• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN HAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN HAMA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI AGENSIA HAYATI ATAU INSEKTISIDA DALAM

PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KUBIS (Brassica oleracea L.)

Oleh: Liliek Mulyaningsih

Fakultas Pertanian Universitas Soerjo Ngawi

ABSTRACT

The aim of the research was to study the effectiveness of biological control agents to the population of two most popular pests on cabbage.

The experiment was conducted by Randomized Complete Block Design with five replications. The treatments were Control as P0, Entomophatogen Nematode Steinernema carpocapsae (All Strain) as P1, Bacillus thuringiensis var Kurstaki as P2, Bacillus thuringiensis var Aizawai as P3 and Insectiside Profenofos as P4. The experiment was carried out at Mount Lawu Slope area, in the village of Hargomulyo, Ngrambe District, Ngawi Regency, East Java (+ 700 m asl). Application of biological agents or insecticide was conducted once per week (P2,P3,P4) and per two weeks (P1) until 7 days before harvest. Experimental plots were 6m x 5m with 0,5m distance among plots. Observations were: (1) Population Plutella xylostella Linn and Crocidolomia binotalis Zell, (2) Gross weight of crop on harvest period, (3) Percentage of Crop damage, and (4) Percentage of plants which was no crop.

The result showed that Profenofos was the most effective agent to control population of Plutella xylostella Linn and Crocidolomia binotalis Zell followed by Nematode Steinernema carpocapsae (All Strain),Bacillus thuringiensis var Aizawai respectively. On the other hand, application of biological agents by Bacillus thuringiensis var Kurstaki was the worst. Application of biological agents was not effective for Crocidolomia binotalis Zell.

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Tanaman kubis (Brassica olera-cea L.) sangat penting bagi kehidupan manusia, karena bisa menyediakan 25% vitamin yang diperlukan tubuh. Pada ta-naman kubis, bagian y6ang mengan-dung vitamin diantaranya adalah daun sebanyak 100 gram terkandung vitamin A sejumlah 80 mg, vitamin B sejumlah 0,06 mg, Vitamin C sejumlah 50mg, protein sejumlah 1,4 gr, lemak sejum-lah 0,2 gr, karbohidrat sejumsejum-lah 5,3 gr, Ca sejumlah 46 gr dan phospor sejum-lah 31 mg. Disamping itu tanaman ku-bis juga membamtu pencernaan, mene-tralkan zat asam dan banyak

mengan-dung serat serta dapat mencegah penyakit sariawan (Pracaya, 1993).

Sampai saat ini tingkat produksi tanaman kubis secara kuantitas maupun kualitas masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain tanah sudah miskin unsure hara, pemupukan yang tidak berimbang, organisme pengganggu tanaman, cuaca dan iklim (Setiawati, 1996)

Tanaman kubis merupakan salah satu komoditi hortikultura yang penting bagi masyarakat khususnya konsumen dan petani kubis. Upaya untuk meningkatkan produksi kubis sampai saat ini masih mengalami kendala akibat serangan hama utama kubis yaitu Plutella

(2)

xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell. Kedua hama tersebut dapat menyerang secara bersama-sama dan saling bergantian (Ashari,1995).

Apabila tidak dilakukan pengen-dalian dapat mengakibatkan kehilangan hasil mencapai 100 persen pada musim kemarau. Upaya pengendalian hama kubis yang biasa dilakukan petani de-ngan menggunakan insektisida sintetik yang dilakukan secara terjadwal, berle-bihan dan secara terus menerus, banyak menimbulkan dampak negatif yang serius. Alternatif pengendalian yang berwawasan lingkungan dengan me-manfaatkan agensia hayati perlu di terapkan dan dikembangkan, sehingga dapat menjaga keberadaan musuh alami (Permadi,1993).

Hama Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell meru-pakan hama utama yang sulit di kenda-likan secara kimiawi, karena jika secara terus menerus dikendalikan dengan insektisida sintetik, hama utama kubis tersebut semakin resisten terhadap in-sektisida yang umum digunakan petani (Tang, et al, 1988). Menurut Mau dan Kessing (1992), penggunaan insektisida terutama golongan organofosfat, ben-zoil Urea dan piretroid menimbulkan resistensi terhadap hama Plutella xylos-tella Linn Strain Lembang.

