• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBUDAYAKAN KNOWLEDGE SHARING DI PERPUSTAKAAN: Upaya dan Solusi Pustakawan Referensi Untuk Memenuhi kebutuhan Informasi Pengguna 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBUDAYAKAN KNOWLEDGE SHARING DI PERPUSTAKAAN: Upaya dan Solusi Pustakawan Referensi Untuk Memenuhi kebutuhan Informasi Pengguna 1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBUDAYAKAN KNOWLEDGE SHARING DI PERPUSTAKAAN:

Upaya dan Solusi Pustakawan Referensi Untuk Memenuhi kebutuhan

Informasi Pengguna

1

Wahid Nashihuddin

Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI Korespondensi: mamaz_wait@yahoo.com ABSTRAK

Knowledge sharing merupakan salah satu cara yang efektif bagi pustakawan referensi untuk

mengetahui berbagi kebutuhan informasi pengguna dan bahan menetapkan solusi perbaikan layanan perpustakaan. Melalui knowledge sharing, pustakawan mendapatkan berbagai saran, kritik, dan ide untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi penggunanya. Khususnya bagi pustakawan referensi yang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sehari-hari selalu berhadapan dengan pemustaka, tentunya harus aktif dan inovatif membantu untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka. Tulisan ini membahas tentang perlunya pustakawan referensi membudayakan knowledge

sharing di perpustakaan dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi pengguna. Tujuan tulisan ini

untuk menjelaskan proses dan cara membudayakan knowledge sharing di perpustakaan, di mana perlukan peran aktif dan contoh dari pustakawan referensi. Kesimpulan kajian ini adalah pustakawan referensi perlu menggalakan knowledge sharing di perpustakaan dan mendokumentasikan hasil knowledge sharing dalam rangka evaluasi peningkatan mutu layanan perpustakaan yang lebih baik.

Keywords: Knowledge; Knowledge sharing; Reference librarian; Communication; Library.

1. PENDAHULUAN

Kebutuhan informasi pengguna perpustakaan atau pemustaka di era global ini semakin kompleks, dan informasi sudah menjadi kebutuhan utama manusia (selain papan, pangan, sandang). Rusmana (2015) mengatakan bahwa informasi kini sudah menjadi sumber kekuatan (information is power) yang mendorong orang untuk berlomba mencari dan mengumpulkan informasi, dan belajar untuk menjadi ahli informasi. Oleh karena itu, masyarakat sekarang ini dapat disebut juga sebagai masyarakat informasi. Masyarakat informasi adalah masyarakat yang sadar akan pentingnya informasi, tergantung pada informasi dan menjadikan informasi tersebut sebagai dasar meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan manusia.

Peningkatan kebutuhan informasi pengguna ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi pustakawan untuk menyediakan dan memberikan sumber-sumber referensi atau literatur yang terbaik kepada mereka. Salah satu upaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pemustaka adalah dengan meningkatkan komunikasi yang efektif melalui kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).

Melalui knowledge sharing, pustakawan dapat mengidentifikasi berbagai kebutuhan informasi pengguna dan menetapkan solusi perbaikan yang bijaksana (disertai

(2)

dengan berbagai pertimbangan yang matang hasil koordinasi dengan berbagai pihak). Knowledge sharing dilakukan pustakawan tidak hanya dengan menjawab pertanyaan pemustaka dan mencarikan literatur/koleksi di rak perpustakaan (setelah itu selesai), tetapi ada tindak lanjut dan penawaran jasa informasi lain yang dimiliki perpustakaan dan lembaga induknya dalam rangka peningkatan kerja sama dengan pengguna atau stakeholders.

Kajian ini menegaskan bahwa knowledge sharing perlu dibudayakan oleh pustakawan, khususnya pustakawan referensi (reference librarian), dalam rangka “memakmurkan” perpustakaan dan meningkatan mutu layanan perpustakaan secara berkesinambungan. Pustakawan referensi menjadi tolok ukur keberhasilan perpustakaan dalam memberikan pelayanan kepada pengguna. Dalam pekerjaannya sehari-hari, pustakawan referensi dihadapkan langsung permintaan informasi/literatur pengguna. Untuk itu, pustakawan referensi harus mampu berkomunikasi dengan baik serta responsif terhadap kebutuhan pengguna. Widyawan (2012) mengatakan bahwa untuk mengenali pemustaka, pustakawan referensi harus mampu berkomunikasi secara efektif dengan pemustaka untuk menemukan kebutuhan riil dan menyajikan pelayanan yang berkualitas.

