Implementasi Sertifikasi Fairtrade pada Kopi Gayo:
Analisis Posisi Petani dalam Struktur Perdagangan Alternatif
Harri Fajri
Abstract
Fair Trade is an international movement trying to save farmers and workers in Global South from unfair practices of trade. In the globalized economy era this move-ment is getting bigger. However, the success of Fair Trade movemove-ment leads to grand debate since it depends on the involvement of corporations who are being avoided at the first time this movement began. This article discusses the implementation of Fair Trade on Gayo Coffee under Fairtrade certification scheme governed by Fairtrade La-beling Organization (FLO). It focuses on how FLO can transform farmer position in its commercial network. This article finds that certification scheme under FLO cannot guarantee farmer the best position in the international coffee chain. It argues that it is caused by the role of cooperation that is just dominated by few people instead farmers as a whole.
Key word: Fairtrade, Gayo Coffee, Global South, Farmer.
A. PENDAHULUAN
Fair Trade merupakan gerakan
so-sial yang muncul sebagai respon ter-hadap kegagalan perdagangan liberal dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dunia. Pada intinya, Fair Trade bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil, khususnya bagi petani atau buruh miskin di negara-negara selatan, dengan cara mendorong kesadaran kon-sumen, terutama di negara-negara maju, tentang dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh sistem perdagangan konvensional (liberal), dan perlunya perubahan dalam cara manusia men-jalankan perdagangan.
Pada awal kemunculannya, sema-ngat gerakan Fair Trade adalah pember-dayaan masyarakat miskin dan marji-nal (European Fair Trade Association,
2006). Manifestasinya lebih mengarah pada kegiatan sosial dan sukarela. Itulah sebabnya gerakan Fair Trade pada awal-nya tidak melibatkan perusahaan yang kecenderungannya lebih berorientasi kepada maksimalisasi keuntungan. Ke-giatan jual beli yang melibatkan petani atau produsen miskin di negara berkem-bang, difasilitasi oleh organisasi-organ-isasi sosial atau keagamaan.
Namun seiring dengan berjalan-nya waktu, gerakan Fair Trade mulai membuka pintu masuk kepada perusa-haan, salah satunya melalui mekanisme sertifikasi atau yang lebih dikenal oleh konsumen sebagai label Fairtrade. Pen-emuan mekanisme sertifikasi ini me-micu perubahan yang sangat signifikan dalam jaringan Fair Trade (Reed, 2009). Terbentuknya pasar Fair Trade seluas sekarang disebut-sebut tidak terlepas
dari campur tangan retailer besar,
branders, dan berbagai jenis perusahaan
konvensional lainnya (Murray & Rayn-olds, 2007). Hal ini lantas menimbulkan perdebatan, bahkan di internal kalangan pendukung Fair Trade itu sendiri. Seka-rang, seperti yang dikatakan Murray dan Raynolds “As Fair Trade has moved into
the mainstream of international trade, it has become embroiled in a range of de-bates and dilemmas that threaten to di-vide the movement” (Murray & Raynolds,
2007). Valkila et. al mengatakan bahwa di balik kampanye tentang keuntungan yang didapat oleh petani, “paradoxically,
Fair Trade also empowers coffee traders: export companies, roasters, and retail-er.” (Valkila, Haaparanta, & Niemi, 2010).
Secara lebih jauh, Peter Grifiths (2012) bahkan berani mengatakan bahwa ge-rakan Fair Trade telah gagal menjalank-an ide-ide ymenjalank-ang diusungnya. Grifiths ber-pendapat bahwa dari harga lebih yang dikeluarkan oleh konsumen untuk mem-beli produk Fair Trade, hanya sebagian kecil saja yang mengalir ke petani. Se-mentara, menurutnya jumlah yang lebih besar justru lebih banyak dinikmati oleh perusahaan di negara-negara utara. Hal ini menunjukkan bahwa petani berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam rantai produksi ketika dihadap-kan kembali dengan perusahaan-peru-sahaan konvensional.
