• Tidak ada hasil yang ditemukan

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 (2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2 (2013)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP POLISI YANG BERTUGAS MENGAMANKAN PARA DEMONSTRAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Wahyu Hartanto Gunawan NRP 2070047 w_hyzz89@yahoo.com ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan terhadap Polisi yang mengamankan para demonstran untuk tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Polisi yang mengamankan para demonstran agar tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia apabila telah melakukan tugasnya sesuai dengan Protap, namun dalam kondisi pengunjuk rasa yang anarkis, sulit untuk membuktikan apakah pengamanan polisi tersebut telah sesuai dengan protap, untuk itu hal yang perlu diketahui dan dibuktikan adalah adanya suatu saksi dan fakta lapangan apakah polisi ketika mengamankan pengunjuk rasa secara anarkis tersebut telah sesuai dengan protap yang dijadikan pedoman polisi agar tidak dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hak asasi manusia.

Kata kunci: Polisi, Pengunjuk Rasa, anarkis

ABSTRACT

The purpose of this study is to investigate and analyze the protection of the police for not securing the demonstrators said to have violated human rights terms of Law No. 39 Year 1999 about Human Rights. Police are securing the demonstrators in order not be said to have violated human rights terms of Law No. 39 Year 1999 on Human Rights when it is doing its job in accordance with the SOP, but the protesters are anarchists conditions, it is difficult to prove whether the police security has been accordance with SOPs, for the things that need to be known and proven is the existence of a witness and the facts on the ground if the police when securing the anarchist protesters are in compliance with the standard operating procedures guiding police said to have done so as not to violate the human rights act.

(2)

PENDAHULUAN

Polisi bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yaitu penciptaan dan pengkondisian serta pemeliharaan rasa aman yang menjadi kebutuhan hakiki, serta pemeliharaan suasana dan situasi tertib perilaku dalam masyarakat. Dalam rangka tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut, Polri merupakan komponen utama, yang bersama aparat lainnya dan bersama masyarakat, secara aktif membina situasi, kekuatan dan prasarana dalam rangka pencegahan dan penangkalan terhadap kemungkinan terjadinya gangguan maupun ancaman keamanan dan ketertiban.

Tugas pokok Polri berkaitan dengan pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan penciptaan rasa damai, rasa nyaman tenteram dan keselamatan masyarakat (preserving the peace and protecting life and property). Tugas tersebut merupakan salah satu bentuk pelayanan dalam social service fuction, dalam wujud pemanjaan Polisi kepada masyarakatnya secara umum dan tidak pilih kasih. Dari tugas pokok ini, ternyata menunjukkan opini hukum yang berbasis dari fungsi penegak hukum, bahwa Polisi bukanlah penguasa. Namun polisi juga bukanlah bodyguard dan sejenisnya tetapi “Police is the servant of the people” yang mulia dan terhormat sebagai hamba hukum.

Tugas polisi untuk membina masyarakat serta untuk meningkatkan partisipasi masyarkat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan tugas ini sangat ditentukan oleh dukungan dan kerjasama masyarakat, karena kedua hal tersebut sangat mempengaruhi hubungan baik antara masyarakat dengan polisinya. Namun yang cukup mendasar dari sikap Polisi terhadap masyarakatnya adalah kemauan Polisi untuk mau melayani masyarakat. Kerjasama dan dukungan masyarakat kepada Polisi dapat dikatakan layak manakala mayarakat mau memperhatikan atau mencermati hukum dan peraturan. Bila ini ada dan nyata, maka memberi kemudahan bagi Polisi untuk melakukan pembelajaran hukum pada masyarakat, dengan melalui segala kegiatan fungsi kepolisian yang selalu berhadapan dengan warga masyarakat. Seorang penyidik

(3)

tidak semata-mata menyelesaikan pekerjaannya hanya mengejar pemberkasan Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disingkat BAP) untuk konsumsi Jaksa Penuntut, tetapi lebih dari itu, setiap komunikasi penyidik dengan siapapun yang terlibat proses penyidikan harus dapat menjadi bagian dari pembelajaran hukum dan peraturan. Seorang anggota Polisi lalu lintas yang bertugas di jalan raya dalam posisi pekerjaan apapun, harus dapat menempatkan sebagai juru penerang hukum dan peraturan bagi masyarakat, terutama tentang peraturan-peraturan bidang kelalulintasan. Dengan model seperti ini warga masyarakat dan Polisi sama-sama sebagai subyek kebersamaan menciptakan ketertiban masyarakat.

