88
KONSEP ULUM AL-QUR`AN
DALAM PANDANGAN MUHAMMED ARKOUN
Oleh : Muh. Syuhada Subir
Abstrak
Arkoun salah satu pemikir dan ilmuan muslim kontemporer yang menuangkan pemikirannya dalam bidang studi al-Qur`an. Diantara tema yang dikritisinya dalam bidang studi al-Qur`an adalah bagaimana mengkaji al-Qur`an saat ini, metode apa yang relevan digunakan dalam mengkaji al-Qur`an, serta sisi kei‟jazan Qur`an. Dalam pengkajian Qur`an Arkoun menawarkan agar al-Qur`an di perlakukan sebagaimana perlakuan para orientalis dalam mengkaji Bibel, sedangkan dalam hal metode penafsiran Arkoun menghindari tafsir yang berorientasi pada keyakinan dan mengarahkan umat islam pada teologi sekuler, adapun terkait kei‟jazan al-Qur`an Arkoun mengajukan dua pendekatan dalam merekontruksi sistem pengertian yang menguasai hubungan antara persepsi dan kata hati dalam al-Qur`an seperti pendekatan leksikal dan sastra.
Kata Kunci : Arkoun, i’jaz, al-Qur`an
Pendahuluan
Islam merupakan agama atau ajaran yang memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap penggunaan akal (aql) dalam berfikir. Bentuk apresiasi ini dapat ditemukan dalam al-Qur`an berupa gugahan Allah SWT atas penggunaan akal dalam berfikir, baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk pertanyaan. Ungkapan-ungkapan pernyataan maupun pertanyaan Allah SWT dalam firmannya antara lain : “laa ya‟qiluun, laa yafqahuun, afalaa ya‟qiluun, dan afalaa yatadabbaruun”. Bahkan al-Qur`an mengecam terhadap orang-orang yang tidak memaksimalkan potensi nalar tersebut dengan memposisikan mereka sederajat atau lebih rendah dari kelas binatang, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-A‟raf, 07 : 179 yang artinya :
“Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai
89
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai."1 (Q.S.Al-A‟raf, 07 : 179)
Mertujuk pada pernyataan, pertnyaan dan ayat diatas, maka sudah selayaknya kaum muslimin sebagai pengemban misi al-Qur`an untuk selalu memaksimalkan potensi aql (akal) dan terus berusaha melakukan terobosan dalam rangka melakukan pengembangan sistem atau kerangka epistemologi berfikir.
Salah satu tokoh kontemporer yang dipandang memberikan kontribusi dan wawasan baru dalam kerangka berfikir saat ini adalah Mohammed Arkoun seorang pemikir Islam modern dari Al-Jazair. Pada dasarnya gagasan Arkoun merupakan hasil pemikiran kritisnya yang menjadikan nalar keagamaan sebagai objek kritikannya. Hal tersebut terpresentasikan pada nalar keislaman, seperti dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1984 dalam bahasa Prancis, dengan
judul “Pour Une Critique de la Raison Islamique”.2
Tulisan pendek ini akan memaparkan tentang kajian Ulum al-Qur`an dalam pandangan Muhammed Arkoun yang meliputi bagaimana mengkaji al-Qur`an dan metode penafsiran al-al-Qur`an.