Hal yang menarik lagi adalah ketika hasil knowledge sharing didokumentasikan oleh pustakawan referensi agar dapat dibaca dan manfaatkan sebagai oleh pihak lain. Dokumentasi tersebut berupa literatur sekunder yang dapat dimanfaatkan oleh petugas perpustakaan dan pustakawan lain dalam memberikan pelayanan informasi kepada pengguna perpustakaan, baik yang dilayani di tempat maupun via-online (email, social media, instant messenger). Melihat urgensi dari penerapan budaya knowledge sharing di perpustakaan ini, akan dibahas lebih lanjut dengan dua pokok permasalahan, yaitu: 1) bagaimana cara membudayakan knowledge sharing di perpustakaan?; dan 2) bagaimana proses knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan rekan kerja lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan. Kedua hal tersebut dijelaskan secara deskriptif pada pembahasan kajian ini.

2. TINJAUAN TEORI 2.1 Knowledge Sharing

Berbagi pengetahuan (knowledge sharing) merupakan suatu proses di mana para individu saling mempertukarkan pengetahuan mereka dari tacit knowledge menjadi explicit knowledge (Gitanauli, 2010). Dingsoyr dan Conradi (2002) mengatakan bahwa tacit knowledge adalah pengetahuan seseorang yang tidak dapat diekspresikan secara eksplisit, tetapi ia dapat menuntun perilaku manusia sebagai

(3)

model mental, pengalaman, dan skill. Kemudian, explicit knowledge adalah pengetahuan yang dapat diekpresikan dalam bentuk laporan, buku, pembicaraan, komunikasi formal atau informal. Untuk menjadi suatu “pengetahuan” diperlukan suatu proses penciptaan yang cukup cermat. Proses penciptaan pengetahuan dapat dimulai dari mengumpulkan dan merekam data, mengumpulkan dan mengelola informasi, hingga mengolah informasi menjadi pengetahuan. .

Sudarsono dan Imadianti (2012) menjelaskan bahwa istilah knowledge managament (KM) di kalangan pustakawan telah dibahas International Federation of Library Associations (IFLA) sejak tahun 2001. Perkembangan minat pada penerapan KM dalam lingkungan perpustakaan dan jasa informasi menjadi alasan pustakawan untuk memperdalam pemahaman atas beragam dimensi KM terkait dengan tugas mereka. Penerapan KM (pada Devisi III Library Service-IFLA) bertujuan untuk: 1) mendukung penerapan budaya KM dalam lingkungan perpustakaan dan informasi; 2) memberikan landasan internasional bagi komunikasi profesional dan pemahaman yang signifikan atas KM bagi pustakawan dan lembaga mereka; serta 3) mengikuti perkembangan KM dan mempromosikan penerapannya dalam komunitas IFLA. Sejak saat itu, banyak pustakawan yang tertarik untuk mendalami pemahaman tentang KM agar dapat diterapkan di organisasi mereka. Hal penting dari penerapan KM ini yaitu mengumpulkan dan menghubungkan, sehingga sebaran pengetahuan dalam organisasi menjadi semakin luas dan mendalam.

The International Federation of Library Associations/IFLA (2015) menyatakan perlu ditingkatkan diskusi sesama anggota dan pengelola perpustakaan dalam rangka meningkatkan manajemen pengelolaan pengetahuan di perpustakaan, yang disertai dengan strategi, proses, dan praktek pengelolaan pengetahuan global, seperti berbagi pengetahuan untuk knowledge management (KM) di perpustakaan. Tujuan dari KM tersebut untuk menciptakan, menyimpan, berbagi, menerapkan, dan menggunakan kembali pengetahuan organisasi untuk memungkinkan suatu organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan KM, baik berupa tercipta pengetahuan tacit (keahlian), pengetahuan implicit, maupun pengetahuan explicit dan pengetahuan prosedural. Pernyataan IFLA tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam praktek KM, knowledge sharing dilaksanakan dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan organisasi dengan mengolah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan explicit yang terdokumentasi dan prosedural.

