• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Data Iklim di Indonesia

Basis data iklim yang handal dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi iklim yang dinamis dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, data iklim harus diperbaharui agar didapatkan data yang akurat. Data iklim yang akurat dan seri waktu yang panjang sangatlah penting. Karena untuk kebutuhan analisis iklim biasanya membutuhkan data iklim seri yang cukup panjang agar didapatkan hasil analsis yang tepat. Oleh sebab itu pengkayaan dan pemutakhiran data iklim sangatlah penting.

Selain adanya interaksi antar unsurnya, kondisi iklim suatu lokasi saling berkorelasi dengan lokasi lainnya, baik dalam skala lokal (meso) maupun regional dan global (makro). Oleh sebab itu, untuk menghasilkan informasi iklim dan analisis resiko iklim yang efektif dan akurat dibutuhkan data iklim dari berbagai stasiun pengamatan iklim yang satu sama lain saling melengkapi dan bersifat sinergis (Las et al, 2000).

Menurut Sandy dalam Damayanti (2001), Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi. Hingga akhir tahun 1941 terdapat sejumlah 3.128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau Jawa dengan kerapatan 15 km2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang mengumpulkan basis data secara lengkap dan seri waktu yang panjang. Oleh karena itu untuk keperluan penelitiannya Sandy hanya dapat menggunakan 94 stasiun.

Pernyataan Sandy tersebut diperkuat dengan pendapat Fahrizal (2008), yang menyatakan bahwa saat ini ketersediaan data iklim di Indonesia masih sangat terbatas dan sebaran yang tidak merata. Kondisi tersebut diperburuk dengan adanya over lapping data iklim akibat belum efektifnya sistem koordinasi dan jaringan kerjasama antar instansi penyedia dan pengguna data iklim. Jenis unsur iklim yang diamati dan periode pengamatannya pun masih sangat beragam dan sering terputus. Akibatnya sebagian data tidak dapat dimanfaatkan.

(2)

6

Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, keterbatasan basis data iklim di atas dapat ditanggulangi dengan penggunaan teknologi penginderaan jauh, misalnya dengan citra satelit ataupun dengan pemodelan iklim. Dengan penginderaah jauh dan pemodelan iklim memungkinkan mendapatkan data iklim pada wilayah-wilayah yang susah dijangkau dengan menggunakan peralatan konvensional.

2.2 Model Iklim

Wigena (2006), mengatakan bahwa Global Circulation Model (GCM) dapat digunakan sebagai alat prediksi utama iklim dan cuaca secara numerik dan sebagai sumber informasi primer untuk menilai perubahan iklim. Tetapi informasi GCM masih berskala global dan tidak untuk skala yang lebih detil (lokal), sehingga masih sulit untuk mendapatkan informasi skala lokal (Regional Climate Model, RCM) dari data GCM. Untuk memperoleh informasi skala lokal atau regional tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknik downscaling. Ada dua tipe downscaling yang biasa digunakan yaitu Dynamical Downscaling (DD) dan Empirical Statistical Downscaling (ESD).

Selain dengan teknik downscaling seperti yang tersebut di atas, untuk meningkatkan resolusi model pada tingkatan lokal, dikembangkan suatu model yang dinamakan Regional Climate Models (RCMs) (Giorgi,2009). RCMs lazim digunakan sebagai dynamical downscaling dan untuk meningkatkan informasi iklim regional yang sesuai dengan sirkulasi skala besar yang diberikan dari data GCM atau data dari reanalysis pada batas-batas RCMs (Zanis et al, 2008)

Salah satu model dari RCMs adalah RegCM3. Model ini dikembangkan oleh ICTP (International Centre for Theoretical Physics), yang ada di Trieste, Italy. Dengan menggunakan RegCM3 dapat untuk mensimulasikan parameter-parameter iklim seperti curah hujan, suhu, tekanan udara, kelembapan udara, medan angin, radiasi, kelembapan tanah, aliran permukaan, fraksi awan, dan lain sebagainya dengan resolusi spasial yang tinggi (Elguindi et al, 2007).