A. Pengertian Ulum Al-Qur`an
Ulum al-Qur`an merupakan salah satu disiplin ilmu dalam kajian keislaman. Istilah ulum al-Qur`an berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “al-Qur`an”. Term ulum merupakan bentuk jamak dari
kata „ilm yang berarti ilmu-ilmu3, sedangkan term al-Qur`an merupakan kitab suci
yang ditrunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menurut pengertian ulama adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk menjadi mukjizat dengan surat-surat didalamnya, atau kalam Allah yang berupa mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bahasa
1
Kementerian Agama, Al-Qur`an dan Terjemah New Cordova, Syaamil Qur`an, Bandung, Cet. I. 2012, h. 174
2
Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur`an, Terj. M. Faisol Fatawi, LKIS, Yogyakarta, Cet. II. 2003, h. 87
3
M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur`an, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. IV, 2008, h. 39
90
Arab, yang sampai kepada manusia secara mutawatir, serta tertulis dalam bentuk
mushaf, yang suratnya dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.4
Kata ulum yang tersandarkan pada kata al-Qur`an memberikan indikasi pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an, baik dari segi keberadaannya sebagai al-Qur`an maupun dari segi pemahamannya sebagai petunjuk yang terkandung di dalamnya. oleh sebab itu, ilmu tafsir, qiro`at, rasm al-Qur`an, ilmu i‟jaz al-Qur`an, asbab al-nuzul, serta ilmu-ilmu lainnya yang berhubungan dengan al-Qur`an merupakan bagian dari
ulum al-Qur`an.5
Para ulama yang berkompeten dibidang ulum al-Qur`an memberikan definisi yang komprehensif akan istilah ulum al-Qur`an, antara lain adalah :
1. Imam Al-Zarqoni memberikan definisi :
م
ةيحاً يه نيركلا ىآرقلاب قلعتت جحاب
َتءارقو َتباتكو َعوج و َبيترتو َلوسً
عفزو َذىسٌهو َرساًو ٍزاجعإو ٍريسفتو
كلش ىحً و ٌَع َبشلا
6Artinya : “Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur`an
al-Karim dari segi turunnya, tata urutan (surat-surat dan ayat-ayat), pengumpulannya, penulisannya, qiro`atnya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh-mansukhnya, dan bantahan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan terhadapnya, dan lain sebagainya.
2. Imam Al-Suyuthi mendefinisikannya dengan :
نلع
يه سيسعلا باتكلا لاىحأ يع َيف جحبي
َيًاعهو َظافلأو َبازآو ٍسٌسو َلوسً ةهج
كلش ريغ و ماكحلأاب ةقلعتولا
4Al-Suyuthi, Ilm Al-Tafsir, Haramain, h. 11, Lihat juga Muhammad „Alawi al-Maliki, Al-Qawa‟id al-Asasiyyah fi „Ulum al-Qur`an, h. 5, dan M. Quraish Shihab dkk., Sejarah
dan Ulum Al-Qur`an ... h. 39
5
A. Syadali dan A. Rofi‟i, Ulumul Qur`an I, Bandung, Pustaka Setia, Cet. II, 2000, h. 11
6
Imam Abdul „Adzim Al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi „Ulum al-Qur`an, Juz I, Bairut, Dar Al-Fikr, 1988, h. 27
91
Artinya : “Ilmu yang membahas tentang berbagai keadaan kitab suci
al-Qur`an dari sisi turunnya, sanadnya, adabnya, lafadz-lafadznya, makna-maknanya yang berhubungan dengan hukum, dan hal-hal yang lainnya.”7
3. Manna‟ Khalil al-Qaththan mendefinisikan :
ةقلعتولا ثاحبلأا لواٌتي يصلا نلعلا
عوجو لوسٌلا بابسأ ةفرعه جيح يه ىآرقلاب
يًسولاو يكولا ةفرعهو َبيترتو ىآرقلا
َباشاتولاو نكحولاو خىسٌولاو دساٌلاو
ىآرقلاب ةلص َل اوه كلش ريغ يلإ
8Artinya : “Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan al-Qur`an dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat, pengumpulan al-Qur`an, urutan (surat dan ayat), pengetahuan tentang ayat Makkiyah dan Madaniyah, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabih, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan al-Qur`an”.
Ketiga definisi diatas antara satu dengan lainnya pada dasarnya sama dan saling melengkapi, yakni sama-sama menunjukkan bahwa ulum al-Qur`an merupakan kumpulan sejumlah pembahasan yang menjadikan al-Qur`an sebagai objek pembahasannya, sekaligus menunjukkan bahwa pembahasan terkait ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an sangat luas, dimana masing-masing cabang ilmu tersebut pada perkembangannya dapat menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat berdiri sendiri.
Problematika Ulum al-Qur`an dalam Pandangan Arkoun
Dalam kajian ulum al-Qur`an menurut Arkoun ada beberapa hal yang perlu perhatian dan kajian lebih lanjut, yaitu :
1. Bagaimana mengkaji al-Qur`an
Al-Qur`an merupakan kitab yang bila dikaji terus menerus tidak akan perna ada ujungnya, hal inilah yang menjadi daya tarik yang dimiliki
7
A. Syadali dan A. Rofi‟i, Ulumul Qur`an I, ... h. 14
8
Manna‟ Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi „Ulum Qur`an, Beirut, Al-Syarikah al-Muttahidah, 1997, h. 15
92
oleh al-Qur`an yang sekaligus menjadi perangsang bagi setiap orang yang memiliki semangat kritis untuk mengkajinya. Namun yang menjadi perhatian adalah setiap kajian yang dilakukan masih sangat terpangaruh oleh motif dan tujuan orang yang mengkajinya. Akan tetapi bagi umat islam, pengkajian terhadap al-Qur`an merupakan suatu keniscayaan, karena melalui proses tersebut mereka akan mampu menangkap pesan dan informasi Tuhan sebagai bentuk hidayah yang pada gilirannya menjadi pedoman mutlak untuk dibumikan dalam kehidupan sehari-hari.