Nonaka dan Takeuchi (1995) mengatakan bahwa proses penciptaan pengetahuan penting bagi karyawan secara individual. Penciptaan pengetahuan dapat

(4)

dipandang sebagai proses internalisasi pengetahuan individu ke pengetahuan organisasi. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi antar individual pada berbagai level organisasi. Di perpustakaan, Chen, Chu, dan Xu (2012) menjelaskan ada empat kategori proses transfer pengetahuan, yaitu: a) berbagi pengetahuan antara pustakawan dengan pengguna untuk saling berbagi sumber informasi; b) penyebaran informasi melalui berita dan pengumuman yang di update dari perpustakaan; c) komunikasi yang ditujukan ke individual; serta d) percakapan antara pustakawan dan pemustaka atau antar-pemustaka.

2.2 Komunikasi Pustakawan

Kunci keberhasilan proses knowledge sharing adalah komunikasi. Komunikasi yang terjadi di perpustakaan, baik antara pustakawan dengan pemustaka atau sebaliknya dikategorikan sebagai komunikasi interpersonal. Andayani (2009) mengatakan komunikasi interpersonal sebagai suatu proses pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun melalui media. Menurut Effendy (2003), komunikasi sangat penting di dalam perpustakaan untuk menentukan kualitas layanan perpustakaan yang ideal, khususnya hubungan komunikasi interpersonal. Melalui komunikasi interpersonal, pesan yang disampaikan oleh satu orang dapat diterima orang lain.

Batubara (2011) mengatakan bahwa kompetensi komunikasi pustakawan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan layanan perpustakaan, terutama pustakawan yang bertugas di bagian pelayanan. Spitzberg (1984:68) menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi, baik memberikan penjelasan kepada orang lain, menunjuk pada ketepatan, kejelasan, komprehensibilitas, koherensi, efektivitas keahlian, maupun kesesuaian.

2.3 Pustakawan Referensi

Pustakawan referensi adalah seorang pustakawan yang bekerja di pelayanan publik, menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung perpustakaan di meja referensi, melalui telepon, atau e-mail (Reitz, 2014). Widyawan (2012) mengatakan kompetensi profesional seorang pustakawan referensi yaitu mampu memberikan pelayan prima bagi pemustaka. Kompetensi profesional pustakawan referensi ini dapat dibuktikan dengan perilaku, kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan referensi dalam memberikan pelayanan referensi yang bermutu. Beberapa wujud kompetensi profesional dari seorang pustakawan referensi, yaitu:

(5)

1) Akses, pustakawan referensi mampu menganalisis dan menanggapi kebutuhan pelayanan informasi serta mampu merancang dan mengelola pelayanan referensi. Fokus utama dalam aspek akses ini yakni tentang pemahaman pustakawan tentang kebutuhan dan perilaku informasi pemustaka sehingga pustakawan perlu mengembangkan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka secara efektif.

2) Basis pengetahuan, pengetahuan pustakawan referensi mencakup: a) struktur sumber informasi bidang utama pengguna; b) sarana informasi dasar, seperti katalogisasi sistem komputer, sistem pencarian, pangkalan data, situs web, pengelolaan jurnal dan monograf (cetak atau elektronik), dan video/rekaman suara; c) pola penelusuran informasi dan perilaku pemustaka; d) prinsip-prinsip komunikasi yang interaktif dengan pemustaka; e) mengetahui pengaruh teknologi terhadap struktur informasi; f) hak cipta dan kekayaan intelektual; serta g) standar kompetensi informasi.

3) Pemasaran, pemasaran ini merupakan aspek perencanaan strategis, yakni dengan menetapkan promosi. Dalam kegiatan promosi ini, pustakawan harus menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi yang tepat untuk meningkatkan pelayanan kepada pemustaka.

4) Kolaborasi, kolaborasi diartikan sebagai bekerja bersama dengan orang lain. Kolaborasi berguna untuk memelihara hubungan baik dengan pemustaka dan sejawat, baik di dalam maupun di luar perpustakaan. Pustakawan harus bekerjasama dengan sejawat, organisasi profesi, dan kelompok lain untuk memastikan bahwa pemustaka menerima pelayanan yang tepat.

5) Evaluasi dan penilaian sumber daya dan pelayanan, hal ini dilakukan secara konsisten agar kebutuhan informasi pemustaka dapat terpenuhi dan pelayanan informasi yang diberikan ke pemustaka hasilnya relevan. Pustakawan referensi dituntut untuk memiliki kompetensi dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan ke pemustaka, baik dilakukan secara formal maupun informal. Menurut Helmi dan Iman (2009), hubungan yang bersifat formal ataupun informasi di antara karyawan merupakan hal penting dalam berbagi pengetahuan di dalam organisasi.