Atas latar belakang perdebatan dan kontroversi iulah penulis merasa perlu untuk melihat pengimplementasian Fair
Trade di Indonesia. Gerakan Fair Trade
di Indonesia dapat dilacak keberadaan-nya semenjak tahun 1970-an melalui inisiasi yang dijalankan oleh organisasi sosial keagaamaan, Oxfam (Hadiwinata & Pakpahan, 2004). Namun, penerap-an sertifikasi Fair Trade secara khusus baru dimulai pada bulan Maret tahun 2000, ketika koperasi bernama
Persatu-an PetPersatu-ani Kopi Gayo OrgPersatu-anik (PPKGO) mendapatkan lisensi resmi untuk meng-gunakan sertifikat Fairtrade yang dike-luarkan oleh Fairtrade Labeling
Organi-zations (FLO) (Mustawalad). Meskipun
pada tahun 2008, koperasi yang pada saat itu telah beranggotakan sekitar 1900 petani itu bubar dan sertifikatnya dicabut oleh FLO, semangatnya tetap bertahan hingga saat ini. Hal ini dapat terlihat dari tingginya jumlah koperasi petani kopi gayo yang menjadi peme-gang sertifikat produsen Fairtrade. Dari 20 kelompok usaha (koperasi) di Indo-nesia yang telah resmi memegang serti-fikat dari FLO, 17 diantaranya berasal dari gayo.
FLO saat ini telah menjadi salah satu organisasi Fair Trade terbesar di dunia yang menerapkan mekanisme sertifikasi, salah satu yang menjadi inti perdebatan dalam gerakan Fair Trade. Di lain pihak, kopi Gayo, saat ini dapat dikatakan mewakili gambaran penerap-an sertifikasi Fair Trade ypenerap-ang dijalpenerap-ank- dijalank-an oleh FLO di Indonesia. Dengdijalank-an me-lihat pengimplementasian sertifikasi
Fairtrade di Kopi Gayo, tulisan ini ingin
melihat bagaimana gerakan alternatif tersebut dapat mempengaruhi posisi petani dalam perdagangan internasional yang selama ini dinilai tidak adil.
B. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Fairtrade
FLO hanyalah salah satu dari bebe-rapa organisasi internasional yang aktif mempromosikan Fair Trade. Beberapa organisasi yang memiliki visi serupa an-tara lain adalah World Fair Trade Orga-nizations (WFTO), Network of European Worldshops (NEWs), dan European Fair Trade Association (EFTA). Setiap or-ganisasi memiliki mekanismenya
ma-sing-masing dalam menjalankan praktik perdagangan yang berkeadilan.
FLO mempunyai label/merek
Fairtrade1 yang menjadi tanda bagi kon-sumen untuk membedakannya dengan produk konvensional. Produk berla-bel Fairtrade saat ini sudah dijual di 25 negara. Label Fairtrade dinilai sebagai label etikal yang paling dikenali di dunia (Fairtrade International). Hingga tahun 2012, jaringan perdagangan FLO telah melibatkan sebanyak 1.149 kelompok produsen di 70 negara, dengan total penjualan produk mencapai 4,8 milyar Euro (Fairtrade International).
Label Fairtrade oleh sebab itu men-jadi penanda bagi konsumen bahwa produk tersebut telah memenuhi nilai-niali yang disebutkan di atas. Se perti yang dikatakan oleh Alex Nicholls (2000), label Fairtrade merupakan jamin an ke-pada konsumen bahwa produk yang tersertifikasi telah memenuhi bebera-pa standar dan diaudit secara berkala. Standar-standar tersebut adalah (Nich-olls, 2000):
• Pembelian secara langsung (direct
purchase) dari produsen.
• Hubungan perdagangan jangka pan-jang dan transparan.
• Kerjasama bukan persaingan.
• Mengikuti harga minimal untuk menutupi biaya produksi, biasanya ditetapkan di atas harga pasar. • Fokus terhadap pembangunan dan
bantuan teknis dengan
membayar-1 Untuk selanjutnya dalam tulisan ini,
Fairtrade (tanpa spasi) merujuk pada label atau
mekanisme sertifikasi yang dijalankan oleh FLO. Sementara Fair Trade merujuk pada gerakan
Fair Trade pada umumnya.
kan biaya tambahan Premium (um-umnya sebesar 10% atau lebih dari harga produk).
• Menyediakan informasi pasar.
• Produksi yang berkelanjutan dan bertanggungjawab pada lingkungan.
2. Rantai Persediaan Kopi
Saat ini, konsumsi kopi per kapita di negara pengimpor kopi terbesar seperti Amerika Serikat mencapai 4,3 kilogram per tahun (Tempo.co, 2014). Banding-kan dengan konsumsi per kapita di In-donesia yang hanya 1,03 kilogram per tahun (Rikang & Dharma, 2014). Tidak heran jika perusahaan asal Amerika sep-erti Starbucks sangat menguasi pasar kopi dunia. Negara paling konsumtif ter-hadap kopi juga didominasi oleh negara-negara maju, Finlandia setiap tahunnya menghabiskan 11,4 kilogram perkapita, diikuti dengan Norwegia dengan 10,6 kilogram, Belgia sebanyak 8 kilogram, Austria 7,6 kilogram, dan Jepang 3,4 ki-logram (Tempo.co, 2014).
