• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPSI PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN TAMBAK DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPSI PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN TAMBAK DI KABUPATEN KONAWE SELATAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

OPSI PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN TAMBAK

DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

Andi Indra Jaya Asaad, Hasnawi, dan Rachmansyah

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: andi_asaad1@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian tentang penyusunan program kegiatan untuk pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan dilakukan pada bulan Maret-Mei 2012. Metode penelitian menggunakan metode survai yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer melalui metode wawancara dilakukan dengan menentukan responden kunci dari beragam instansi terkait untuk dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan manual panduan pertanyaan secara perbandingan berpasangan (pair wise). Data sekunder diperoleh dari laporan berbagai instansi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Analisis data menggunakan analisa hirarki proses dengan bantuan perangkat expert choice 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari delapan faktor kunci dan tujuh alternatif untuk pengembangan budidaya tambak di Kabupaten Konawe Selatan, maka faktor sumberdaya manusia, persepsi masyarakat dan faktor kesesuaian lahan merupakan faktor prioritas. Sedangkan opsi program kegiatannya yaitu pelatihan dan percontohan budidaya tambak, skema modal bergulir dan distribusi hasil budidaya untuk pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan.

KATA KUNCI: pengembangan kawasan tambak, analisis hirarki proses, Konawe Selatan PENDAHULUAN

Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan revitalisasi perikanan melalui kegiatan terpadu dalam pembangunan perikanan berbasis kawasan dengan konsep Minapolitan, maka telah ditetapkan 223 Kabupaten/Kota sebagai daerah pengembangan kawasan Minapolitan. Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.39/MEN/2011tentang penetapan kawasan minapolitan.

Hasil analisis strategis yang dikeluarkan oleh Bappeda Kabupaten Konawe Selatan (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan kondisi obyektif dari faktor internal dan eksternal Kabupaten Konawe Selatan maka ditetapkan visi tahun 2010-2015 adalah: Kabupaten Minapolitan dengan misi Mewujudkan Konawe Selatan Sejahtera Berbasis Perdesaan. Komoditas utama pengembangan budidaya tambak adalah udang dan ikan bandeng. Luas tambak di Kabupaten Konawe Selatan mencapai 4.825 ha dengan produksi 540 ton/tahun (Badan Pusat Statistik Konawe Selatan, 2010). Untuk pencapaian visi misi Kabupaten Konawe Selatan, telah ditetapkan prioritas pembangunan daerah Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2011 dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai berikut: (1) mewujudkan pemerintahan yang baik; (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (3) membangun infrastruktur wilayah; dan (4) meningkatkan ekonomi masyarakat yang berbasis perdesaan.

Terkait dengan penetapan visi sebagai Kabupaten Minapolitan, maka tujuan pembangunan Kabupaten Konawe Selatan tidak terlepas dari tujuan kawasan Minapolitan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 18 tahun 2011 (Pedoman Umum Minapolitan) yaitu untuk: (1) peningkatkan bahan baku melalui produksi, produktivitas, dan kualitas produk; (2) peningkatkan kesejahteraan pelaku perikanan melalui peningkatan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan yang adil dan merata; dan (3) mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah.

Berdasarkan rancangan peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Selatan, kebijakan pengembangan kawasan minapolitan khususnya untuk pengembangan kawasan tambak

(2)

telah ditetapkan di Kecamatan Moramo, Moramo Utara, Kolono, Laonti, Palangga Selatan, Lainea, Laeya, dan Tinanggea (Anonim, 2013). Namun belum terdapat secara jelas turunan kebijakan berupa program-program pengembangan kawasan tambak untuk mendukung tujuan minapolitan di Kabupaten Konawe Selatan.

