• Tidak ada hasil yang ditemukan

REORIENTASI PENDIDIKAN MADRASAH DI ERA GLOBALISASI. Oleh : Dr. M. Musfiqon, M.Pd (Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Surabaya) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REORIENTASI PENDIDIKAN MADRASAH DI ERA GLOBALISASI. Oleh : Dr. M. Musfiqon, M.Pd (Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Surabaya) ABSTRAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

REORIENTASI PENDIDIKAN MADRASAH DI ERA GLOBALISASI Oleh :

Dr. M. Musfiqon, M.Pd

(Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Surabaya)

ABSTRAK

Masyarakat global menilai pendidikan sebagai investasi manusia untuk mempersiapkan masa depan yang lebih sukses. Perkembangan teknologi diharapkan dapat menciptakan suasana instan agar barang dapat dikonsumsi secara cepat dan mudah. Inilah yang memunculkan alternative pendidikan madrasah pada masyarakat global dengan konsep equal education, free school, and de-schooling. Pendidikan Islam di madrasah tidak terlepas dari arus globalisasi. Oleh karena itu, pendidikan Islam di madrasah dituntut berperan dalam penyelesaian masalah moral, etika serta ilmu pengetahuan modern. Perlu ada reorientasi pendidikan di madrasah untuk menghadapi tantangan global yang makin kuat.

Kata Kunci : Reorientasi, Globalisasi, Pendidikan.

PENDAHULUAN

Globalisasi dapat digambarkan sebagai seperangkat proses dalam beberapa sektor-ekonomi, pendidikan, budaya dan politik-menjadi hubungan supranasional. Supranasional di sini tidak difahami sebagai suatu term yang identik dengan internasional, tetapi lebih dipahami sebagai sebuah dimensi transnasional. Misalnya, dalam konsep world economy terdapat konsep transnasional ekonomi yang menjadi kekuatan global paling efektif pada tahun 1970-an.

Ide globalisasi tidak sama dengan ide internasionalisasi, meski tidak menutup kemungkinan kedua konsep tersebut mempunyai hubungan yang dekat. Internasionalisasi membentuk hubungan-hubungan dan transaksi-transaksi antar bangsa, tidak hanya sekedar disandarkan pada batas-batas karakter nasional saja. Globalisasi juga tidak identik dengan universalisasi. Tetapi globalisasi merupakan refleksi dan konsekuensi dari ekspansi budaya Eropa melalui pendudukan, kolonialisasi dan penjungkirbalikan budaya. Globalisasi juga dihubungkan dengan perkembangan kapitalisme dan industrialisasi. Hal ini tidak berarti mengimplikasikan bahwa untuk masuk ke dunia global harus terkapitalisasikan ataupun terbaratkan, tetapi globalisasi menuntut seluruh kehidupan masyarakat sosial harus memapankan posisinya dalam hubungannya dengan kapitalisme Barat dan industrialisasi.

(2)

Globalisasi secara prinsipil menunjuk pada percepatan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang dapat membawa manusia mengakses dinamika dunia dengan mudah dan efisien. Ini artinya, proses globalisasi ditandai dengan adanya akselerasi perubahan informasi dan kultural—dengan sekala dan kompleksitasnya yang tinggi—yang difasilitasi oleh cepatnya pertumbuhan teknologi baru. Embrio globalisasi tersebut sebenarnya berangkat dari adanya kolaborasi antara kekuatan kolonial dan elite masyarakat indigenous yang membantu kekuatan koloni menjadi penguasa.1 Melalui hubungan perdagangan internasional dan pertukaran ekonomi, globalisasi mendapatkan posisi yang kuat di bidang ekonomi. Kondisi ini menurut Wallerstein menyebabkan munculnya “Economic World

System.”2 Di negara ASEAN juga telah disepakati per 1 Januari 2014 dimulai Asean

Economic Community, yang membawa pendidikan madrasah dalam kancah

persaingan pasar bebas.

