• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. PERKEMBANGAN TEKNIK STATISTICAL DOWNSCALING DAN PERMASALAHAN STATISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. PERKEMBANGAN TEKNIK STATISTICAL DOWNSCALING DAN PERMASALAHAN STATISTIK"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

2. PERKEMBANGAN TEKNIK STATISTICAL

DOWNSCALING DAN PERMASALAHAN STATISTIK

2.1. Pendahuluan

Luaran GCM hanya dapat memberikan informasi untuk skala besar dan belum dapat memberikan secara langsung informasi untuk skala kecil. Pada umumnya GCM hanya menghasilkan informasi tentang sirkulasi atmosfir berskala besar (Sailor & Li 1999). Luaran GCM belum dapat digunakan terutama untuk kawasan tropis dengan topografi dan vegetasi yang heterogen karena GCM belum dapat mempertimbangkan kondisi heterogenitas di kawasan berskala lokal dengan resolusi lebih tinggi daripada resolusi luaran GCM, sehingga diperlukan suatu proses downscaling, yaitu teknik SD. Teknik SD digunakan untuk mendapatkan informasi pada skala lokal berdasarkan luaran GCM yang berskala besar atau resolusi rendah.

Teknik SD membentuk suatu model statistik yang menyatakan hubungan fungsional antara peubah-peubah prediktor (luaran GCM) dengan peubah respon lokal. Model ini berupa fungsi transfer (Sailor et al. 2000; Trigo & Palutikof 2001) yang melakukan transfer informasi dari luaran GCM terhadap peubah lokal sehingga dapat digunakan untuk memprediksi nilai peubah lokal berdasarkan luaran GCM. Prediksi iklim dengan resolusi lebih tinggi ini selanjutnya diperlukan untuk kajian iklim, misalnya untuk keperluan dalam bidang pertanian.

Berbagai Teknik SD telah digunakan terhadap luaran GCM dengan karakteristik, asumsi-asumsi, dan permasalahannya masing- masing. Berbagai upaya telah dilakukan agar karakteristik dan asumsi yang disyaratkan bagi suatu teknik SD sesuai dengan karakteristik data yang akan digunakan (luaran GCM dan curah hujan) dan teknik SD tersebut dapat mengatasi masalahnya. Dalam Bab 2 ini dibahas tentang luaran GCM dan karakteristik nya, pendekatan downscaling, beberapa teknik SD yang selama ini digunakan, dan permasalahan dalam SD.

2.2. Karakteristik Luaran GCM

Studi dampak iklim biasanya menghendaki skenario perubahan iklim regional atau lokal dengan resolusi spasial dan temporal tinggi. Dalam kajian klimatologi jangka panjang GCM mampu menghasilkan ciri sirkulasi global pada

(2)

skala besar atau resolusi rendah dan merupakan sumber informasi primer untuk menilai pengaruh perubahan iklim. GCM merupakan model numerik, deterministik, dan simulasi komputer yang kompleks tentang kondisi iklim dengan berbagai komponennya yang berubah sepanjang waktu. GCM menggambarkan hubungan matematik sejumlah interaksi fisika, kimia, dan dinamika atmosfir bumi. Model ini diakui dan diyakini sebagai model penting dalam upaya memahami iklim di masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang.

GCM adalah suatu alat penting dalam studi keragaman iklim dan perubahan iklim (Zorita & Storch 1999). Model ini menggambarkan sejumlah subsistem-subsistem dari iklim di bumi, seperti proses-proses di atmosfir, lautan, dan daratan, dan mampu mensimulasi kondisi-kondisi iklim berskala besar. Misalnya GCM dapat memproduksi dengan baik pola-pola keragaman atmosfir dan temperatur permukaan laut (sea surface temperature atau SST). Namun GCM dirancang tidak untuk menghasilkan informasi penting dengan resolusi lebih tinggi, misalnya untuk temperatur dan curah hujan skala lokal. Walaupun GCM dapat melakukan simulasi dengan baik untuk peubah iklim skala besar, tetapi tidak untuk peubah dengan skala yang lebih kecil (lokal atau regional) (Huth & Kysely 2000). Beberapa alasan mengapa GCM tidak menghasilkan informasi untuk skala lokal, antara lain (Zorita & Storch 1999): (1) Deskripsi solusi spasial tentang struktur permukaan bumi, terutama topografi, tidak jelas; (2) Hidrodinamika atmosfir bersifat nonlinear dan adanya interaksi nonlinear antara grid skala kecil; (3) Terlalu banyak parameter yang tidak mungkin tepat untuk proses-proses pada skala kecil.

Penyempurnaan GCM dilakukan terus untuk mengatasi perbedaan skala, yaitu dengan (1) Meningkatkan kemampuan komputer, terutama untuk resolusi lebih tinggi, sehingga RCM (Regional Circulation Model) atau LAM (Limited Area Model) dari luaran GCM dapat dilakukan; (2) Menerapkan teknik SD. Menurut Fuentes & Heimann (2000) GCM perlu disempurnakan secara terus menerus dan bertahap, meskipun model- model ini masih belum memadai untuk fenomena berskala lebih kecil di kawasan dengan topografi yang kompleks. Oleh

(3)

karena itu GCM tidak dapat digunakan secara langsung untuk studi dampak iklim regional atau lokal.

Beberapa model sirkulasi global yang ada, antara lain GISS (Goddard Institute for Space Studies) dari NASA, GFDL (Geophysical Fluid Dynamic Laboratory) dari NOAA, UKMO (United Kingdom Meteorological Office), CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization) dari Australia, dan NCEP (National Centers for Environmental Prediction). Setiap GCM berbeda dalam bentuk resolusi spasial (Tabel 2.1) dan persamaan-persamaan untuk membangkitkan parameter-parameter atmosfir.