Kegagalan dalam merumuskan program-program kerja yang nyata dari suatu kebijakan visi misi seringkali menyebabkan terlaksananya kegiatan hanya pada level output tapi tidak menghasilkan outcome bahkan impact. Kadangkala ditemukan program pemerintah yang tidak tepat sasaran walaupun pada level kebijakan (perumusan visi misi) sudah tercantum jelas dalam dokumen perencanaan daerah. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengkaji opsi program pengembangan kawasan tambak berdasarkan rumusan visi-misi dan prioritas pembangunan Kabupaten Konawe Selatan. Opsi program tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah Kabupaten Konawe Selatan untuk melalukan program yang menjadi prioritas dalam pencapaian visi misi sebagai Kabupaten Minapolitan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tinanggea, Pallangga Selatan, Lainea, dan Laeya (klaster Tinanggea), Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei tahun 2012. Penetapan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Konawe Selatan yang telah mengelompokkan kecamatan wilayah pesisir Kabupaten Konawe Selatan menjadi dua Klaster yaitu; (a) Klaster Tinanggea, meliputi; Kecamatan Tinanggea, Palangga Selatan, Lainea, dan Laeya; dan (b) Klaster Kolono, meliputi; Kecamatan Kolono, Laonti, Moramo, dan Moramo Utara.

Metode penelitian menggunakan metode survai yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), dan pengisian formulir penilaian (skoring) menggunakan daftar pertanyaan atau kuisioner yang telah disiapkan (Mustafa, 2012). Responden dalam penelitian ini ditentukan secara purposive yaitu responden yang memiliki pemahaman dan pengalaman yang terkait dengan kegiatan budidaya tambak di Konawe Selatan. Latar belakang responden bervariasi yaitu: unit pemerintah daerah setingkat kepala desa, camat, satuan kerja pemerintah daerah Kabupaten Konawe Selatan (Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Perecanaan dan Pembangunan Daerah, Badan Penyuluh), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Selatan, dan Perguruan Tinggi.

Analisis data menggunakan pendekatan analisis hirarki proses (AHP) untuk merancang model permasalahan yang tidak terstruktur, dan ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan pendapat maupun pada situasi yang kompleks. Penilaian (judgement) dilakukan pada pilihan berpasangan yang dibandingkan (pair wise comparison). AHP banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari beragam strategi dan pilihan yang ada (Saaty, 1993). Analisis ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 11.

Rancangan hirarki terdiri atas empat bagian besar yaitu fokus, faktor, sasaran, dan alternatif program (Gambar 1). Fokus atau tujuan (goal) yang ditetapkan adalah pengembangan budidaya perikanan di kawasan tambak Kabupaten Konawe Selatan.

Penilaian dilakukan dengan merujuk pada skala prioritas penilaian berdasarkan Saaty (1993) dan Mendoza et al. (2006) (Tabel 1).

HASIL DAN BAHASAN

Berdasarkan hasil analisa dengan pendekatan AHP, maka didapatkan prioritas dari beragam faktor yang menjadi kunci untuk mencapai tujuan (fokus) pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan. Faktor-faktor yang telah diidentifikasi mendukung pencapaian tujuan pengembangan kawasan tambak yaitu : (1) ketersediaan teknologi; (2) kesesuaian lahan; (3) ketersediaan pasar; (4) modal; (5) aspek peraturan daerah; (6) ketersediaan sarana prasarana; (7) persepsi masyarakat; (8) aspek sumberdaya manusia. Dari delapan faktor tersebut, bobot tertinggi yaitu faktor sumberdaya manusia (bobot 0,23), kemudian diikuti faktor persepsi masyarakat (0,172) dan faktor kesesuaian

(3)

Gambar 1. Tampilan Hierarki penentuan opsi program pengembangan tambak di Kabupaten Konawe Selatan

Tabel 1. Skala pengukuran relatif Intensitas dari

kepentingan pada skala absolut

Definisi Penjelasan

1 sama pentingnya Kedua aktivitas menyumbangkan sama pada tujuan

3 agak lebih penting yang satu atas lainnya

Pengalaman dan keputusan menunjukkan sedikit

kesukaan/preferensi atas satu aktivitas lebih dari yang lain 5 cukup penting Pengalaman dan keputusan

menunjukkan

kesukaan/preferensi atas satu aktivitas lebih dari yang lain 7 sangat penting Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan yang kuat atas satu aktivitas lebih dari yang lain

