• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA 26 MEI 2006 UTC"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA VERTICAL TOTAL ELECTRON CONTENT DI IONOSFER

DAERAH JAWA DAN SEKITARNYA

YANG BERASOSIASI DENGAN GEMPABUMI YOGYAKARTA

26 MEI 2006 UTC

I Made Kris Adi Astra1, I Putu Pudja2 1

Jurusan Geofisika, Akademi Meteorologi dan Geofisika 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

ABSTRAK

Kenyataan bahwa dampak gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (local time) memberikan dampak negatif bagi kehidupan menjadikannya salah satu bencana yang tidak memberikan waktu yang cukup lama untuk sebuah peringatan. Sebelumnya, telah banyak dilakukan penelitian untuk membangun sebuah system yang diharapkan memberikan petunjuk untuk mem-pre-deteksi gempabumi. Salah satunya adalah pendekatan dengan Seismo-Ionospheric Coupling. Dalam pemikiran ini dijelaskan tahapan-tahapan yang terjadi di Ionosfer ketika gempabumi akan terjadi dan saat terjadi.Dalam tulisan ini dipilih Densitas Elektron dalam arah Vertical (Vertical Total Electron Content) di Ionosfer sebagai parameternya. Total Electron Content (TEC) adalah jumlah elektron dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km.Dari analisa didapatkan, terjadi tiga kali penurunan nilai VTEC yang signifikan di daerah Jawa dan sekitarnya. Yaitu pada 18, 20 dan 22 Mei 2006. Namun setelah dikoreksi Dst Index, penurunan nilai VTEC pada tanggal 18 Mei 2008 berkaitan dengan gangguan magnetic. Selanjutnya pada tanggal 20 Mei 2006 dan 22 Mei 2006, penurunan nilai VTEC diindikasikan sebagai akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric Coupling sebelum terjadinya gempabumi. Hal ini diperkuat dari koreksi Dst. Index yang tidak menunjukan adanya gangguan magnetic yang berarti.

Kata kunci: Seismo-Ionospheric Coupling, VTEC, Dst. Index

ABSTRACT

Earthquake that struck Jogjakarta on May 27 2006 (local time) gives negative impact to life and it became of no awareness disaster. Previously, there are many researches that developed a system which can give signal to earthquake pre-detection. One of them is Seismo-Ionosperic Coupling. This research, explain phases in Ionospere before and after shock.Electron densities in vertical direction in Ionospere (Vertical Total Electron Content) is selected as parameter. Total Electron Content (TEC) is defined as the amount of electron in vertical column (cylinder) with cross-section of 1 m2 along GPS signal trajectory in Ionospere at arround 350 km of height.There are three times of significant decrease of VTEC value in Java and its surrounding, i.e. at 18, 20, 22 of May 2006. However, after corrected by Dst Index, the decrease VTEC value on May 18 2008 has relationship with magnetic disturbance. The decrease of VTEC value on May 20 and May

(2)

22 2006 is indicated as effect of Seismo-Ionosperic Coupling physical process before shock. This is supported by correction of Dst. index that shows there is no significant magnetic disturbance.

Keywords : Seismo-Ionospheric Coupling, VTEC, Dst. Index

1. PENDAHULUAN

Kenyataan bahwa gempabumi memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan terlihat begitu nyata ketika gelombang ini meluluhlantakkan bangunan, mematahkan jembatan, memicu gelombang tsunami dan memakan ratusan ribu korban jiwa. Gelombang yang terpancar secara tiba-tiba dari suatu sistem pelepasan energi pada batuan ini sangat sukses menjadikan dirinya sebagai bencana alam yang tidak memberikan waktu lama untuk sebuah peringatan. Sehingga muncul gagasan-gagasan untuk memantau, mempre-deteksi bahkan memprediksi kapan akan terjadinya sebuah gempabumi secara komprehensif.

Selama bertahun-tahun metode untuk memprediksi kapan akan terjadinya gempabumi dibangun sedemikian rupa, tahap demi tahap. Banyak metode yang digunakan untuk hal terebut diantaranya metode matematis-statistik dan metode fisis. Metode matematis-statistik dianggap cukup mampu untuk menjelaskan fenomena pengulangan siklus gempabumi yang dinamakan periode ulang. Namun karena kompleksitas gaya yang bekerja pada bidang sumber gempabumi, metode statistik periode ulang dianggap belum cukup untuk memprediksi gempabumi dalam waktu yang spesifik pada saat akan terjadinya gempabumi.