Tabel 2.1. Beberapa GCM

No Nama GCM Resolusi Jumlah Lapisan

1 GISS1 4,0º×5,0º 20 2 UKMO2 2,80º×3,75º 19 3 GFDL3 2,8º×2,8º 18 4 CSIRO4 1,875º×1,875º 18 5 NCEP5 2,5º×2,5º 17 6 ECHAM6 2,8125º×2,789º 18

Selama ini GCM telah dikembangkan dan digunakan di Indonesia untuk simulasi, prediksi dan pembuatan skenario iklim. GCM juga telah dimanfaatkan untuk mempelajari variabilitas iklim dan mengkaji dampak perubahan iklim (Ratag 2001; Mole et al. 2001). Siswanto dan Ratag (2001) memprediksi curah hujan dan temperatur permukaan bulanan berbasis GCM CSIRO-9. Prediksinya dilakukan dengan menjalankan model sirkulasi global dari tahun 1949 sampai dengan 1999, menggunakan data pengamatan temperatur permukaan untuk memprediksi curah hujan tahun 2000, dengan kriteria (1) di bawah normal, (2) normal, dan (3) di atas normal.

1 http://www.giss.nasa.gov/tools/modelE [10Januari 2006] 2 http://www.pcmdi.llnl.gov/~/36ukmo_TOC.htm [12 Maret 2006] 3 http://www.pcmdi.llnl.gov/~/17derf.htm [12 Maret 2006] 4 http://www.ioci.org.au [12 Maret 2006] 5 http://www.cdc.noaa.gov/cdc/data.ncep.reanalysis.html [12 Maret 2006]

(4)

Pemodelan SD memerlukan domain GCM yang terdiri dari sejumlah grid dan berada pada suatu lokasi tertentu. Data luaran GCM dalam suatu domain umumnya bersifat curse of dimensionality, yang sering menjadi masalah terutama kalau dimensinya atau domainnnya semakin besar, yaitu jika pemodelan SD melibatkan banyak peubah dan lapisan-lapisan atmosfir. Dalam keadaan ini data bersifat nonlinear dan tidak berdistribusi yang baku, seperti sebaran normal. Masalah lain yang berkaitan dengan data adalah terjadinya korelasi spasial dan/atau multikolinearitas antar peubah. GCM menghasilkan luaran untuk berbagai peubah pada berbagai lapisan atmosfir atau ketinggian. Apabila banyak peubah dan lapisan yang terlibat dalam pemodelan SD maka permasalahan data akan semakin kompleks.

2.3. Teknik Downscaling

GCM beresolusi rendah dan tidak memiliki resolusi lebih kecil dari 100 km2 sehingga model ini tidak akan dapat meresolusikan kejadian-kejadian atau efek-efek berskala meso atau lokal dari keberadaan heterogenitas topografi, vegetasi, dan komposisi tanah (Ratag 2001). Untuk kawasan dengan topografi yang relatif homogen, seperti pada kawasan dengan perubahan ketinggian yang relatif kecil, parameter-parameter skala kecil GCM akan me madai digunakan untuk memprediksi variabilitas dan perubahan lokal. Perubahan iklim yang disimulasi terjadi dalam satu grid kemungkinan besar akan berlaku secara merata pada wilayah-wilayah yang homogen tersebut. Sebaliknya, pada kawasan dengan variasi topografi yang besar sangat dipengaruhi oleh iklim regional, sehingga perlu dilakukan pendekatan downscaling untuk memprediksi peubah lokal. Teknik SD diperlukan untuk menjembatani jenjang antara skala besar GCM dengan skala di kawasan di mana studi dampak ik lim akan dilaksanakan.

Pada pendekatan downscaling suatu model berskala meso dengan resolusi tinggi ditempatkan pada grid-grid GCM dan digunakannya syarat-syarat batas (boundary conditions) hasil prediksi GCM terhadap batas-batas model berskala meso tersebut. Dalam downscaling iklim regional atau lokal berada pada kondisi iklim skala global, dan informasi pada skala kecil ini diperoleh dari skala besar (Storch et al. 2001). Model berskala meso ini, yang beresolusi tinggi dengan

(5)

ukuran grid lebih kecil daripada grid GCM, dapat memperhitungkan topografi lokal, vegetasi, dan jenis tanah, dan mentranslasikan hasil prediksi GCM pada skala lokal. Ada dua jenis pendekatan downscaling yaitu (1) dynamical downscaling dan (2) statistical downscaling. Dynamical downscaling dilakukan dengan cara menetapkan GCM tersarang dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, sedangkan SD berdasarkan hubungan fungsional antara prediktor berskala besar dan peubah respon berskala kecil. Pendekatan lainnya adalah statistical-dynamical downscaling yang merupakan gabungan kedua pendekatan sebelumnya.

2.3.1. Pendekatan Dynamical Downscaling

Pendekatan dynamical downscaling menggunakan model berskala lebih kecil daripada skala GCM. Salah satu model meso adalah model area terbatas, yang dikenal dengan LAM. GCM mensimulasi nilai parameter-parameter berskala global, sedangkan LAM mensimulasi nilai parameter berdasarkan nilai- nilai pada grid-grid GCM. Grid-grid LAM berada tersarang pada grid GCM sehingga secara kontinu LAM tergantung kepada GCM. LAM ini dikendalikan oleh GCM dalam batas-batas domainnya. Proses simulasi ini memerlukan komputasi yang intensif dan terus menerus.

DARLAM (Division of Atmospheric Research Limited Area Model) merupakan salah satu model meso melalui pendekatan dynamical downscaling. DARLAM berskala 44 km2 dengan 9 level vertikal yang dikembangkan oleh CSIRO Australia. Model DARLAM dibentuk untuk kawasan Asia Tenggara dan ditempatkan secara tersarang di dalam grid model global ECMWF (European Center for Medium Range Weather Forecast) atau NCEP (National Center for Environmental Prediction). Model lainnya adalah model sirkulasi regional, yang dikenal dengan RCM yang berskala lebih besar dari skala pada LAM tetapi lebih kecil daripada skala pada GCM. Di Indonesia hasil prediksi DARLAM telah digunakan untuk reanalisis curah hujan di 15 stasiun curah hujan (Ratag 2001). Secara umum hasil reanalisis menunjukkan bahwa model DARLAM telah mampu mensimulasi pola umum curah hujan meskipun perbedaan nilai prediksi masih besar.