RegCM3 memiliki banyak parameterisasi yang dapat dipilih guna mendapatkan hasil simulasi yang baik. Salah satunya adalah berupa skema konvektif untuk curah hujan. Ada dua bentuk skema konvektif utama yang ada di dalam RegCM3, yaitu Grell scheme dan MIT-Emanuel scheme. Skema konvektif

(3)

7

Grell merupakan skema konvektif yang mendasarkan bahwa awan terdapat dalam dua kondisi tetap (steady state) sirkulasi yaitu updraft dan downdraft. Tidak ada pencampuran langsung antara uap air dan lingkungan kecuali pada bagian atas dan bawah sirkulasi. Skema konvektif MIT-Emanuel merupakan skema konvektif terbaru yang ada di RegCM3. Model ideal dari gerakan udara updraft dan downdraft dengan metode buoyancy sorting. Hal tersebut menentukan tingkat penambahan dan pengurangan parsel udara pada level tertentu untuk mendapatkan potensi uap air yang cukup ( Elguindi et al, 2007)

Proses running RegCM3 diperlukan untuk mendapatkan data model iklim pada wilayah yang menjadi kajian penelitian. Proses running dari RegCM3 terdiri dari tiga kompoenen utama, yaitu Pre Processing, Processing dan Post Processing. Pada tahap Pre Processing ada dua hal pokok yang perlu dilakukan untuk menginput data yaitu Terrain dan ICBC. Beberapa hal penting yang perlu di input dalam Terrain ialah domain (latitude pusat dan longitude pusat dari wilayah kajian), grid interval (paling kecil 10 km x 10km), land use (default penggunaan lahan dari the Global Land Cover Characterization (GLCC) yang didapatkan dari 1 km Advance Very High Resolutions Radiometer dari April 1992 – Maret 1993), dan selanjutnya adalah elevasi dari USGS. Sedangkan input pada ICBC ialah Sea Surface Temperature (SST) dan data set yang akan digunakan untuk mensimulasikan model data iklim (GCM atau reanalysis).

2.3 Koreksi Bias Data Luaran Model RegCM

RCM merupakan salah satu hasil dari downscaling yang termasuk dalam kategori dynamical downscaling. RCM dapat memberikan struktur bidang meteorologi yang rinci baik dalam skala rung maupun waktu. Meskipun demikian, data luaran dari RCM ini biasanya tidak dapat langsung kita gunakan untuk analisis hidrologi, karena suatu analisis hidrologi membutuhkan akurasi yang sangat tinggi, padahal luaran dari RCM masih mengandung bias (Tanaka et al, 2005). Koreksi bias didefinisikan sebagai proses menghitung kesalahan secara sistematik dari luaran suatu model iklim (Teutschbein and Seibert, 2010). Jadi prinsip dasar dari koreksi bias adalah untuk mengkoreksi data hasil luaran model dengan data observasi. Oleh sebab itu penerapan koreksi bias sangat dianjurkan dalam memanfaatkan data luaran model iklim untuk analisis hirologi. Apabila

(4)

8

data luaran dari suatu model iklim langsung digunakan tanpa adanya koreksi bias, maka simulasi hidrologi yang dihasilkan akan menunjukkan fenomena yang tidak realistik.

Teutschbein and Seibert (2010), mengemukakan beberapa metode koreksi bias untuk diterapkan pada data luaran model iklim, khususnya untuk parameter curah hujan dan suhu. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan skala, yaitu dengan menggunakan faktor koreksi bulanan, dimana faktor bulanan ini didapatkan dari rasio antara nilai harian model dan nilai harian observasi. Biasanya untuk parameter suhu dijumlahkan dengan hasil faktor koreksi bulanan sedangkan untuk parameter curah hujan dikalikan dengan faktor koreksi.

b. Transformasi linear, yaitu variabel meteorologi dari RCM dikoreksi dengan transformasi linear persamaan yang mempertimbangkan perubahan dalam mean dan varians.

c. Transfer distribusi, yaitu fungsi transfer didapatkan dari cumulative distribution functions (CDFs) dari data historis observasi dan dari data model. Biasanya untuk curah hujan menggunakan distribusi gamma, namun distribusi Gaussian dan Beta juga bisa digiunakan.

Hagemann and Haerter, 2010 juga menyebutkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menenetukan koreksi bias. Metode tersebut adalah: delta change approach, multiple linear regression, analogue methods, local intensity scalling, quantile mapping. Dan yang terbaik untuk menentukan bias correction pada RCM dengan wilayah penelitian di Alps menurut Themeβl et al. (dalam Hagemann and Haerter ( 2010) adalah metode quantile mapping.