Arkoun sebagai seorang ilmuan dan pemikir, secara moral merasa memiliki tanggung jawab untuk mengelaborasi dan mengkaji al-Qur`an sebagai bentuk mu‟amalah bi al-Qur`an (berinteraksi dengan al-Qur`an), ia juga berusaha untuk melakukan pengkajian terhadap al-Qur`an. Dalam pemahaman Arkoun, al-Qur`an merupakan salah satu naskah berjangkauan universal yang sampai saat ini masih kurang bisa dipahami, meski sudah terdapat berbagaia ragam alih bahasa dilakukan. Pandangannya tersebut dikemukakan berpijak pada realita masyarakat Prancis yang ia amati. Dari realita tersebut, Arkoun pun secara tegas menegaskan bahwa wajar jika mereka masih menggunakan gagasan-gagasan sederhana, bahkan
prasangka-prasangka sekuler.9
Arkoun bahkan menambahkan bahwa bagi jiwa modern yang terbiasa (berfikir) dengan mengedepankan nalar (pembuktian), evolusi, paparan dan kisah dari naskah-naskah yang disusun dengan kerangka yang ketat, maka al-Qur`an secara khusus memang membosankan. Hal tersebut dikarenakan penampilannya yang tidak sistematis (teratur), pemakaian wacana yang tak lazim, melimpah ruahnya berbagai perumpamaan legenda, historis, geografis dan religius, berbagai pengulangan, dan berbagai ke-tak terikat-annya antar satu sama lainnya. Dengan kata lain, karena pertanda-pertanda tersebut hampir tidak lagi mendapatkan dukungan-dukungan nyata, baik dari prosedur-prosedur intelektual kita maupun dari lingkungan fisik,
sosial, ekonomi dan moral kita.10
9
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur`an, terj. Hidayatullah, Bandung, Pustaka, 1998, h. 44
10
93
Menurut Arkoun penilaian tersebut muncul karena ketidak mampuan untuk memasuki alam al-Qur`an seiring dengan perubahan mental yang menimpa kemanusiaan sejak memasuki era industri. Bahkan kalangan muslim sendiri semakin terkungkung dalam letidak mampuan itu, karena mereka menderita berbagai kerusakan ideologis-agama-agama modern-yang melegalkan segala pengorbanan demi pertumbuhan ekonomi. Motivasi duniawi yang profane tersebutlah yang pada akhirnya menggusur motivasi religius.11
Menyaksikan gejala tersebut, Arkoun berusaha mengemukakan permasalahan primordial yang harus dipecahkan oleh wacana aktual al-Qur`an, yaitu bagaimana mengkaji kitab teersebut dewasa ini ? apakah harus menghimpun berbagai karya besar untuk menghidupkan kembali-ketika dilakukan suatu kajian-berbagai makna yang tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari kita ? mungkinkah orang mencapai kerangka analisa konseptual satu-satunya dan mempersempit Kalam Tuhan sebagai suatu dokumen sederhana yang dapat dibaca oleh filolog dan menarik bagi sejarawan pemikiran ? apakah tetap perlu mempertimbangkan bahwa al-Qur`an hanya merupakan kitab kalangan muslim dan setidaknya, non muslim akan membukanya dengan simpati dan toleransi tanpa peduli pada sebutan apapun
yang secara langsung diucapkan dengan sengit ?12
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikemukakan Arkoun dikarenakan dalam pandangannya bahwa studi al-Qur`an masa kini sangat ketinggalan
jauh bila dibandingkan dengan studi Bibel (Al-Kitab).13 Selanjutnya Arkoun
berpendapat bahwa segala hal yang dapat dibaca tentang karya tulis muslim, hanyalah berbagai pembenaran ulang yang penuh semangat atas karakter yang benar, abadi, sempurna dari Risalah yang diterima dan disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. yang diistilahkan oleh Arkoun dengan “Apologi
Defensif” yang jauh lebih rendah mutunya bila dibandingkan dengan
