1. PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini diuraikan beberapa hal antara lain: (a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) hipotesis penelitian, (e) manfaat penelitian, (f) asumsi dan keterbatasan, (g) ruang lingkup penelitian, (h) definisi operasional, dan (i) skema penelitian.
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya adalah negara yang memiliki tingkat apresiasi yang tinggi yang dapat dilihat dari tren musik dunia yang berkiblat ke arah negara-negara tersebut. Musisi-musisi dunia lahir di sana serta menciptakan karya-karya musik yang terkenal di seluruh dunia. Animo masyarakatnya terhadap acara-acara yang berbau musik juga sangat mengagumkan seperti ajang pencarian bakat tahunan di Amerika yang mendapat respon fantastis dari masyarakat dengan menarik lebih dari dua puluh juta penonton setiap tahunnya (Wikipedia, 2009). Apresiasi musik masyarakat Indonesia pun mulai nampak pada aktivitas-aktivitas yang melibatkan musik semakin marak diadakan di Indonesia seperti ajang pencarian bakat tahunan serupa, walaupun tidak seheboh ajang induknya di Amerika.
Penelitian membuktikan bahwa musik dapat berpengaruh pada perkembangan IQ (Intelegent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) seorang anak (Fitri, 2008, para. 1). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik, bahkan tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, “Dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga manusia” (dalam Fitri, 2008). Dalam studinya di University
of Sarasota, Kluball (2000) menemukan bahwa dalam tes yang telah distandarkan, murid SMP dan SMA yang dapat memainkan instrumen musik mencetak nilai yang secara signifikan lebih tinggi dari teman-teman mereka yang tidak dapat memainkan instrumen musik (Foundation for Universal Music Literacy, 2007, p. 4). Studi yang serupa oleh Daryl Erick Trent di East Texas State University juga menyelidiki dan menemukan korelasi signifikan antara lama waktu pembelajaran instrumen musik seseorang dengan prestasi akademik dalam subyek matematika, sains dan bahasa (Foundation for Universal Music Literacy, 2007, p. 4). Dan masih banyak penelitian yang lain yang telah membuktikan hubungan musik dan kinerja kognitif anak seperti dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Allison Smith dari Liberty University Center for Worship Intensive bahwa musik membuat anak-anak menjadi lebih cerdas (Smith, 2007, Par. 1). Dalam artikel tersebut Smith memaparkan sebelas hasil penelitian yang mendukung pernyataannya tersebut.
Dewasa ini masyarakat Indonesia mempunyai inisiatif tinggi untuk memperkenalkan musik kepada anak-anaknya sejak usia dini. Salah satu alat musik yang sangat populer dan disukai oleh anak-anak adalah piano. Karena memainkan piano yang hanya perlu ditekan tutsnya cenderung lebih mudah bila dibanding dengan gitar yang harus ditekan kuat-kuat dan merusak kulit jemari akibat gesekan dengan senar gitar. Piano yang mahal pun saat ini dapat digantikan dengan keyboard yang jauh lebih murah dari sebuah piano (Harga Concert Grand Piano bahkan bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran dibandingkan dengan harga keyboard yang bisa didapat hanya dengan beberapa ratus ribu saja). Belajar piano pada tingkat dasar pun saat ini bukanlah sesuatu yang mahal. Kursus-kursus piano menjamur dimana-mana terutama di kota-kota besar baik guru privat yang datang ke rumah maupun kursus-kursus besar yang membuka kelas massal layaknya sekolah biasa dengan kelas-kelas yang mempunyai tingkatan sesuai dengan standar yang dipakai. Tren nusantara dalam pembelajaran piano juga dapat dilihat dari prestasi-prestasi pianis Indonesia diajang internasional. Dalam harian Kompas Mada menulis mengenai 4 orang pianis dari Indonesia, 3 diantaranya berasal dari Surabaya, yang onser keliling Amerika Serikat bahkan tampil di salah satu gedung pertunjukkan paling prestisius di dunia, Carnegie Hall di New York (Mada, 2007). Keempat pianis tersebut akan konser di tempat-tempat seperti
University of New York, Little Rock, Arkansas, Radford University di Virginia dan tentunya di Carnegie Hall yang pernah menjadi tempat konser pianis-pianis ternama seperti Richard Strauss, Sergei Rachmaninoff, dan Bella Bartok (Mada, 2007). Kisah-kisah seperti ini membuat apresiasi masyarakat pada piano saat ini lebih tinggi dibanding dengan di masa lalu. Orang tua mulai terpacu dengan berita-berita yang sangat membanggakan dan mulai membelajarkan anak mereka ke lembaga-lembaga kursus piano ataupun memanggil guru-guru privat piano untuk mengajarkan piano pada anak-anak mereka. Di Indonesia, ajang-ajang nasional untuk memfasilitasi pianis-pianis muda pun sangat berkualitas seperti Indonesia Piano Festival yang menampilkan pianis muda dari seluruh nusantara melalui audisi rekaman yang telah diseleksi ketat (Antara News, 2007).