Dalam perdagangan liberal, harga ditentukan oleh pasar tanpa ada inter-vensi siapapun kecuali oleh tangan-tangan tak terlihat. Hal ini meletakkan petani dalam posisi yang tidak mengun-tungkan. Mereka menjadi aktor yang berada dalam struktur produksi paling bawah yang seringkali menjadi korban eksploitasi dari aktor-aktor di atasnya. Di tingkat pertama, sebut saja ada teng-kulak. Tengkulak ini pun biasanya terba-gi laterba-gi atas berapa tingkatan, mulai dari tengkulak kampung, tengkulak kota, sampai tengkulak pusat. Di atas me reka ada eksportir, perusahaan di negara prodsen. Dan di atas eksportir ada
buy-er atau pbuy-erusahaan pembeli di negara
maju. Tanpa pengaturan harga, buyer yang rasional sebisa mungkin akan men-cari produk dengan harga beli yang
pa-ling rendah untuk mendapatakan keun-tungan yang maksimal. Pada akhirnya, harga jual di tingkat petani jugalah yang tertekan. Bahkan dalam kondisi normal sekalipun, menurut International Trade Center seperti yang tertulis dalam The Coffee Guide Exporter’s Guide 2011 petani kopi hanya mendapatkan share 7-11% dari harga retail supermarket (Fairtrade Foundation, 2012) .
Gerakan Fair Trade memahami le-mahnya posisi petani dalam rantai su-plai komoditas kopi. Itulah sebabnya model perdagangan langsung (direct trade) pada awalnya dipilih oleh or-ganisasi penggerak Fair Trade. Hal ini dilakukan untuk memotong rantai pa-sokan sehingga petani dapat terhindar dari praktik-praktik eksploitatif yang dilakukan oleh aktor-aktor di atasnya. Di sisi lain, mekanisme sertifikasi men-gundang kembali aktor-aktor konven-sional untuk terlibat dalam jaringan perdagangan Fair Trade. Konsekuen-sinya rantai perdagang an kopi kembali pada bentuknya yang semula, meskipun dengan kondisi yang berbeda. Sebab ada standar-standar FLO yang harus diikuti oleh perusahaan-perusahaan jika ingin menjual produk berlabel Fairtrade. Oleh sebab itu, analisis terhadap rantai suplai produk berlabel Fairtrade akan menun-jukkan bagaimana sebetulnya posisi pet-ani dalam stuktur perdagangan alterna-tif yang dibentuk oleh FLO.
Rantai suplai atau yang sering dise-but juga dengan rantai pasokan adalah proses pembentukan bahan mentah menjadi produk yang siap dikonsumsi. Mekanisme sertifikasi yang dibentuk oleh FLO dapat dilihat sebagai upaya untuk membentuk rantai pasokan ini dapat berjalan dengan adil, terutama bagi petani dan produsen di negara-ne-gara selatan. Sebab melalui mekanisme
sertifikasi, keterlibatan perusahaan-perusahaan konvensional tidak lagi di-hindari atau dipotong dari rantai perda-gangan Fair Trade melainkan dilibatkan, asal perusahaan-perusahaan tersebut mau mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan oleh FLO.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data-data primer dan sekunder. Data primer didapat dari ha-sil wawancara yang dilakukan kepada
stakeholder yang terkait dengan
jaring-an Fairtrade kopi gayo, yjaring-ang mencakup petani, pengurus koperasi kopi di Kabu-paten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Pertanyaan wawancara dibuat terbuka sesuai dengan perkembangan yang dite-mukan selama berada di lapangan.
Sementara itu, untuk melengkapi data yang ada, selain kepada petani dan pengurus koperasi, wawancara juga dilakukan bersama pengamat kopi setempat. Pengamat kopi merupakan orang-orang yang selama ini berke-cimpung di perdagangan kopi gayo, seperti penulis ataupun tokoh yang memperhatikan penerapan Fairtrade pada komoditas Kopi Gayo. Selain itu, data –data sekunder juga diperoleh dari berbagai sumber cetak maupun online. Data-data sekunder dibutuhkan untuk memperdalam wacana terkait dengan perdebatan dalam gerakan Fair Trade mengenai mekanisme sertifikasi atau keterlibatan perusahaan-perusahaan konvensional.
