagalan dan kesalahan merupakan suatu kejadian yang pasti dialami oleh semua orang (common humanity), cenderung tidak akan menghakimi dirinya secara berlebihan dan lebih menyadari bahwa ketidaksempurnaan dan kegagalan adalah hal yang manusiawi. Lansia dapat menyadari ketika orang lain mengalami kegagalan mereka tidak akan mengkritik orang tersebut melainkan menghibur mereka dengan memberikan perhatian, kelembutan dan pemahaman atas kegagalan yang dialami. Dengan demikian, lansia juga menyadari bahwa mereka dapat melakukan hal yang sama kepada dirinya sendirinya saat mengalami kegagalan, bukan terus menerus mengkritik diri secara berlebihan (self-kindness). Jika lansia mengkritik diri secara wajar atas kegagalan yang dialaminya

(self-kindness), maka kegagalan akan diterima individu sebagai suatu ancaman yang tidak

(23)

15

Ketiga, mindfulness akan mengembangkan self-kindness dan common humanity. Saat lansia melihat kesalahan atau kegagalan/kelemahan yang dialami secara apa adanya (mindfulness), lansia akan menghindari pemberian kritik yang berlebihan pada dirinya

(self-kindness) dan akan menyadari bahwa semua orang juga pernah mengalami kegagalan atu

melakukan kesalahan (common humanity). Jika lansia melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi atau over-identification, maka hal ini akan membuat lansia memiliki perspektif yang sempit bahwa hanya mereka yang mengalami kegagalan dan membuat mereka menarik diri dari orang lain (isolation).

Ketiga komponen di atas memiliki derajat interkorelasi yang tinggi dan self-compassion memerlukan ketiga komponen tersebut, Satu komponen berhubungan dengan

komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi. Self-compassion dari seorang lansia dapat dikatakan tinggi apabila ketiga komponen tersebut tinggi. Apabila salah satu atau dua ataupun ketiga komponen tersebut rendah, maka self-compassion lansia sosial dikategorikan rendah.

Lansia di Panti Wreda yang memiliki derajat self-compassion tinggi memiliki kecenderungan untuk dapat memaklumi kondisi dirinya saat ini, tidak terpaku pada pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, maupun yang diantisipasi, serta mau saling membantu dengan orang lain, karena menyadari bahwa yang mengalami kesulitan tidak hanya dirinya, tetapi orang lain juga, sedangkan lansia di Panti Wreda yang memiliki derajat self-compassion rendah memiliki kecenderungan untuk terpaku pada pemikiran negatif,

memberi kritik dan penilaian negative terhadap diri, dan merasa sendiri dalam menghadapi masa tuanya.

(24)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Rendah Lansia di Panti

Wreda Self-Compassion

Tinggi Komponen:

Self-Kindness

Common Humanity Mindfulness

- Rational belief

(25)

17

1.6 Asumsi

1) Gambaran Self-Compassion pada lansia di Panti Wreda berbeda-beda, tergantung komposisi setiap komponen penyusunnya. Jika lansia di Panti Wreda memiliki memiliki derajat kindness, mindfulness, dan common humanity yang tinggi, maka self-compassionnya tinggi juga.

(26)

48

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai self-compassion terhadap 24 lansia di Panti Wreda, Kota Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

a) Lansia yang memiliki self-compassion tinggi lebih banyak dibandingkan dengan lansia yang memiliki self-compassion rendah. Artinya lebih banyak lansia yang mampu memaklumi dirinya, dengan segala kelemahan yang dimiliki, serta situasi yang saat ini sedang dihadapi, tanpa mengritik diri secara berlebihan, mampu menyeimbangkan pikiran dan tidak terpaku pada kelemahan diri maupun kesalahan di masa lalu, serta menyadari bahwa lansia tidak sendiri dalam menghadapi segala persoalan di masa tuauanya.

b) Komponen self-compassion yang paling banyak menunjukkan derajat tinggi adalah common humanity, yaitu sebanyak 91,7%, artinya, sebagian besar lansia yang tinggal

di Panti Wreda mampu untuk menyadari bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang mengalami kesulitan dan permasalahan, sebagai lansia, khususnya yang tinggal di Panti Wreda.

c) Lansia di Panti Werda yang memiliki anak paling banyak memiliki self-compassion dan ketiga komponennya dalam derajat tinggi. Artinya, dukungan sosial, khususnya yang didapat dari anak, memiliki peranan penting bagi lansia untuk dapat self-compassionate.