9 kepentingan yang ekstrim Bukti menyukai satu aktivitas atas yang lain sangat kuat

2,4,6,8 nilai tengah diantara dua nilai keputusan yang berdekatan

Bila kompromi dibutuhkan berbalikan jika aktivitas i mempunyai nilai yang

lebih tinggi dari aktivitas j maka j mempunyai nilai berbalikan ketika dibandingkan dengan i

rasio rasio yang didapat langsung dari pengukuran

(4)

lahan (0,121). Pembobotan ini tidak berarti penolakan faktor-faktor dengan bobot rendah, namun hanya sebagai perangkat untuk menunjukkan prioritas yang perlu didahulukan. Pada gambar 2 disajikan hasil analisis AHP yang menunjukkan pembobotan faktor-faktor terkait tujuan pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan.

Pada Gambar 2 terlihat nilai inkonsistensi 0,03. Nilai ini < dari 0,1 sehingga analisa dapat diterima. Nilai inkonsistensi menunjukkan tingkat akurasi/konsitensi suatu pendapat terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki. Nilai rasio konsistensi yang diterima apabila < 0,1, dan dalam analisis AHP, data dengan nilai inkonsistensi < 0,1 dianggap konsisten (Mendoza et al, 2006; Teknomo et al, 1999) .

Faktor sumberdaya manusia, persepsi masyarakat dan kesesuaian lahan ternyata merupakan tiga faktor prioritas penting yang dipandang strategis untuk pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan. Faktor sumberdaya manusia telah diakui menjadi sentral dalam pembangunan perikanan budidaya pada saat ini khusunya untuk menyikapi perubahan paradigma global pembangunan yaitu bernilai lingkungan dan berdampak sosial. Umumnya negara-negara yang memiliki potensi perikanan budidaya dalam penerimaan devisa telah menempatkan aspek pengembangan sumberdaya manusia sebagai faktor utama berlanjutnya sektor/subsektor perikanan budidaya (De Silva et al., 2001). Definisi tenaga kerja dalam konteks perikanan budidaya adalah karyawan tetap dan/atau tidak tetap yang dimiliki dan terlibat dalam kegiatan usaha di bidang pembudidayaan ikan selain pemilik. Sedangkan teknologi adalah metode dan sarana/prasarana yang digunakan dalam kegiatan pembudidayaan ikan. (Permen KP no 5/2009).

Salah satu upaya penguatan sumberdaya manusia khususnya masyarakat pelaku pembudidaya yaitu dengan program penyebarluasan hasil penelitian. Contoh kegiatan ini adalah program IPTEKMAS (IPTEK untuk masyarakat) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (Nawang et al, 2012). Keterlibatan masyarakat dalam program IPTEKMAS secara langsung dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang teknologi perikanan budidaya sekaligus mensosialisasikan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh oleh Balitbang KP. Pengetahuan masyarakat dalam berbudidaya umumnya dilandasi dari pengalaman lapangan dan uji coba secara alamiah. Sehingga teknik budidaya secara baik atau dikenal dengan cara budidaya ikan yang baik (CBIB) tidak diketahui atau bahkan tidak diterapkan. Hal ini sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan oleh Nawang et al (2012) bahwa, sebelum introduksi program

Gambar 2. Nilai pembobotan faktor terkait fokus/tujuan pengembangan budidaya perikanan di kawasan tambak Kabupaten Konawe Selatan

Model Name: Opsi Program Pengembangan Kawasan Tambak di Konawe Selatan

Priorities with respect to: Combined

Goal: Opsi Program Pengembangan Kawasan Tambak di Kab Konawe Selatan

Aspek Sumber Daya Manusia ,230

Persepsi Masyarakat ,172

Kesesuaian Lahan ,121

Ketersediaan Sarana/Prasarana ,121

Aspek Peraturan Daerah ,109

Modal ,091

Ketersediaan Teknologi ,083

Ketersediaan Pasar ,074

Inconsistency = 0,03 with 0 missing judgments.