2.4 Kajian Sejenis

Safitri (2014) dalan artikelnya yang berjudul “Penerapan Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi”, menjelaskan bahwa

(6)

knowledge sharing merupakan salah satu elemen penting di perpustakaan akademik. Penerapan knowledge sharing tidak terlepas dari peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mempermudah segala aktivitas di perpustakaan. Penerapan knowledge sharing memberikan beberapa keuntungan, baik bagi pustakawan maupun pengguna (users). Konsep dasar penerapan knowledge sharing ini merujuk konsep analisis yang dicetuskan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995), yaitu SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization). Melalui penerapan SECI terjadi proses perpindahan pengetahuan dengan aktivitas berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Di Perpustakaan, proses knowledge sharing dapat dilakukan dengan memanfaatkan situs media sosial. Penerapan knowledge sharing melalui media sosial dan blog perpustakaan serta motivasi diri bagi pustakawan untuk meningkatkan layanan perpustakaan menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pustakawan/pengelola perpustakaan. Hasil kajian ini, yaitu: 1) perpustakaan perlu mengoptimalkan TIK untuk berbagi pengatahuan dalam rangka peningkatan layanan informasinya, baik melalui media sosial, blog, maupun wiki); 2) perlunya motivasi diri pustakawan untuk berbagi pengetahuan; 3) perlunya reward (dalam berbagai bentuk) dari organisasi sebagai bentuk penghargaan kepada pustakawan yang telah bersedia berbagi pengetahuan.

Dong (2008) dalam artikelnya yang berjudul “Using Blog for Knowledge Management in Libraries”, menjelaskan bahwa media online perpustakaan yang dianggap efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pengguna adalah blog. Blog sebagai sarana yang lebih efektif untuk berbagi pengetahuan. Blog dapat membantu perpustakaan membangun kesadaran pemustaka untuk berbagi pengetahuan. Selain itu, blog dapat menjangkau tujuan dari manajemen pengetahuan (knowledge management), yaitu berperan sebagai wahana komunikasi internal. Dalam komunikasi internal, semua pustakawan dapat membagi pengetahuannya, baik yang bersifat tacit maupun explicit. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Forcier (2013) melalui artikelnya yang berjudul “The Shoemaker’s Son: A Substantive Theory of Social Media Use for Knowledge Sharing in Academic Libraries”, yang dilakukan pada beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Kanada. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa media sosial telah terintegrasi ke dalam praktek berbagi pengetahuan. Blog dan Wiki mendukung berbagi pengetahuan secara internal dengan kategori seperti pengumuman, berita dan informasi ke pustakawan dan staf. Media sosial dapat digunakan perpustakaan untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi kepada pemustaka khususya untuk peningkatan layanan perpustakaan. Selain itu, media sosial

(7)

dapat digunakan untuk mendukung berbagi pengetahuan, khususnya tacit knowledge yang dimiliki oleh para praktisi sehingga pustakawan dan pemustaka dapat memperoleh keuntungan dari proses tersebut.

3. PEMBAHASAN

3.1 Membudayakan Knowledge Sharing di Perpustakaan

Keberhasilan penerapan KM di perpustakaan tidak dapat terlepas dari aktivitas berbagi pengetahuan antar-pustakawan dengan pihak lain. Rodin, Kismiyati, dan Margono (2011) bahwa pengimplementasian knowledge management tidak bisa terlepas dari kegiatan knowledge sharing. Adanya kemauan untuk membagi pengetahuan antar-individu sangat diperlukan dan dari pengetahuan individu-individu disimpan sebagai pengetahuan organisasi. Budaya individualisme harus sudah mulai ditinggalkan, ilmu yang dimiliki individu sudah mulai di-sharing ke para kolega demi kemajuan organisasi. Knowledge sharing akan meningkatkan pemahaman antara sesama anggota sehingga antara anggota akan saling mendukung serta meningkatkan kinerja dan akhirnya akan menemukan proses kerja yang terbaik bagi organsiasi. Knowledge sharing dapat meningkatkan wawasan seorang pegawai tentang kegiatan-kegiatan yang ada di lembaganya, serta menjaga keharmonisan dan keberlangsungan komunikasi dan kerja sama suatu lembaga. Kegiatan knowledge sharing ini sebaiknya rutin dilaksanakan oleh pegawai/petugas perpustakaan, baik melalui kegiatan pertemuan, diskusi, seminar, maupun media sosial online.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa knowledge sharing sangat mendukung terciptanya kegiatan knowledge management di suatu organisasi, termasuk di perpustakaan. Melalui knowledge sharing, pengetahuan pustakawan yang dibagikan ke pemustaka dan rekan kerja lain dapat menjadi pengetahuan organisasi. Artinya bahwa pengetahuan pustakawan menjadi dasar rujukan bagi pemustaka, petugas perpustakaan, dan pimpinan lembaga dalam rangka peningkatan layanan referensi perpustakaan.