Bennett et al. (2012), juga melakukan koreksi bias dengan menggunakan quantile mapping untuk menghitung besarnya faktor koreksi bias sebelum data hasil luaran dari RCM digunakan untuk analisis model hidrologi selanjutnya. Adapun rumus dari faktor koreksi bias antara data observasi dan data model (RCM) dari Bennett adalah sebagai berikut:

(5)

9 keterangan:

Fi = faktor quantil mapping

Pi(obs) = i th percentile dari data observasi Pi (RCM) = i th percentile dari data output RCM

2.4 Batasan Kekeringan

Kekeringan selalu berkaitan dengan berkurangnya jumlah curah hujan secara alamiah dalam jangka waktu yang lama. Tingkat bahaya kekeringan sangat tergantung dari durasi, intensitas, luasan daerah yang terkena dampak kekeringan dan yang paling utama adalah dampaknya terhadap aktivitas manusia, pertanian dan lingkungan. Kompleksitas dari fenomena kekeringan menyebabkan definisi dari kekeringan tidak ada yang baku (Caparrini, 2009), sehingga terdapat beberapa definisi kekeringan yang berbeda.

Menurut Landsberg dalam WMO (1974), menyebutkan bahwa kekeringan pada dasarnya adalah suatu kondisi kekurangan air. Kekurangan air disini dimaksudkan untuk konteks secara umum, seperti pertanian, air permukaan , air tanah, dan sebagainya. Biro Cuaca Amerika Serikat memberikan definisi bahwa kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah dan akan menyebabkan pula berkurangnya cadangan air untuk keperluan sehari-hari maupun untuk kebutuhan tanaman dan terutama terjadi di daerah-daerah yang biasanya curah hujannya cukup untuk tujuan semacam itu (Sudibyakto, 1985).

Borton dan Nicholds (1994), menggaris bawahi bahwa kekeringan sifatnya sementara. Menurut mereka kekeringan adalah berkurangnya ketersediaan air atau kelengasan di bawah kondisi normal yang sifatnya sementara secara signifikan. Dalam hal ini perlu dibedakan antara “arid” dengan “drought”. Arid (kering) merupakan kondisi dimana suatu daerah memang secara meteorologis memiliki curah hujan sangat rendah secara permanen, contohnya gurun. Sedangkan drought (kekeringan) merupakan kondisi kekurangan air secara sementara, dimana pada waktu-waktu yang lain daerah ini cukup mendapatkan air.

(6)

10

Balai Hidrologi (2003), mendefinisikan kekeringan adalah kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal yang berkepanjangan sampai mencapai satu musim atau lebih panjang dan mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan.

Beran dan Rodier dalam Nalbantis (2008), mengkategorikan kekeringan berdasarkan variable-variabel yang terjadi di dalam proses hidrologi. Berdasarkan proses hidrologinya kekeringan dapat dikategorikan menjadi kekeringan meteorologi, kekeringan hidrologi dan kekeringan agronomi. Proses terjadinya kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim, kejadian ini adalah kekeringan meteorologis yang merupakan tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berkurangnya kondisi air tanah yang menyebabkan terjadinya stress pada tanaman (terjadinya kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah yang ditandai menurunya tinggi muka air sungai ataupun danau (terjadinya kekeringan hidrologis). Tahapan-tahapan proses kekeringan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

Berkurangnya hujan (jumlah,intensitas, waktu)

Variabilitas Iklim

Berkurangnya infiltrasi, larian, perkolasi, imbuhan air tanah

Meningkatnya evaporasi dan transpirasi Suhu tinggi, angin kencang,

kelembaban rendah, sinar matahari terik, tiada awan

Berkurangnya lengas tanah

Tanaman mengalami stress kekurangan air, berkurangnya panen

Berkurangnya aliran sungai, air di danau, waduk, kolam, berkurangnya lahan basah,

habitat satwa liar

Dampak ekonomi Dampak sosial Dampak lingkungan

K ek er in ga n M et eo ro lo gi K ek er in ga n pe rt an ia n K ek er in ga n hi dr ol og i K ek er in ga n so si o-ek on om i W ak tu

(7)

11

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekeringan

Pada umumnya, kejadian kekeringan dapat teridentifikasi dari kondisi tanah, tanaman dan air permukannya. Saat terjadi kekeringan, maka tanah menunjukkan fisik yang kering, bahkan untuk tanah yang berliat kondisi ini terlihat dengan jelas, yaitu adanya pecahan-pecahan atau rekahan di permukaan tanahnya. Sedangkan untuk tanaman, ditunjukkan dengan adanya daun-daun yang layu dan bahkan ada yang sampai meranggas. Hal ini disebabkan air tanah yang sudah sangat berkurang sehingga tanaman sudah tidak bisa menyerap air. Dan untuk air permukaan, saat kejadian kekeringan ditandai dengan menurunnya debit aliran sungai.