Belakangan, metode dengan memperhatikan kondisi fisis di sekitar titik pusat epicenter gempa semakin giat dikembangkan. Sebut saja pengukuran terhadap anomali emisi gas radon, pengukuran air tanah, gejala geomagnet, dan gangguan pada konsentrasi electron di ionosfer sebelum terjadinya gempabumi. Pengukuran perubahan sifat fisis tersebut sebelum terjadinya gempabumi diharapkan memberikan petunjuk awal precursor prediksi gempabumi dalam waktu yang singkat (short term prediction).

Dengan menggunakan parameter Total Electron Content (TEC) atau sering juga disebut dengan densitas elektron, maka akan diketahui jumlah elektron dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal Ionosonde ataupun perangkat GPS dalam lapisan ionosfer. Saat sebelum terjadinya gempabumi, konsentrasi elektron-elektron tersebut akan terganggu. Gangguan ini dijelaskan dalam model fisis mekanisme Seismo-Ionosperic Coupling.

Model fisis ini terdiri dari beberapa tahapan sebelum nantinya menyebabkan ketidakteraturan konsentrasi elektron di ionosfer dalam skala yang besar. Mulai dari tahap persiapan, pembentukan plasma, clustering ion, dan pembangkitan medan anomali elektrik.

Tulisan ini mengkhususkan pada identifikasi anomali nilai dari kerapatan elektron tersebut sebelum terjadi gempabumi.

Tujuan tulisan ini untuk mengetahui apakah ada fluktuasi nilai Vertical TEC ketika akan terjadinya gempabumi dan kemungkinan anomali ini digunakan untuk mempre-deteksi akan datangnya gempabumi.

Dan lingkup penelitian ini difokuskan pada gangguan konsentrasi elektron di ionosfer dalam arah vertical (nilai vertical TEC) beberapa hari menjelang terjadinya gempabumi yang terjadi pada saat gempa Yogyakarta 26 Mei 2006 pada UTC atau 27 Mei 2006 WIB.

2. LANDASAN TEORI 2.1. Teori Gempabumi

2.1.1. Elastic Rebound Theory

Gempabumi merupakan pelepasan energi secara tiba-tiba dari energi strain yang terakumulasi dalam periode waktu tertentu. Kemudian termanifestasi kesegala arah dalam

(3)

rangkaian gelombang dan kejutan. Gempabumi dipercayai terjadi karena sebuah mekanisme yang mengacu kepada Elastic Rebound Theory. Teori ini dikembangkan pada tahun 1906 setelah terjadinya gempabumi San Francisco. Mekanismenya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 1. Elastic Rebound Theory

Apabila terdapat dua buah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan pada batuan kulit bumi, maka batuan tersebut akan terdeformasi. Hal ini dikarenakan batuan mempunyai sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan terjadi secara terus menerus, maka lama kelamaan daya dukung pada batuan akan mencapai batas maksimum dan akan mulai terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami patahan secara tiba – tiba sepanjang bidang patahan. Setelah itu batuan akan kembali stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk dan posisi. Pada saat batuan mengalami gerakan yang tiba–tiba akibat pergeseran batuan, energi stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang kita kenal sebagai gempa bumi.

2.1.2 Efek Piezo Electric dan formasi Antena Dipole

T.K. Das membuat sebuah hipotesa tentang efek piezo elektrik pada patahan. Menurut pandangan pemikiran ini, retakan yang terjadi pada sebuah lempengan mengacu kepada stress termal. Lempengan menekan dan energi stess termalnya dikeluarkan oleh geospot pada batas bidang patahan.

Gambar 2 Keadaan Normal

Gambar 3 Strain Tumbuh

(4)

Gambar 5. Kontraksi Sebelum Rebound

Gambar 6. Dilatasi Setelah Rebound

Terdapat lima buah garis lurus dan parallel yang mewakili serat elastis yang mengarah ke garis patahan yang ditekan oleh mekanisme energy dari geospot. Ketika dorongan pada crustal rock di C lebih besar dari kekuatan batuan yang menahannya, maka terjadilah gempabumi. Hasilnya pada daerah tersebut terjadi pergeseran pada bidang patahan, yang berakibat terjadinya kompresi pada segmen BC dan C1D serta dilatasi pada CD dan BC1.