Agar knowledge sharing antar-sivitas individu atau kolektif di perpustakaan dapat harmonis dan efektif, pustakawan referensi perlu mempersiapkan kompetensi komunikasi yang baik, yaitu: 1) komitmen dan itikad baik; 2) rasa empati (kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan pengalaman bagaimana perspektif yang terasa); 3) fleksibilitas (mampu memilih respon yang untuk mencapai tujuan bersama); 4) sensitivitas terhadap konsekuensi; dan 5) kecakapan berkomunikasi (Rowley, 1999). Kompetensi komunikasi ini menjadi kunci

(8)

keberhasilan bagi pustakawan referensi dalam untuk membudayakan pelaksanaan knowledge sharing di perpustakaan.

Terkait dengan tugas membudayakan knowledge sharing di perpustakaan, pustakawan referensi harus mampu menjadi contoh kepada rekan kerja lain dan bersikap pro-aktif terhadap permintaan informasi pemustaka. Membudayakan berarti mengajar supaya mempunyai budaya; membiasakan suatu perbuatan yang baik sehingga dianggap sebagai berbudaya (KBBI, 2008). Mengacu pada pernyataan tersebut, membudayakan berarti membiasakan diri untuk hal baik, yang dilakukan secara sadar untuk tujuan tertentu. Jika diterapkan di perpustakaan, maka budaya knowledge sharing ini menjadi kebiasaan atau tradisi positif untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan yang berorientasi pada kebutuhan informasi pengguna.

Berikut ini beberapa upaya yang dilakukan oleh pustakawan referensi untuk membudayakan knowledge sharing di perpustakaan, yaitu:

1) Mengetahui cara yang tepat dan benar dalam menjawab berbagai pertanyaan pemustaka dalam wujud 5 W + 1 H (Who, What, When, Where, Why + How) dengan sikap user friendly (ramah, sopan, simpati, dan empati).

2) Selalu menyediakan waktu luang untuk berdiskusi dengan pemustaka. Cara tersebut untuk mengetahui karakter dan perilaku pemustaka dalam memanfaatkan sumber-sumber informasi perpustakaan. Dengan mengetahui kepribadian pemustaka, pustakawan akan mudah untuk melayaninya, harus apa dan bagaimana untuk melayani kebutuhan informasinya?

3) Merespon dan menghargai sanggah balik (feed back) dari pemustaka. Pustakawan harus menganggap pemustaka/pengguna layanan sebagai “tamu istimewa” (dalam istilah dagang, tamu adalah pembeli dan pembeli adalah raja). Pengguna harus mendapatkan perlakuan dan sambutan “spesial” dari pustakawan, baik pengguna yang datang ke perpustakaan maupun via-online. Selain itu, pustakawan harus menghargai setiap pertanyaan atau permasalahan yang dihadapi pemustaka, meskipun kadang-kadang hal yang disampaikan di luar batas kemampuan pustakawan untuk menjawabnya. Setiap pertanyaan pemustaka harus direspon dan dihargai dengan baik oleh pustakawan. Ketika komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka sudah terjalin baik, kebutuhan informasi pemustaka yang awalnya hanya terbatas pada mendapatkan literatur perpustakaan akan melebar ke permintaan informasi yang bersifat global, seperti: a) pemustaka ingin memesan literatur yang bersifat kompleks dalam satu subjek/topik; b) pemustaka meminta bimbingan literasi informasi perpustakaan;

(9)

c) pemustaka ingin kerjasama perpustakaan, baik berupa seminar maupun pelatihan bidang perpustakaan.

4) Menawarkan jasa informasi perpustakaan/lembaga yang lain. Pustakawan referensi harus mampu mempromosikan dan menawarkan jasa-jasa informasi perpustakaan lain yang lebih menarik dan inovatif agar pengguna lebih mudah mengakses dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam konteks ini, pustakawan referensi beperan sebagai humas (public relation) atau “marketer” perpustakaan. Pustakawan referensi harus bisa “memberikan rasa perhatian lebih” kepada pemustaka agar lebih tertarik dengan hal-hal yang ditawarkan. Misalnya, penawaran pembuatan kemasan informasi/pengetahuan sesuai permintaan pengguna dan menyediakan layanan pemesanan (reservasi) literatur via-online.