Mempelajari musik secara prosedural memerlukan pembelajaran terhadap notasi musik. Seorang filsuf Italia bernama Boethius (C. 475-525) adalah orang yang pertama yang mengasosiasikan musik dengan alfabet, dengan menggunakan 15 huruf pertama dari alfabet Romawi untuk mengindikasi notasi yang dipakai pada periode Romawi (dalam Reed, 2003). Sistem ini berevolusi seiring berjalannya waktu dengan seorang biarawan bernama Guido d' Arezzo menambahkan garis pada akhir abad ke-12, dengan menempatkan huruf pada garis-garis tertentu untuk menentukan ketinggian nadanya (Reed, 2003). Sistem ini terus berevolusi sampai akhirnya Ludwig Van Beethoven, yang mengenal Johann Nepomuk Maelzel sang pencipta metronom, mulai menggunakan metronom untuk mengindikasi tempo pada tahun 1815. Notasi musik konvensional dengan nada-nada pada skala diatonik yang berhubungan dengan garis-garis pada garis paranada yang dikenal saat ini masih mempunyai kelemahan yaitu notasi ini merepresentasi ketinggian nada yang berbeda yang dibedakan dengan kelas oktaf saja. Dalam piano misalnya terdapat 7 oktaf dengan 7 nada setiap oktafnya sehingga harus dapat merepresentasikan 49 nada, dimana karena hanya terdapat 3 clef dalam notasi musik variasi clef tidak lagi memadai untuk membedakan ketinggian oktaf. Dalam notasi konvensional dikenal pemberian kode tambahan seperti C8 dan C15 yang artinya lebih tinggi 1 oktaf dan 2 oktaf lagi. Selain itu masalah juga mulai muncul apabila minat seseorang menurun ketika mempelajari notasi musik hitam putih. Hal tersebut memicu
penerbit-penerbit kreatif di negara-negara maju untuk membuat buku-buku musik untuk anak-anak yang dipenuhi dengan gambar dan warna. Sayangnya buku-buku tersebut jarang digunakan secara luas di Indonesia karena harganya yang sangat mahal. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam notasi musik konvensional yang didapatkan dari hasil wawancara singkat dengan seorang guru les piano di Surabaya, yang juga mempunyai prestasi di ajang kompetisi piano prestisius, adalah bahwa masalah terbesar bagi anak-anak yang mulai belajar piano adalah kemampuan anak untuk mengingat letak not pada garis paranada dan mengasosiasikannya dengan nada yang dimaksud. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa notasi musik konvensional yang dipakai saat ini adalah notasi hitam putih yang diletakkan diatas lima garis birama yang agak sukar untuk dibedakan ketika seorang anak harus membaca dan memainkannya di piano secara bersamaan apabila anak tersebut tidak mempunyai pengalaman membaca partitur dengan jam terbang yang tinggi. Merespon masalah-masalah ini, selama beberapa abad banyak notasi-notasi alternatif yang dikembangkan dan diajukan sepert Music Notation Modernization Association yang mencoba untuk mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut secara sistematik (dalam Parncutt, 2006-2007). Alasan utama alternatif-alternatif tersebut tidak pernah direalisasikan adalah karena membutuhkan tenaga dan waktu yang sangat banyak untuk mempelajari sistem notasi yang baru bukan hanya bagi musikus, tapi juga para ahli musikologi. Musikus dan pakar musikologi masalahnya telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menguasai notasi musik konvensional sehingga untuk memulai lagi dari awal untuk membuat suatu sistem yang baru seringkali disimpulkan sebagai kasus yang tidak relevan atau tidak mungkin untuk dipecahkan, karena harus memilih dari begitu banyak alternatif dan menentukan yang mana yang efektif. Namun masalah ini dapat terpecahkan dengan kemajuan tekhnologi komputerisasi, sehingga notasi musik konvensional dapat dengan mudah diubah sesuai dengan metode notasi yang baru.
David Kestenbaum adalah salah seorang yang mencoba menjawab masalah notasi musik diatas dengan mencoba menawarkan suatu solusi berupa penggunaan notasi musik berwarna yang diwujudkan dalam sebuah buku berjudul Using Colour to Play Piano yang mengaplikasikan warna bukan hanya pada
penulisan notasinya namun juga menambah gambar dan warna-warna dalam buku. Warna itu sendiri bagi seorang anak adalah suatu rangsangan yang unik terhadap otaknya. Menurut sebuah artikel di sebuah situs nasional, untuk membentuk anak yang terampil dan cerdas harus dimulai dari usia dini dan untuk dapat meletakkan, menanamkan dasar-dasar pengetahuan yang lebih mudah kepada anak, agar anak bisa lebih gampang menerimanya salah satunya adalah dengan mengenalkan warna (Wahyumedia, 2008). Mengenalkan warna pada anak usia dini merupakan hal sangat penting bagi perkembangan syaraf otaknya, selain memancing kepekaan terhadap penglihatan, pengenalan warna juga bermanfaat untuk meningkatkan daya pikir serta kreativitas anak (Wahyumedia, 2008).