(6)

2.3.2. Pendekatan Statistical Downscaling

Pendekatan SD menggunakan data regional atau global untuk memperoleh hubungan fungsional antara skala lokal dengan skala global GCM, seperti model regresi. Pendekatan SD disusun berdasarkan adanya hubungan antara grid skala besar (prediktor) dan grid skala lokal (respon) yang dinyatakan dengan model statistik yang dapat digunakan untuk menterjemahkan anomali-anomali skala global menjadi anomali dari beberapa peubah iklim lokal (Zorita & Storch 1999). Pendekatan ini mencari informasi skala lokal dari skala global melalui hubungan fungsional antara kedua skala tersebut (Storch et al. 2001). Namun untuk keadaan skala global yang sama, keadaan skala lokalnya bisa bervariasi atau adanya regionalisasi. SD menjelaskan hubungan antara skala global dan lokal dengan lebih memperhatikan keakuratan model penduga untuk mempelajari dampak perubahan iklim (Yarnal et al. 2001).

Pendekatan SD memanfaatkan data GCM untuk peramalan iklim lokal (Fuentes & Heimann 2000). Dalam pendekatan ini perlu dilakukan pemilihan peubah-peubah yang akan dijadikan sebagai prediktor dan penentuan domain (lokasi dan jumlah grid), karena kedua hal ini merupakan faktor kritis yang akan mempengaruhi kestabilan peramalan (Wilby & Wigley 2000). Dengan demikian dalam hal peramalan curah hujan, pemilihan peubah prediktor (data GCM) sebaiknya berdasarkan pada adanya korelasi yang kuat antara peubah tersebut dengan curah hujan.

Hasil dari model SD terkait langsung dengan statistik iklim pada waktu sebelumnya dan dapat memberikan hasil ramalan deret waktu yang panjang untuk studi dampak iklim. Model ini juga memerlukan data deret waktu yang homogen dalam berbagai perubahan iklim (Schubert & Henderson-Sellers 1997). Model SD juga akan memberikan hasil yang baik jika ketiga syarat berikut terpenuhi, yaitu (1) Hubungan erat antara respon dengan prediktor yang menjelaskan keragaman iklim lokal dengan baik; (2) Peubah prediktor disimulasi baik oleh GCM, dan (3) Hubungan antara respon dengan prediktor tidak berubah dengan perubahan waktu dan tetap sama meskipun ada perubahan iklim (Busuioc et al. 2001).

Model SD merupakan suatu fungsi transfer (Sailor et al. 2000; Trigo & Palutikof 2001), yang menggambarkan hubungan fungsional sirkulasi atmosfir

(7)

global dengan unsur- unsur iklim lokal. Secara umum bentuk modelnya adalah sebagai berikut:

Y = f(X) (2.1)

di mana: Y(t x p) = peubah-peubah iklim lokal (misal: curah hujan),

X(t x q x s x g) = peubah-peubah luaran GCM (misal: presipitasi),

t = banyaknya waktu (misal: harian, dasarian, atau bulanan), p = banyaknya peubah y,

q = banyaknya peubah x, s = banyaknya lapisan atmosfir, g = banyaknya grid domain GCM.

Model SD tersebut sangat kompleks dan solusi yang baku untuk model ini belum tersedia. Kompleksitas model ini terjadi karena berbagai kemungkinan sebagai berikut:

1) q>1 dan X berkorelasi,

2) q>1 dan pengamatan peubah Y berotokorelasi,

3) q>1, X berkorelasi, dan pengamatan peubah Y berotokorelasi.

Pada umumnya model SD melibatkan data deret waktu (t) dan data spasial GCM (g). Banyaknya peubah y, peubah x, dan lapisan atmosfir dalam model, dan otokorelasi dan kolinearitas pada peubah y maupun pada peubah x menunjukkan tingkat kompleksitas model. Semakin banyak peubah y dan peubah x, semakin kompleks model SD. Dengan demikian dalam penerapan dan pengembangan model SD untuk wilayah Indonesia diperlukan suatu solusi terutama terhadap permasalahan pemodelan me lalui kajian teoritis, verifikasi, validasi dan evaluasi model. Pengembangan ini dapat berupa modifikasi terhadap teknik-teknik SD yang ada.

Selama ini ada berbagai teknik untuk pemodelan SD, antara lain analisis regresi linear berganda dan analisis regresi komponen utama (Huth & Kysely 2000; Mpeloska et al. 2001; Uvo et al. 2001; Lanza et al. 2001; Bergant et al. 2002), analisis korelasi kanonik (Landman & Tennant 2000; Busuioc et al. 2001; Chen D & Chen Y 2002; Fenoglia-Marc 2001), analisis regresi berstruktur pohon (Tree Structure Regression-TSR) (Li & Sailor 2000), Multivariate Additive

(8)

Regression Spline (MARS), Artificial Neural Network (ANN) (Sailor et al. 2000; Dawson & Wilby 2001; Wilby et al. 1998; Cavazos 1999; Mpeloska et al. 2001), metode analog (Zorita & Storch 1999), model rantai Markov (Charles et al. 1999a; Charles et al. 1999b ). Disamping itu ada beberapa metode pre-processing yang digunakan antara lain single value decomposition (SVD), analisis komponen utama. Beberapa metode yang berpotensi untuk pendugaan model SD antara lain model PPR (Projection Pursuit Regression), model aditif terampat (Generalized Additive Model atau GAM), metode Bayes. Pada Tabel 2.2 tercantum, beberapa teknik SD yang pernah digunakan di luar wilayah Indonesia.

Beberapa kajian tentang model SD telah dilakukan untuk data curah hujan di Indonesia, khususnya di kabup aten Indramayu dan data di sekitar area Saguling. Notodiputro et al (2004) mengkaji penggunaan model regresi komponen utama yang dikombinasikan dengan ARIMA. Metode ini diterapkan terhadap data temperatur GCM dan curah hujan di area Saguling. Wigena dan Aunuddin (2004b) menggunakan metode projection pursuit (PP) untuk pre-processing dan PPR dan kombinasi antara PP dan ANN, dan membandingkan kedua metode tersebut dengan kombinasi antara PCA (Principal Component Analysis) dan ANN. Berdasarkan kajian awal tersebut metode PP dan PPR menjadi fokus kajian lebih mendalam dalam penelitian ini.