Getaran mekanis terjadi di daerah BD dan menghasilkn gelombang elastic (gelomban P dan S) yang menjalar diantara B dan D. Pada saat yang sama, batuan yang bersebelahan dengan patahan akan kembali ke kesetimbangan awal (rebound) karena sifat dari material elastic batuan tersebut. Setelah kembali ke posisi awal, kedudukan dari B dan D ditunjukan pada gambar 2.4, dan menghasilkan kontraksi pada daerah diantara B-C dan C1D. kontraksi pendek pada

batuan crystalline ini memunculkan arus pada kedua sisi batuan seperti pada gambar 2.5. Begitu pula setelah pelepasan akumulasi stress. Terjadi dilatasi pada batuan crystalline yang menghasilkan arus dengan polaritas yang berlawanan. Jenis formasi arus yang berasal dari kontraksi dan dilatasi dari batuan crystalline dikenal dengan efek Piezo Electric.

Gambar 7. Kapasitor Piezo Electric (T.K.Das) Seperti ditunjukkan pada gambar 2.7. batuan crystalline yang menunjukkan efek Piezo Electric –bertindak sebagai kapasitor. Daerah diantara B-C dan C1-D terisi oleh material dielektrik silico. PQ dan RS adalah medium penghantar tempat arus elektik mengalir. Medium penghantar dimana arus elektrik berosilasi ini bertindak sebagai sebuah antenna dipole. Konsekuensinya adalah memunculkan emisi elektromagnetik (T.K. Das)

2.2 Total Electron Content (TEC)

Total Electron Content adalah jumlah elektron dalam kolom vertikal (silinder) berpenampang seluas 1 m2 sepanjang lintasan sinyal perangkat GPS yang dilalui di lapisan ionosfer pada ketinggian sekitar 350 km. Propagasi gelombang radio melalui ionosfer akan mengalami delay time sebagai akibat dari keterkaitannya dengan elektron bebas di ionosfer. Delay time ini dikarakteristikan oleh total electron content (TEC) ionosfer yang merupakan fungsi dari variable-variabel seperti lokasi geografis, waktu lokal, musim, radiasi eksrim UV (Ultra Violet) dan aktivitas medan magnet. Jumlah ini merepresentasikan kerapatan atau densitas dari electron di Ionosfer (electron

(5)

density). Nilai TEC dinyatakan dalam TEC Unit (TECU) dimana 1 TEC Unit sama dengan 1016 elektron/m2.

Gambar 8. Penentuan Parameter Predeteksi Gempabumi di Ionosfer dengan GPS Penentuannya menggunakan perangkat GPS yang terdiri dari tiga segmen, segmen angkasa, yaitu satelit GPS, segmen control yaitu stasiun-stasiun pemonitor dan segmen pemakai. GPS Receiver dibumi memancarkan sinyal setiap 30 detik dan diterima oleh satelit GPS, sinyal-sinyal tersebut kemudian diolah menjadi berbagai produk, salah satunya adalah kerapatan electron di ionosfer atau TEC.

Jumlah elektron dan ion bebas pada lapisan ionosfer ini bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari.

2.3 Seismo-Ionospheric Coupling

Seismo-Ionospheric Coupling adalah pemikiran yang dibangun untuk menjelaskan fenomena-fenomena anomali di Ionosfer akibat dari terjadinya gempabumi. Fenomena ini terjadi di berbagai lapisan Ionosfer yang meliputi :

Lapisan D, adalah lapisan yang paling dekat dengan bumi dengan ketinggian 50 hingga 90 km. Lapisan E, yang berada diatas lapisan D. Dan lapisan F yang berada diatas lapisan E hingga ketinggian 400 km dari permukaan bumi.

2.3.1 Model Fisis Seismo-Ionospheric Coupling

Model fisis Seismo-Ionospheric Coupling dapat dijabarkan seperti berikut :

Tahap permulaan dari precursor Ionosfer adalah pembentukan plasma di sekitar permukaan

bumi yang berasal dari reaksi ion-molekul (setelah terionisasi oleh Radon) dengan pengikatan molekul air sehingga terbentuklah ion pada lapisan atmosfer didekat permukaan bumi. Hanya molekul air dengan momen dipole tinggi yang dapat lolos dari terbentuknya cluster ion dari rekombinasi tersebut. Apabila terjadi tarikan Coulomb pada cluster ion positif dan cluster ion negatif maka cluster ion netral terbentuk. Dalam teori Dusty Plasma, proses ini disebut koagulasi. Pembentukan cluster ion netral adalah proses akhir dari tahapan permulaan.