Metode baru Kestenbaum (2006) inilah yang menarik penulis untuk meneliti keefektifan metode penambahan warna pada penulisan notasi musik. Konsep penelitian berawal dari prinsip Vikham yang mewarnai lahirnya sebuah sistem pewarnaan yang dipatenkan dengan merk dagang ColorKeys ©2006 dengan nomor Paten 7148414 yang memperkenalkan warna yang khusus dipilih pada 7 notasi dari oktaf piano C, D, E, F, G, A, B (Vikham, 2006, par. 3) dengan pertimbangan bahwa warna dapat menyediakan titik referensi sekunder agar diperoleh kemudahan untuk mengenali tinggi nada pada sebuah notasi musik (Vikham, 2006, par. 11). Jumlah unit dalam sebuah kelompok yang dapat dengan mudah diingat oleh seseorang pada umumnya adalah 7 buah, dan menurut Kestenbaum bagi kebanyakan orang, aspek yang paling susah dari mempelajari untuk membaca notasi musik standar adalah menentukan secara instan nada apa yang direpresentasikan oleh sebuah not pada garis birama, dan banyak usaha yang telah dilakukan untuk memodifikasi atau menggantinya namun metode-metode baru yang ditawarkan memerlukan perubahan drastis pada notasi standar sehingga musikus yang telah mempelajarinya sampai dengan tingkat mahir enggan untuk mempelajari lagi sistem yang baru (Kestenbaum, 2006). Penambahan unsur warna ini didasari oleh prinsip fenomena synesthesia , yaitu stimulus tunggal yang dapat memicu lebih dari satu sensasi secara simultan (Vikham, 2006, par. 12). Contoh fenomena Synesthesia adalah ketika seseorang dapat secara nyata dan literal melihat warna sewaktu mereka mendengarkan musik. Metode synesthesia juga sering dipakai sebagai perlakuan terhadap anak kecil ataupun seseorang yang
menderita kelainan dyslexics, kelainan dimana penderita ketika membaca tidak mampu mensintesis huruf menjadi kata-kata, dengan cara mengajarkan mereka makna dari kata-kata yang rumit dengan melihat gambar-gambar ataupun membayangkan gambaran tersebut dalam benak pikiran mereka (secara mental visual) terlebih dahulu. Prinsip metode synesthesia dan metode ColorKeys © 2006 serupa dimana seseorang membangun sebuah asosiasi-asosiasi mental sebagai titik referensi untuk memaknai sesuatu (Vikham, 2006). Colorkeys © 2006 dalam hal ini memakai warna tertentu sebagai bantuan (reinforcement) titik referensi untuk mengasosiasikan nada bukan hanya lewat kontur visual tapi melalui pengasosiasian warna pula. Vikham (2006) juga mengklaim bahwa sistem ini dapat memperluas pola pendeteksian partitur musik menjadi sebuah kombinasi frase musikal dibandingkan dengan melihatnya sebagai not-not musik secara individual. Maksudnya adalah ketika seseorang memainkan chord (diluar ruang lingkup penelitian ini), ia dapat melihat kombinasi warna sebagai kombinasi nada yang unik antara satu chord dengan chord yang lain, sehingga mengijinkan pengenalan dan pengidentifikasian sebuah chord walaupun dimainkan secara terbalik (inverted) ataupun dimainkan dengan gaya terbuka (open) atau pecah (broken).
Penelitian ini ingin membuktikan teori dan metode baru yang diperkenalkan oleh Kestenbaum (2006), seperti dipaparkan diatas, pada kemampuan asosiasi notasi musik anak pada pembelajaran piano dengan cara menggelar sebuah studi eksperimental yang dipilih untuk menemukan ada tidaknya hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan sebab-akibat (Nazir,1985, p.75) antara notasi musik berwarna dan kemampuan asosiasi notasi musik anak, yaitu menyelidiki hubungan perlakuan (treatment) warna pada notasi musik konvensional dengan cara mengamati dan membandingkan efeknya terhadap kemampuan asosiasi notasi musik anak sebelum dan sesudah obyek penelitian (notasi musik) diberi perlakuan (treatment).
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: apakah ada perbedaan yang signifikan antara metode pembelajaran yang menggunakan notasi
musik warna dan notasi musik konvensional terhadap skor kemampuan asosiasi notasi musik anak pada pembelajaran piano tingkat dasar?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan prinsip penelitian ilmiah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari hubungan antara variabel independen dan variabel dependen serta seberapa besar variabel dependen tersebut, bila berhubungan, berpengaruh terhadap variabel independen (Nazir, 1985), yaitu hubungan sebab akibat antara metode pembelajaran yang menggunakan notasi musik warna dan notasi musik konvensional terhadap skor kemampuan asosiasi notasi musik anak-anak pada pembelajaran piano tingkat dasar. Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk menguji klaim Vikham (2006) bahwa penambahan unsur warna dalam notasi musik dapat membantu memudahkan membaca notasi musik sehingga dapat menjadi metode yang efektif untuk membantu memecahkan masalah kesulitan asosiasi notasi musik bagi pelajar piano. Menurut Vikham, Klaimnya ini didasarkan oleh teori sinestesia, yaitu dua stimulus berbeda yang dapat menimbulkan sebuah sensasi yang sama (Vikham, 2006). Fenomena yang serupa dengan sinestesia inilah yang menurutnya terjadi dalam proses pengolahan informasi pada saat membaca notasi musik, yang menurutnya juga dapat mempercepat pemrosesan informasi notasi musik bagi seseorang yang mempelajari musik.