khazanah klasik. Dan pada gilirannya hal tersebut menyebabkan Kalam 11 Ibid., h. 45 12 Ibid. 13
Muhammad Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London : Saqi Book, 2002, h. 45
94
Tuhan menjadi kontradiktif dengan berbagai kenyataan dalam masyarakat masa kini. Arkoun melihat bahwa Kalam Tuhan hanya dihormati namun diputarbalikkan oleh kalangan muslim sendiri, kemudian dipersempit oleh
karya para orieentalis pada tingkat peristiwa budaya yang sederhana.14
Arkoun menawarkan suatu tuntutan sikap seperti apa yang terjadi pada tulisan-tulisan suci dalam kalangan ahli Kitab. Ia menghimbau kepada segenap pembaca al-Qur`an untuk mengkaji al-Qur`an sesuai dengan kaidah-kaidah metode yang dapat diterapkan pada setiap naskah agung doktrinal dan mapan. Dalam penawaran gagasannya tersebut, ada dua tujuan utama yang menjadi target Arkoun, yaitu : pertama, untuk membebaskan makna dari apa yang disebut sebagai sacra doctrina dalam islam dengan menyerahkan naskah Qur`ani dan semua naskah yang-dalam sejarah pemikiran islam-telah berusaha menerangkannya pada suatu ujian kritik diri dalam rangka meniadakan berbagai kekaburan, menjelaskan berbagai kekeliruan, penyimpangan dan kekurangan serta mengarahkannya pada berbagai ajaran yang tetap benar. Kedua, untuk merumuskan suatu kriteriologi dimana berbagai motif yang dianalisa dapat dikemukakan oleh intelegensi kontemporer, baik untuk menyangkal maupun untuk mempertahankan
berbagai konsepsi yang dikaji.15
Penelitian makna yang telah berlangsung selama ini telah terperangkap dalam ilusi tindakan konyol perumusan makna benar (kata) al-Qur`an. Akibat dari hal tersebut adalah penelitian makna dewasa ini harus mulai mendemistifikasikan berbagai interpretasi yang bertubi-tubi dengan melepaskan sekumpulan arti asal dari berbagai endapan segenap entitas yang dipermainkan oleh pemikiran spekulatif. Dan orang sudah berupaya untuk menggantikan suatu metode dari pelecehan tersebut dengan metode “objektif” yang hanya merupakan suatu dogmatisme terselubung belaka. Dan pelecehan seperti itu tidak boleh ditujukan kepada Risalah Qur`ani yang “selalu terbukauntuk dinalar”, namun harus ditujukan kepada segala keinginan untuk membakukan maknanya dengan suatu cara definitiv. Oleh sebab itu betolak dari suasana spritual dan intelektual yang muncul pada paruh abad ke-20,
14
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur`an..., h. 46
15
95
Arkoun menawarkan pengkajian yang harus mencakup tiga momentum :
pertama, momentum linguistik yang akan menopang untuk mengungkapkan
suatu tatanan yang terpendam dibawah dibawah suatu ke-takteratur-an yang gamblang; kedua, momentum antropologis yang akan konsisten dalam mengenali kembali bahasa struktur mistis di dalam al-Qur`an; ketiga, momentum historis dimana jangkauan dan batas-batas penafsiran logika-leksikografis dan penafsiran imajinativ yang diupayakan oleh kalangan
muslim.16
2. Metode Penafsiran Al-Qur`an
Dalam hal menafsirkan al-Qur`an, Arkoun juga menawarkan gagasan “bagaimana menfasirkan al-Qur`an?”. Dalam membuat bangunan metode penafairan al-Qur`an, Arkoun terlebih dahulu membuat klasifikasi wahyu (al-Qur`an) kedalam dua bagian, yaitu : Pertama, wahyu (al-Qur`an) yang tersimpan di lauh al-mahfudz. Wahyu dalam klasifikasi ini bersifat kebenaran tertinggi, abadi, dan tidak terikat oleh waktu dan manusi tidak dapat menjangkaunya; Kedua, wahyu yang diwujudkan dalam bentuk teks. Wahyu dalam klasifikasi kedua ini Arkoun menyebutkannya dengan edisi
dunia, dan telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.17