(5)

IPTEKMAS pada studi kasus tambak di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, masyarakat pembudidaya melakukan aktivitas budidaya berdasarkan pengalaman tanpa adanya standar acuan untuk berbudidaya yang baik. Hal ini tampak pada upaya persiapan lahan (pengeringan, pengapuran, pemberantasan hama dan pemupukan) yang jarang dilakukan oleh masyarakat pembudidaya.

Kondisi sumberdaya manusia di subsektor perikanan budidayamasih membutuhkan introduksi teknologi. Laporan dari NACA/FAO (1996) dalam De Silva et al (2001) menyatakan bahwa 93% negara di Asia menghadapi kendala utama sumberdaya manusia dan 71% diantaranya menyatakan permasalahan kompetensi dan keahlian dalam berbudidaya menjadi masalah utama dalam pengembangan perikanan budidaya di Asia.

Satu pendekatan untuk penguatan sumberdaya manusia adalah perubahan paradigma masyarakat pembudidaya dalam memandang usaha budidaya itu sendiri. Hal ini menguatkan faktor persepsi masyarakat sebagai faktor prioritas kedua yang dipandang penting dalam pencapaian tujuan pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan. Persepsi masyarakat dalam kontek penelitian ini adalah pola pikir masyarakat yang meliputi level manajemen (pemerintah, legislatif) hingga level operasional (pembudidaya, pedagang).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penetapan visi Kabupaten Konawe Selatan sebagai kabupaten minapolitan perlu sejalan dengan paradigma masyarakat Konawe Selatan bahwa titik tumpu ekonomi terletak pada sumberdaya pesisir yang salah satunya adalah kawasan tambak. Program pemerintah sebaiknya difokuskan pada penguatan pola pikir masyarakat untuk mengoptimalkan sumberdaya pesisir yang dimiliki untuk pencapaian visi sebagai kabupaten minapolitan. Kenyataan yang ada belum sepenuhnya mendukung visi tersebut. Pembukaan secara masif pertambangan nikel ditemukan pada beberapa wilayah di Konawe Selatan yang ternyata sudah dirasakan dampak negatifnya oleh pembudidaya rumput laut di pesisir Tinanggea. Kebijakan pembukaan lahan tambang seharusnya dipertimbangkan mengingat visi kabupaten minapolitan telah ditetapkan bukan sebagai kabupaten nikelpolitan.

Keunggulan wilayah Kabupaten Konawe Selatan dapat dilihat dari potensi luasan pesisir yang tercantum dalam laporan Bappeda Kabupaten Konawe Selatan (2013) yaitu luas perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan sekitar 11.960 km, membentang dari Teluk Starling yang berbatasan dengan Teluk Kendari sampai ke arah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, Kabupaten Muna dan sebelah Barat dengan Kabupaten Bombana. Panjang garis pantai Kabupaten Konawe Selatan adalah 388,7 km untuk wilayah daratan dan 32,4 km untuk wilayah pulau-pulau kecil.

Dalam konsepsi minapolitan perlu dikembangkan kawasan minapolitan untuk meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan keunggulan komparatif dan kompetitif daerah sesuai dengan eksistensi kegiatan pra produksi, produksi, pengolahan dan/atau pemasaran secara terpadu, holistik, dan berkelanjutan (Permen KP no 18/2011). Dengan demikian, secara kewilayahan, potensi Kabupaten Konawe Selatan memadai untuk dikembangkan sesuai kabupaten minapolitan.Selain itu, komponen struktur ekonomi masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan masih didominasi sektor pertanian (periode 2005-2009), hal ini ditunjukkan oleh peran sektor pertanian dalam arti luas yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan yaitu mencapai 42,99 persen (Bappeda Kabupaten Konawe Selatan, 2010). Dengan demikian penguatan persepsi masyarakat untuk mendukung visi kabupaten diperlukan dalam penyusunan program kerja pemerintahan.