Jadi, dalam penelitian ini akan diuji pengaruh pemberian treatment warna, hasil penemuan Kestenbaum (2006) yang dipatenkan dengan nama ColorKeys dengan nomer paten 7148414 (Kestenbaum, 2006), pada notasi musik terhadap kemampuan asosiasi notasi musik anak dalam pembelajaran piano tingkat dasar, dengan meneliti perbedaan kemampuan asosiasi notasi musik anak yang memakai notasi musik konvensional hitam putih dibandingkan dengan kemampuan asosiasi musik anak yang memakai notasi musik berwarna dengan metode ColorKeys. Sehingga dalam penelitian ini dapat ditemukan ada tidaknya pengaruh yang signifikan antara metode pembelajaran yang menggunakan notasi musik warna dan notasi musik konvensional terhadap skor kemampuan asosiasi notasi musik anak pada pembelajaran piano tingkat dasar.
1.4. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan yang signifikan antara skor tes kemampuan asosiasi siswa yang menggunakan metode notasi musik berwarna dibandingkan dengan yang menggunakan metode notasi musik konvensional pada pembelajaran piano tingkat dasar.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian pengaruh notasi musik berwarna terhadap kemampuan asosiasi notasi musik pada pembelajaran piano tingkat dasar ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan praktis:
1.5.1. Manfaat Teoritis
Dari segi teoritis secara umum penelitian ini dapat menjadi falsifikasi keefektifan pengenalan metode baru notasi musik berwarna terhadap kemampuan asosiasi notasi musik siswa piano anak-anak. Penelitian ini diharapkan juga dapat menambah kasanah pengetahuan dan pengertian tentang kinerja otak manusia terhadap stimulus visual serta menjadi sebuah referensi dalam mendesain perancangan-perancangan yang fungsional ketika mempertimbangkan warna sebagai unsur yang perlu untuk ditambahkan kedalam sebuah perancangan. Bagi Dunia Musik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah wawasan baru mengenai peran aplikasi integratif psikologi kognitif dan komunikasi visual dalam dunia musik, sekaligus memacu kreativitas musikus di Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar musik mengingat notasi musik secara universal dipakai dalam berbagai alat musik melodis selain piano. Kajian kognitif yang dipakai dalam pendekatannya terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini diharapkan juga dapat menjembatani dunia psikologi kognitif dan komunikasi visual dengan mengaplikasikan teori psikologi kognitif pada sebuah rancangan komunikasi visual.
Bagi desainer komunikasi visual, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah stimulus untuk membuka diri dan lebih memperdalam berbagai bidang keilmuan yang lain yang dapat dengan efektif diterapkan kedalam sebuah perancangan komunikasi visual dengan dasar-dasar teori yang kokoh dan dapat
dipertanggung jawabkan untuk menghindari perancangan yang subyektif pada referensi pribadi perancang seperti keadaan emosi, selera, dan sebagainya. Sehingga peranan seorang desainer komunikasi visual dapat berbeda dengan desainer grafis yang lebih menitik beratkan pada hasil dan bukan proses, serta dapat menghasilkan perancangan yang bukan sekedar indah secara visual, namun juga memiliki nilai fungsional yang tinggi dan dapat memecahkan masalah di bidang komunikasi visual.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat bagi adalah agar melalui penelitian ilmiah ini, dapat mengetahui hubungan antara penambahan unsur visual terhadap pemrosesan data di otak manusia sehingga dapat dikembangkan dan menjadi pertimbangan pada aplikasi penambahan warna di banyak aspek lainnya. Penelitian ilmiah ini dapat menguji teori metode baru Kestenbaum yang dapat membantu seseorang untuk mempelajari musik dengan lebih efektif apabila penelitian menunjukkan pengaruh warna dalam notasi musik adalah positif. Pengaruh yang negatif pun diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi para desainer untuk berhati-hati dalam menambahkan unsur warna dalam suatu perancangan yang fungsional. Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat menjembatani antara dunia teori kognitif dan teori pemrosesan informasi dengan aplikasi komunikasi visual dan pembelajaran musik yang tentunya dapat menjadi awal bagi perkembangan penelitian di banyak bidang yang terkait dengan hasil penelitian ini.
Selama berabad-abad ilmuwan musikologi berusaha untuk mengembangkan alternatif yang lebih baik untuk memperbaiki notasi musik konvensional (Parncutt, 2006-2007) sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berarti bagi penelitian-penelitian lebih lanjut di masa mendatang dalam mengembangkan alternatif yang lebih baik dari notasi musik konvensional yang ada.
1.6. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian dengan subyek penelitian yang melibatkan kognisi manusia tidaklah lepas dari keberadaan asumsi-asumsi serta keterbatasan penelitian yang
lain karena tidak mungkin dilakukannya isolasi sempurna seperti yang dapat dilakukan pada percobaan di lingkungan laboratorium, yaitu dalam penelitian eksperimental nyata (Jackson, 2006). Kemampuan asosiasi, sebagai variabel dependen, adalah salah satu contoh sebuah pemrosesan kognitif yang diamati dan diteliti dalam penelitian ini dengan mengambil beberapa asumsi, seperti asumsi bahwa pemrosesan informasi visual yang terjadi dalam otak subyek penelitian dibagi menjadi persepsi kontur visual, persepsi ikonik dan persepsi warna tanpa adanya faktor-faktor lainnya seperti kehadiran muatan-muatan asing. Muatan-muatan asing ini dapat menjadi variabel pengacau dalam penelitian, yaitu Muatan- muatan-muatan yang berhubungan dengan aktivitas mental selama pembelajaran, yang tidak mengkontribusi langsung pada proses pembelajaran, atau sebagai hasil dari instruksi yang mengakibatkan seseorang untuk memakai kapasitas memori kerjanya dengan proses yang tidak berhubungan langsung dengan konstruksi skema atau otomatisasi (dalam Artino, 2008). Kehadiran muatan asing inilah yang sangat sukar untuk diisolasi dalam memori kerja manusia karena dapat terjadi dalam pemrosesan global dan dipengaruhi oleh sudut pandang visual secara keseluruhan, tingkat kepadatan dan jumlah elemen lokal, serta durasi presentasi yang ditangkap secara inderawi dan alokasi perhatian (dalam Nisbet, 1998). Itupun dengan asumsi menurut Kimchi (1992) presedensi pemrosesan informasi global diatas presedensi pemrosesan informasi lokal (dalam Nisbet, 1998). Detil mengenai jenis muatan asing dapat dilihat dalam dasar teori mengenai jenis-jenis muatan kognitif pada bab 2.