D. PEMBAHASAN
1. Implementasi Sertifikasi Fairtrade Kopi Gayo
Fairtrade, petani kopi gayo mendapat-kan beberapa manfaat, seperti harga yang stabil dan uang lebih yang diberi-kan oleh buyer. Manfaat ini diterima oleh petani dari mekanisme yang sudah ditetapkan oleh FLO, yaitu Fair Trade
Minimum Price (FTM) dan Fair Trade Premium Fee (FTP).
Pada hakikatnya, FTM dapat mem-berikan jaminan bahwa produk yang sampai ke tangan konsumen berasal dari petani yang dibeli dengan harga yang wa-jar. Meskipun demikian tidak semua pet-ani, khususnya mereka yang tergabung dalam jaringan koperasi Fairtrade dapat menikmati FTM. Hal ini disebabkan ada-nya sistem kuota, sehingga membuat biji kopi yang diproduksi oleh petani tidak bisa terjual seluruhnya kepada koperasi (Arfi, 2014; Sanusi, 2014). Ketika harga dunia sedang turun, dimana mekanisme FTM bekerja,Fairtrade tidak selamanya dapat menampung produk kopi petani.
Salah satu petani yang tergabung dalam jaringan Fairtrade di Aceh Teng-ah mengatakan:
“Saya menjual kopi pun tidak ada ke koperasi (Fairtrade ). Misalnya ketika harga kopi tu-run, dan meminta kepada kolek-tor (koperasi) untuk membeli kopi (saya), tidak ada tangga-pan. Jadi saya jual saja ke lokal (tengkulak). Karena kita tidak terikat (hubungan dengan kop-erasi).” (Sanusi, 2014)
Melihat fenomena di atas, me-kanisme FTM yang dijalankan oleh FLO dapat dikatakan sebenarnya belum mampu memecahkan persoalan volatili-tas harga komodivolatili-tas primer. Padahal jus-tru disinilah permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara miskin dan berkembang dalam sistem perdagangan internasional .
Hal ini menjadi tantangan tersend-iri dalam gerakan Fairtrade. Selama praktik perdagangan konvensional ma-sih sangat dominan, produk Fairtrade ti-dak akan mampu bersaing, sebab pasar konvensional dapat menawarkan harga yang lebih rendah–yang berarti ong-kos produksi perusahaan akan menjadi lebih rendah pula. Hal ini terlihat ketika koperasi kopi gayo kesulitan mencari
buyer ketika harga kopi dunia sedang
tu-run. FTM yang seharusnya bekerja pada waktu itu, kenyataannya tidak dapat di-andalkan.
Dari beberapa responden yang di-wawancari oleh penulis terungkap bah-wa koperasi belum memiliki peran yang signifikan dalam memperbaiki harga kopi, terutama ketika harga kopi dunia sedang turun. Itulah sebabnya mengapa ada petani yang lebih senang berbis-nis dengan tengkulak lokal sebab harga yang ditawarkan oleh mereka tidak jauh berbeda bahkan sama dengan harga koperasi. Belum lagi, penjualan kepada tengkulak lokal dapat dilakukan dengan lebih mudah ketimbang dengan koperasi yang menetapkan syarat-syarat terten-tu, seperti pencatatan penjualan. Semua ini semestinya menjadi pertimbangan bagi koperasi khususnya, dan bagi ja-ringan FLO pada umumnya. Di level pa-ling bawah, FTM tampaknya telah gagal dalam mewujudkan cita-cita mulianya untuk para petani.
Petani kopi gayo mengakui bahwa mereka telah mendapatkan Fairtrade
premium dalam keterlibatan mereka
dalam sertifikasi Fairtrade. Misalnya dalam bentuk genset, sound system, dan surau (Sanusi, 2014). Apapun ben-tuknya, premium fee digunakan atas kes-epakatan di antara kelompok-kelompok kecil yang berada di bawah koperasi. Satu kelompok terdiri dari 50 hingga seratus
orang petani, sesuai dengan ketetap-an FLO. Kelompok tersebut diwakilkketetap-an oleh seorang delegasi untuk memper-mudah komunikasi antara koperasi de-ngan kelompok petani. Sederhananya, setiap koperasi ingin menyalurkan
pre-mium fee, koperasi akan menghubungi
delegasi agar mempersiapkan forum untuk memusyawarahkan penggunaan
premium fee tersebut.Koperasi sebagai
pihak yang mengelola uang premium, petani lah yang berhak untuk menentu-kan bagaimana dan untuk apa saja uang
premium itu digunakan, sesuai dengan
aturan yang ditetapkan oleh FLO.