Faktor kesesuaian lahan merupakan faktor prioritas ketiga yang dianggap penting untuk pengembangan kawasan tambak. Hal ini memang merupakan faktor penting dalam usaha budidaya secara umum. Pengembangan perikanan budidaya telah mensyaratkan faktor kesesuaian lahan menjadi faktor primer yang wajib dipertimbangkan sebelum memulai usaha budidaya. Salah satunya yaitu konsensus perikanan budidayaberkelanjutan yang dikeluarkan oleh Commission of The European Communities (2005) bahwa informasi tentang fisika, kimia, sosial ekonomi, aspek konservasi dan dampak visual harus dipertimbangkan dalam pemilihan lahan usaha perikanan budidaya. Selain itu ditegaskan bahwa kesesuaian lahan umumnya dianalisis dengan informasi pemodelan menggunakan Sistem Informasi Geografis yang dapat membandingkan data spasial dan model meliputi aspek lingkungan, sosial ekonomi, visual, multi pengguna dan konservasi termasuk potensi konflik penggunaan lahan.

(6)

Terkait dengan pengembangan kawasan budidaya tambak, maka Kabupaten Konawe Selatan perlu merumuskan program kerja pengembangan kawasan tambak dengan mengacu kepada standar nasional dan memperhatikan isu internasional lainnya. Program utama yang perlu dirumuskan adalah program pemetaan kawasan tambak untuk mengetahui kesesuaian lahan pengembangan budidaya perikanan, target jenis komoditas sesuai karakteristik lahan dan tingkat teknologi yang akan diaplikasikan.

Gambar 3 menunjukkan nilai bobot kegiatan-kegiatan yang telah disusun berdasarkan sasaran dan faktor yang ditampilkan pada Gambar 1. Hasil pembobotan secara hirarki menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan dan percontohan budidaya di tambak (nilai bobot: 0,396) menjadi prioritas utama program kerja atau dapat dijadikan indikator kinerja utama (IKU) pemerintah Kabupaten Konawe Selatan. Selain itu kegiatan penyediaan skema modal bergulir (nilai bobot: 0,190) dan pengembangan distribusi hasil budidaya (nilai bobot: 0,181) dapat menjadi prioritas kegiatan selanjutnya.

Sunoto (2012) menyebutkan bahwa bentuk pelatihan sumberdaya manusia merupakan pelatihan untuk memperkuat standar kompetensi yang mendukung pencapaian tujuan produksi perikanan. Penguatan pelatihan sumberdaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan dengan materi yang sesuai untuk kebutuhan pembudidaya.Selain itu bentuk kegiatan pelatihan dan percontohan harus dilakukan berdasarkan kebutuhan pembudidaya secara terintegrasi. Hal ini telah dikemukakan oleh De Silva et al. (2001) bahwa pelatihan untuk sumberdaya manusia perikanan budidaya meliputi semua komponen dari level pembudidaya hingga pengambil kebijakan (pemerintah/legislatif) dengan menyesuaikan pada kebutuhan masing-masing komponen tersebut. Kebutuhan penguatan pelatihan dan pendidikan bagi sumberdaya manusia perikanan budidaya disajikan pada Gambar 4.

Kegiatan lainnya yang dapat dijadikan IKU adalah penyediaan skema modal bergulir bagi pembudidaya. Prinsip penyediaan akses modal bagi pelaku perikanan (nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasar hasil perikanan) skala mikro telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.20/MEN/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan. Peraturan ini didasari oleh keinginan pemerintah untuk membuka kran usaha perikanan skala mikro yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum. Struktur lembaga yang disarankan pada peraturan tersebut memang masih berada pada level Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun setidaknya dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan untuk mengembangkan pola sejenis untuk pengembangan usaha budidaya tambak. Hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam persyaratan kawasan minapolitan yang salah satunya adalah terdapatnya jaringan usaha produksi, pengolahan dan pemasaran yang aktif.