Keterbatasan lainnya adalah tes asosiasi yang melibatkan pemrosesan aktivitas kinestesis dalam memori kerja. Tes yang dipakai dalam penelitian ini dikerjakan oleh subyek penelitian dengan memainkan sebuah partitur khusus yang didesain untuk tujuan penelitian. Kemampuan kinestesis yang berbeda-beda ini memang dikontrol lewat desain tes dan juga range kemampuan anak seperti didefinisikan dalam ruang lingkup masalah dan definisi operasional, namun seperti telah disebutkan seblumnya, kemustahilan proses isolasi yang idealnya dilakukan dalam sebuah penelitian eksperimental mengijinkan faktor-faktor lain ikut mempengaruhi dalam pemrosesan aktivitas kinestesis pula walaupun sifatnya minor. Itu sebabnya jenis penelitian yang paling memungkinkan untuk penelitian
ini adalah penelitian eksperimental semu, yaitu memiliki atribut-atribut eksperimental tapi tidak semuanya (Jackson, 2006).
Asumsi yang diambil dalam penelitian ini adalah tes kemampuan asosiasi musik berupa tes seperti dijelaskan secara detil dalam bab metodologi penelitian (bab 3) adalah alat yang teruji validitasnya untuk mengukur kemampuan asosiasi notasi musik seseorang. Keterangan validitas dan reliabilitas tes yang dipakai dijelaskan secara terperinci dan dapat dilihat dalam bab metodologi penelitian. Asumsi lain yang diambil dalam penelitian ini adalah bahwa subyek penelitian tidak sedang dalam kondisi emosional yang ekstrim baik positif maupun negatif, kondisi ini hanya bisa diamati dan dikontrol sebatas melalui pengamatan fisik ketika menguji subyek karena tes lebih lanjut mengenai kondisi emosional akan memakan waktu dan tenaga yang dapat mengkonsumsi waktu sebuah penelitian terpisah. Kondisi fisik subyek penelitian pun juga hanya dapat diasumsikan dalam kondisi yang ideal melalui pengamatan fisik ketika menguji subyek penelitian, hal ini dibantu dengan waktu pengujian yang dilakukan setelah subyek menjalani les pembelajaran piano rutin mereka sehingga kondisi fisik yang tidak ideal dapat langsung terdeteksi sebelum pengujian dilakukan.
1.7. Ruang Lingkup Penelitian
Karena keterbatasan waktu serta cakupan bidang studi dalam proses penelitian maka untuk keperluan penelitian ilmiah ini diberikan batasan-batasan masalah seperti dibawah ini:
a) Sampel: Anak-anak berusia 3 - 10 tahun.
Penelitian yang berusaha untuk mengintegrasikan pengaruh warna dengan metode pembelajaran piano ini sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada orang dewasa atau komposisi musik yang lebih rumit namun selain mengingat bahwa pelajar piano tingkat lanjut sudah tidak mempunyai masalah dalam membaca notasi monokromatik konservatif juga mengingat keterbatasan waktu penelitian yang tidak memungkinkan penelitian yang terlalu kompleks dilakukan sehingga diputuskan untuk membatasinya pada anak-anak berusia 3 - 10 tahun.
Pemilihan rentang usia anak sebagai obyek penelitian merupakan sintesis beberapa teori yang diawali dengan kajian teori Piaget, yaitu pada periode operasi konkret dimana anak-anak telah dapat memahami operasi-operasi konkret (Budiyanto, 2009), teori periode sensitif Montessori yaitu pada kisaran umur 4 - 5 dan 4 - 6 tahun dimana merupakan periode sensitif untuk anak mulai mempelajari gerakan-gerakan sensorik yang lebih halus dan kompleks seperti menekan tuts-tuts piano, yang kemudian disempurnakan oleh Hinton yang mengembangkan penelitian periode sensitif berdasarkan teori Montessori. Menurut Hinton (2005) pengorganisasian struktur otak menunjukkan bahwa otak sangat optimal untuk menerima pembelajaran bahasa pada rentang usia 10 bulan dimana perubahan perkembangan neuro-biologis secara berangsur-angsur mengakhiri periode sensitif pada saat mendekati keremajaan, sedangkan perubahan struktural yang menampung kemampuan musikal terjadi sekitar 7 bulan sampai dengan 8 tahun dan kemampuan motoris antara usia 3 sampai dengan 10 tahun, yang artinya seorang anak sangat ideal untuk mempelajari musik pada rentang usia 3 - 10 tahun dengan menggabungkan antara kemampuan musikal (kepekaan terhadap stimulus bunyi-bunyian musikal) dan kemampuan motoris (Periode sensitif kemampuan motoris).