Gambar 9. Diagram Fenomena Fisis Yang Terjadi Saat Gempabumi

Tahap kedua adalah pembangkitan medan anomali elektrik. Hal ini telah diketahui sesaat sebelum gempabumi terjadi. Pengeluaran gas yang hebat dari kerak bumi (terutama CO2) di daerah persiapan gempabumi. Dengan membangkitkan gerakan udara, gas tersebut menciptakan ketidak-seimbangan yang dapat memicu terbentuknya gelombang gravitasi akustik.

Pergerakan udara yang hebat ini berakibat menghancurkan cluster ion netral karena lemahnya interaksi Coulomb. Hasilnya, dalam waktu singkat lapisan atmosfer yang berada di dekat permukaan bumi menjadi kaya akan ion.

Proses selanjutnya adalah pemisahan muatan. Pemisahan ini menimbukan medan anomali elektrik yang kuat. Salah satu faktor utama dari pemisahan muatan adalah perbedaan

(6)

pergerakan dari ion positif dan negatif komponen plasma atmosfer.

Anomali medan elektromagnetik adalah tahap akhir dari proses dari rantai proses pertama Seismo-Ionospheric coupling di troposfer-atmosfer bagian atas dan ionosfer.

Medan anomali elektrik pada lapisan E ionosfer menciptakan ketidakteraturan yang telah dicatat dengan berbagai eksperimen. Pada lapisan F due efek yang penting harus dicatat. Pada daerah dengan konduktivitas maksimal yang mengacu kepada gelombang gravitasi akustik dari pemanasan Joule akan menciptakan ketidakteraturan densitas electron (TEC) dalam ionosfer dalam skala kecil. Proses tersebut termanifestasi pada osilasi densitas elektron secara periodik. Seanjutnya terdapat formasi ketidakteraturan konsentrasi elektron pada daerah F2 di ionosfer. Hal ini telah tercatat oleh satelit maupun dari pengamatan yang berbasis di bumi yang menggunakan Ionosonde dan jaringan GPS receiver(Pulinets.2004).

Gambar 10. Diagram Blok Seismo-Ionospheric

Coupling

2.3.2 Anomali Ionosfer Karena Gempabumi

Berbagai eksperimen tentang pengaruh gempabumi terhadap Ionosfer telah dilakukan dan dicatat dalam tabel berikut :

(7)

Tabel 1. Precursor Gempabumi Pada Ionosfer (Eksperimen) (Liperovsky. Et.al.2007)

Gambar 11. Kondisi TEC di Wilayah Pulau Sumatera (Stasiun ABGS) pada bulan Desember 2004 (Hendri Subakti 2008)

Gambar 12. Kondisi TEC di Wilayah Pulau Sumatera (Stasiun PSKI) pada bulan Maret 2005 (Henry Subakti 2008)

Kondisi TEC di wilayah Pulau Sumatera pada bulan Desember 2004. Gempabumi terjadi pada tanggal 26 Desember, anomali terjadi pada tanggal 21 Desember 2004. Gangguan natural akibat badai magnetik terjadi pada 5, 7, 8, 9 Desember 2004 dan kondisi TEC di wilayah Pulau Sumatera pada bulan Maret 2005. Gempabumi terjadi pada tanggal 28 Maret 2005, gangguan terjadi pada tanggal 22, 23 dan 24 Maret 2005 (Hendri Subakti, 2008).

3. DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data

3.1.1 Data Gempabumi

Data gempabumi Yogyakarta didapatkan dari Laporan Meteorologi dan Geofisika Mei 2006, Badan Meteorologi dan Geofisika.

Gempabumi Yogyakarata terjadi pada tanggal 26 Mei 2006 jam 22:53:57.0 waktu UTC atau pada 27 Mei 2006 jam 05:53:57.0 WIB. Dengan magnitudo 5.9 SR berpusat di 8.26 LS, 110.31 BT dengan kedalaman 33 km. Gempa berada di laut, 37.2 km arah selatan Yogyakarta

(8)

3.1.2 Data Total Electron Content (TEC)

Data Total Electron Content didapatkan dari Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa (Pusfatsainsa), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di Bandung. Berada pada 6.894 LS dan 107.586 BT.