Semua gambaran identifikasi dari adanya kejadian kekeringan di atas sangat terkait dengan ketersediaan air. Ketersediaan air sendiri ditentukan oleh tiga hal, yaitu curah hujan sebagai sumber air di bumi, kemudian karakteristik tanah sebagai tempat penyimpanan air (aquifer) dan yang terakhir adalah jenis tanaman sebagai subjek yang memanfaatkan air.

2.5.1 Hujan

Terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan di suatu daerah sangat tergantung dari adanya hujan yang jatuh di daerah yang bersangkutan. Hujan yang banyak dan sebarannya merata pada suatu daerah merupakan faktor penting yang menentukan suatu daerah tersebut tidak akan mengalami kekeringan. Meskipun hujan yang jatuh cukup banyak, namun sebarannya tidak merata, maka hal ini dapat menyebabkan kekeringan. Apalagi kalau hujan yang jatuh sangat rendah (di bawah kondisi normal) dan sebarannya tidak merata, maka akan memperluas daerah yang mengalami kekeringan.

Besarnya curah hujan sangat tergantung dari posisi suatu wilayah terhadap pegunungan ataupun lautan. Nieuwolt (1977) menyatakan bahwa curah hujan di daerah tropis variasinya tergantung dengan ketinggian dan arah datangnya angin. Sedangkan Turyanti (1995) dan Jadmiko (2011) menyatakan bahwa kisaran

(8)

rata-12

rata curah hujan daerah yang ada di pesisir utara Jawa lebih rendah daripada daerah yang ada di pesisir selatan Jawa.

2.5.2 Jenis Tanah

Salah satu peranan tanah adalah sebagai tempat penyimpanan air, tertahannya air oleh tanah disebabkan oleh proses adhesi antara air dan tanah serta proses kohesi air. Tipe-tipe tanah memiliki perbedaan dalam kapasitas menyimpan dan menahan kelengasan. Sebagai contohnya tanah yang bertekstur pasir memiliki daya menyimpan air yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur liat (Borton dan Nicholds, 1994). Kemampuan menyimpan dan menahan air pada tanah inilah yang turut mempengaruhi terjadinya kekeringan.

Semakin halus butir-butir tanah (semakin banyak butir liatnya), maka semakin kuat tanah tersebut memegang air dan unsur hara. Namun tanah yang kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah tersebut basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan air sehingga bila tanahnya datar akan cenderung tergenang dan pada tanah berlereng erosinya akan tinggi. Sedangkan tanah dengan butir-butir yang terlalu kasar (pasir) tidak dapat menahan air dan unsur hara. Dengan demikian tanaman yang tumbuh pada tanah jenis ini mudah mengalami kekeringan dan kekurangan hara (Ruijter dan Agus, 2004)

Kemampuan tanah dalam menyimpan air dapat diinterpretasikan dari nilai kapasitas air tersedia. Nilai kapasitas air tersedia merupakan selisih dari nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen. Tabel 1 berikut ini adalah pendugaan nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen ditinjau dari jenis tekstur tanahnya menurut USDA.

(9)

13

Tabel 1. Nilai Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen pada beberapa Tekstur Tanah

Testur KL TLP mm/m mm/m Liat 333 217 Lempung Berliat 317 150 Lempung Berdebu 290 117 Lempung 267 100 Lempung Berpasir 167 50 Pasir 123 33 2.5.3 Jenis Tanaman

Air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan berbeda-beda tergantung dari umur dan jenis tanamannya. Meskipun jenis tanamannya sama, akan berbeda dalam kebutuhan airnya jika fase nya berbeda, sehingga sensivitas terhadap kekeringan berbeda pula.