2.4. Beberapa Teknik Statistical Downscaling

Meskipun GCM dapat digunakan untuk menghasilkan dugaan dengan resolusi yang lebih tinggi, teknik SD luaran GCM masih diperlukan terutama untuk memperoleh informasi dari masing- masing lokasi untuk keperluan studi dampak iklim. Teknik SD merupakan pendekatan alternatif untuk mengatasi kesenjangan skala antara kemampuan sirkulasi iklim dengan GCM dan kebutuhan ekosistem dan model- model sektoral (Giorgi & Mearns 1991 diacu dalam Zorita & Storch 1999). Kim et al. (1984), diacu dalam Huth & Kysely (2000), mulai menggunakan model statistik untuk SD. Teknik ini menjadi populer karena relatif sederhana dan biaya komputasi murah, tidak memerlukan komputasi yang intensif seperti halnya dynamical downscaling (RCM atau LAM).

(9)

Teknik SD masih berkembang terus sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Hal ini sejalan dengan adanya berbagai teknik untuk SD di berbagai tempat terutama di Eropa, Amerika, dan Australia. Bahkan beberapa teknik SD telah diklasifikasikan dan dibandingkan berdasarkan kompleksitas secara teknis dan keakuratan pendugaan (Wilby & Wigley 1997; Zorita & Storch 1999; Sailor & Li 1999). Namun teknik-teknik ini belum diterapkan di kawasan tropis seperti Indonesia.

Perkembangan teknik-teknik SD tercantum pada Tabel 2.2, berdasarkan kepustakaan yang ada sampai tahun 2005. Perkembangan ini mulai dari penggunaan MOS (Model Output Statistics) untuk SD oleh Klein (1982), diacu dalam Sailor & Li (1999), sampai dengan teknik-teknik yang linear seperti Empirical Orthogonal Function (EOF) atau PCA dan nonlinear seperti ANN.

Pada umumnya teknik SD yang banyak digunakan adalah teknik SD berbasis model regresi linear, seperti MOS, Perfect Prognosis, PCA, CCA, regresi polinomial, regresi bertatar. Tetapi yang paling banyak digunakan adalah regresi dengan PCA, yang sering disebut PCR. Dalam hal ini PCA digunakan sebagai metode pereduksian dimensi karena adanya masalah multikolinearitas. Demikian juga penggunaan SVD oleh Uvo et al. (2001). Teknik SD berbasis model nonlinear dan nonparametrik yang digunakan adalah ANN dan MARS. ANN digunakan antara lain oleh Zorita & Storch (1999), Trigo & Palutikof (1999), Cavazos (1999), dan Sailor et al. (2000). MARS digunakan sebagai teknik SD oleh Corte-Real et al. (1996), diacu dalam Li &Sailor (2000). Teknik CART atau TSR berbasis klasifikasi dan bersifat linear yang digunakan oleh Zorita & Storch (1999) dan Li & Sailor (2000). Charles et al. (1999b) memperkenalkan penggunaan metode rantai Markov untuk teknik SD.

(10)

Tabel 2.2. Beberapa Teknik Statistical Downscaling

Teknik SD Peubah Lokal Peubah Prediktor GCM Kepustakaan

MOS Peubah cuaca permukaan Peubah atmosfir bebas (NWP) Glahn & Lowry (1972)2

MOS dan Perfect

Prognosis Peubah cuaca permukaan Peubah atmosfir bebas (NWP) Klein (1982)

2

Weather Generator Curah hujan harian * UKTR Goodes & Palutikof (1978)1

PCA dan CCA Curah hujan musiman * ECHAM-1 Storch et al.(1993)1

Regresi Polinomial Temperatur Sea surface temperature

(SST)

GISS Hewitson (1994)

Regresi ganda bertatar Temperatur permukaan Peubah atmosfir bebas CCC Winkler et al. (1995)2

PCA dan MARS Curah hujan bulanan * UKTR Corte-Real et al. (1996)1

PCA dan Analog Curah hujan harian * ECHAM-1 Cubasch et al. (1996)1

Cluster dan PCA Curah hujan harian * HadCM2 Corte-Real et al. (1997)1

PCA, CCA, Analog & ANN

Curah hujan harian dan bulanan

Sea level pressure (SLP) ECHAM-3 Zorita & Storch (1999)

ANN Temperatur maksimum

dan minimum harian

* HadCM3 Trigo & Palutikof (1999)1

ANN Curah hujan harian Humidity Cavazos (1999)

Keterangan:

1). diacu dalam Trigo & Palutikof (2001) 2). diacu dalam Sailor & Li (1999) *) tidak tercantum

(11)

Tabel 2.2. (Lanjutan)

Teknik SD Peubah Lokal Peubah Prediktor GCM Kepustakaan

CART Curah hujan harian SLP ECHAM-3 Zorita & Storch (1999)

NHMM Curah hujan harian Moisture, SLP CSIRO-9 Charles et al. (1999a)

Charles et al. (1999b)

PCA dan CCA Curah hujan musiman * Had CM3 Gonzales-Ronco (2000)1

ANN dan MOS Kecepatan angin harian SST, Humidity, SLP,

Geopotential height

NCAR Sailor et al. (2000)

PCA dan Regresi berganda

Curah hujan bulanan; temperatur bulanan

Geopotential height, Geopotential thickness

ECHAM-3 Huth & Kysely (2000)

TSR Curah hujan harian Humidity, SLP, Wind speed NCAR Li & Sailor (2000)

CCA Curah hujan regional SST NCEP Landman & Tenant (2000)

SVD dan Regresi linear Curah hujan rata-rata Precipitable water,

Wind speed

Uvo et al. (2001)

CCA Curah hujan musiman SLP HadCH2 Busuioc et al. (2001)

PCA Jumlah hari waktu

pembungaan Dandelion

SST NCEP/NCAR

HadCM-3 ECHAM-4

Bergant et al (2002)