(27)

49

Universitas Kristen Maranatha dapat membuat diri lansia merasa dikasihi, sehingga lansia lebih mampu berbaik hati dirinya sendiri. Bertemu dengan keluarga secara langsung dapat membuat lansia lebih menyadari, bahwa dalam menjalani masa tuanya, lansia tidak sendirian, karena masih ada keluarga yang menemuinya secara rutin serta ada pula teman-teman yang memiliki kesulitan yang kurang lebih sama, sebagai lansia.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

1) Disarankan bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang positive psychology, untuk menambah penelitian yang berfokus pada subjek lansia.

2) Peneliti lain dengan ukuran sampel lebih sedikit, disarankan menggunakan metode wawancara dalam menjaring data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion, agar memperoleh data yang lebih mendalam.

5.2.2. Saran Praktis

1) Bagi lansia di Panti Wreda yang memiliki self-compassion rendah disarankan untuk dapat lebih banyak merespon keadaan dirinya secara seimbang, tanpa membesar-besarkan, maupun menyangkal situasi yang sedang dialami.

(28)

DI PANTI WREDA

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

DEVI MONIKA PERMATASARI NRP: 0830146

Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha

Bandung

(29)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

2376/SN/F.Psi/UKM/POS/2016

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI ORIENTASI SELF-COMPASSION PADA LANSIA DI PANTI WREDA

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi CD-ROM Laporan Penelitian sama dengan hasil revisi akhir

Menyetujui, Bandung 17 Juni 2016

Pembimbing I

Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog Devi Monika Permatasari

NIK: 310031 0830146

Menyetujui, Menyetujui,

Pembimbing II Ketua Program S1

Lisa Imelia, M.Psi., Psikolog Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog

NIK: 320058 NIK: 310095

Mengetahui, Dekan Fakultas Psikologi

(30)

iii Dengan ini, saya, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Devi Monika Permatasari

NRP : 0830146 Fakultas : Psikologi

Menyatakan bahwa laporan penelitian ini adalah benar dan merupakan hasli karya saya sendiri dan bukan duplikasi orang lain.

Apabila pada masa mendatang diketahui bahwa pernyataan ini tidak benar adanya, saya bersedia menerima sanksi yang diberikan dengan segala konsekuensinya.

Demikianlah pernyataan ini saya buat

Bandung, Juni 2016

(31)

iv

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Devi Monika Permatasari NRP : 0830146

Fakultas : Psikologi Dengan ini menyatakan:

1) Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Kristen Maranatha Hak Bebas Royalti non-eksklusif (Non-Exclusive Royality-Fee Right) atas laporan penelitian saya yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Lansia di Panti Wreda”.

2) Universitas Kristen Maranatha berhak untuk menyimpan, mengalihmediakan/ mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

3) Saya bersedia menjamin untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Universitas Kristen Maranatha, Bandung, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung, Juni 2016 Yang Menyatakan

(32)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti sanggup menyelesaikan skripsi ini. Anugerah-Nyalah yang menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi peneliti menghadapi segala tentangan selama mengerjakan usulan penelitian ini. Adapun usulan penelitian ini berjdul “Studi Deskriptif mengenai Self-Compassion pada Lansia di Panti Wreda. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan untuk

mendapatkan gelar Sarjana Psikologi dan diharapkan dapat membantu responden penelitian di masa yang akan datang.

Berbagai kendala yang dihadapi oleh peneliti dapat dilalui berkat dukungan dari berbagai pihak. Karena itulah, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung.

2. Lie Fun Fun, M.Psi., Psikolog., selaku ketua program studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung.

3. Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog., selaku dosen pembimbing pertama, yang memberikan masukan, arahan, dan dukungan kepada peneliti.

4. Lisa Imelia, M.Psi, Psikolog., selaku dosen pembimbing pendamping, yang memberikan masukan, arahan, dan dukungan kepada peneliti.

5. Panti Wreda Nazaret, Cikutra, dan Wisma Lansia J.S. Nasution, Bandung, pengurus maupun lansia, yang bersedia menerima peneliti untuk melakukan pengambilan data. 6. Panti Wreda Mardi Waluya, Sukabumi, pengurus maupun lansia, yang bersedia

(33)

viii

7. Seluruh staf TU Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung, yang telah membantu penyelesaian administrasi peneliti selama melakukan penelitian

8. Seluruh karyawan perpustakaan yang telah membantu menyediakan buku-buku referensi demi kelancaran pengerjaan penelitian ini.

9. Asep Saepudin (ayah), Sri Rochyati (ibu), Elly Maryati (bibi), Djeomilah Sairoen (nenek), Mulyadi (kakek), dan keluarga besar Paulus Sairoen, yang telah memberikan bantuan materi, pinjaman buku, dan mengingatkan peneliti untuk mengerjakan penelitian ini.