Polisi yang bertugas memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, perlu mendapatkan kepastian bahwa keberadaan Polisi di tempat umum atau di tempat-tempat keramaian, harus menciptakan suasana tertib, aman dan terlindung. Bahwa kehadiran dalam event apapun dalam masyarakat diharapkan dapat menimbulkan efek pencegahan, penangkalan dan pengejaran bagi calon pelaku menyimpang. Semakin sering dan terus-menerus kehadiran Polisi di tempat umum, tempat keramaian atau tempat-tempat lain yang merupakan hazard Polisi, menjadi faktor penting dalam pemeliharaan ketertiban dan keamanan umum. Manakala terjadi mabuk-mabukan, kegaduhan, kebut-kebutan di jalan raya, dan lain-lain, Polisi berkewajiban untuk menghentikan dan membubarkan secara persuasif.

Tugas polisi untuk turut serta dalam pembinaan hukum nasional, ini ada kaitannya dengan tugas polisi sebagai salah satu perangkat hukum yang berkecimpung di bidang hukum publik, Polisi dalam tugasnya sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, memiliki predikat sebagai penegak jalanan dalam membina keamanan, keselamatan dan ketertiban masyarakat. Dalam tugas dan perannya tersebut, justru polisi merupakan lembaga hukum yang berada pada garis pertama, berhadapan dengan masyarakat, sangat memahami perilaku hukum masyarakat dengan perubahan-perubahannya dari waktu ke waktu. Masyarakat dan Polisi merupakan subyek hukum yang dalam kehidupan hukum dapat melahirkan nilai-nilai baru tatanan hukum, sebagai akibat intelasi perbuatan hukum antara keduanya, atau sebagai akibat perubahan

(4)

peradaban atau perkembangan teknologi. Hubungan polisi dengan masyarakat dari waktu ke waktu secara situasional selalu akan mengalami perkembangan, hal ini bisa menjadi inspirasi dalam pembangunan hukum nasional. Oleh sebab itu secara substansial Polri dilibatkan dalam perumusan kodifikasi hukum materil dan formil, dalam bentuk perundang-undangan tertentu, peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan wilayah atau kompetensi tugas dan kewenangan Polri.

Di atas merupakan uraian tugas Polri yang bersifat pencegahan atau preventif, selanjutnya tugas Polri yang berhubungan dengan penindakan atau preventif terjadi dalam hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g dan h, merupakan perwujudan dari tugas-tugas yang bersifat represif dalam rangka “penegakan hukum”. Dengan maksud untuk membangkitkan efek jera, rasa penyesalan dan rasa takut mengulangi perbuatan melanggar hukum. Oleh sebab itu tugas-tugas represif titik beratnya adalah pemaksaan kepada pelanggar hukum (offender) untuk memahami peraturan-peraturan melalui jalan peradilan, yang diawali dari fungsi kepolisian penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g dan h tersebut. Di dalam Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa tugas Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai Hukum Acara Pidana dan Peratuan Perundang-undangan Lainnya.

Seperti yang dimaksud dalam Pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa atau lebih dikenal dengan Protap jelas-jelas melarang aparat untuk bersikap arogan, terpancing oleh perilaku massa, dan melakukan tindak kekerasan yang tidak sesuai prosedur. Polisi sudah menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengamankan demonstrasi, namun terkadang tindakan para demonstran berlebihan hingga memancing dan memaksa polisi untuk mengambil tindakan tegas seperti kasus yang terjadi di bawah ini:

Tugas polisi dalam pengamanan masyarakat dari gangguan adanya demonstrasi berhadapan langsung dengan para demonstran yang memperjuangkan hak-haknya yang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilindungi di antaranya adalah hak untuk menyuarakan pendapat dan hak

(5)

lainnya. Pada kondisi yang demikian media yang diharapkan dapat bertindak yang seimbang dalam pemberitaan maupun peliputan (media elektroinik) kadangkala ketika polisi diserang pendemo yang anarkhis, tidak ada pemberitaan, namun ketika polisi bereaksi dengan melakukan penyerangan untuk pembelaan diri, peliputan secara besar-besaran sehingga seakan-akan polisi melanggar hak asasi manusia. Hal inilah yang menjadi polemik khususnya bagi kepolisian yang bertugas di lapangan.