Alat yang digunakan adalah GPS TECMETER Ashtech Z/Y-12 Dual Frequency. Alat ini menerima informasi setiap 30 detik secara kontinyu dari satelit GPS yang mengorbit di atas Indonesia. Nilai TEC dinyatakan dalam TEC Unit (TECU) dimana 1 TEC Unit sama dengan 1016 elektron/m2.

3.2 Metodologi

3.2.1 Pengolahan Data TEC

Dengan adanya medium dispersif pada ionosfer, nilai TEC dapa diturunkan dari data sinyal GPS yang terekam setiap 30 detik. Slant Total Electron Content (STEC) sepanjang rambatan sinyal l antara satelit GPS, Tx, dan receiver di bumi, Rx, dapat ditulis sebagai :

(3.1) Dimana N adalah densitas electron dalam el/m3, n menunjukkan tetapan indeks refraktif, f dan fN menunjukan gelombang radio dan frekuensi plasma dalam Hz. Dari rekaman rekaman ephemeris (parameter satelit GPS) dan ketinggian sub-ionosfer lokal, STEC dapat dikonversikan kedalam Vertical Total Electron Content (VTEC). Baik STEC dan VTEC dinyatakan dalam TECU (Liu Et.All, 2004).

Gambar 13 Geometri Total Electron Content

(3.2)

Untuk model ionosfer ini digunakan h = 325 km;

(Hendri Subakti, 2008)

3.2.2 Pemilihan Parameter TEC

Dalam data TEC setiap satelit akan menampilkan informasi sebagai berikut:

 Time (UT), menunjukkan waktu penerimaan sinyal,

 PRN, menunjukkan satelit yang memancarkan sinyal,

 Elevation, elevasi dari receiver di bumi,  Azimuth, azimuth dari receiver di bumi,  STEC (Code), Slant Total Electron Content,  VTEC (Code), Vertical Total Electron

Content,

 STEC (Code & Phase),  VTEC (Code & Phase),

 Latitude, Lintang dari perlintasan satelit GPS,

 Longitude. Bujur dari perlintasan satelit GPS.

Selanjutnya dipilih parameter VTEC (Code & Phase) untuk semua hari. Parameter ini dipilih dengan alasan fluktuasi yang lebih smooth daripada VTEC code (Sri Ekawati, 2008).

(9)

Disini dianalisa data TEC selama sepuluh hari dari hari kejadian gempa bumi hingga 9 hari kebelakang sebelum hari kejadian gempa bumi.

3.2.3 Identifikasi Sinyal Abnormal

Untuk menganalisa sinyal yang abnormal, digunakan perhitungan Running median X untuk setiap epoch data. Running median tersebut kemudian dihubungkan dengan Interquartile Range IQR(jangkauan interkuartil).

(3.3)

Kuartil adalah metoda statistik yang membagi data menjadi empat bagian, yaitu Kuartil Pertama (Q1), Kuartil Kedua (Q2) dan Kuartil Ketiga (Q3). Jangkauan iterkuartil (IQR) adalah selisih dari kuartil ketiga dengan kuartil pertama.

IQR=Q3-Q1 ………(3.4)

Untuk membentuk batasan atas (upper bound) digunakan rumus :

Upper Bound = X + IQR …..(3.5)

Untuk membentuk batasan bawah (lower bound) digunakan rumus :

Lower Bound = X – IQR …. (3.6)

pada setiap epoch data (Liu, Et.all,

2004)

3.2.4 Plotting Data

Setelah pemilihan parameter, selanjutnya data diplot untuk semua hari. Data diplot dengan Software Matlab 7.

Untuk pemetaan digunakan software Surfer 7.

3.2.5 Koreksi Penunjang

3.2.5.1 Disturbance Storm Time Index (Dst Index)

Dst adalah indeks geomagnet yang digunakan untuk menunjukkan level badai magnet di seluruh dunia. Dst indeks didapatkan

dari nilai rata-rata komponen horizontal medan geomagnet pada lintang-lintang tengah dan lintang ekuatorial di seluruh dunia yang mengukur intensitas dari equatorial electrojet global. Dst Index yang bernilai negatif mengindikasikan sebuah proses badai magnetik, semakin negatif nilai Dst index tersebut menunjukkan intensitas sebuah badai magnetik yang semakin kuat.