Besaran premium fee yang diterima oleh petani sangat bergantung dengan besaran biji kopi yang mereka jual kepa-da koperasi. Semakin besar mereka me-masok ke koperasi, semakin besar pula
premium fee yang akan kembali kepada
mereka. Premium fee yang dibayarkan oleh buyer diberikan kepada koperasi. Bagi koperasi kecil yang masih bergan-tung kepada eksportir untuk memasar-kan produknya ke luar negeri (buyer),
premium fee akan masuk ke kas
eks-portir sebelum diberikan kepada kope-rasi untuk didistribusikan ke petani. Bagi koperasi besar yang sudah mampu melakukan ekspor secara langsung tan-pa perantara ekportir, seperti KBQ Ba-burrayan, premium fee masuk langsung masuk ke kas koperasi. Dari koperasi lah petani akan mengetahui besaran
premi-um fee yang mereka dapatkan.
2. Posisi Petani
Skema sertifikasi yang dijalankan oleh FLO pada intinya bertujuan untuk memastikan setiap aktor yang terlibat dalam rantai produksi bertindak secara adil. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, semangat awal Fairtrade didorong oleh keprihatinan terhadap rendah nya
penghasilan produsen yang disebabkan oleh peran para perantara atau tengku-lak. Oleh sebab itu, salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan model perdagangan langsung (direct trade) yang menghubungkan produsen di neg-ara-negara selatan dengan konsumen di negara-negara utara tanpa harus me-lewati para tengkulak tersebut. UCIRI, kelompok produsen pelopor model sertifikasi Fairtrade juga melalui fase ini, hingga pada akhirnya mereka berinisi-atif untuk mengajukan proposal pem-bentukan mekanisme sertifikasi kepada lembaga di Belanda (Boersma, 2009). Boersma Vanderhoff, aktivis sekaligus pemangku agama yang kemudian me-mutuskan untuk hidup sebagai petani bersama-sama dengan petani UCIRI lain-nya mengatakan: “What the experience of
UCIRI shows us is that when the poor are able to organize themselves and experi-ence that the co-operative road is a vi-able option, then a new social, political, and cultural order begins to emerged.”
(Boersma, 2009).
Dari pernyataan di atas dapat dili-hat bagaimana penerapan sertifikasi
Fairtrade pada awalnya seperti yang
di-lakukan oleh UCIRI tidak bisa dilepaskan dari kemampuan petani untuk mengor-ganisir kelompoknya. Fairtrade dengan demikian tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah program bantuan ke-pada petani. Petani itu sendirilah yang sepatutnya menjadi agen atas pemban-gunan mereka sendiri (Boersma, 2009). Selain sebagai penyalur aspirasi pet-ani dalam general assembly yang dapat menentukan arah kebijakan Fairtrade
international secara global, koperasi
juga memegang peran penting sebagai pengambil kebijakan dalam lingkup yang lebih kecil namun sangat berhubungan langsung dengan kehidupan petani. Hal
ini terkait dengan fungsi koperasi yang didirikan tidak lain dan tidak bukan se-mata-mata hanya untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Fairtrade International juga menetapkan bahwa setiap produsen yang ingin mendapat-kan sertifikasi wajib bergabung dengan suatu badan usaha bersama yang ber-bentuk koperasi atau kelompok tani. Un-tuk kasus Indonesia, khususnya di Aceh, badan usaha tersebut adalah koperasi.
Oleh sebab itu, koperasi sangat ber-peran besar dalam jaringan Fairtrade terutama terkait dengan perngaruhnya terhadap petani. Pada dasarnya memang koperasi dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan petani serta menguatkan posisi mereka khususnya sebagai daya
tawar mereka ketika menghadapi aktor-aktor yang lebih kuat dalam perdagang-an internasional. Lperdagang-antas bagaimperdagang-ana den-gan praktik di Aceh?
Gambar 1 menunjukkan rantai distribusi biji kopi Fairtrade gayo dari petani hingga sampai ke pihak ekspor-tir. Dari gambar tersebut dapat dilihat bagaimana relasi antara petani dengan koperasi. Disana secara jelas dikatakan bahwa, dengan perantara kolektor, kope rasi membeli biji kopi dari petani. Hal ini menunjukkan bahwa petani dan koperasi kopi gayo adalah dua entitas yang terpisah.
Keterlibatan petani dalam koperasi hanya sebagai pemasok, hanya sebatas hubungan jual beli. Sebagaimana
akuan dari petani dan pengurus kope-rasi bahwadalam aktivitas perdagangan kopi yang selama ini mereka lakukan dijalankan tanpa ikatan. Petani dibe-baskan untuk menjual biji kopi kepada pihak manapun selain koperasi tempat-nya bernaung (Arfi, 2014). Sementara koperasi juga tidak mewajibkan petani untuk memasok kopi kepada koperasi. (Iwan, 2014).