Globalisasi juga bisa diartikan sebagai action at distance”. Istilah ini mempunyai makna adanya interkoneksi antara aktifitas ekonomi, politik dan budaya dunia.3 Di dalam globalisasi ada dua aspek. Pertama, adanya pemusatan terhadap proses transnasioanal dan komunikasi. Kedua, pengembangan terhadap realitas tersebut. Dari sini dapat dikatakan bahwa setiap individu dipaksa untuk keluar dari konteks lokal dan menyadari adanya konsepsi dunia baru bagian integral dari masyarakat global.

Konsekuensi dari globalisasi ini adalah adanya dominasi. Dasar budaya Eropa Barat yakni ilmu pengetahuan dan teknologi agaknya menjadi sasaran tuduhan dari perkembangan globalisasi ini. Dengan adanya penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan, Barat tampaknya mempunyai ambisi untuk melakukan upaya westernisasi sehingga tidak heran jika upaya tersebut ditengarai sebagai langkah imperialisme kultural serta menjadikan dunia sebagai world society/ global society. Johan Galtung-sebagaimana yang dikutip oleh Tibbi-menyatakan bahwa global society didasarkan pada sistem asimetris. Artinya dengan sistem tersebut, tidak ada distribusi kesempatan yang seimbang. Seluruh kepentingan didasarkan pada sistem

feudalistic. Dengan demikian, sistem ini sama artinya dengan sistem kombinasi

antara tingkat sosial dan proses interaksi. Masyarakat dengan tingkat sosial rendah jelas akan sangat tergantung pada kelas sosial yang lebih tinggi (highest rank).4

Masyarakat yang mempunyai tingkat sosial yang lebih tinggi-dikenal dengan masyarakat previlaged-mempunyai tingkat interaksi yang berbeda dengan masyarakat

1 Akber S. Ahmed and Hastings Donnan, “Islam in the Age of Postmodernity,” in Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (eds.) Islam, Globalization and Postmodernity (London & New York: Routledge, 1994), 1-3.

2

Wallerstein, The Politics of the World-Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 143.

3 Anthony Giddens, Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics (Cambridge: Polity Press, 1994), 4.

4 Bassam Tibbi, The Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the Scientific-Technology Age (Salt Lake: University of utah Press, 1988), 13.

(3)

underprevilaged (lowest rank). Budaya interaksi yang berbeda inilah yang terkadang

menyebabkan gap sosial yang sulit untuk dijembatani. Bahkan pendidikan terkadang bisa menjadi alat sosialisasi masyarakat previledge tertentu untuk mendapatkan posisi yang menguntungkan ditengah masyarakat, bahkan bisa saja dijadikan alat untuk mempertahankan status quo. Tidak itu saja, adanya asumsi bahwa pendidikan adalah sebagai upaya untuk memperbaiki tingkat ekonomi menjadikan masyarakat underpreviladge tidak mendapatkan kesempatan sama sekali.

Arus transnasional dengan berbagai dimensi kehidupan inilah yang menjadi tantangan pendidikan di madrasah. Kurikulum madrasah yang mempertahankan nilai-nilai Islam klasik berhadapan dengan arus materi pendidikan yang mengarah pada kebutuhan hidup masa depan manusia yang lebih dinamis. Dua kutub yang berlawanan arus, yaitu arus kembali pada tradisi Islam dengan arus meninggalkan tradisi keislaman demi kehidupan masa depan.

Tantangan pendidikan madrasah juga melebar pada pengelolaan pendidikan, baik aspek manajemen, kurikulum, tenaga pendidik, serta peserta didik. Reorientasi pendidikan madrasah merupakan tawaran penting untuk mempersiapkan peserta didik di madrasah agar tetap memiliki nilai keislaman tetapi berdaya saing dengan tuntutan global.