Pugnaire dalam Sinaga (2008) mengklasifikasikan tanaman berdasarkan responnya terhadap kekeringan menjadi dua, yaitu tanaman yang menghindari kekeringan dan tanaman yang mentoleransi kekeringan. Tanaman yang menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi.

2.6 Konsep Neraca Air

Pendekatan konsep neraca air memungkinkan untuk mengevaluasi sumber daya air secara kuantitatif dan pada gilirannya dapat digunakan untuk mengetahui jumlah ketersediaan air di suatu wilayah. Kekeringan erat kaitannya dengan ketersediaan air. Sehingga untuk dapat mengetahui suatu wilayah rawan

(10)

14

kekeringan atau tidak dapat dilihat dari ketersediaan air yang ada di wilayah yang bersangkutan. Ogallo dan Gbeckor-Kove (1989) menyebutkan bahwa dengan menggunakan konsep neraca air dapat digunakan untuk identifikasi kekeringan dengan cukup baik.

Seyhan (1991), menyatakan bahwa persamaan neraca air merupakan persamaan yang menggambarkan keseimbangan masukan air total pada selang waktu dan ruang tertentu dengan keluaran air total ditambah perubahan bersih cadangan air tanah.

Persamaan neraca air dari Thorthwaite and Mather (1955) sebagai berikut:

P = ETP +ΔS+Ro keterangan:

P = presipitasi (hujan) ETP = evapotranspirasi

ΔS = perubahan cadangan air Ro = limpasan (termasuk perkolasi)

Persentase perubahan cadangan air dan limpasan dari air hujan yang jatuh di permukaan bumi tidak tetap. Tergantung pada jenis tanah (khususnya tekstur tanah), penggunaan lahan, dan kedalaman perakaran. Perubahan cadangan air yang ada di dalam tanah akan menentukan kapasitas air tersedia (available water capacity). Kapasitas air tersedia merupakan air yang terikat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Air tersedia ini berupa air yang dapat diabsorpsi oleh tanaman. Gambar 2 menunjukkan skema air tersedia yang ada di dalam tanah antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.

(11)

15

Gambar 2. Skema Kapasitas Air Tersedia (Ministry of Agriculture, Food and Fisheries 2002)

Konstanta lengas tanah yang biasa digunakan untuk pertanian adalah sebagai berikut.

Kapasitas jenuh (saturation capacity). Jika semua pori tanah diisi air, maka disebut sebagai kapasitas jenuh atau maximum water holding capacity. Kapasitas lapang (field capacity) (KL), adalah kandungan lengas tanah sesudah drainase air secara gravitasi, menjadi sangat lambat dan lengas tanah menjadi relatif stabil. Keadaan ini biasanya dicapai setelah 1 hari sampai 3 hari sesudah pembasahan dengan air hujan atau irigasi.

Titik Layu permanen (wilting permanent) (TLP), yakni kondisi lengas tanah dimana tanaman tidak mampu lagi mengisap airtanah untuk memenuhi transpirasi, dan tanaman akan tetap layu walaupun air diberikan.

Ultimate wilting point yakni kandungan lengas tanah dimana tanaman mati, biasanya tegangan airtanah sekitar 60 atm

2.7 Indeks Kekeringan

Penyederhanan dalam mengkuantifikasi suatu kondisi sering menggunakan indeks. Demikian juga dalam mengkuantifikasi tingkat kekeringan. Keberadaan indeks kekeringan sangat penting karena untuk menyederhanakan hubungan yang kompleks berbagai faktor yang menyebabkan kekeringan, untuk

(12)

16

memberikan penilaian secara kuantitatif dari anomali kondisi iklim (intensitas, durasi, luasan), dan untuk aplikasi perencanaan dan desain.

Yang (2010), juga menyatakan pentingnya penggunaan indeks kekeringan. Yang berpendapat bahwa indeks kekeringan berperan penting dalam memonitor bahaya kekeringan, karena dengan indeks ini bisa digunakan untuk menentukan awal dan akhir dari kejadian kekeringan, serta bisa digunakan untuk menentukan kehebatan/tingkat kekeringan yang terjadi. Ada banyak indeks kekeringan yang dapat digunakan untuk memonitor dan menganalisis karakteristik dari kekeringan, baik dari intensitas, durasi dan luasan kekeringan yang ditumbulkannya.