b) Obyek penelitian: Kemampuan asosiasi notasi musik anak
Definisi kemampuan asosiasi notasi musik anak dalam penelitian ini didefinisikan lebih lanjut dalam definisi operasional dan dikaji secara lengkap dan runtut dalam landasan teori. Secara singkat, kemampuan asosiasi notasi musik anak dalam penelitian ini dapat didefinisikan menjadi dua yaitu dalam konteks kemampuan anak untuk mengasosiasikan simbol-simbol (iconic) dalam notasi musik dengan nada yang dimaksud dalam notasi musik tersebut dalam kaitannya dengan kelompok partisipan pertama yaitu sebagai kelompok kontrol. Sedangkan bagi kelompok eksperimental kemampuan asosiasi notasi musik ini ditambah dengan persepsi warna, yang didefinisikan sebagai proses asosiasi warna tertentu dengan nada yang dimaksud oleh dengan yang direpresentasikan oleh kontur visual.
c) Tempat Penelitian: Penelitian akan dilakukan di Surabaya
Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, penelitian akan dilakukan di Surabaya. Penelitian ini dianggap tidak perlu untuk dilakukan di berbagai tempat karena isu regional dianggap tidak terlalu mempengaruhi kemampuan belajar piano seorang anak. Surabaya juga dipilih karena merupakan kota terbesar kedua di Indonesia dan pembelajaran piano lebih tinggi frekuensinya di kota-kota besar dibandingkan kota-kota kecil sehingga tidak sampai kesulitan mencari sampel dalam proses penelitian.
d) Waktu dan jangka waktu penelitian: efektif Maret – Mei 2009
Waktu efektif untuk mengerjakan penelitian ini adalah 3 bulan. Keterbatasan waktu inilah yang menjadi alasan utama penelitian ini tidak dikembangkan secara luas dan holistik. Namun, penelitian ini dapat membuka jalan bagi penelitian-penelitian lain di masa mendatang yang lebih detil ataupun bidang lain yang dapat memakai hasil penelitian ini sebagai referensi.
Beikut ini adalah tabel ruang lingkup penelitian yang menjadi pedoman praktis mengenai hubungan rumusan masalah dan variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini, yang dilengkapi dengan deskripsi singkat masing-masing variabel.
Tabel 1.1 Ruang Lingkup Penelitian
No Rumusan Masalah
Variabel Sub Variabel Deskripsi
a) Notasi Musik Berwarna
Notasi musik konvensional yang dipakai secara umum dalam pembelajaran piano tingkat dasar yang telah diberi treatment berupa warna.
1. Independen: Notasi Musik
b) Notasi Musik Konvensional
Sistem penulisan konvensional untuk merepresentasikan secara visual dalam sebuah tatanan yang dimengerti semua musikus di seluruh dunia 1. Apakah ada perbedaan kemampuan asosiasi notasi musik yang signifikan antara pengguna notasi musik warna dengan notasi musik konvensional? 2. Dependen: Kemampuan asosiasi notasi musik Aplikasi Asosiasi
Proses asosiasi warna dan kontur visual tertentu dengan nada yang direpresentasikan oleh notasi tertentu
1.8. Definisi Operasional
Dalam definisi operasional akan dijelaskan mengenai elemen-elemen penting yang berkaitan dengan penelitian baik yang langsung seperti tercantum dalam judul penelitian maupun yang berkaitan tidak langsung namun menopang elemen dalam judul penelitian.
1.8.1. Notasi Musik
Notasi Musik dalam penelitian ini mencakup dua hal yaitu notasi musik standar yang diakui secara konvensional di seluruh dunia dan notasi musik warna Kestenbaum © 2006 yang memperkenalkan unsur tambahan berupa warna.
1.8.1.1. Notasi Musik Standar
Notasi musik standar adalah sistem penulisan konvensional untuk merepresentasikan secara visual dalam sebuah tatanan yang dimengerti semua musikus di seluruh dunia (Colored Music Notation System and Method of Colorizing Music Notation, 2006). Teori dasar notasi musik konvensional secara lengkap dijabarkan dalam landasan teori. Notasi musik standar dalam penelitian ini mengacu secara baku seperti yang dijabarkan dalam landasan teori.
Jadi, notasi musik standar dalam penelitian ini adalah sistem penulisan ataupun sebagian dari sistem penulisan notasi musik konvensional yang dipakai sebagai media penyampaian informasi musikal kepada sekelompok partisipan tertentu yang akan mengambil bagian dalam penelitian.