CCA dan PCA Temperatur Geopotential height, NCEP/NCAR Chen D & Chen Y (2002)

PCA dan Regresi linear; Analog

Temperatur harian; Curah hujan musiman

SST, SLP ERA-40 Fernandez (2005)

Keterangan:

1). diacu dalam Trigo & Palutikof (2001) 2). diacu dalam Sailor & Li (1999)

(12)

Teknik SD berawal dari metode numerical weather prediction (NWP) (Wilks 1995) dari National Weather Services (NWS) yang digunakan untuk peramalan curah hujan. Teknik SD yang pernah digunakan adalah Perfect Prognosis dan MOS oleh Klein (1982), diacu dalam Sailor & Li (1999). MOS lebih banyak digunakan untuk peramalan jangka menengah daripada Perfect Prognosis yang sering digunakan untuk jangka pendek. MOS, yang termasuk teknik prediksi cuaca tradisional, sebelumnya mulai diperkenalkan penggunaannya untuk prediksi peubah cuaca dari luaran suatu model numerik oleh Glahn & Lowry (1972), diacu dalam Sailor et al. (2000). Teknik MOS menentukan suatu hubungan statistik antara hasil ramalan model prediksi numerik dan suatu peubah respon (Bocchieri & Glahn 1972). Dalam prosesnya prosedur MOS terdiri dari dua tahap, yaitu (1) Membuat hubungan empirik antara peubah cuaca lokal aktual sebagai respon dan peubah prediktor berskala besar; (2) Menerapkan hubungan ini, berupa persamaan regresi, terhadap peubah dari luaran model prediksi cuaca berskala besar. Pada dasarnya MOS ini berbasis model regresi linear.

Metode Analog merupakan alternatif teknik SD luaran GCM. Metode ini termasuk teknik prediksi cuaca tradisional juga seperti MOS dan Perfect Prognosis. Pada dasarnya dalam metode ini luaran GCM dibandingkan dengan data pengamatan historisnya. Pola luaran GCM yang paling sesuai digunakan sebagai analoginya dari data pengamatan. Selanjutnya secara simultan pola luaran GCM tersebut diasosiasikan dengan peubah cuaca lokal aktual.

Metode Analog memerlukan data historis yang cukup panjang untuk memperoleh analogi yang memadai. Metode ini lebih cocok untuk kawasan dengan topografi yang relatif homogen dan akan memberikan hasil yang kurang baik untuk kawasan dengan topografi yang kompleks (Zorita & Storch 1999). Pada umumnya metode ini tidak digunakan untuk memprediksi, tetapi sebagai suatu cara untuk menspesifikasi kondisi cuaca lokal yang bersesuaian dengan pola luaran GCM.

Pada awalnya metode Analog pernah diterapkan pertama kali dalam peramalan cuaca dan prediksi jangka pendek masing- masing oleh Lorenz pada tahun 1969 dan kemudian oleh Barnett & Palutikof pada tahun 1978 (Zorita &

(13)

Storch 1999). Metode ini merupakan metode yang sederhana, namun jarang digunakan sebagai teknik SD (Zorita et al. 1995; Biau et al. 1999). Zorita & Storch (1999) dan Fernandez (2005) menggunakan kombinasi EOF atau PCA dengan metode Analog. EOF ini digunakan untuk mengatasi masalah multikolinearitas dalam data luaran GCM.

Model lain yang paling banyak digunakan sebagai teknik SD adalah model regresi linear mulai dari yang sederhana sampai regresi linear berganda, baik model parametrik maupun nonparametrik. Pada dasarnya model ini membuat hubungan fungsional antara luaran GCM dengan peubah iklim lokal. Model regresi ini telah digunakan untuk SD dan khusus diterapkan untuk menilai perubahan iklim oleh Kim et al (1984), diacu dalam Wilby & Wigley (1997). Hewitson (1994) menggunakan model ini dengan fungsi polinomial untuk hubungan antara luaran GCM dengan temperatur permukaan. Winkler et al (1995), diacu dalam Sailor & Li (1999), menggunakan model regresi bertatar (stepwise).

Pendekatan model regresi umumnya mene ntukan hubungan linear atau nonlinear antara peubah lokal dengan peubah prediktornya yang berskala global. Hubungan nonlinear umumnya diimplementasi dengan jaringan syaraf tiruan (ANN). Teknik ini dapat menghasilkan model nonlinear antara peubah lokal dan peubah luaran GCM. Cavazos (1999) dan Cavazos & Hewitson (2002) telah menggunakan ANN untuk memperoleh model SD antara SLP (tekanan permukaan laut), geopotential height, dan kelembaban dengan curah hujan harian. Trigo & Palutikof (2001) menerapkan ANN baik untuk model linear maupun nonlinear dengan menggunakan data luaran GCM HadCM2 sebagai prediktor dan curah hujan di Iberia sebagai peubah respon.

Teknik-teknik SD yang lebih kompleks antara lain CCA, MARS, CART atau TSR. Teknik SD dengan CCA menentukan hubungan dua gugus peubah X dan Y dan menghasilkan sejumlah pasangan pola hubungan yang bekorelasi optimal antara keduanya. CCA telah digunakan oleh Storch et al. (1997), diacu dalam Zorita & Storch (1999), Zorita & Storch (1999), Gonzales-Ronco (2000), diacu dalam Trigo & Palutikof (2001), Landman & Tenant (2000), Busuioc et al. (2001). MARS adalah model regresi spline aditif berganda yang bersifat nonlinear

(14)

dan nonparametrik di mana pendugaan modelnya berdasarkan fungsi spline. MARS ini telah digunakan oleh Corte-Real et al (1996), diacu dalam Li &Sailor (2000), untuk pendugaan curah hujan bulanan berdasarkan luaran GCM UKTR (United Kingdom Meteorological Transient). CART atau TSR merupakan gabungan antara klasifikasi dan regresi. Dalam proses pendugaannya teknik ini melakukan pengelompokan biner berdasarkan kriteria tertentu sampai kriteria optimal tercapai. Pada akhir pengelompokan dilakukan pendugaan berdasarkan model regresi tertentu untuk setiap kelompok.