5) Menawarkan kerjasama berbasis kemitraan dengan pengguna. Cara ini bertujuan untuk membangun jaringan atau kerjasama perpustakaan dengan berbagai lembaga/institusi. Hal yang perlu diingat bahwa pengguna/pemustaka adalah mitra kerja pustakawan. Selain jadi konsumen informasi, pengguna/pemustaka menjadi mediator pustakawan untuk menghubungkan ke lembaga/institusinya. Dalam hal ini sebagai mediator kerjasama berbasis kemitraan (saling menguntungkan). Bentuk kerjasama ini dapat berupa profiling perpustakaan/lembaga ataupun pelatihan bidang kepustakawanan, seperti pelatihan layanan referensi, metodologi penelitian kepustakawanan, pembuatan kemasan informasi/pengetahuan, pembangunan database perpustakaan, dan pembangunan jurnal elektronik.

Kelima upaya di atas diharapkan dapat meningkatkan tali komunikasi dan kerjasama pustakawan dan lembaganya dengan pengguna/stakeholders, serta menjadi solusi terbaik bagi pustakawan referensi untuk memenuhi berbagai kebutuhan informasi penggunanya.

3.2 Proses Knowledge Sharing di Perpustakaan

Terkait dengan proses knowledge sharing ini, pustakawan referensi dapat menerapkan konsep atau model transfer pengetahuan dengan konsep SECI (socialization, externalization, combination, dan internalization) sebagaimana yang dijelaskan oleh Nonaka and Nishiguci (2001).

(10)

Gambar 1. The Knowledge Spiral, SECI Model (Nonaka and Nishiguci, 2001).

Keterangan:

 Socialization, berbagi pengalaman untuk menciptakan pengetahuan tacit, seperti model mental bersama dan ketrampilan teknis. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi dan praktek ide.

 Externalization, proses mengartikulasikan konsep pengetahuan tacit ke pengetahuan explicit menggunakan metafora, analogi, konsep, hipotesis, atau model.

 Combination, proses memadukan sistem konsep pengetahuan eksplisit ke sistem pengetahuan melalui jaringan.

 Internalization, pengetahuan explicit diwujudkan menjadi pengetahuan tacit. Hal ini biasa disebut sebagai “learning by doing”. Pengetahuan ini diartikulasikan atau digambarkan ke dalam bentuk dokumen atau cerita lisan. Berdasarkan konsep SECI di atas, pustakawan menerapkan knowledge sharing di perpustakaan dengan cara sebagai berikut.

Tabel 1. Penerapan Knowledge Sharing Melalui Konsep SECI

No Konsep SECI Proses Knowledge Sharing Dokumentasi

Hasil Knowledge Sharing 1 Socialization

(dari tacit ke tacit)

 Pengguna/pemustaka menyampaikan berbagai permasalahan terhadap kebutuhannya kepada pustakawan.  Pustakawan mengindentifikasi dan menyampaikan jawabannya kepda pemustaka. Selama terjadi diskusi/tanya jawab (interaktif) antara kedua belah pihak dan sudah sama-sama saling memahami proses

knowledge sharing selesai. Tetapi

jika, pemustaka belum puas dengan jawaban pustakawan, maka mencatatnya pada formulir layanan dan menyampaikan alasannya secara jelas; kapan pemustaka dapat memperoleh jawaban yang pasti.

 Jabawan pustakawan lisan.  Data pertanyaan pemustaka

yang belum terjawab. Hasil dokumentasi: Pengetahuan tidak terekam/tertulis (tacit knowledge) 2 Externalization (dari tacit ke explicit)

 Pustakawan mengidentifikasi hasil tanya-jawab dan merekamnya dalam formulir layanan.

 Pemustaka memahami jawaban yang disampaikan pustakawan dan

 Feedback (umpan balik) dari pemustaka

 Jawaban pustakawan terhadap pertanyaan lain pemustaka

(11)

mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Jika pemustaka ingin bertanya hal lain, dapat memberikan

feedback (umpan balik) terhadap

jawaban pustakawan hingga mendapatkan informasi yang lebih kompleks.

 Pustakawan merespon pertanyaan pemustaka dan mencatatnya di formulir layanan, jika perlu

disampaikan ke petugas/pustakawan lain yang memberikan pelayanan perpustakaan.