Penyimpangan negatif pada Dst index disebabkan oleh arus badai yang melintasi bidang ekuatorial dari timur ke barat(ring current). Arus badai ini didapatkan dari gradien dan kurva pergeseran elektron dan proton ionosfer bumi dan berhubungan erat dengan kondisi angin matahari (solar wind). Hasil dari arus ini adalah sebuah medan elektrostatik yang berarah timur-barat pada ionosfer ekuatorial. Saat berada pada medan geomagnetik horizontal, medan elektrik ini menghasilkan peningkatan aliran arus pada ±30 dari ekuator magnetik, hal ini dikenal dengan equatorial electrojet.

Dst Index ini digunakan sebagai koreksi gangguan selain akibat dari gempabumi.

Gambar 14. Diagram Alir Pengolahan dan Analisa Data

4. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Dari pengolahan data telah didapatkan variasi VTEC selama sepuluh hari. Nilai TEC akan mengikuti suatu siklus normal, saat pagi hari menuju siang hari local time nilai VTEC akan naik. Nilai VTEC tertinggi berada pada tengah hari. Selanjutnya turun kembali dan berlanjut ke hari berikutnya.

(10)

Pada hari H-8 dari gempabumi yaitu 18 Mei 2006 UTC terjadi penurunan jumlah kandungan electron VTEC yang cukup signifikan. Namun setelah dilakukan koreksi dengan Dst Index didapatkan gangguan magnetik pada waktu tersebut. Yang mengindikasikan terjadi gangguan natural di ionosfer oleh aktifitas matahari.

Pada hari H-6 dari gempabumi yaitu 20 Mei 2006 UTC terjadi penurunan jumlah kandungan electron VTEC. Penurunan tersebut dapat dilihat setelah tengah hari waktu local. Penurunan ini diindikasikan karena telah melewati fase-fase fisis dalam mekanisme Seismo-Ionospheric coupling. Hal tersebut diperkuat dari koreksi Dst Index. Dimana pada tanggal 20 Mei 2006 tidak terdapat gangguan magnetic global.

Selanjutnya pada H-4 dari gempabumi yaitu 22 Mei 2006 UTC kembali terjadi penurunan jumlah kandungan electron VTEC. Penurunan yang cukup tajam tersebut terlihat setelah melewati tengah hari waktu lokal. Kembali dilakukan koreksi menggunakan Dst Index, dan didapatkan tidak terjadi gangguan natural berupa gangguan magnetic di ionosfer. Dengan kata lain dapat diindikasikan penurunan kandungan electron VTEC disebabkan oleh gempabumi di lapisan Litosfer bumi.

Gambar 15. Variasi VTEC pada 17 Mei 2006 26 Mei 2006

Gambar 16. Kontur Variasi VTEC Di Daerah Jawa dan Sekitarnya pada 17 Mei 2006 hingga 26 Mei 2006

5. KESIMPULAN

Dari hasil pengolahan data dan analisa, dapat disimpulkan bahwa :

1. Terjadi penurunan jumlah kandungan electron di ionosfer VTEC pada tanggal 18 Mei 2006 UTC, yaitu delapan hari sebelum gempabumi Yogjakarta. Penurunan ini berasosiasi dengan gangguan magnetic yang dapat dilihat dari Dst Index.

2. Terjadi penurunan jumlah kandungan electron di ionosfer VTEC pada tanggal 20 Mei 2006 UTC, yaitu enam hari sebelum gempabumi Yogyakarta.

(11)

3. Terjadi penurunan jumlah kandungan electron di ionosfer VTEC pada tanggal 22 Mei 2006 UTC, yaitu empat hari sebelum gempabumi Yogyakarta. 4. Penurunan jumlah kandungan electron di

ionosfer VTEC pada tanggal 20 Mei 2006 UTC dan 22 Mei 2006 UTC tidak berasosiasi dengan gangguan natural magnetic. Penurunan ini diindikasikan sebagai akibat dari proses fisis Seismo-Ionospheric Coupling sebelum terjadinya gempabumi.

5. Variasi nilai VTEC sebelum gempabumi Yogyakarta ini semestinya dapat digunakan sebagai pre-deteksi sebelum gempabumi terjadi.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Djedi S Widarto, Tohru MogiYoshikazu Tanaka, Toshiyasu Nagao, Katsumi Hattori, Jann-Yenq Liu, and Seiya Uyeda.,: Seismo-Electromagnetic

Signatures Associated With The Earthquake During The Period Of 1997&2000 In The Southern Part of Sumatera Island, Indonesia (1).