Di samping itu ada teknik SD yang menggunakan metode rantai Markov terutama untuk klasisfikasi cuaca yang bersifat diskrit. Charles et al. (1999a; 1999b) telah menerapkan model rantai Markov, yang disebut Nonhomogenuous Hidden Markov Model (NHMM), untuk memprediksi curah hujan harian berdasarkan luaran GCM (SLP) CSIRO 9. NHMM ini berdasarkan proses stokastik ganda di mana proses-proses yang ‘tersembunyi’ (hidden atau unobserved) hanya dapat diketahui melalui sejumlah proses stokastik lainnya yang dapat menghasilkan sekuen data pengamatan. Dalam NHMM didefinisikan adanya hubungan bersyarat stokastik antara pola kejadian curah hujan harian aktual dengan sejumlah keadaan cuaca yang tersembunyi.

Ada beberapa teknik SD yang merupakan kombinasi dari dua metode, antara lain Huth & Kysely (2000) menggunakan regresi linear ganda dengan PCA untuk memprediksi total curah hujan dan temperatur rata-rata bulanan berdasarkan SST luaran GCM ECHAM-3 di Republik Cekoslovakia; Uvo et al. (2001) mengembangkan model regresi linear berdasarkan dekomposisi nilai singular (SVD) untuk pendugaan curah hujan rata-rata dengan basis 12 jam di pulau Kyushu Jepang. Sailor et al. (2000) mengkombinasikan ANN dengan MOS untuk data luaran GCM NCAR (National Centre for Atmospheric Research) untuk memprediksi kecepatan angin permukaan harian. Chen D & Chen Y (2002) menggunakan CCA dan PCA untuk peramalan temperatur berdasarkan luaran GCM NCEP/NCAR.

Secara umum teknik-teknik SD banyak digunakan untuk memprediksi curah hujan harian, bulanan, maupun musiman, dan temperatur. Teknik SD tidak hanya dapat digunakan untuk memprediksi peubah iklim lokal, tetapi juga peubah

(15)

respon lainnya, antara lain populasi zooplankton di Belanda dan polusi udara di London (Wilby et al. 2004). Bergant et al (2002) memprediksi jumlah hari untuk mulai pembungaan tanaman Dandelion berdasarkan temperatur (luaran GCM). Peubah prediktor yang sering digunakan adalah SST (Sea Surface Temperature), SLP (Sea Level Pressure), Geopotential height, Humidity. Peubah prediktor lainnya yang digunakan, antara lain Wind speed, Precipitable water, Presipitasi.

2.5. Kategori Teknik Statistical Downscaling

Teknik-teknik SD pada Tabel 2.2 dapat dikelompokkan menjadi lima kategori seperti tercantum pada Tabel 2.3. Kategori ini berdasarkan teknik berbasis Regresi atau Klasifikasi, teknik dengan model Linear atau model Nonlinear, teknik dengan model Parametrik atau model Nonparametrik, teknik berbasis Proyeksi atau Seleksi, dan teknik berbasis model-driven atau data-driven. Sailor & Li (1999) mengemukakan bahwa ada dua kelompok teknik SD, yaitu (1) Teknik SD berbasis Regresi; dan (2) Teknik SD berbasis Klasifikasi tipe cuaca. Kelompok teknik pertama baik digunakan untuk memprediksi peubah lokal yang bersifat kontinu berdasarkan waktu, sedangkan kelompok teknik kedua dapat digunakan baik untuk peubah lokal yang kontinu maupun diskrit. Zorita & Storch (1999) mengklasifikasikan teknik-teknik SD menjadi tiga kategori, yaitu (1) Teknik SD berbasis model linear; (2) Teknik SD berbasis model nonlinear; dan (3) Teknik SD berbasis klasifikasi tipe cuaca.

Suatu teknik SD bisa termasuk ke dalam kombinasi kelima kategori. PCR termasuk kategori metode berbasis regresi, linear, parametrik, berbasis proyeksi, dan model-driven. PCR adalah suatu metode pemodelan regresi berdasarkan PCA, di mana PCA melakukan pereduksian dimensi atau melakukan proyeksi peubah-peubah awal berdimensi besar menjadi sejumlah peubah-peubah baru yang berdimensi lebih kecil, yang disebut komponen utama. Model regresi dibentuk berdasarkan peubah-peubah baru sebagai prediktor. Modelnya sudah ditentukan sejak awal (model-driven), bersifat linear, dan parametrik yang ketat asumsi. Pendugaan model dilakukan dengan metode kuadrat terkecil.

(16)

Tabel 2.3. Kategori Teknik-Teknik Statistical Downscaling

No Kategori Teknik-Teknik SD

a. Berbasis Regresi MOS, Perfect Prognosis, Analog, PCR, CCA, MARS, Regresi bertatar, ANN, [PPR]

1

b. Berbasis Klasifikasi CART (TSR), NHMM

a. Model Linear MOS, Perfect Prognosis, Analog, Regresi bertatar, PCR, CCA, CART (TSR) 2

b. Model Nonlinear ANN, MARS, [PPR]

a. Model Parametrik MOS, Regresi bertatar, PCR, CCA, CART (TSR)

3

b. Model Nonparametrik ANN, MARS, [PPR] a. Berbasis Proyeksi PCR, [PPR]

4

b. Berbasis Seleksi CART (TSR), Regresi Bertatar

a. Model driven MOS, PCR, CCA, Regresi Bertatar, ANN 5

b. Data driven MARS, CART (TSR), [PPR]

Keterangan: [PPR] belum digunakan dalam SD

Berbeda dengan PCR, MARS berbasis regresi, nonlinear, nonparametrik yang tidak memerlukan asumsi yang ketat (soft modeling), dan data-driven. Dalam metode ini pendugaan model regresi menggunakan fungsi spline berdasarkan kondisi data, tanpa model yang baku dan spesifik. Teknik SD lainnya yang berbasis regresi, nonlinear, nonparametrik dan model-driven adalah ANN.