10. Heda Kalenia, Widy Kehoe, Nining Ayu Sartika, Wisnu Prayoga, Dippunan Novianty, Christina Ayu, Gladys Marcella Pilat, Adeline Juliana, dan Agnes Santoso, yang membantu peneliti dalam mengerjakan skripsi, sekaligus teman diskusi ketika peneliti kurang memahami cara mengerjakan bagian tertentu dalam skripsi ini

11. Ryan Hermawan, Rafdlal S. Bakrie, Raeza Noorhafina, Sani Budiman Suryadibrata, Rajasa Rahaditya, dan Yuvencius Purnama, yang telah membantu saat peneliti kurang memahami bagaimana cara mengerjakan statistika dalam penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan Kritik untuk penelitian yang lebih baik. Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016

(34)

50

DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K., Curry, John F. 2011. Self Compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. American Psychological Association.

Brown, K. W., Ryan, R. 2003. The benefits of being present: Mindfulness and its role in psychological well-being, 822-848. Journal of Personality and Social Psychology.

Dryden, Windy, 2012, Dealing with Emotional Problem Using Rational Emotive Cognitive

Behavior Therapy, A Client’s Guide. NewYork: Routledge.

Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ellis, Alber.t, Bernard, Michael. 1985. Clinical Applications of Rational Emotive Therapy. NewYork: Plenum Press.

Feist, Jeff., Gregory J. Feist. 2006. Theories of Personality. NewYork: McGraw-Hill.

Munawaroh, Dr., M. Kes. 2013. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang: Intimedia. Nazir, Ph.D. Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, K. 2011. Self Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. NewYork: HarperCollins Publishers.

_______. 2009. Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior, 561-573. New York: Guilford Press.

Neff.Pommier. 2012. The Relationship between Self-compassion and Other-focused Concern among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing Meditators. Austin: Educational Psychology Department, University of Texas at Austin.

Neff, Kristin D, Rude, Stephanie S., Kirkpatrick, Kristin L. 2006. An Examination of Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits. Austin: Educational Psychology Departement, University of Texas.

______________________________________________. 2006. Self-Compassion and Adaptive Psychological Functioning. Austin: Educational Psychology Departement, University of Texas.

Neff, Kristin., Lamb, Lindsay M., Self-Compassion. In S. Lopez (Ed.), The Encyclopedia of Positive Psychology, 864-867. Blackwell Publishing.

(35)

51

Podina, Ilona., Jucan, Andrada., David, Daniel. 2015. Self-Compassion: A Buffer In The Pathway From Maladaptive Beliefs To Depression. An Exploratory Study. ResearchGate.

Riyanto, Agus. 2010. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. ____________. 2010. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Santrock, John. W. 2002. Life-Span Development ed.5. Jakarta: Erlangga. (AB: Juda Damanik Achmad Chusairi.)

Sudjana. 2006. Metoda Statistika (Edisi 6). Bandung: Penerbit Tarsito.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif , Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

(36)

52

DAFTAR RUJUKAN

Andri, dr, Sp.KJ, FAPM., 2015. Kesehatan Jiwa Lansia. Kompasiana. (Online).

(www.kompasiana.com/psikosomatik_andri/kesehatan-jiwa-lansia_550f465ca33311ae2dba83af, diakses tgl. 2 Januari 2016, pk. 15.30)

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. (2015). Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Femina. (20 November 2012). Panti Werdha, Pilihan Merawat Orang Tua. (http://pesona.co.id, diakses: 31Mei 2015, pk. 15.30)

Maulana, Razi, dr,. 2015.Depresi pada Lansia. (http://razimaulana.wordpress.com, diakses tanggal 4 Januari 2016, pk. 14.00)

Gambar

Tabel 3.1 : Indikator Alat Ukur Self-Compassion

Referensi

Dokumen terkait

etika dan moral, maka kita sudah dapat mengerti bahwa antara etika dan moral tampak memiliki persoalan yang cendrung sama, yaitu nilai-nilai yang dianut oleh manusia dalam mengatur

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang telah melimpahkan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal togas akhir program magister yang berjudul "Pengembangan Bahan

Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa komunikasi massa merupakan suatu proses yang melukiskan bagaimana komunikator menggunakan tekhnologi media massa secara proporsional

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 121 ayat (7) Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, maka perlu menetapkan

Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan seorang individu untuk memiliki asuransi adalah faktor demografi seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pendapatan

Sehingga pada siswa sekolah dasar, untuk lebih mudah guru memberikan materi pelajaran tentang pemahaman rumah dan pakaian adat di indonesia yang dirancang dalam

The AISC Seismic Design Provisions (AISC 2005) employ detailing requirements for Special Concentrically Braced Frames (SCBF) as a method of achieving the

Pengukuran antropometri pada penelitian ini meliputi pengukuran tubuh mahasiswa dan dosen pada saat beraktifitas dengan menggunakan kursi dan meja taman .Hasil perancangan meja