 Pustakawan mengidentifikasi berbagi pertanyaan dan jawaban yang terekam pada formulir layanan dan menuangkannya ke dokumen tanya-jawab perpustakaan, seperti dokumen FAQ, baik format cetak maupun elektronik yang

diinformasikan melalui website perpustakaan/lembaga.  Hasil dokumentasi tersebut,

kemudian disampaikan ke

petugas/pustakawan lain (diharapkan dapat menjadi acuan untuk

membantu menjawab pertanyaan referensi di perpustakaan).

 Dokumen FAQ (pertanyaan sudah dikelompokkan berdasarkan kategorinya)  Publikasi hasil knowledge

sharing¸bentuk cetak atau

elektronik (online).

Hasil dokumentasi: Pengetahuan terekam/tertulis (explicit

knowledge) dalam bentuk

dokumen FAQ Layanan Perpustakaan, bentuk cetak atau elektronik.

3 Combination (dari explicit ke

explicit)

 Pustakawan mendokumentasikan dalam bentuk FAQ layanan

perpustakaan dan menyampaikannya ke petugas/pustakawan lain untuk meminta masukan perbaikan.  Petugas/pustakawan lain

menggunakan dokumen FAQ dan memberikan tanggapannya untuk perbaikan informasi dokumen tersebut.

 Pemustaka, petugas perpustakaan, dan pustakawan lain dapat

menggunakan dokumen FAQ untuk literatur sekunder, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, maupun pembuatan karya tulis.

 Publikasi hasil knowledge

sharing.

 Perbaikan dan update informasi dokumentasi hasil

knowledge sharing

 Pemanfaata publikasi untuk literatur sekunder.

Hasil dokumentasi: Pengetahuan terekam/tertulis (explicit

knowledge) bentuk literatur

sekunder untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pembuatan karya tulis. 4 Internalization

(dari explicit ke

tacit)

 Pustakawan menyampaikan/ mensosialisasikan publikasi hasil

knowledge sharing ter-update kepada

pihak-pihak yang berkepentingan.  Pengguna dokumen dapat memahami

dokumen hasil knowledge sharing dan menggunakannya sesuai kebutuhan, khususnya untuk pembelajaran bersama

 Pemanfaatan dokumen FAQ (hasil knowledge sharing) Hasil dokumentasi: Pengetahuan terekam/tertulis (explicit

knowledge) digunakan untuk

memenuhi kebutuhan informasi pengguna.

Berdasarkan model transfer pengetahuan SECI di atas, hasil dari kegiatan knowledge sharing adalah dokumen tanya-jawab layanan referensi perpustakaan, yang berupa dokumen Frequently Asked Questions (FAQ). Dokumen tersebut dapat berupa dokumen cetak ataupun elektronik (yang diinformasikan melalui website

(12)

perpustakaan/lembaga). Dokumen FAQ tersebut tidak hanya sekedar hasil pekerjaan pustakawan referensi, tetapi juga sebagai referensi sekunder untuk memperlancar pelayanan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

4. PENUTUP

Pustakawan referensi sebagai tolok ukur keberhasilan layanan informasi perpustakaan dituntut untuk aktif melakukan komunikasi dan kerjasama dengan berbagai pihak. Jalinan komunikasi dan kerjasama tersebut perlu dioptimalkan melalui kegiatan knowledge sharing di perpustakaan. Dengan sikap user friendly pustakawan, kegiatan knowledge sharing akan menghasilkan hal-hal yang positif baik bagi diri pengembangan kompetensi diri pustakawan referensi dan peningkatan citra lembaganya. Melalui knowledge sharing, pustakawan dapat mengidentifikasi berbagai permasalahan dan kebutuhan informasi pengguna, serta dapat menetapkan solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Agar hasil knowledge sharing dapat diketahui dan dipahami oleh pemustaka dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka harus didokumentasikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Tri Rejeki. 2009. Efektifitas Komunikasi Interpersonal. Semarang: UNDIP.

Batubara, Abdul Karim. 2011. Urgensi Kompetensi Komunikasi Pustakawan dalam Memberikan Layanan Kepada Pemustaka. Jurnal Iqra’, Vol. 05, No.01, Mei.

Chen, Dora Yu-Thing, Samuel Kai-Wah Chu, Shu-Qin Xu. 2012. How Do Libraries Use Social Networking Sites to Interact with Users. ASIST October 28-31.