Pada praktinya, petani tetap berge-rak sendiri-sendiri untuk mengejar keuntungannya masing-masing. Semen-tara koperasi sekedar menjadi penam-pung kopi yang dalam praktiknya justru tidak jauh berbeda dengan apa yang di-lakukan oleh perusahaan.
Menurut salah seorang pengurus koperasi, semakin bertambahnya jum-lah koperasi yang memegang sertifikat
Fairtrade telah memberikan dampak
positif terhadap harga pasar kopi gayo secara umum. Menurutnya semenjak masuknya Fairtrade petani telah berani menolak harga yang ditawarkan jika ti-dak sesuai dengan keinginannya (Iwan, 2014). Artinya akses pasar menjadi se-makin luas, sehingga petani mempunyai lebih banyak pilihan kemana biji kopi nya akan dijual.Namun demikian, sebuah upaya agar petani dapat meng-organize
themselves, keberadaan koperasi belum
dapat dikatakan berhasil.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa bukti yang dapat ditemukan di lapang-an. Pertama, koperasi tidak dijalankan oleh petani, melainkan dikendalikan oleh segelintir orang yang terlibat dalam struktur kepengurusan, terutama ke-lompok pendiri. Pengurus koperasi yang diwawancari oleh petani juga membena-rkan keberadaan kelompok ini (Hasbi, 2014; Yana, 2014; Iwan, 2014; Askogo, 2014).
Kelompok pendiri merupakan
orang-orang yang mempersiapkan mo-dal untuk membentuk koperasi. Pem-bentukan KSU Sara Ate misalnya, salah satu koperasi yang dikunjungi oleh pen-ulis, menceritakan bagaimana koperasi itu bisa terbentuk. Menurutnya koperasi tersebut tidak akan terbentuk tanpa adanya bantuan dari donatur (Hasbi, 2014).
Adanya fakta bahwa beberapa kope-rasi tidak didirikan atas inisiatif petani, melainkan sebagian kelompok–semisal investor atau eksportir kopi–yang ter-kesan hanya ingin turut mendapatkan bagian dalam rantai perdagangan kopi, terutama dari jumlah premium fee yang sangat menggiurkan itu. Biaya sertifi-kasi yang harus dikeluarkan oleh kop-erasi juga sangat besar, mulai dari 1,570 poundsterling di tahun pertama.
Sebenarnya Fairtrade Internation-al telah menetapkan suatu mekanisme agar petani senantiasa dilibatkan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh ko-perasi. Misalnya dengan menggunakan sistem delegasi, dimana sejumlah ke-lompok petani diwakilkan oleh seorang petani. Biasanya setiap 50 petani di-wakilkan satu petani. Di koperasi-ko-perasi besar seperti KBQ Baburrayan satu petani bahkan mewakili 100 petani. Delegasi inilah yang bertugas untuk me-wakilkan anggota-anggotanya dalam se-tiap pengembalian keputusan koperasi. Namun beberapa delegasi yang ditemui oleh penulis mengaku bahwa keterli-batan mereka dengan koperasi tidak rutin (Arfi, 2014; Sanusi, 2014). Hal ini membuat mekanisme perwakilan tidak berjalan dengan baik. Jika perwakilan petani saja jarang bertemu dengan pi-hak koperasi, bagaimana dengan petani itu sendiri?
Kedua, berhubungan dengan per-soalan pertama, fakta bahwa koperasi
hanya dibangun oleh sekelompok orang, membuat adanya jarak antara petani dan koperasi. Seolah-seolah koperasi dan petani merupakan dua entitas yang terpisah. Ini terlihat dari relasi keduan-ya dalam memperlakukan biji kopi se-bagai komoditas yang diperdagangkan. Praktik yang pada umumnya dilakukan oleh koperasi Fairtrade di Aceh adalah dengan membeli putus hasil perkebun-an petperkebun-ani dalam bentuk cherry atau gabah. Dari gabah/cherry tersebut pet-ani mengolahnya menjadi biji kopi yang
ready export (alasan/green bean). Bagi
koperasi-koperasi besar proses yang menghasilkan nilai tambah tersebut dapat meraka jalankan sendiri dengan memanfaatkan aset yang mereka miliki, bahkan mengekspor atas nama kopera-si, tidak melalui eksportir.