PEMBAHASAN

Pendidikan Madrasah dalam Masyarakat Global

Perspektif sosiologis, pendidikan hanya mempunyai nilai praktis-aplikatif yang dipengaruhi oleh kebijakan suatu pemerintahan tertentu dari pada sekedar penjelasan abstraksi dan teoritis. Namun demikian, bukan berarti perspektif teoritis tidak penting lagi. Sebab, perspektif teoritis digunakan untuk menunjukkan penjelasan logis sekaligus sebagai pendekatan analitis. Beberapa teori yang digunakan untuk melihat bagaimana posisi pendidikan dalam masyarakat global di antaranya ialah: teori fungsionalis, teori konflik dan teori interaksi.

Salah satu pendekatan sosiologi pendidikan terbesar adalah teori fungsionalis (structural-fungsionalism). Asumsi dasar perspektif ini adalah bahwa kelompok dan institusi pendidikan yang ada di dalam masyarakat luas dipandang sebagai bagian yang interdependen yang saling bekerja sama, setiap bagian memberikan kontribusi fungsional bagi aktifitas kehidupan masyarakat. Institusi pendidikan dianggap sebagai salah satu komponen dari totalitas masyarakat atau sistem sosial. Bisa jadi pendidikan dalam perspektif ini, menjadi inspirator sekaligus kekuatan vital dalam masyarakat modern. Sehingga fungsi utama pendidikan adalah penyesuaian pengetahuan dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.5

Pendekatan pendidikan semacam itu, bagi kalangan kritisisme tidak mempunyai arah dan tujuan yang sama dengan isi proses pendidikan. Sebab

5 Jeanne H. Ballantine, The Sociology of Education: A Sistematic Analysis ( New Jersey: Prentice Hall, 1983), 11.

(4)

pendidikan semacam itu lebih memfokuskan pada struktur masyarakat secara eksklusif sehingga memunculkan asumsi bahwa perubahan akan berjalan secara lambat dan hanya memenuhi ambisi kelompok sosial tertentu. Pendekatan semacam ini telah gagal mengakomodir sejumlah perbedaan kecenderungan ideologis dan konflik kelompok-kelompok dalam masyarakat luas. Dalam perspektif kritisisme, pendidikan di tengah masyarakat global seharusnya bisa berfungsi sebagai prinsip dasar perkembangan manusia sekaligus juga berfungsi sebagai agent of change yang dapat membantu meningkatkan komitmen moral dan perkembangan kognitif untuk masyarakat yang lebih baik.

Berlawanan dengan pendekatan fungsionalis, pendekatan konflik lebih melihat pendidikan sebagai alat masyarakat kapitalis. Mengontrol para peserta didik ke dalam level pendidikan yang lebih tinggi melalui seleksi dan alokasi fungsi serta manipulasi publik.6 Sistem pendidikan dalam persepektif ini melegitimasi ketidaksamaan ekonomi. Sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalis di buat untuk menguatkan dan meningkatkan kepercayaan bahwa kesuksesan ekonomi secara esensial tergantung pada keahlian teknis dan kognitif. Konsekuensi yang muncul adalah suasana kompetisi begitu kental dalam perspektif ini. Kompetisi ini terjadi antara kelompok masyarakat yang tidak punya dan kelompok masyarakat yang punya. Kelompok masyarakat yang mempunyai previladge tinggi dapat melakukan kontrol terhadap kekuasaan, dan barang-barang produksi serta institusi-pendidikan. Secara sederhana dapat kita analisis bahwa dalam masyarakat kapitalis yang penuh dengan kompetisi, pendidikan menjadi penyebab ketidakmerataan distribusi kesempatan; baik kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi ataukah kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ataupun kesempatan untuk memperbaiki tingkat ekonomi.