Dingsoyr, T., dan Conradi, R. 2002. A Survey of Case Studies of the Use of Knowledge Management in Software Engineering. International Journal of Software Engineering and Knowledge Engineering, 12 (4), 391-414.

Dong, Elaine Xiaofen. 2008. Using Blog for Knowledge Management in Libraries. CALA Occasional Paper Series No.2.

Effendy, Onong Uchjana. 2002. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Forcier, Eric. 2013. The Shoemaker’s Son: a Substantive Theory of Social Media Use for

Knowledge Sharing in Academic Libraries. Tesis. Kanada: Universitas Alberta.

Gitanauli, Tiurma K.F.P. 2010. Pengaruh Knowledge Sharing dan Absorptive Capacity Terhadap Innovation Capability pada Direktorat Corporate Services dan Direktorat Marketing di PT Indosat Tbk. Journal of Management and Business Review, Vol.7 No.1 January, page.59-71.

IFLA. 2015. Knowledge Management Section. 6 Oktober (di http://www.ifla.org/km, 28 April 2016).

KBBI. 2008. Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (di http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, 28 April 2016).

Nonaka, I., & Nishiguchi, T. 2001. Knowledge Emergence: Social, Technical, and Evolutionary Dimensions of Knowledge Creation : Oxford University Press, USA. Nonaka, I dan Takeuchi, H. 1995. The Knowledge Creating Company: How Japanese

Companies Create the Dynamics of of Innovation. New York: Oxford University Press. Perpusnas. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang

(13)

Reitz, Joan M. 2014. Reference Librarian. Online Dictionary for Library and Information Science. http://www.abc-clio.com/ODLIS/odlis_r.aspx (19 September 2015).

Rodin, Rhoni, Titiek Kismiyati, dan Tri Margono. 2011 Implementasi Knowledge Sharing Sebagai Upaya Peningkatan Efektifitas Keprofesionalan Pustakawan (Studi Kasus Di Perpustakaan STAIN Curup). http://pustakawan.pnri.go.id/jurnal/ (19 September 2015). Rowley, Richard D. 1999. Interpersonal Competence. http://www.uky.edu/~drlane. (19

September 2015).

Rusmana, Agus. 2015. Masyarakat Berpengetahuan dan Kepustakawanan: Kepustakawanan Berorientasi Pengetahuan. Makalah Sidang Perdana dan Terbuka Kappa Sigma Kappa Indonesia (KSKI) bersama Komunitas Jelajah dan PDII-LIPI, KSKI akarta, 17 Desember. Safitri, Dyah. 2014. Penerapan Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan

Perguruan Tinggi. Jurnal KHIZANAH AL-HIKMAH, Vol.2, No.2, Juli-Desember. Sudarsono, Blasius dan Prafita Imadianti. 2012. Pustakawan Memandang Knowledge

Management. Makalah ini telah disampaikan dalam “Kuliah Umum, Terbuka, dan Gratis ke XII”, PDII-LIPI, 29 Juni 2012.

Widyawan, Rosa. 2012. Pelayanan Referensi Berawal dari Senyuman. Bandung: CV Bahtera Ilmu.

Gambar

Tabel 1. Penerapan Knowledge Sharing Melalui Konsep SECI

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Abstract : Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah Penerapan Sepuluh Dasa Darma Bagi Anggota Pramuka dalam Kehidupan Sehari-hari di Gudep 08001-08002

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (deskriptif) yang akan difokuskan pada kajian potensi batik di Kecamatan Gedangsari, kemudian distrukturkan menjadi materi

Tetap - Aktiva Dalam Pengerjaan - Bangunan dan Prasarana” di neraca konsolidasi. Pada tanggal 9 Juni 2005, KMI mengadakan perjanjian kontrak untuk pembangunan pabrik susu dengan APV

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: (1) hal-hal yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Alay berupa (a) sebagai identitas diri, (b) sebagai ungkapan/ekspresi, (c)

daerah Dedekind. Contoh lain daerah Dedekind adalah daerah ideal utama tak-nol "Q adalah ideal yang dapat dibalik. Konsep ideal yang dapat dibalik kemudian

Kelebihan model Think Pair Share (TPS) adalah: 1) Memiliki prosedur yang ditetapkan secara ekplisit untuk memberi sisa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab,

Hasil penelitian yang diperoleh dari pemeriksaan 97 sampel tinja anak dengan diare yang berobat di Puskesmas Rawat Inap Kota Pekanbaru menunjukkan sebanyak 15