Perihal hak asasi manusia tidak lepas dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999, yang menentukan bahwa: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya adalah: Apakah perlindungan terhadap Polisi yang mengamankan para demonstran agar tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan terhadap Polisi yang mengamankan para demonstran untuk tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan tipe penelitian yuridis normatif, adalah penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

Masalah dalam skripsi ini didekati dengan menggunakan metode statute

approach dan conseptual approach. Statute approach yaitu pendekatan yang

(6)

perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana yang terdapat di dalam berbagai literatur sebagai landasan pendukung.

Bahan atau sumber hukum yang dipakai dalam penulisan hukum ini terdiri dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU No. 2 Tahun 2002, Undang-undang No. 39 Tahun 1999.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk membantu menganalisis serta memahami permasalahan yang dibahas, yaitu berupa literatur maupun karya ilmiah para sarjana.

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana, dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang berhubungan dengan materi yang dibahas.

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip dasar penegakan hukum, diawali dengan legalitas. Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh anggota polisi, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip Legalitas dalam Hak Asasi Manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional.

Oleh karena itu, semua anggota polisi, baik polisi pria maupun polisi wanita, harus mengetahui perundang-undangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakan hukum.

Misalnya, dalam hal penahanan seorang tersangka, anggota polisi yang menangkap harus memiliki mandat menurut hukum untuk membatasi kebebasan tersangka. Dalam berbagai keadaan, anggota polisi tidak dapat bertindak di luar hukum yang sah (tidak bertindak sewenang-wenang).

Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang.

Sehubungan dengan pengamanan pengunjuk rasa, polisi membaginya menjadi tiga bagian, yaitu dalam situasi kungkin, hijau dan merah yang didapat berdasarkan observasi intelijen. Informasi dalam situasi kuning atau hijau jika ternyata tidak sesuai, maka kondisi yang terjadi adalah merah. Pada sitausi merah ini polisi boleh melakukan tindakan berupa pemukulan dan penangkapan.

Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan. Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah tersebut dalam mencapai sasaran yang diharapkan.

Dalam semua keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan; hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan (prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api, Prinsip Nomor 9). Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarkat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka.

(8)

Prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata (armed

forces). Anggota polisi harus menerapkan prinsip Proporsionalitas dalam semua

tindakan, terutama pada saat penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip Proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut:

• Tindakan tersangka dan penggunaan sarana/peralatan (senjata api, pisau, dan lain-lain)

• Keadaan yang mendadak menimbulkan risiko kematian (warga masyarakat, petugas kepolisian dan tersangka)

• Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa. Keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana.

• Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan terjadi, petugas harus mampu menentukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan.

Dalam Perpolisian, proporsionalitas tidak berarti menggunakan alat/peralatan yang sama dengan yang digunakan oleh tersangka (misalnya, dalam keadaan tersangka menggunakan sebuah pisau, tidak secara langsung polisi juga menggunakan pisau). Selain itu, apabila tujuan penggunaan kekerasan dan senjata api sudah terpenuhi, maka penggunaan kekerasan harus dihentikan. Proporsionalitas adalah penggunaan kekerasan yang sesuai berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas.

Penanganan dengan Standar Internasional Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum. Prinsip-prinsip penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh polisi pada dasarnya termasuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang Perlindungan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar Hukum di Havana Kuba, dari tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990.

(9)

Dalam penggunaan senjata api terdapat berbagai tingkatan tanggung jawab, tergantung pada orang-orang yang menggunakannya, tujuan yang hendak dicapai, tempat kejadian dan tingkat tanggung jawab yang mereka memiliki terhadap warga atau pihak-pihak yang tidak terlibat.

Berdasarkan uraian dan pembahasan berkaitan dengan peranan polisi dalam menangani demonstrasi yang anarkhis dengan permedoman pada peraturan tetap (Protap) dapat dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, maka hukum diletakan di atas segalanya, oleh karena itu jika dikaitkan dengan tugas polisi mengamankan unjuk rasa melakukan tindakan yang berakibat pengunjuk rasa tertekan atau merasa hak-haknya sebagai warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, selama polisi dalam melakukan pengamanan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. POL : 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa, maka tindakannya tidak dapat dikualifikasikan sebagai telah melakukan perbuatan yang melanggar hak asasi para pengunjuk rasa. Polisi yang demikian mendapatkan perlindungan hukum. Masyarakat tentunya sulit unutk memahami, karena selama ini polisi dalam mengamankan unjuk rasa selalu menjadi perhatian negatif oleh media baik media cetak maupun elektronik, dalam arti ketika polisi diserang oleh para pengunjuk rasa dianggap sebagai suatu hal yang biasa, namun ketika polisi membalas penyerangan tersebut media akan mengekpost bahwa polisi terlalu agresif dan melanggar hak asasi ketika mengamankan unjuk rasa.