Tentu saja, kegunaan sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalis yang melegitimasi ketidaksamaan atau ketidakmerataan bukannnya tidak mempunyai masalah. Ideologi dan struktur yang berkembang antara pemerataan pendidikan dan ketidakmerataan pendidikan menjadi sangat kontradiktif. Paling tidak pendidikan yang didasarkan pada tingkat kompetisi dengan menggunakan test, hanya mempunyai posisi garis singgung dengan kehidupan sosial. Anggapan yang salah ini didasarkan pada pemahaman yang keliru terhadap proyek yang dicanangkan oleh John Dewey dengan jargon “social continuity of life” dengan cara memasukkan generasi-generasi baru ke dalam urusan sosial sehingga institusi pendidikan dipaksa untuk menjustifikasi dan mereproduksi ketidakmerataan. Kondisi pendidikan yang berada dalam masyarakat kapitalis modern seperti itu mungkin wajar saja; mengingat

6

Paulo Freire menjelaskan bahwa tidak ada pendidikan tanpa manipulasi. Tetapi yang terpenting bagi pendidikan adalah mana yang lebih menonjol antara ruang pembebasan dan manipulasi. Maksud dari Freire adalah jangan menjadikan anak didik sekedar menjadi Marxis melalui buku-buku dan hanya terbatas pada ruang kelas saja sebab, itu menolak Marx sekaligus menolak pendidikan itu sendiri. Lihat, Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik, terj. Mundi Rahayu (Yogyakarta: LKIS, 1998), 37-38.

(5)

karakteristik dari masyarakat kapitalis adalah adanya organisasi birokrasi, garis otoritas yang hirarkis, pembagian kerja dan upah yang tidak sama.

Secara tidak langsung hubungan keahlian teknis dengan kesuksesan ekonomi justru menguatkan proses legitimasi. Pertama, hubungan orang tua dan anak-yang didasarkan pada kompetisi dan hanya berorientasi pada sekolah secara kognitif-tidak akan pernah mencapai hubungan yang sempurna. Kedua, dengan membuat ketercapaian pendidikan yang tidak hanya tergantung pada kemampuan tetapi juga motivasi-mendorong untuk mencapai kesuksesan-membutuhkan tingkat legitimasi yang tinggi. Ketiga, frekuensi kegagalan ternyata memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan aspirasi anak didik untuk mendapatkan kesempatan karir.7

Dalam masyarakat teknologis, produktifitas ekonomi individu secara terpisah sangat tergantung pada tingkat keahlian kognitif yang telah didapatkan. Sistem pendidikan seperti ini telah memicu tingkat kompetisi yang sangat komplek. Pada kasus ini sistem pendidikan akan menjadi permainan meritocratic (ajang mencari ranking), di mana tingkat ekonomi secara langsung dihubungkan dengan Kriteria rasionalitas. Sedangkan mereka yang kurang mampu secara kognitif termarjinalkan dan teraleniasi. Ideologi teknokratik-meritokratik juga menjadi akar permasalahan marjinalisasi. Asumsi the poor-are-dumb (orang miskin itu bodoh) merupakan teori yang terus dilestarikan oleh kelompok mapan dalam masyarakat. Ini artinya pemikiran ketidakmerataan ekonomi-secara genetic-hanya dibatasi pada perbedaan IQ. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka yang mempunyai IQ tinggi yang mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan status sosio-ekonomi mereka?. Pemahaman bahwa IQ menjadi dasar kesuksesan ekonomi hanya sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan, hirarki, stratifikasi dan sistem ekonomi tidak merata.

Pendekatan teoritis ketiga adalah teori interaksi. Teori ini memfokuskan pada interaksi individu dengan orang lain. Sharing budaya individu adalah untuk menginterpretasikan dan mendefinisikan beberapa situasi social dengan jalan yang sama disebabkan adanya kesamaan sosialisasi, pengalaman dan pengharapan. Oleh karena itu norma-norma umum harus dilibatkan untuk membimbing tingkahlaku mereka. Namun yang harus diingat adalah bagaimanapun keadaannya, perbedaan yang didasarkan pada pengalaman, kelas social dan status individu tetap harus disadari.