Gambar 3. Nilai pembobotan alternatif kegiatan terkait pengembangan budidaya perikanan di kawasan tambak Kabupaten Konawe Selatan

Model Name: Opsi Program Pengembangan Kawasan Tambak di Konawe Selatan

Synthesis: Summary

Combine instance -- Synthesis with respect to: Goal: Opsi Program Pengembangan Kawasan Tambak di Kab Konawe Selatan

Overall Inconsistency = ,16

Pelatihan dan percontohan budidaya di tambak ,396 Penyediaan skema modal bergulir ,190 Mengembangkan distribusi hasil budidaya ,181 Koordinasi antar instansi terkait dalam pengembangan budidaya ,082 Penyediaan sarana produksi tambak ,070 Pembangunan sarana dan prasarana ,056 Pengembangan budidaya tambak berwawasan lingkungan ,025

(7)

Gambar 4. Kebutuhan penguatan pelatihan dan pendidikan bagi sumberdaya manusia perikanan budidaya (Sumber: De Silva et al., 2001)

Dari uraian diatas, maka dapat dikelompokkan kegiatan-kegiatan prioritas yang disusun berdasarkan faktor prioritas hasil pembobotan dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan kawasan budidaya tambak di Kabupaten Konawe Selatan (Gambar 5).

KESIMPULAN

Pencapaian visi Kabupaten Konawe Selatan sebagai kabupaten minapolitan perlu memperhatikan pengembangan kawasan tambak sebagai titik tumpu perekonomian daerah. Penyusunan faktor dan sasaran kegiatan secara hierarki untuk mendapatkan prioritas opsi menunjukkan tiga faktor prioritas yang terpenting: faktor penguatan aspek sumberdaya manusia , faktor perubahan pola pikir (persepsi)

Gambar 5. Skema program kegiatan pengembangan kawasan tambak di Kabupaten Konawe Selatan

(8)

masyarakat, dan faktor kesesuai lahan kawasan tambak. Faktor strategis tersebut dapat dipandang sebagai output yang akan dicapai. Secara operasional dari hasil pembobotan didapatkan opsi program kegiatan yang dapat dijadikan indikator kinerja utama oleh pemerintah daerah Kabupaten Konawe Selatan. Opsi program kegiatan tersebut yaitu pelatihan dan percontohan budidaya tambak secara holistik (dari aspek teknis hingga aspek bisnis); penyediaan skema modal bergulir atau skema mikro finance dan pengembangan distribusi hasil budidaya yang tertuang dalam bentuk peta kawasan bisnis perikanan budidaya pesisir.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kegiatan penelitian dan penyusunan makalah ini, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Konawe Selatan beserta staff, para responden, pembudidaya yang telah membantu dalam pengumpulan data dan diskusi terkait tujuan penelitian ini. Selain itu disampaikan terima kasih kepada Kepala BPPBAP Maros dan Prof Akhmad Mustafa atas kepercayaan dan kesempatan dalam melakukan penelitian ini sebagai bagian dari penelitian pada KELTI Sumberdaya dan Lingkungan Perikanan Budidaya BPPBAP Maros.

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2013. Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Selatan 2013-2033.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe Selatan. 2010. Konawe Selatan dalam Angka 2010. BPS Kabupaten Konawe Selatan, 290 hlm.

Bappeda Kabupaten Konawe Selatan. 2010. Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2011. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Konawe Selatan.

Bappeda Kabupaten Konawe Selatan. 2013. Profil Investasi Konawe Selatan 2013. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Konawe Selatan.

Commission of The European Communities. 2005. Consensus Sustainable Aquaculture in Europe: Defining Indicators For Sustainable Aquaculture in Europe. A Multi Stakeholders Workshop held in Oostende Belgium, November 21-23, 2005, 118 pp.