Relasi antar aktor dalam jaringan
Fairtrade seperti yang diuraikan di atas,
khsusunya menyorot hubungan antara koperasi dengan petani, memberikan implikasi yang buruk bagi petani, pi-hak yang dari awal menjadi semangat awal gerakan Fairtrade. Misalnya, nilai tambah yang dihasilkan dari cherry/ gabah menjadi biji kopi yang ready
ex-port (green bean/asalan) hanya masuk
ke pundi-pundi koperasi. Hal ini tidak adil karena sementara koperasi terus meningkatkan aset dan modal–yang di-dapat dari keuntungan penjualan biji kopi yang berasal dari kebun anggota-nya–petani tidak mendapatkan apa-apa. Seperti yang terlihat pada jaringan FLO pada komoditas kopi Gayo.
E. KESIMPULAN
Penelitian ini telah menunjukkan bagaimana sertifikasi Fairtrade tidak se-lamanya dapat memberikan keuntungan kepada petani. Hal ini dikarenakan masih adanya kelemahan-kelemahan yang
ter-dapat dalam mekanisme perdagang an yang dibentuk oleh FLO. Pertama, terkait dengan minimum price. Minimum price merupakan mekanisme yang diatur oleh FLO untuk menjamin petani mendapat-kan harga yang wajar atas bahan men-tah yang dijualnya kepada perusahaan. Seharusnya mekanisme ini dapat me-lindungi petani kopi gayo dari ketidak-stabilan harga biji kopi yang sewaktu-waktu bisa anjlok, terutama ketika stok kopi dunia sedang melimpah. Namun sayangnya, ketika petani berharap dapat menjual biji kopi di atas harga pasar, ada sistem kuota yang diberlakukan oleh ko-perasi, sehingga mau tidak mau mereka harus menjual ke pasar konvensional dengan harga seadanya. Tidak adanya keterikatan antara petani dan koperasi membuat koperasi tidak memiliki kewa-jiban untuk menampung biji kopi yang dihasilkan oleh anggotanya ketika harga pasar sedang turun.
Kedua, terkait dengan premium
fee. Premium fee merupakan uang
le-bih yang harus dikeluarkan oleh buyer di luar negeri untuk keperluan bisnis petani atau pembangunan lingkungan sekitar petani bermukim, seperti jalan atau saran umum lainnya. Pengelolaan
premium fee diserahkan sepenuhnya
ke-pada petani yang biasanya dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 50 sampai 100 orang. Setiap ke-lompok memiliki satu delegasi. Melalui perantara delegasi inilah proses distri-busi premium fee dijalankan. Namun, in-teraksi antara delegasi dengan koperasi –apalagi antara petani biasa dengan ko-perasi–yang tidak begitu intens menjadi persoalan utama dalam proses distribu-si premium fee.
Selain persoalan-persoalan di atas, tulisan ini juga menunjukkan bahwa
menaik-kan posisi petani kopi Gayo dalam rantai perdagangan internasional. Sebenarnya, dalam tubuh FLO dapat dilihat sedang dilakukannya reformasi untuk lebih mendorong peran petani dalam proses pengambilan keputusan. Jaringan Pro-dusen, perwakilan produsen berserti-fikasi Fairtrade semenjak tahun 2013 mendapatkan setengah suara dalam pertemuan tahunan yang diadakan oleh FLO. Pertemuan tersebut sangat me-nentukan arah gerak organisasi. Namun persoalan utama yang ditemukan dalam implemntasi sertifikasi Fairtrade pada komoditas kopi Gayo justru berasal dari belum idealnya peran koperasi.
Jika kita belajar pada awal pemben-tukan mekanisme sertifkasi Fairtrade di Mexico, konsolidasi koperasi merupa-kan salah satu fondasi awal yang sa-ngat krusial. Fondasi seperti ini belum terlihat di Aceh. Hubungan koperasi dengan petani di Aceh barangkali tidak seperti yang dibayangkan oleh pencetus ide awal sertifikasi Fairtrade. Faktanya, ko perasi menjadi entitas yang terpisah dengan petani. Koperasi melakukan sistem beli putus dengan petani. Sehing-ga ketika petani menghadapi kesulitan untuk menjual biji kopi, koperasi tidak bisa diandalkan. Padahal pengelolaan biji kopi, mulai dari pengeringan, pe-sangraian, bahkan hingga siap diekspor ditentukan oleh manajemen koperasi. Disinilah letak belum idealnya model koperasi kopi di Aceh. Manajemen be-lum sepenuhnya dikontrol oleh petani. Ribuan petani yang menjadi anggota ko-perasi hanya menjadi sekedar anggota. Sementara jalannya koperasi dikenda-likan oleh segelintir pihak.