Pendekatan ini menganggap pendidikan sebagai sebuah interaksi antara kelompok, guru dengan peserta didik, guru dengan prinsip moralitas, sikap peserta didik dengan apa yang telah dicapainya, interaksi dengan nilai (baik global ataupun lokal), konsepsi diri dan pengaruhnya terhadap aspirasi peserta didik serta status sosio-ekonomi mereka. Pendekatan semacam ini juga menekankan bahwa posisi pendidikan dalam masyarakat global adalah untuk memahami “common sense” realitas kehidupan. Setelah beberapa dekade pendekatan ini eksis, maka muncul pendekatan terbaru yang didasarkan pada teori interaksi ini yaitu neo-interaksi yang

7 Samuel Bowles and Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the

(6)

digagas oleh Bernstein dan Bourdieu. Mereka berpendapat bahwa pendidikan harus didekati secara sistesis antara makrokosmik dan mikrokosmik. Mereka berasumsi bahwa aspek-aspek struktural dalam sebuah system (level analisa makrokosmik) dan aspek-aspek interaksional (level mikrokosmik) harus diintegrasikan, sehingga pendidikan dalam masyarakat modern berfungsi sebagai alat evaluasi dari pengaruh kelas masyarakat tertentu dalam pengajaran serta performance ideology pendidikan peserta didik.8

Masyarakat global adalah masyarakat yang sangat dekat dengan ide-ide kebakatan (talenta), efisiensi dan rasionalitas. Pada posisi ini, institusi pendidikan madrasah mempunyai dua fungsi yang krusial. Pertama, aktifitas penelitian yang dilakukan adalah untuk memproduksi ilmu pengetahuan baru yang dapat menyokong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan social. Kedua, madrasah harus dapat mengembangkan keahlian khusus. Agar mampu memberikan spesifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, maka mereka harus membuat general kognitif dan skill dalam pendidikan. Selama ini mereka memegang prinsip life long education dan menganggap masyarakat adalah institusi pembelajaran. Akibatnya fungsi krusial madrasah tidak lagi ditujukan bagaimana mengajar keahlian spesifik yang berguna, akan tetapi mengajarkan kepada manusia bagaimana seharusnya mereka belajar. Posisi madrasah perlu diperkuat dalam kancah global dengan tetap mempertahankan tradisi keislaman meski harus tetap memerkaya dengan tradisi kemajuan zaman.

Alternatif Model Pendidikan Madrasah dalam Masyarakat Global

Para pemikir pendidikan madrasah dihadapkan pada suatu pola masyarakat yang mempunyai akselerasi dinamika yang cepat dan tidak terbatas hanya pada suatu ruang dan waktu tertentu. Teknologi menjadi kepentingan yang tidak bisa diabaikan dalam membentuk pola pendidikan madrasah. Tetapi hal itu sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan jika formulasi pendidikan di madrasah mempunyai platform dan paradigma yang mempu mengakomodir kepentingan Islam dan teknologi.

Paradigma,9 sebagaimana yang ditegaskan oleh Kuntowijoyo adalah sebuah cara dalam merumuskan kerangka teori yang dibangun berdasarkan mode of thougt atau mode of inquiry agar menghasilkan mode of knowing. Immanuel Kant

8

Pierre Bourdieu, “Cultural Reproduction and Social Reproduction,” in Richard Bown (ed.)

Knowledge, Education and Cultural Change (London: Tavistock, 1973), 71-90.

9 Paradigma pada awalnya berasal dari studi gramatikal yang menunjukkan bentuk sebuah misal. Tetapi belakangan tepatnya pada pertengahan abad 20 terminologi ini begitu popular dalam menunjukkan sebuah bentuk materi, artinya paradigma difahami sebagai teknik bentuk mengekspose kesatuan asumsi, konsep, dan dasar proposisi yang digunakan dalam analisa sosiologis. Fungsi-fungsi prinsipil dari paradigma meliputi: menentukan jenis masalah ysng menjadi prioritas obyek studi, menspesifikasikan cara dan membatasi bentuk teori serta penjelasan yang dapat diterima. Lihat.Edgar F. Borgatta dan Marie L. Borgatta, “Paradigm and Model ,” Encyclopedi of Sociology, Vol. III, 1411-1412. lebih jauh terminologi ini digunakan oleh Thomas Kuhn dalam menganalisa evolusi science, sehingga paradigma digunakan sebagai pembeda antara apa yang disebut dengan ‘normal science’. Lihat, Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago, 1970), 43-51