De Silva, S.S., Phillips, M.J., Sih, Y.S., & Zhou, X.W. 2001. Human Resources Development For Sustainable Aquaculture In The New Millennium, Plenary Lecture IV. In R.P. Subasinghe, P. Bueno, M.J. Phillips, C. Hough, S.E. McGladdery & J.R. Arthur, eds. Aquaculture in the Third Millennium. Technical Proceedings of the Conference on Aquaculture in the Third Millennium, Bangkok, Thailand, 20-25 February 2000. pp. 43-48. NACA, Bangkok and FAO, Rome.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan.

Mendoza, G.A., Macoun, P., Prabhu, R., Sukadri, D., Purnomo, & Hartanto, H. 2006. Panduan untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan Indikator. Centre for International Forestry Research (CIFOR), Jakarta, 77 hlm.

Mustafa, A. 2012. Daftar pertanyaan atau kuisioner untuk penentuan prioritas kebijakan pengembangan budidaya tambak dengan Analytic Hierarchy process (AHP). Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, 9 hlm.

Nawang, A., Tahe, S., Supriyadi, H., Trismawanti, I., & Rachmansyah. 2012. Pemasyarakatan IPTEK Budidaya Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) Sistem Tradisional Plus di Barru, Sulawesi Selatan. Prosiding Indo Aqua Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Jakarta, hlm. 65-76.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. PER.05/MEN/2009 tentang Skala Usaha di Bidang Pembudidayaan Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. PER.20/MEN/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. PER.12/MEN/2010 tentang Minapolitan.

Saaty, T. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analisis Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks (terjemahan dari judul Decision Making for leaders : The

(9)

Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World). PT. Gramedia. Jakarta, 270 hlm. Sunoto. 2012. Kebijakan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan: Ide, Konsep dan Penerapan. Paparan

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 22 Mei 2012.

Teknomo, Kardi., Siswanto, H., & Yudhanto, S.A. 1999. Penggunaan Metode Analytic Hierarchy Process Dalam Menganalisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Moda Ke Kampus. Dimensi Teknik Sipil Volume 1, No. 1 Maret 1999 (31-39). Universitas Kristen Petra.

Gambar

Gambar  1. Tampilan  Hierarki  penentuan  opsi  program  pengembangan  tambak  di Kabupaten  Konawe  Selatan
Gambar  4. Kebutuhan penguatan pelatihan dan pendidikan bagi sumberdaya manusia perikanan budidaya (Sumber:  De Silva  et al.,  2001)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perbaikan pembelajaran Matematika pada siswa kelas I SD Negeri 006 Terpadu Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar dengan menggunakan

Tangga utama yang terdapat pada gedung ini memiliki ukuran yang lebih luas dibandingkan ukuran tangga darurat, selain itu tangga utama juga dapat digunakan sebagai jalur

Langkah-langkah Penerapan Metode Eksperimen Adapun langkah-langkah dalam menggunakan metode eksperimen yang dirancang penulis yaitu:(a) Menyiapkan materi pembelajaran,

instansi terkait seperti diadakannya pembinaan/penyuluhan kelompok tani, memberikan pemahaman kepada petani akan pentingnya pembuatan teras untuk setiap lahan yang

Hasil pengujian di tiga lokasi dan pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa buncis tegak Balitsa 1, Balitsa 2, dan Balitsa 3 mempunyai keunggulan- keunggulan sebagai berikut:

Pada contoh The boy unlock a door at the end of the hall, subjek dan objek kalimat merupakan frasa nomina yang terdiri dari boy, door berkelas kata atau

Berbeda dengan yang terjadi di Amerika Utara dan Eropa yang menghabiskan hutan alam (virgin forest) pada awal pembangunan (PASPI, 2020) sehingga berimplikasi pada

Formulir Pemesanan Pembelian Unit Penyertaan beserta bukti pembayaran dan fotokopi bukti jati diri yang diterima secara lengkap dan disetujui oleh Manajer Investasi atau Agen