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa warga masyarakat yang melakukan unjuk rasa berarti telah menyalurkan hak-haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUD 1945 bahwa ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Menyalurkan haknya untuk bersuara dan mengeluarkan pikiran harus diperlakukan sama dengan warga yang lain, karena sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini

(10)

berarti agar tidak melanggar hak-hak warga Negara yang melakukan unjuk rasa harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan hak-hak warga Negara. Polisi yang mengamankan para demonstran agar tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia apabila telah melakukan tugasnya sesuai dengan Protap, namun dalam kondisi pengunjuk rasa yang anarkis, sulit untuk membuktikan apakah pengamanan polisi tersebut telah sesuai dengan protap, untuk itu hal yang perlu diketahui dan dibuktikan adalah adanya suatu saksi dan fakta lapangan apakah polisi ketika mengamankan pengunjuk rasa secara anarkis tersebut telah sesuai dengan protap yang dijadikan pedoman polisi agar tidak dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hak asasi manusia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap Polisi yang mengamankan para demonstran agar tidak dikatakan telah melanggar hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka harus dilakukan sesuai dengan Protap, karena:

a. Mengadakan unjuk rasa merupakan hak setiap warga negara dalam kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana Pasal 28 UUD 1945.

b. Para pengunjuk rasa yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan mempunyai hak yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

c. Polisi dalam mengamankan unjuk rasa lebih berhati-hati dan perpedoman pada Protap sebagai suatu pedoman anggota kepolisian alam mengamankan unjuk rasa agar tidak melanggar hak asasi manusia.

(11)

Saran yang bisa diberikan dalam penelitian ini adalah hendaknya para pengunjuk rasa dalam menyalurkan aspirasinya memperhatikan hak-hak orang lain, termasuk polisi yang mengamankan unjuk rasa agar tidak melanggar hak orang lain. Hendaknya jika ada oknum polisi yang menangani unjuk rasa tidak sesuai dengan protap diambil tindakan agar hak-hak pengunjuk rasa juga mendapat perlindungan hukum.

DAFTAR BACAAN

Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006

Eko Sugitario, Implementasi Hak Kodrat dalam Hukum Positif Hak-hak Asasi

Manusia Di Negara Hukum, Disampaikan Pada Rapat Terbuka Senat

Universitas Surabaya, 19 Juli 2003

Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan

Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010

Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Soehardi, Polisi Penegak Hukum Yang Pelayan, Media Agung Persada, Semarang2005

Soehardi, Polisi Penegak Hukum Yang Pelayan, Media Agung Persada, Semarang, 2005

Protap/ I /X/2010 Tentang Penanggulangan Anarki

Wawancara Dengan Abdul Malik Azis Kabag Reskrim Polsek Rungkut Surabaya. www.antara.com, diakses tanggal 29 Januari 2013, pukul 10.30 WIB

Referensi

Dokumen terkait

4. Melalui tanya jawab, guru mengingatkan  peserta didik mengenai materi pertemuan kemarin tentang konsep turunan fungsi trigonometri. Guru menyampaikan materi yang

Segala puji bagi Allah, Tuahn sekalian alam, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Yang Maha bijaksana, Yang Maha Memiliki Ilmu Ghaib dan Yang Nyata, tidak ada Tuhan melainkan Dia,

2 2 Di Indonesia osteomielitis masih Di Indonesia osteomielitis masih merupakan masalah karena tingkat higienis yang masih merupakan masalah karena tingkat higienis yang masih rendah,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh

TARBIYAH IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA... SALI Fiqih

Dengan metode pembukuan tersebut sangatlah memungkinkan terjadi perbedaan antara peredaran usaha yang dilaporkan pada PPN dan PPh Badan, perbedaan tersebut

perilaku pasien yang tidak efektif juga dapat menunjukkan kesulitan dalam pembentukan awal dari hubungan perawat-pasien, identifikasi akurat dari reaksi pasien

Menimbang : bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 77 sampai dengan Pasal 86 Peraturan Daerah Kabupaten Sampang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, untuk