Model regresi bertatar termasuk kategori teknik berbasis regresi, linear, parame trik, berbasis seleksi, dan model-driven. Dalam teknik ini dilakukan proses seleksi peubah prediktor yang memenuhi syarat masuk ke dalam model. CART atau TSR termasuk teknik SD berbasis klasifikasi di mana dalam prosesnya teknik ini melakukan penge lompokan secara bertahap, bersifat linear, parametrik, berbasis seleksi, dan data-driven.

Model PPR termasuk kategori model berbasis regresi nonlinear, nonparametrik, berbasis proyeksi, dan data-driven, serta tidak mempunyai bentuk model yang baku dan tidak ketat asumsi atau tidak memerlukan asumsi seperti halnya pada model regresi parametrik. Teknik ini tidak menghasilkan bentuk model penduga, tetapi dapat memberikan hasil pendugaannya. Serupa dengan PCR, PPR melakukan pendugaan model yang diawali dengan pereduksian dimensi peubah asal menjadi peubah baru berdimensi lebih kecil dari dimensi asal, sehingga PPR termasuk kategori model regresi berbasis proyeksi. Dalam

(17)

proses pendugaan modelnya, teknik ini menggunakan fungsi kernel atau spline serupa dengan pada teknik MARS, yang membiarkan model PPR mengikuti keadaan datanya, sehingga PPR termasuk ke dalam kategori model berbasis data-driven.

2.6. Permasalahan Dalam Teknik Statistical Downscaling

Pemodelan SD diawali dengan penyusunan hubungan fungsional antara peubah atmosfir skala global dengan peubah skala lokal. Pemodelan ini memerlukan asumsi-asumsi dan prosedurnya. Prosedur-prosedurnya mencakup pemilihan peubah lokal sebagai peubah respon (y), pemilihan peubah global sebagai peubah prediktor (X) dan domain GCM, dan penentuan model dan metode pendugaannya.

Beberapa asumsi diperlukan dalam penggunaan model statistik untuk teknik SD. Asumsi penting untuk menilai dampak iklim dengan pendekatan statistik adalah adanya hubungan antara sirkulasi atmosfir skala besar dan iklim lokal yang tidak berubah dengan terjadinya perubahan iklim, meskipun tidak ada jaminan demikian (Zorita & Storch 1999). Namun jika data pengamatan historis (record length) untuk pemodelan cukup panjang, maka data tersebut dapat diasumsikan mengandung informasi penting tentang kondisi iklim yang berbeda atau adanya perubahan iklim. Hal ini berguna untuk menilai iklim lokal dengan memanfaatkan model statistik yang dapat mengidentifikasi informasi tersebut dalam data historis, dan dapat menduga kemungkinan dampaknya terhadap iklim lokal. Keadaan ini akan valid jika keragaman di masa lampau sama dengan keragaman pada saat sekarang dan masa datang. Tetapi kenyataannya bahwa model yang dapat memberikan hasil yang baik untuk masa lampau belum tentu berimplikasi bahwa model tersebut dapat digunakan dengan baik pula untuk kondisi yang akan datang, bahkan ada kemungkinan model itu sudah tidak berlaku lagi karena adanya perubahan keragaman, apalagi kalau ada kejadian ekstrim.

Sehubungan dengan teknik SD ini, Zorita et al (1995) mengemukakan tiga asumsi, yaitu (1) GCM dapat memprediksi peubah atmosfir berskala besar yang lebih realistis daripada memprediksi peubah iklim lokal; (2) Hubungan antara peubah skala besar dan lokal tidak berubah dengan adanya perubahan

(18)

iklim; dan (3) Prosedur statistik tidak hanya menghasilkan suatu replika data historis tetapi juga makna pengaruh setiap peubah dan hubungannya secara fisik terhadap peubah lokal. Yarnal et al (2001) menyatakan bahwa salah satu asumsi dalam pemodelan SD adalah kestabilan hubungan antara peubah luaran GCM dengan peubah lokal, di mana hubungan ini tidak tergantung waktu (time invariant). Namun hubungan ini umumnya tidak stabil, terutama kalau banyak peubah yang terlibat dalam penyusunan model dan untuk jangka panjang.

Cavazos (1999) menyebutkan asumsi-asumsi dalam pemodelan linear, yaitu (1) Kelinearan; (2) Kenormalan; dan (3) Tidak ada multikolinearitas. Dengan asumsi kelinearan, model SD harus bersifat linear. Model ini memerlukan asumsi kenormalan, di mana suatu model tidak dapat digunakan secara langsung bila peubah lokal tidak menyebar normal, terutama untuk model paramterik. Pada umumnya peubah lokal tidak menyebar normal, misalnya curah hujan. Luaran GCM menyebar normal selama sirkulasi atmosfir skala besar menyebar normal, tetapi secara umum kenyataannya tidak normal (Cavazos 1999). Multikolinearitas adalah suatu keadaan di mana peubah-peubah prediktor dalam model saling berkorelasi tinggi. Keadaan ini akan menjadi masalah dalam penduga model yang berbias dan overestimate.

Pada dasarnya model SD adalah model regresi yang melibatkan pemodelan suatu fungsi antara satu atau lebih peubah prediktor dan satu atau lebih peubah respon, yaitu pendugaan f(X). Bentuk umum model SD pada persamaan (2.1) terdiri dari peubah respon Y(t x p) dan peubah prediktor X(t x q x s x g) . Bila

fungsi f(X) diketahui, maka pendugaannya dapat dilakukan dengan baik. Tetapi pada kenyataannya bentuk fungsi ini sering tidak diketahui dan model yang tidak tepat akan memberikan hasil dugaan yang tidak tepat pula (Friedman & Stuetzle 1981). Bila bentuk fungsi tidak diketahui dan hanya melibatkan satu peubah prediktor, maka f(X) dapat dimodelkan dengan pemulusan linear seperti spline atau kernel. Untuk jumlah peubah prediktor yang lebih banyak, metode pemulusan linear akan bermasalah karena data prediktor bersifat curse of dimensionality di mana ukuran ruang peubah prediktor bertambah besar secara eksponensial sesuai dengan bertambahnya jumlah peubah prediktor. Hal ini akan

(19)

menimbulkan masalah dalam pendugaan f(X) apabila tidak didukung dengan jumlah data yang besar.