(7)

menyebutnya sebagai skema konseptual; Marx menyebut dengan ideologi dan Wittgenstein menyebut sebagai cagar bahasa.10

Hal yang pertama dilihat dalam pendidikan madrasah ialah posisi ilmu pengetahuan dengan segala atributnya, di mana penggunaannya ternyata menimbulkan penyakit sosial dan kemanusiaan. Hal ini terjadi jika ilmu pengetahuan tidak digunakan dengan sebenarnya. Tetapi sebaliknya hal ini tidak akan membawa pengaruh moral bagi yang memandang bahwa ilmu pengetahuan sebagai kekuatan serta sebagai pandangan hidupnya.11 Dari sini bisa diartikan bahwa ilmu pengetahuan secara normatif sebagai sesuatu yang netral dan bebas dari nilai. Hanya persoalannya adalah bagaimana cara menggunakan pengetahuan tersebut tetapi bagaimana ada system keyakinan dan nilai ibadah dalam penerapannya. Di sini yang terpenting adalah bagaimana menimbulkan sense of responsibility atas ilmu pengetahuan dengan cara menanamkan sikap Qur’ani serta memeriksa kondisi ilmu pengetahuan Islam dalam mengkritisi ilmu pengetahuan Modern.12

Hal ini dipertegas oleh Nurcholish Madjid, bahwa ilmu pengetahuan baik yang natural ataupun sosial dilihat dari metode empirisnya memang absah dan terbebas dari nilai, bebas dari unsur kebaikan ataupun kejahatan, akan tetapi dalam hal moral dan etika, ilmu pengetahuan modern sangat miskin. Kemiskinan moral inilah yang merupakan ancaman bagi kehidupan umat manusia. Di sinilah tanggung jawab kaum Muslimin agar mampu menawarkan penyelesaian atas masalah moral dan etika ilmu pengetahuan modern lewat sistem keimanan tauhid,13 yang diformat melalui pendidikan.

Dari sini tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa telah muncul skeptisisme terhadap dua bentuk pendidikan madrasah yang sudah ada di Indonesia. Di satu sisi pendidikan umum cenderung menekankan pengetahuan umum, termasuk teknologi dan sangat kurang di bidang agama. Di sisi lain pesantren mempunyai dimensi agamis dan kurang sekali ilmu-ilmu umum yang bersifat profan. Kondisi yang dilematis tersebut di ataslah yang menyebabkan kita harus menawarkan konsep-konsep baru tentang pendidikan; antara lain terbentuknya manusia-manusia Muslim yang berkepribadian integral dan konsisten, yaitu pribadi ulama-intelek dan

intelek-ulama sekaligus, sehingga mampu beramal ilmiah dan berilmu amaliah. 14

10

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 327.

11 Toby F. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 8

12

Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu; Sebuah Respon,” Ulumul qur’an Vol. III, no. 4 (1992), 68-72. Menurut Al-Ghazali (wafat 1111) dan banyak sarjana islam klasik lainnya mendukung pembedaan ilmu, yaitu ilmu fardlu ‘ain (al-ulu>m al-shar’iyyah ) dan ilmu kifayah (al-ulu>m al-‘aqliyyah). Ilmu pengetahuan fardlu ‘ain merupakan frame of science yang harus dituntut dan dipelajari oleh semua orang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Lihat Yasin Mohammed, “Ilmu Pengetahuan Menurut Islam dan Krisis dalam Pendidikan Islam,” Ar-Raniry. No. 74 (1999), 36

13 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan

Aksi Politik (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), 186

14 Nurcholish Madjid, “20 Tahun HMI Berjuang,” dalam HMI, Mengayuh di Antara Cita dan Politik (ed.) Agus Salim Sitompul (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), 35

(8)