1.8.1.2. Notasi Musik Berwarna (ColorKeys © 2006) Kestenbaum
Notasi musik berwarna Kestenbaum adalah notasi musik konvensional yang dipakai secara umum dalam pembelajaran piano tingkat dasar yang telah diberi treatment berupa warna. Menurut Vikham (2006, par. 3) sistem ColorKeys mengaplikasikan warna-warna spesifik kedalam 7 not unik pada oktaf (A,B,C,D,E,F,G). Ketujuh warna unik ini sama untuk nilai oktaf manapun sehingga tingi nada tetap harus mengacu pada kontur visual, yaitu ketinggian nada pada garis paranada yang berjumlah 5 buah untuk masing-masing clef (Teori dasar
musik dapat dilihat dalam dasar teori bab 2). Ketujuh warna tersebut distandarisasi secara konvensional oleh Kestenbaum (2006) dengan mencantumkan pada deksripsi paten kode warna separasi dalam format CMYK. Ketujuh kode warna tersebut telah dituangkan penulis dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 1.2. Metode ColorKeys © 2006 (Kestenbaum, 2006)
KODE WARNA NAMA NADA C M Y K A 0 100 0 0 B 0 52 100 35 C 0 0 0 100 D 13 39 0 0 E 60 0 100 0 F 0 44 95 0 G 100 0 0 0
Dalam notasi musik dan tuts piano, representasi warna tersebut dapat dilihat di gambar berikut ini:
Gambar 1.1. Sistem ColorKeys © 2006 Kestenbaum Sumber: Vikham (2006)
Jadi, notasi musik berwarna dalam penelitian ini adalah sistem penulisan ataupun sebagian dari sistem penulisan notasi musik, yang dimodifikasi oleh David Kestenbaum (2006) dengan merk dagang ColorKeys, yang dipakai sebagai
media penyampaian informasi musikal kepada sekelompok partisipan tertentu yang akan mengambil bagian dalam penelitian.
1.8.2. Kemampuan Asosiasi Notasi Musik Anak
Menurut Cahyono (2008) asosiasi merupakan ukuran dalam menentukan kecerdasan seseorang sehingga ukuran kemampuan asosiasi biasanya digunakan sebagai ukuran kejeniusan. Asosiasi adalah menghubungkan satu hal dengan hal yang lain sehingga membentuk kaitan yang memiliki suatu makna tertentu. Proses pengasosiasian sangat berguna dalam mengonstruksi makna dan meningkatkan penyimpanan informasi di otak manusia dalam bentuk memori. Semakin sering anak melakukan proses pengasosiasian, makin tinggi aktivitas mielinasi yang menyambungkan sel-sel syaraf (neuron) pada otak, dan sambungan neuron inilah yang menjadi ukuran kecerdasan (Cahyono, 2008, par. 18). Mielinasi adalah proses pembentukan mielin atau selubung saraf, yaitu semacam selaput lemak yang fungsinya adalah membungkus akson, bagian saraf yang bentuknya memanjang menyerupai tangkai dari sel saraf (Handajani, 2006).
Menurut Cahyono (2008), konstruksi dan asosiasi adalah proses pengelolaan yang kemudian disimpan dalam bentuk data di dalam ingatan anak. Selain proses encoding atau penyandian, konstruksi dan asosiasi digunakan untuk mengeluarkan data memori ketika dibutuhkan, sebuah proses yang dinamakan decoding atau membaca sandi. Jadi konstruksi dan asosiasi yang baik sangat membantu dalam proses mengingat. Berbagai teknik mnemonic (teknik mengingat dengan mengasosiasikan pada hal yang lebih mudah diingat) seperti akronim (sebuah singkatan yang menjadi sebuah kata tersendiri), loci (salah satu jenis sistem tekhnik mnemonic berdasarkan lokasi), mind maping (diagram yang digunakan untuk merepresentasikan konsep-konsep yang berhubungan dengan sebuah ide/kata kunci), anchoring (Bias kognitif atau tendensi manusia untuk terlalu mengandalkan sebuah informasi saja pada waktu membuat keputusan), atau chunking (pengorganisasian suatu informasi kedalam unit yang lebih mudah dikenali) merupakan cara mengingat yang menggunakan dua proses dasar yaitu konstruksi dan asosiasi (Cahyono, 2008). Teori lebih lanjut mengenai konstruksi dan asosiasi dapat dilihat dalam sub bab 2 dalam poin dasar teori kognitif umum.
Proses Pengolahan yang terjadi dalam otak seseorang pada saat mengasosiasi notasi musik melibatkan proses persepsi visual yang merupakan hasil pemrosesan sensasi visual yang dipicu berupa stimulus visual notasi musik dimana didalamnya terjadi proses persepsi kontur visual dan simbolik. Kontur visual dapat diartikan sebagai sebuah pola naik turun dari titik-titik tertentu, yang dalam notasi musik adalah not-not balok, dari diagram garis dengan mengabaikan intervalnya (Nisbet, 1998). Persepsi kontur visual inilah yang merupakan salah satu kesulitan anak-anak terbesar dalam mengasosiasi notasi musik khususnya pada pembelajaran piano tingkat dasar. Sedangkan pengenalan variabel independen berupa penambahan warna pada notasi musik didesain oleh Kestenbaum (2006) untuk menolong seseorang mengasosiasi notasi musik dengan menambahkan warna.
Jadi, kemampuan asosiasi notasi musik anak dalam penelitian ini dapat didefinisikan menjadi dua yaitu sebatas konteks kemampuan anak untuk mengasosiasikan simbol-simbol (iconic) dalam notasi musik dengan nada yang dimaksud dalam notasi musik tersebut dalam kaitannya dengan kelompok partisipan pertama yaitu sebagai kelompok kontrol. Sedangkan bagi kelompok eksperimental kemampuan asosiasi notasi musik ini ditambah dengan persepsi warna, yang didefinisikan sebagai proses asosiasi warna tertentu dengan nada yang sama dengan yang direpresentasikan oleh kontur visual.