Procedding, IWSEP

2. Dst Index (Provisional) May 2006,

http://swdcwww.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_provisional/200605/index.htm l, 26 Januari 2009.

3. Effendy and Srikaloka.,: Seismo -

Ionospheric Coupling Detected During Earthquake. National Institute of Aeronautics and Space of Indonesia. LAPAN- Bandung

4. Hendri Subakti, 2008: Analisis Variasi

GPS – TEC Yang Berhubungan Dengan Gempabumi Besar Di Sumatera. Bidang Sistem Jaringan

Observasi Geofisika. Pusat Sistem Jaringan.BMG, Jakarta

5. Hendri Subakti, Personal communication 6. J.Y. Liu, Y.J. Chuo, S.J. Shan, Y.B.

Tsai,Y.I. Chen, S.A. Pulinets, S.B. Yu, 2004: Pre-earthquake Ionospheric Anomalies Registered by Continuous GPS TEC Measurements. Annales

Geophysicae, European Geosciences

Union, 22: 1585-1593

7. Kearey, P. and Vine, F.J., 1996: Global

Tectonics, 2nd ed., Blackwell Science, Ltd, Malden

8. Liperovsky, V.A., Pokhotelov, O.A., Meister, C.V., Liverovskaya, E.V., 2007: On Recent Physical Model of

Lithosphere-Atmosphere Coupling Before Earthquakes.Natural Hazard And Earth

System Sciences, nhess June

9. Pulinets, Sergey., 2004: Ionospheric Precursors of Earthquake; Recent Advances in Theory and Practical

Applications.TAO, 15, No.3,pp. 413-435. 10. Sri Ekawati, Personal Communication,

Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN-Bandung

11. T.K.Das, S.Das and A. Chauduri.,: Role

Of Geospot In Seismoelectromagnetics.

Centre for Space Physics. Kolkata-India

12. Virdis, Salvatore, 2006: GPS Basics,

Gambar

Gambar 1. Elastic Rebound Theory
Gambar 6. Dilatasi Setelah Rebound
Gambar 9.   Diagram Fenomena Fisis Yang Terjadi                        Saat Gempabumi
Gambar  10.  Diagram  Blok  Seismo-Ionospheric  Coupling
+5

Referensi

Dokumen terkait

bahwa induk yang diberi pakan yang rendah vitamin E akan menghasilkan larva abnormal yang tinggi. Defisiensi vitamin E pada ikan dapat

Perkebunan Provinsi DIY Pembangunan Plot Penelitian Uji Spesies dan Provenansi Spesies Teridentifikasi di Lahan Masyarakat (Populasi Pemuliaan Spesies Adaptif Pada Petak

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI TENTANG FORUM JARINGAN PENELITI DAN LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI JAWA BARAT, JAWA

Inilah yang juga harus menjadi prioritas kita khususnya di bulan Ramadhan ini, menjadi generasi rabbani dan menjadi bagian dari kemenangan Islam.. ليبس

ﻰﻠﻋ ﻰﻠﻋ ﻰﻠﻋ ﻰﻠﻋ ﻙﺭﺎﺑ ﻙﺭﺎﺑ ﻙﺭﺎﺑ ﻙﺭﺎﺑ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻢﻬﻠﻟﺍ ,,,,ﺪﻴﳎ ﺪﻴﳎ ﺪﻴﳎ ﺪﻴﳎ ﺪﻴﲪ ﺪﻴﲪ ﺪﻴﲪ ﺪﻴﲪ ﻚﻧﺇ ﻚﻧﺇ ﻚﻧﺇ ﻚﻧﺇ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺇ ﻝﺁ ﻝﺁ

2.Meknisme penyelesaikan konflik yang diperankan perempuan dilalui dengan langkah langkah : Pertama Identifikasi masalah konflik; Kedua memilah konflik individu yang terlibat;

”Buwuhan” adalah istilah setempat untuk kelembagaan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hajatan atau membantu yang terkena musibah dengan memberikan

Hal yang paling mendasar untuk dapat menentukan nilai cadangan premi dengan menggunakan metode Fackler yaitu mengetahui usia pemegang polis (tertanggung) x tahun