Pendidikan Islam bahkan menginginkan adanya “Islam rasional”, yakni ditemukannya pengetahuan yang mendasar tentang Islam, artinya ilmu ke-Islaman yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan rasional (iman yang rasional) dan selanjutnya tingkah laku yang bisa dipertanggung-jawabkan secara epistimologis (amal rasional). Ketiga hal tersebut yaitu ilmu, iman dan amal rasioal dielaborasikan menjadi suatu orientasi kerja ke-Islaman.15

Beramal ilmiah dimaksudkan tidak hanya berfikir an sich, akan tetapi harus ada dinamisasi yang diarahkan kepada pengembangan ilmu dan teknologi, dengan cara observasi yang didukung oleh kemampuan imajinatif, analisis dan sintesis, maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat tercapai.

SIMPULAN

Alternatif model pendidikan madrasah adalah dengan tetap mempertahankan tradisi keilmuan Islam dengan mengembangkan tradisi ilmu pengetahuan modern. Memadukan keduanya adalah bagian dari upaya untuk mempersiapkan pendidikan madrasah agar tetap eksis dalam kancah globalisasi. Hal ini untuk menentang anggapan kaum human capitalist bahwa apa yang benar bagi individu juga benar bagi masyarakat. Sebab anggapan seperti ini terlalu mereduksi makna idividu sebagai bagian dari masyarakat bukan masyarakat mempunyai hak penuh terhadap perkembangan individu. Madrasah perlu mengambil peran dalama masalah tersebut.

Formulasi pendidikan di madrasah mempunyai platform dan paradigma yang mempu mengakomodir kepentingan Islam dan teknologi. Di sini yang terpenting adalah bagaimana menimbulkan sense of responsibility atas ilmu pengetahuan dengan cara menanamkan sikap Qur’ani serta memeriksa kondisi ilmu pengetahuan Islam dalam mengkritisi ilmu pengetahuan Modern. Di sinilah tanggung jawab kaum Muslimin agar mampu menawarkan penyelesaian atas masalah moral dan etika ilmu pengetahuan modern lewat sistem keimanan tauhid, yang diformat melalui pendidikan.

Pendidikan di madrasah memiliki tugas penting untuk mewujudkan manusia yang beriman dan memiliki kecakapan hidup sesuai zaman yang ters berkembang. Materi kurikulum, manajemen, tenaga pendidik di madrasah diharapkan sinergis dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahhuan.

15 Munawwar-Rachman, Islam Pluralis, 275. sebagai perbandingan antara kepercayaan rasional dan istilah teologi pembebasan, lihat J. L. Segundo, Liberation of Theology (Dublin: McMillan, 1977), 8-9

(9)

DAFTAR RUJUKAN

Ahmed, Akber S. and Hastings Donnan. 1994 . “Islam in the Age of Postmodernity.” in Akbar S. Ahmed and Hastings Donnan (eds.) Islam, Globalization and

Postmodernity. London & New York: Routledge.

Aronowitz, Stanley and Henry Goroux. 1985. Education Under Siege: The

Conservative, Liberal and Radical Debate Over Schooling. Massachussets:

Bergin and Garvey.

Ballantine, Jeanne H. 1983. The Sociology of Education: A Sistematic Analysis. New Jersey: Prentice Hall.

Borgatta. Edgar F. dan Marie L. Borgatta. 1411-1412. “Paradigm and Model.”

Encyclopedi of Sociology, Vol. III.

Bourdieu, Pierre. 1973 . “Cultural Reproduction and Social Reproduction.” in Richard Bown (ed.) Knowledge, Education and Cultural Change. London: Tavistock.

Bowles, Samuel and Herbert Gintis. 1977. Schooling in Capitalist America:

Educational Reform and the Contradictions of Economic Life. New York: Basic

Books,

Dodge, Bayard. 1962. Muslim Educational in Medieval Time. Washington: The Middle East Institute.

Freire, Paulo. 1998. Sekolah Kapitalisme yang Licik. terj. Mundi Rahayu. Yogyakarta: LkiS.