Beberapa indeks kekeringan yang telah banyak digunakan adalah RDII (Rainfall Deciles), SPI (Standardised Precipitation Index) dan RDI (Reconnaisance Drought Index), ketiga indeks kekeringan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan kekeringan meteorologis . Indeks kekeringan yang lainnya adalah PDSI (Palmer Drought Severity Index), VHI (Vegetation Health Index), dan CMI (Crop Moisture Index.). Ketiga indeks ini digunakan untuk menentukan indeks kekeringan pertanian. Sedangkan untuk menentukan kekeringan hidrologi biasanya digunakan Regional Streamflow Deficiency Index (RSDI), Palmer Hydrological Drought Index (PHDI) dan Surface Water Supply Index (SWSI)

Indeks kekeringan di atas memiliki performa yang berbeda-beda dalam menggambarkan karakteristik kekeringan, sehingga susah untuk menentukan indeks mana yang memiliki performa paling baik. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Yang (2010), yang menyatakan bahwa sangat susah untuk menentukan indeks kekeringan yang memiliki performa terbaik untuk menggambarkan kejadian kekeringan. Karena masing-masing indeks memiliki kemampuan yang berbeda untuk menentukan jenis kekeringan, misalnya SPI akan memberikan hasil pengukuran yang baik untuk menentukan kekeringan secara meteorologi dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan PDSI akan memberikan hasil perhitungan yang baik jika digunakan untuk menentukan kekeringan pertanian. Karena PDSI selain memperhitungkan faktor meteorologi seperti curah hujan dan suhu, juga memperhitungkan kondisi kelembapan tanah (soil moinsture).

(13)

17

Penelitian Nicholls (2004) mengenai kekeringan di Australia pada tahun 2003, menunjukkan bahwa kejadian kekeringan yang terjadi di Australia dikarenakan suhu udara pada siang hari yang sangat tinggi meskipun curah hujan saat itu tidak lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sini dapat diketahui bahwa dengan adanya suhu udara yang sangat tinggi akan menjadikan kekeringan lebih hebat meskipun curah hujannya tidak lebih kering dari tahun sebelumnya. Sehingga untuk menghitung indek kekeringan diperlukan juga unsur suhu/evapotranspirasi selain curah hujan. Indeks kekeringan meteorologis yang menggunakan data curah hujan dan data evapotranspirasi adalah RDI (Reconaisance Drought Index) (Kirono et al, 2011). Hasil penelitian Nicholls menunjukkan perbedaan dengan Bazrafshan (2010) yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kekeringan menggunakan SPI dan RDI di Iran. Oleh sebab itu dalam penelitian Bazrafshan meskipun hanya menggunakan data yang minimal, tetapi SPI cukup bagus dalam memonitor kehebatan kekeringan meteorologi yang ada di pesisir Iran (Bazrafshan et al,2010)

Liu et al. (2011) telah membandingkan tiga indeks kekeringan untuk menganalisis kekeringan yang terjadi di Blue River Basin, Oklahoma. Tiga indeks yang digunakan tersebut adalah Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer Drought Severity Index (PDSI) dan Standarized Runoff Index (SRI). Dari hasil kajiannya PDSI dan SRI menunjukkan performa yang sama karena keduanya menggunakan faktor kelembapan tanah dan evapotranspirasi dalam perhitungannya. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menggunakan PDSI dan SRI dalam menganalisis kekeringan.

PDSI dalam perhitungannya berdasarkan pada “water supply and demand”, dimana perhitungannya dengan konsep sistem neraca air yang memperhitungkan data curah hujan dan suhu serta data karakteristik tanah di wilayah kajiannya. Perhitungan-perhitungan tersebut melibatkan perhitungan evapotranspirasi potensial, curah hujan dan air tersedia.

(14)

18

2.8 Penelitian Sebelumnya yang terkait dengan model iklim dan atau kekeringan

Penelitian-penelitian tentang model iklim telah banyak dilakukan demikian juga dengan kekeringan, namun penelitian yang menggabungkan antara model iklim dengan kekeringan masih sangat terbatas, sehingga dalam penelitian ini menggunakan data model iklim untuk studi kekeringan. Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian-penelitian ini adalah sebagai berikut.