1.8.3. Pembelajaran Piano Tingkat Dasar
Metode pembelajaran piano yang dipakai disesuaikan dengan kurikulum yang diambil yang tergantung dari negara dan universitas yang dipilih, umumnya di Indonesia yang dipakai adalah dari 4 negara yaitu Inggris (London), Indonesia, Australia dan Jepang (Yamaha). Hal ini berkaitan dengan ujian-ujian tahap lanjutan yang akan dinilai langsung oleh akademi musik yang bersangkutan, misalnya ujian tingkat mahir kurikulum Yamaha akan dikirim ke Jepang dan dinilai sendiri oleh akademi musik Yamaha di Jepang, sedangkan ujian tingkat mahir (ujian diploma) kurikulum Royal Academy London akan dikirim ke London untuk dinilai disana.
Kurikulum yang dipakai dalam penelitian ini adalah kurikulum nasional yang diakui di Indonesia. Kurikulum ujian negara (ujian nasional) ini dipilih dengan pertimbangan tingkat kemudahannya, selain itu bagi pelajar piano yang ingin melanjutkan pada kurikulum yang lebih tinggi tingkat kesulitannya dapat melakukan transfer dari kurikulum ini ke kurikulum yang lain seperti ABRSM (Associated Board of the Royal Schools of Music) misalnya. Tingkatan dalam kurikulum nasional ini mempunyai urutan sebagai berikut: 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A, 4B, lalu tingkat lanjut Pra Indria 1, Pra Indria 2, Indria, Pramuda, Muda, dan yang terakhir yaitu tingkat Madya.
Di Indonesia terdapat beberapa kurikulum populer yang dapat dipilih ketika akan mempelajari piano seperti kurikulum ujian nasional Indonesia, Trinity College, Yamaha Music Foundation (YMF), Associated Board of the Royal Schools of Music (ABRSM), dan Australian Music Examinations Board (AMEB). Kurikulum ujian negara (ujian nasional) ini dipilih karena menurut beberapa pengajar piano adalah yang paling populer dipilih untuk dipelajari di Surabaya mengingat tingkat kemudahannya, selain itu bagi pelajar piano yang ingin melanjutkan pada kurikulum yang lebih tinggi tingkat kesulitannya dapat pindah dari kurikulum ini ke kurikulum yang lain seperti ABRSM. Kurikulum ini memberikan kebebasan umur untuk tingkat manapun dibandingkan dengan salah satu kurikulum, seperti Yamaha, yang membatasi pelajar piano pada usia tertentu saja untuk diperbolehkan naik ke tingkat tertentu. Di samping itu kurikulum ini membebaskan guru pengajar untuk memilih jenis lagu yang sekiranya sesuai untuk diajarkan ditingkat dasar. Ujian nasional kurikulum ini berlaku dengan standar nasional dan diakui hanya di Indonesia, itu sebabnya beberapa pelajar yang ingin memperdalam pembelajaran piano ketingkat sangat mahir biasanya berpindah ke kurikulum negara yang mereka tuju (ABRSM untuk Inggris, Trinity College untuk Australia, Yamaha untuk Jepang, dsb.). Tingkatan dalam kurikulum nasional ini mempunyai urutan sebagai berikut: 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A, 4B lalu tingkat lanjut Pra Indria 1, Pra Indria 2, Indria, Pramuda, Muda, Madya.
Pembelajaran piano tingkat dasar dalam penelitian ini dibatasi dalam konteks pembelajaran piano di tingkat 2A - 3B dengan pertimbangan lama
pembelajaran piano tingkatan tersebut masih dalam kisaran 1 sampai dengan 2 tahun. Kisaran tersebut memperhitungkan kesimpulan penelitian Nisbet yang mengklaim bahwa membaca notasi musik masih merupakan tugas yang sukar untuk anak-anak walaupun setelah pelajaran musik selama 2 - 3 tahun karena notasi musik mengandung banyak informasi perseptif dan abstrak (dalam Nisbet & Bain, n.d.).
Dalam penelitian ini tingkatan yang dipilih untuk alasan kontrol, yang akan dijelaskan lebih detil pada bab metodologi penelitian, adalah tingkat 2A sampai dengan tingkat 3B. Tingkatan ini dipilih karena kapasitas kemampuan membaca notasi musik pada tingkatan ini tidak terlalu awal bagi subyek penelitian sehingga harus diajari lagi mengenai dasar notasi musik standar. Selain itu pertimbangan pemilihan tingkatan ini adalah hasil penelitian yang menemukan bahwa walaupun anak-anak telah mempelajari instrumen musik dalam waktu satu sampai dua tahun masih tetap menemukan kesulitan untuk membaca notasi musik (dalam Nisbet & Bain, n.d., p. 6). Kenyataan ini sesuai dengan konteks unsur warna yang difungsikan sebagai elemen baru pendukung elemen lama dalam metode baru Kestenbaum (Kestenbaum, 2006) yang diharapkan dapat membantu anak-anak untuk lebih mudah membaca notasi musik.
Jadi, pembelajaran piano tingkat dasar dalam penelitian ini adalah pembelajaran piano yang setara dengan tingkat 2A sampai dengan tingkat 3B sesuai dengan kurikulum ujian nasional piano yang diakui di Indonesia.