Maka dari itu, agenda penelitian selanjutnya yang menarik juga untuk dilakukan ada dua, pertama yang ber-hubungan dengan alternatif lain
penge-lolaan komoditas kopi gayo di luar ja-ringan Fairtrade yang dibentuk oleh FLO. Dan kedua, membenturkan nilai-nilai koperasi di Indonesia dengan standar-standar yang ditetapkan oleh FLO ter-kait peran koperasi. Biar bagaimanapun masuknya FLO ke Indonesia, khususnya di Dataran Tinggi Gayo adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani me-lalui perdagangan. Sekarang setelah di-ketahui jaringan ini masih mengandung banyak kelemahan, tidak ada salahnya untuk mencari solusi bagaimana mem-bentuk perdagangan kopi yang dapat memakmurkan petaninya.
DAFTAR PUSTAKA
Almqvist, A.-C. (2011). Coffee, a Fair
Trade? A study about Fairtrade certified Gayo coffee farmers in Aceh. Alnarp: Swedish University
of Agricultural Sciences.
Arfi, S. A. (2014, Oktober 28). Apa Man-faat Fairtrade terhadap Petani. (H. Fajir, Interviewer)
Askogo. (2014, Juli 23). Manfaat Fairtrade bagi petani. (H. Fajri, In-terviewer)
Boersma, F. V. (2009). The Urgency and Necessity of a Different Type of Market: The Perspective of Pro-ducers Organized within the Fair Trade Market. Journal of Business
Ethics, Vol. 86, Supplement 1: Fair Trade , 51-61.
European Fair Trade Association. (2006, November). Sixty Years of Fair
Trade. Retrieved Januari 20, 2015,
from http://www.european-fair-trade-association.org/efta/Doc/ History.pdf
Fairtrade Foundation. (2012). Fairtrade
and Coffee. London: Fairtrade
Foundation.
Fairtrade International. For Producers,
With Producers. Bonn: Fairtrade
International.
Fairtrade International. Unlocking the
Power. Bonn: Fairtrade
Interna-tional.
Griffiths, P. (2012). Ethical Objections to Fairtrade. Journal of Business
Eth-ics , 357-373.
Hadiwinata, B. S., & Pakpahan, A. K. (2004). Fair Trade: Gerakan
Perdagangan Alternatif.
Yogya-karta: Pustaka Pelajar.
Hasbi. (2014, Juli 23). Manfaat Fairtrade bagi petani. (H. Fajri, Interviewer) Iwan. (2014, Juli 23). Manfaat Fairtrade
bagi Petani Kopi Gayo. (H. Fajri, Interviewer)
Koperasi Askogo. Sistem Penelusuran
Dokumen dan Sistem Penelusuran Produk dari Petani Hingga Ready Export. Bener Meriah: Koperasi
Askogo.
Murray, D. L., & Raynolds, L. T. (2007). Globalization and its antinomies. In D. L. Murray, L. T. Raynolds, & J. Wilkinson, Fair Trade: the
Chal-lenges of Transforming Globaliza-tion (pp. 3-14). New York :
Rout-ledge.
Mustawalad. (n.d.). Max Havelaar di
Gayo. Retrieved November 27,
2014, from http://www.acehfea-ture.org
Nicholls, A. (2000). Thriving in a Hostile Environment: Fairtrade’s Role as a Positive Market Mechanism for Disadvantaged Producers.
Reed, D. (2009). What Do Corporations
Have to Do with Fair Trade? Posi-tive and NormaPosi-tive Analysis from a Value Chain Perspective. Journal
of Business Ethics, Vol. 86 , 3-26.
Rikang, R., & Dharma, P. (2014, Juni 30).
Orang Indonesia Makin Gemar Mi-num Kopi. Retrieved Januari 23,
2015, from http://www.tempo.co Sanusi, R. U. (2014, Juli 23). Manfaat
Fairtrade bagi Petani. (H. Fajri, In-terviewer)
Tempo.co. (2014, Juni 25). Sebulan
Terakhir, Konsumsi Kopi Me-lesat 30 Persen . Retrieved
November 3, 2014, from http://www.tempo.co/read/ news/2014/06/25/090587885/ Sebulan-Terakhir-Konsumsi-Ko-pi-Melesat-30-Persen
Valkila, J., Haaparanta, P., & Niemi, N. (2010). Empowering Coffee Trad-ers? The Coffee Value Chain from Nicaraguan Fair Trade Farmers to Finnish Consumers. Journal
of Business Ethics, Vol. 97, No. 2 ,
257-270.
Yana. (2014, Juli 23). Manfaat Fairtrade bagi Petani Kopi Gayo. (H. Fajri, Interviewer).