Selanjutnya Arkoun membuat kesimpulan atas penafsiran klasik dibangun dengan delapan prinsip : pertama, Tuhan ada. Dia (Tuhan) ada dengan sendirinya, manusia hanya dapat membicarakan-Nya secara memadai makna dalam istilah-istilah telah Dia gunakan di dalam kalam-Nya; kedua, Dia (Tuhan) telah berbicara kepada segenap manusia dalam bahasa Arab, untuk yang terakhir kali dan melalui perantaraan Nabi Muhammad saw;
ketiga, Kalam-Nya dihimpun dalam sebuah korpus otentik yaitu al-Qur`an; keempat, Kalam-Nya menyatakan segala hal tentang adanya manusia, adanya
alam, situasi manuisia di dunia dan eksistensinya, takdir manusia, dan lain-lain sebagainya; kelima, segala yang dikemukakan adalah kebenaran tunggal dan kebenaran mutlak; keenam, manusia bisa dan harus memastikan kebenaran tersebut dengan mengacu generasi saksi; ketujuh, meninggalnya
16
Ibid., h. 49
17
96
Nabi telah mengurung segenap orang beriman dalam suatu lingkaran hermeneutika; dan kedelapan, tata bahasa. Filologi, retorika dan logika mengajarkan manusia berbagai teknik untuk memahami makna dan memproduksi makna.
Setelah mengurai prinsip-prinsip penafsiran klasik, Arkoun mengemukakan gagasannya dalam kegiatan penafsiran al-Qur`an yang tertuang dalam lima prinsip, yaitu : pertama, manusia adalah problen konkrit bagi dirinya; kedua, pengetahuan yang memadai tentang yang nyata (alam semesta, makhluk hidup, makna dan lainnya, merupakan tanggung jawab manusia; ketiga, pengetahuan itu-dalam momentum sejarah dan eksistensi ruang manusia-adalah suatu upaya dalam mengatasi berbagai kendala biofisik, ekonomis, linguistik yang membatasi kondisi manusia dari hidup dan juga kematian, berbicara, politik, sejarah, dan ekonomi; keempat, pengetahuan itu merupakan jalan keluar yang diulang-ulang-jadi resiko permanen-diluar kungkungan yang cenderung membangun segala tradisi budaya setelah tahap pembentukan yang mendalam; kelima, jalan keluar tersebut sekaligus sepadan dengan isyarat spritual dari berbagai mistik yang tidak dikuatkan dalam tahap manapun sepanjang perjalanan (suluk) menuju Tuhan dan sepadan dengan penolakan epistemologis dari peniliti militan yang
menyatakan bahwa semua wacana ilmiah adalah perhinggaan sementara.18
Berlandaskan pada kelima prinsip dalam penafsiran al-Qur`an yang digagasnya, Arkoun mengidentifikasi ada tiga bentuk prosedur dalam penafsiran al-Qur`an, yaitu :
a. Penafsiran Historis-Antropologis
Bentuk penafsiran ini merupakan kajian yang menghubungkan al-Qur`an dengan lingkungan pada saat wahyu turun. Dalam bentuk penafsiran ini, Arkoun mengklasifikasikan sejarah al-Qur`an ke dalam dua periode :
pertama, periode pewahyuan atau periode formatif. Periode ini meliputi
periode pewahyuan di Mekkah dan Madinah (610-632). Pada periode ini al-Qur`an disampaikan secara lisan kepada para sahabat yang oleh Arkoun disebut sebagai diskursus kenabian (al-Kitab al-Nabawi); kedua,
18
97
penulisan dan pembukuan pada Usman bin Affan yang disebutnya sebagai Corpus tertutup resmi (al-Nash al-Rasmi al-Mighlaq). Dari periodisasi sejarah al-Qur`an yang diungkapkannya tersebut, Arkoun menegaskan dua hal yaitu : pertama, al-Qur`an pada periode lisan (diskursus kenabian) lebih suci, lebih autentuk dan lebih dapat dipercaya karena al-Qur`an terbuka untuk semua arti; dan kedua, al-Qur`an pada periode kedua (bentuk mushaf) yang ditulis melalui pena tangan manusia diatas kertas telah mengurangi status al-Qur`an yang bersifat ketuhanan menjadi sebuah kitab dunia, dan mushaf ini tidak layak mendapatkan status kesucian.