Tahap awal dalam SD adalah pemilihan peubah lokal dan lokasi target pendugaan, sehubungan dengan peubah respon pada model SD. Peubah ini harus terukur dan berhubungan dengan sirkulasi global. Pada umumnya temperatur banyak digunakan dalam studi SD. Temperatur bersifat kontinu dan berdistribusi normal. Di samping itu curah hujan juga sering digunakan. Curah hujan berdistribusi skewed dengan nilai minimum nol dan berhubungan dengan proses-proses yang terjadi pada skala lokal sehingga sukar untuk proses-proses downscaling (Yarnal et al. 2001).

Setelah peubah respon terpilih, tahap berikutnya adalah memilih peubah prediktor dan domainnya. Peubah prediktor mempengaruhi lingkungan pada tingkat permukaan dan dapat disimulasi secara akurat oleh GCM (Yarnal et al. 2001). Peubah GCM yang sering digunakan adalah SLP, geopotential height, moisture, humidity, dew point temperature, vorticity, dan presipitasi. Presipitasi pernah digunakan sebagai prediktor oleh Venugopal et al (1999), diacu dalam (Yarnal et al. 2001), dan Semenov & Barrow (1996), Palutikof & Wigley (1995), dan Wilks (1999), diacu dalam Giorgi & Hewitson (2001). Presipitasi bulanan luaran GCM merupakan salah satu peubah prediktor yang berpotensi digunakan dalam pemodelan SD (BIOCLIM 2004).

Peubah respon juga bersifat temporal sehingga kemungkinan ada masalah otokorelasi. Jika peubah respon lebih dari satu, maka masalah multikolinearitas mungkin terjadi dalam peubah respon. Permasalahan lain yang mungkin terjadi pada peubah respon adalah kondisi kawasan di mana lokasi target pendugaan akan dilakukan, terutama berkaitan dengan kehomogenan topografi dan vegetasi di wilayah target di kawasan tropis seperti Indonesia. Wilayah yang heterogen memerlukan teknik SD yang dapat digunakan dengan skala ‘titik’ (point scale), yaitu khusus untuk suatu lokasi tertentu, tidak berlaku untuk wilayah sekitarnya yang lebih luas. Untuk wilayah target yang lebih homogen, teknik SD dapat digunakan untuk pendugaan target yang lebih luas. Kejadian ekstrim pada peubah respon juga akan merupakan masalah dalam pendugaan model SD. Kejadian ini akan menjadi data pencilan yang mungkin akan mengganggu pendugaan model

(20)

SD, sehingga teknik SD harus bersifat kekar (robust) terhadap kejadian ekstrim atau pencilan.

Peubah prediktor bersifat spasial (g) dan temporal (t) sedangkan peubah respon bersifat temporal (t) di mana peubah ini berupa deret waktu. Kedua jenis peubah ini mempunyai permasalahannya masing- masing, di samping masalah curse of dimensionality terutama pada peubah prediktor. Peubah prediktor adalah data luaran GCM yang tergantung pada luasan dan lokasi domain GCM yang bersifat spasial sehingga kemungkinan adanya korelasi spasial antar grid dalam domain. Keadaan ini menunjukkan kemungkinan adanya masalah multikolinearitas antar grid. Demikian juga jika model melibatkan lebih dari satu prediktor dan lebih dari satu lapisan atmosfir, yang kemungkinan ada korelasi antara peubah prediktor. Di samping bersifat spasial, prediktor ini bersifat temporal sehingga kemungkinan ada masalah otokorelasi.

Secara umum permasalahan dalam pemodelan SD adalah sebagai berikut: (1) Luasan dan lokasi domain GCM, yaitu jumlah grid dalam domain dan lokasi

domain di mana peubah prediktornya berkorelasi tinggi dengan peubah respon.

(2) Peubah prediktor (luaran GCM) yang bersifat curse of dimensionality, nonlinear, non Gaussian, bahkan tidak mengikuti sebaran statistik yang baku, dan multikolinearitas.

(3) Peubah respon juga bersifat nonlinear, non Gaussian, bahkan tidak mengikuti sebaran statistik yang baku.

(4) Panjang data historis, di mana umumnya teknik SD memerlukan data historis yang relatif panjang.

(5) Data peubah respon yang ekstrim atau pencilan.

2.7. Simpulan

1). Penggunaan suatu teknik SD perlu memperhatikan permasalahan yang ada. Teknik-teknik SD yang ada sudah memberikan hasil yang cukup akurat dengan berbagai asumsi dan kendala tertentu. Pada kenyataannya teknik SD masih terus berkembang dan mencoba untuk mengantisipasi permasalahan yang ada sehingga dapat memberikan hasil dugaan dengan

(21)

kesalahan yang relatif kecil. Teknik-teknik SD berbasis regresi nonlinear, nonparametrik, proyeksi atau seleksi, dan data-driven akan menjadi pilihan yang lebih tepat untuk data iklim, antara lain metode PPR.

2). Pemilihan domain GCM yang berhubungan kuat dengan peubah responnya masih merupakan masalah dalam SD. Peubah prediktornya bersifat curse of dimensionality dan peubah respon umumnya bersifat nonlinear dan tidak menyebar menurut sebaran yang baku (tidak normal), sehingga diperlukan teknik SD berbasis regresi nonlinear, nonparametrik, proyeksi atau seleksi, dan data-driven. Masalah lainnya berkaitan dengan kestabilan model hubungan peubah prediktor dengan peubah respon dari waktu ke waktu atau bahwa apakah model tersebut time invariant. Meskipun tidak sering menjadi kendala, panjang data historis dan data peubah respon yang ekstrim (mungkin berupa data pencilan) juga dapat mempengaruhi hasil pendugaan model SD.

Gambar

Tabel 2.1. Beberapa GCM
Tabel 2.2. Beberapa Teknik Statistical Downscaling
Tabel 2.3. Kategori Teknik-Teknik Statistical Downscaling

Referensi

Dokumen terkait