Sudibyakto (1985) melakukan penelitian kekeringan di daerah Kedu bagian selatan dengan menggunakan Indeks Palmer. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks kekeringan yang didasarkan atas data hujan titik akan menimbulkan indeks yang terlalu basah atau kering. Apabila dikaitkan dengan penggunaan lahan, daerah hutan akan mengakibatkan kemunduran waktu dari munculnya kejadian kekeringan

Hay (2002) menggunakan data curah hujan dan suhu udara harian dari RegCM2 untuk simulasi hidrologi pada empat basin yang ada di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa data RegCM2 sebelum dikoreksi menunjukkan performa yang rendah dalam mensimulasikan runoff pada keempat basin. Namun setelah dilakukan koreksi bias performanya meningkat secara signifikan.

Suseno (2008), melakukan penelitian kekeringan dengan interpretasi citra NOAA yang diintegrasikan dengan data curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan tanah, penelitian ini mengungkapkan pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa tahun 2008. Analisis keruangan yang diperkuat analisis statistik terungkap bahwa pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa pada tahun 2008 bergerak atau bergeser ke utara saat memasuki pertengahan musim kemarau dan kemudian bergerak ke arah timur saat mendekati akhir musim kemarau sesuai dengan pola umum curah hujan di Pulau Jawa. Kekeringan pertanian tidak berhubungan atau dipengaruhi dengan jenis tanah dan penggunaan tanah pertanian namun berkaitan erat atau sangat dipengaruhi oleh curah hujan.

Sutikno (2008) melakukan penelitian mengenai pemodelan statistical downscaling GCM untuk menentukan hubungan curah hujan luaran model GCM dengan curah hujan stasiun (observasi). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ukuran domain grid GCM bergantung pada lokasi stasiun/wilayah curah hujan.

(15)

19

Lokasi stasiun di dekat laut/pantai, luas grid (12 x 12) menghasilkan dugaan yang baik, sebaliknya untuk lokasi yang semakin jauh dari laut, dengan topografi datar (flat), luas grid 12x12 kurang memuaskan hasil dugaannya.

Faqih et al. (2011) melakukan kajian tentang RegCM3 mengenai skema konvektif untuk hujan. Dalam penelitiannya, skema konvektif hujan yang dianalisis adalah skema Grell dan MIT Emanuel. Hasil analisis kajian sensitivitasnya menunjukkan bahwa skema hujan MIT Emanuel dapat memberikan hasil yang lebih baik mendekati pola musiman data observasi di wilayah kajian. Walaupun terdapat kecenderungan nilai yang dihasilkan dari model selalu melampaui curah hujan observasi. Bias antara data observasi dan model ini dapat dikoreksi dengan memperhitungkan faktor koreksi.

Kirono et al. (2011), mensimulasikan kekeringan dari data GCM dengan menggunakan indeks kekeringan RDI untuk proyeksi pada masa yang akan datang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum di Benua Australia mengalami peningkatan luasan daerah yang mengalami kekeringan dan juga frekuensi kejadian kekeringan pada masa yang akan datang akibat dari adanya peningkatan emisi gas rumah kaca.

Gambar

Gambar 1. Skema Proses Terjadi Kekeringan (Balai Hidrologi, 2003)
Tabel 1. Nilai Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen  pada beberapa Tekstur Tanah
Gambar 2. Skema Kapasitas Air Tersedia   (Ministry of Agriculture, Food and Fisheries 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam praktikum kali ini, alat yang digunakan yaitu, cawan petri berfungsi sebagai wadah untuk menampung bahan uji coba, pisau berfungsi untuk memotong buah

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Geometry and Building Flat (GBF) yang dapat digunakan sebagai media pendukung belajar siswa dalam pelajaran matematika khususnya pada materi bangun ruang dan

Penelitian tentang serapan Fe, K dan kandungan klorofil tanaman padi pada kondisi tercekam Fe telah dilakukan. Penelitian bertujuan mendapatkan informasi tentang

Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisis dilakukan di bawah bibir, di bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang pipi

Informasi gambar dari format DICOM ini akan digunakan untuk visualisasi tiga dimensi sedangkan informasi mengenai pasien disimpan dalam suatu basis data yang

Aplikasi yang dibangun diharapkan dapat mendukung informasi diantaranya sistem input registrasi akun, sistem input dan proses data jadwal keberangkatan, serta sistem input

Oleh karena itu, dalam rangka untuk mencapai tujuan dan sasaran pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) Kota Sabang, perlu ada keselarasan