b. Penafsiran Linguistik, Semiotika dan Literer
Bentuk penafsiran ini menurut Arkoun merupakan penafsiran yang menjelaskan bahwa al-Qur`an terdiri dari kata-kata yang mengacu pada figur-figur sejarah tertentu. Dia juga menjelaskan bahwa bahasa secara umum dan bahasa al-Qur`an secara khusus terdiri dari sign (tanda) dan simbol-simbol. Dari sisi ini Arkoun mendeskripsikan al-Qur`an sebagai komposisi sign dan simbol-simbol yang mampu memberi semua arti dan terbuka untuk siapa saja dan tidak ada penafsiran yang dapat
melemahkan teks yang ditafsirkan.19
c. Penafsiran Teologis Religius
Menurut Arkoun jika seseorang terus menganggap al-Qur`an sebagai sebuah teks dari Tuhan secara transendental, orang hanya akan berakhir pada masalah-masalah yang lebih bersifat teologis. Dalam bentuk penafsiran ini Arkoun mengungkapkan dua ciri dari penafsiran tersebut, yaitu : pertama, segala jenis penafsiran yang berorientasi pada keyakinan; dan kedua, karya tafsir monumental yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah tradisi yang hidup. Dari pandangannya tersebut, menunjukkan bahwa Arkoun menghindari tafsir yang berorientasi pada keyakinan dan mengarahkan umat islam pada
teologi sekuler dengan dogma-dogma sekuler yang buatnya.20
19
Majalah Islamiyah, ..., h. 24
20
98 3. Mukjizat Al-Qur`an
Dalam pandangan Arkoun pengkajian tentang i‟jaz telah mengundang beberapa disiplin keilmuan. Hal ini menimbulkan beragam pandangan, dan pada waktu yang sama kelemahan dari sebuah teori muncul disebabkan kebingungan pada tingkat linguistik, teologi, psikologi dan sejarah. Dalam hal ini Arkoun menjelaskan dua permasalahan, yaitu : hubungan antara persepsi dengan kata hati dalam al-Qur`an dan fungsi
kognitif tentang keajaiban (merveilleux).21
Arkoun mengajukan dua pendekatan dalam merekontruksi sistem pengertian yang menguasai hubungan antara persepsi dan kata hati dalam al-Qur`an seperti pendekatan leksikal dan sastra. Dalam menggambarkan leksikal, pertama-tama Arkoun menganalisa ketiadaan dasar-dasar leksikal tertentu dengan keajaiban seperti khrf (mengigau, meracau) yang menurunkan kata khurafa, cerita fabel, sybh yang menurunkan kata syabah: bayangan;
whm: kemampuan menggambarkan abstraksi, bangunan imajiner, shwr:
penggambaran imaji, yang menurunkan kata mushawwirah: imajinasi dan
lain-lain.22 Selanjutnya Arkoun menunjukkan bagaimana kosa kata tempat
dan waktu sering dijumpai dalam al-Qur`an, seperti kata ard (bumi) dan
sama‟ (langit) yang maasing-masing disebut dalam al-Qur`an sebanyak 451
kali dan 310 kali, „alamiin 73 kali, bahr (laut) 42 kali, syams (matahari) 33 kali, qamar (bulan) 72 kali, najm (bintang) 13 kali, jabal (gunung) 39 kali,
balad (negeri) 18 kali, dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut Menurut Arkoun
memiliki sign (tanda) dan simbol yang mampu memecahkan fungsi semantik
bahasa arab.23
Arkoun juga mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur`an untuk berbagai fungsi dan membaginya kedalam kosa kata yang berbeda-beda. Selanjutnya Arkoun mengambil pelajaran dari kata-kata yang mempunyai hubungan antara persepsi dan kata hati seperti terlihat dalam uraian pandangannya berikut ini :
21
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur`an..., h. 101
22
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur`an..., h.152
23
99
a. Jangkauan psikolinguistik kosa kata persepsi (B) secara ketat sangat tergantung pada berbagai determinasi psikologis dan berbagai prilaku yang ditentukan oleh kosa kata iman (A), dengan kata lain organ-organ dan berbagai mekanisme persepsi adalah pendukung yang penting dalam formasi dan penempaan kesadaran orang beriman. Oleh karena itu semua istilah-istilah yang berhubungan dengan makna (mata, telinga, kesilauan, kebisuan, dan lainnya) sangat kerap, namun secara teratur digunakan dengan suatu nilai metaforis
b. Pemutusan dengan tuntutan-tuntutan iman dimulai sejak berbagai sikap yang diungkapkan oleh kosa kata penentangan (C) muncul. Pemutusan ini dipergunakan pada tingkat kosa kata kekufuran (D). Hal ini menandakan non-persepsi, dengan penolakan yang disengaja atas nama tanda isi kata yang lainyang ada kaitannya dengan alam. Kosa kata tentang penentangan dan tidak percayaan ini mempunyai fungsi ganda yang sangat jelas dalam bagi penelitian kami: secara linguistik, dengan kosa kata kepercayaan, ia membentuk serangkaian hubungan yang menyatakan fungsi logis tertentu pada wacana, yang secara psikologis ia menunjukkan suatu sikap reduktif terhadap keajaiban yang inheren dengan seluruh realitas yang ditawarkan kepada persepsi dengan kalam Tuhan. Jadi terdapat suatu hubungan leksikologis, logis, psikologis antara empat tingkatan kosa kata persepsi.