Freire, Paulo. 1998. Sekolah, Kapitalisme yang Licik. (eds.) M. Escobar et. al. terj. Mundi Rahayu. Yogyakarta: LkiS.

Giddens, Anthony. 1994. Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press.

Huff, Toby F. 1993. The Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West. Cambridge: Cambridge University Press.

Huisken, Ron. 2002. “Civilizing the Anarchical Society: Multilateral Security Process in the Asia-Pasific.” Contemporary Southeast Asia, Vol. 24, No. 2. August 2002), 188-189.

(10)

Ibrahim, Marwah Daud. 1990. “Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan.”

Ulumul Qur’an, Vol. 1, No. 4 (1990), 73-74

Illich, Ivan. 1971. Deschooling Society. New York: Harper and Row.

Khan, Qomarudin. 1973. The Political Thought of Ibn Taymiyah. Islamabad: Islamic Research Institute.

Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago.

Kuntowijoyo. 1998. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Madjid, Nurcholis. 2001. “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Penyegaran

Kembali Pemahaman Keagamaan.” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran

Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global .(ed.) Charter Kurzman. Jakarta:

Paramadina.

---. 1997. Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, ---. 1997. “20 Tahun HMI Berjuang.” dalam HMI, Mengayuh di Antara Cita dan

Politik (ed.) Agus Salim Sitompul. Yogyakarta: Aditya Media.

---. 2000. “The Islamic Concept of Man and Its Implications for the Muslims Appreciation of the Civil and Political Rights.” al-Ja>mi’ah, No. 65, Vol. VI (2000), 41-45.

---. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.

Malik, Dedy Djamaludin dan Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam

Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik. Bandung: Zaman Wacana Mulia.

McNall, Edward dan Philip Lee Ralp. 1963. Civilization from Ancient to

Contemporary. New York: W. Norton and Compony Inc.

Nasution, Harun. 1982. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur. 1999. “Islamisasi Ilmu; Sebuah Respon.” Ulumul qur’an Vol. III, no. 4 (1992), 68-72. Mohammed, Yasin. “Ilmu Pengetahuan Menurut Islam dan Krisis dalam Pendidikan Islam.” Ar-Raniry. No. 74 (1999), 36.

(11)

---. 1982. Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago.

---. 1995. Membuka Pintu Ijtihad. terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka. Scruton, Roger. 1964. A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to

Wittgenstein. London: ARK,

Segundo, J. L. 1977. Liberation of Theology. Dublin: McMillan.

Taylor, Sandra at. al. 1997.Educational Policy and the Politics of Change. London & New York: Routledge

Tibbi, Bassam. 1988. The Crisis of Modern Islam: A preindustrial Culture in the

Scientific-Technology Age. Salt Lake: University of utah Press.

Wallerstein. 1984. The Politics of the World-Economy. Cambridge: Cambridge University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Model regresi ini dapat dikatakan baik karena memiliki nilai F yang tinggi (13,357) dan significance F yang rendah, yaitu 6,081E-06 atau. Nilai ini menunjukkan bahwa model sangat

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Terkait prinsip transparansi kepada karyawan, menurut narasumber pertama perusahaan hanya memberikan informasi penting kepada setiap kepala

Konsentrasi minimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan tiga bakteri patogen adalah pada konsentrasi 50-75% dan semakin tinggi konsentrasinya menunjukkan

(2) Disbangopsau dipimpin oleh Kepala Dinas Pengembangan Operasi TNI Angkatan Udara disingkat Kadisbangopsau yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada

Walaupun kopi merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak diteliti, tetapi masih banyak komponen dari kopi yang tidak diketahui dan hanya sedikit diketahui efek

Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004: 30), brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu

Dari percobaan ini disimpulkan bahwa homini mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi daripada jagung, namun kandungan energi metabolisnya lebih rendah, dan hanya dapat

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat daya serap siswa yang diperoleh dari nilai postes siklus 1, baik pertemuan 1 maupun pertemuan 2 pada materi pelajaran