c. Tentang “merasa”, “melihat”, “menilik”, “mengerti”, “menangkap”, merupakan suatu sistem berbagai tanda lambang yang mengacu pada realitas orisinil (al-haq) yang pada waktu bersamaan tidak dapat dirasakan, tidak dapat diakses, misterius, hidup, dan efektif . inilah tipe keajaiban yang dihasilkan dan dicakup oleh al-Qur`an.
Sehubungan dengan pendekatan sastra, Arkoun menjelaskan bahwa seseorang tidak dapat melakukan studi sastra al-Qur`an tanpa menghadapi isu yang dihasilkan oleh para teoritikus i‟jaz yang sebagian besar telah disusun dalam pengertian linguistik dan sastra oleh para penulis yang didominasi oleh konsep logikanya Aristoteles. Oleh karena itu semua pendekatan sastra terhadap al-Qur`an seharusnya dimulai dari pandangan kritis yang kedua
100
terhadap i‟jaz.24
Kemudian Arkoun menambahkan bahwa kesulitan yang menghambat penelitian dilapangan adalah tidak adanya sejarah penafsiran al-Qur`an yang mendalam yang dapat menunjukkan dua poin, yaitu : pertama, menetapkan asal kejadian, pertalian dan diversifikasi sejarah literatur yang lebih besar, dengan perhatian khusus pada permulaannya. Kedua, mempelajari kondisi untuk penggunaan alasan islam pada masing-masing komentar baik yang klasik maupun modern.
Lebih lanjut Arkoun mempertanyakan bagaimana mendiskusikan keajaiban dalam al-Qur`an dalam mengadopsi sebuah posisi reduktivist dalam istilah bahasa agama? Arkoun menyatakan bahwa pertanyaan tersebut sangat bernilai karena perubahan keajaiban secara alaimi atau fungsi apakah ia diterima oleh penganutnya atau bukan. Menurut Arkoun bahwa para pengikut keajaiban adalah perwujudan dari superior, transenden, dan alasan yang tidak dapat diduga, oleh sebab itu ia memiliki fungsi kognitif. Inilah keindahan dan kekayaan kata dan merupakan nilai keajaiban sebuah penciptaan yang mengijinkan manusia untuk bisa merasakan eksistensi Tuhan sang pencipta. Dapat dilihat bagaiman al-Qur`an membangun hubungan antara persepsi dan kata hati yang didasarkan pada penerimaan keajaiban bagi mereka yang tidak percaya, pada suatu abad, keajaiban hanya merupakan konsesi temporal dari
sebuah ekspresi imajinasi.25
Menurut Arkoun, perdebatan seputar keajaiban sebagai “merveilles
de la creation” perlu ditinjau dari dua perspektif yang alaing melengkapi
berikut ini :
a. Al-qur`an dapat dikaji sebagai tempat proyeksi iman, atau sebagai kemungkinan ideal nurani muslim yang secara tradisional sudah dipengaruhi oleh tekanan psico-cultural yang begitu beragam. Wacana al-qur`an telah mengungkapkan dalam produknya sebuah kekuatan perluasan dalam menciptakan imajinasi. Dalam hal ini kalau ia hanyalah simbol pembacaan mistis. Dan terdapat kiasan yang lebih kaya dibandingkan dengan ajaran kebenaran mukjizat al-Qur`an.
24
Ibid., h. 161-162
25
101
b. Yang lebih penting adalah sikap kedua yang diwujudkan dalam berbagai uraian tentang i‟jaz. Sebenarnya kesadaran linguistic arab, meskipun didominasi oleh kepentingan religius untuk “membuktikan” watak kemukjizatan kitab, telah benar-benar menangkap, baik secara intuitif maupun melalui berbagai analisa retoris “suatu pemutusan dengan kebiasaan” (naqdh al-„ada) di dalam susunan yang sebenarnya (nadzm) dari wacana qur`ani. Arkoun mengutip pendapat Al-Baqillani sehubungan dengan tiga ciri yang merupakan karakteristik al-Qur`an yang tidak dapat ditiru adalah informasi tentang berbagai misteri,
ke-ummi-an Nabi, dan komposisi yang mengagumkan, dan hanya
karakteristik yang ketiga ini yang berhubungan dengan bahasa.
Selanjutnya Arkoun mengutip penjelasan al-Baqillani dalam menunjukkan akan karakteristik al-Qur`an sebagai berikut :
a. Struktur frase yang menyimpang dari semua susunan yang lazim di dalam wacana Arab;
b. Gabungan yang konstan-tidak masalah seberapa panjang teks itu-antara kemurnian suatu ekspresi dan kekayaan isi;
c. Susunannya yang mengagumkan tidak mengandung ke-taksetara-an maupun perbedaan, walau terdapat keberagaman wacana;
d. Pola yang tidak lazim dari berbagai keterputusan dan kesinambungan irama, periode-periode penurunan dan kenaikan, transisi dan penangguhan di dalam pemaparan;
e. Susunan retoris yang menyimpang dari wacana yang lazim mengenai jin dan manusia;
f. Semua bentuk gaya bahasa wacana yang lazim ada dalam al-Qur`an; g. Pilihan yang baik dan tepat pada istilah-istilah yang paling sesuai untuk
mengungkapkan gagasan-gagasan yang paling baru, apa yang lebih sulit dari pada menggunakan istilah-istilah yang khas untuk gagasan-gagasan yang sudah dikenal;
h. Kutipan penggalan yang paling pendek dari naskah Qur`ani telah dikenali secara langsung;
102
i. Aksara Arab yang terdiri dari 29 konsonan, 14 konsonan digunakan pada permulaan 28 surat guna menunjukkan bahwa wacana qur`ani disusun dengan bantuan konsonan-konsonan yang merangkai wacana manusiawi; j. Ujaran al-Qur`an adalah sederhana, tidak berbelit-belit, danctanpa
kerumitan-kerumitan yang menjemukan.
Sehubungan dengan keajaiban al-Qur`an, Arkoun menyatakan bahwa tidak mungkin berbicara tentang keajaiban al-Qur`an kecuali semua definisi yang membatasi diabaikan. Tidak ada yang tidak beralasan dalam keajaiban
yang terdapat di dalam Kitab Tuhan.26
Itulah sebagaian pandangan dan gagasan yang ditawarkan oleh Arkoun dalam mengkaji ulang al-Qur`an, dimana Arkoun mengajak untuk membaca ulang al-Qur`an dengan menggunakan pendekatan serta wacana sebagaimana yang digunakan oleh para orientalis dalam mengkaji Kitab mereka.
Daftar Pustaka
A. Syadali dan A. Rofi‟i, Ulumul Qur`an I, Bandung, Pustaka Setia, Cet. II, 2000 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur`an, Terj. M. Faisol Fatawi, LKIS, Yogyakarta, Cet.
II. 2003
Al-Suyuthi, Ilm Al-Tafsir, al-Haramain, t.th.
Imam Abdul „Adzim Al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi „Ulum al-Qur`an, Juz I, Bairut, Dar Al-Fikr, 1988
Kementerian Agama, Al-Qur`an dan Terjemah New Cordova, Syaamil Qur`an, Bandung, Cet. I. 2012
M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur`an, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet. IV, 2008
Manna‟ Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi „Ulum Qur`an, Beirut, Al-Syarikah al-Muttahidah, 1997
Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur`an, terj. Hidayatullah, Bandung, Pustaka, 1998
26