Sampai saat ini upaya pengenda-lian secara konvensional sering di laku-kan oleh kebanyalaku-kan petani Indonesia yang lebih menekankan penggunaan insektisida kimiawi dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi (Setiawati, 1996). Penggunaan insektisida kimiawi jika tidak bijaksana akan menimbulkan dampak negatif baik secara ekonomi, kesehatan maupun ekologi. Selain mempunyai spektrum luas yang tidak hanya membunuh hama sasaran, in-sektisida kimiawi juga dapat memnuh parasitoid, predator danhama

bu-kan sasaran yang berarti dapat meng-ganggu keseimbangan alami serta dapat menyebabkan timbulnya strain-strain Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tahan (Untung, 1996).

Konsep perlindungan tanaman ditujukan kepada Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia sehingga dapat meng-hasilkan produk pertanian yang bebas bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada hakekatnya dititik beratkan pada pengendalian secara biologi dan cara lain yang tidak atau sedikit meng-ganggu keseimbangan alami yaitu pada ekosistem pertanian terjaga keseimba-ngan antara populasi hama dan populasi musuh alaminya (Permadi, 1993).

Pengendalian hayati memberikan keuntungan yang paling utama yakni tidak mencemari lingkungan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah hanya tingkat keberhasilannya memang masih lebih rendah dibandingkan dengan pengendalian secara kimiawi. Sheiton et al (1995) mengemukakan bahwa penggunaan bioinsektisida sebagai agensia hayati makin memperoleh per-hatian besar karena bahaya penggunaan pestisida kimiawi yang kurang tepat dapat menimbulkan resistensi, resurjensi dan peledakan hama kedua.

Agensia hayati bakteri yang banyak dikembangkan dan digunakan saat ini untuk mengendalikan hama adalah bakteri Bacillus thuringiensis. Keunggulan pemakaian bakteri ini karena selektivitasnya yang tinggi. Setiap strain hanya layak dipakai untuk me-ngendalikan kelompok serangga tertentu dan pengaruhnya sebagai racun baru bisa terlihat jika termakan oleh serangga perusak tanaman, sehingga relatif aman terhadap serangga lain yang tidak memakan bagian tanaman (Novizan, 2002). Menurut Mau dan Kessing (1992)

(3)

Bacillus thuringiensis adalah mikroorganisme yang bersifat patogen terhadap jenis serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera. Namun yang menjadi masalah bahwa Bacillus thuringiensis di laporkan telah menimbulkan resistensi. Menurut Glaugler dan Kaya, (1993), resistensi hama utama kubis terhadap serangan Bacillus thuringiensis akibat petani secara terus menerus menggunakan insektisida yang sejenis, dengan dosis dan frekuensi yang semakin meningkat. Bertumpu pada kejadian-kejadian tersebut, maka dilakukan pengem-bangan perlakuan terhadap jenis bioin-sektisida lain yang memiliki patoge-nesitas tinggi terhadap inangnya. Salah satunya adalah nematoda gen. Jenis-jenis nematoda entomopato-gen yang umumnya digunakan sebagai pengendali serangga hama adalah Steinernema spp dan Heterorhabditis spp. Kedua jenis entomopatogen terse-but sangat potensial untuk mengenda-likan serangga hama ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Diptera (Chaerani et al, 1995). Glaugler dan Kaya (1993), me-ngatakan bahwa nematoda entomopato-gen mempunyai beberapa kelebihan, yaitu bersifat virulen terhadap inang-nya, membunuh serangga inang dengan cepat, mempunyai kisaran inang yang luas, tidak berbahaya bagi serangga bukan sasaran dan mudah dibiakkan se-cara in vivo maupun in vitro (media buatan di Laboratorium).

Saat ini telah banyak biopestisida yang dijual secara komersial untuk mengendalikan berbagai hama dan penyakit pada tanaman hortikultura. Pada umumnya bahan aktif patogen serangga atau antagonis patogen tana-man dari biopestisida ini mempunyai kisaran inang yang luas. Oleh karena itu pengaruh negatif terhadap hama bu-kan sasaran termasuk musuh alami per-lu dikaji lebih dahuper-lu sebeper-lum di

guna-kan pada suatu areal yang luas (Anonim, 2003). Pemanfaatan agensia hayati dan musuh alami merupakan salah satu pengendalian alternatif yang dapat di berdayakan dan dikembangkan di Indo-nesia, karena tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan, dan mudah penggunaannya dengan biaya yang lebih murah dibanding dengan insektisida sintetik. Peran musuh alami di lapang perlu dilestarikan dan di tingkatkan aktivitasnya. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu penggunaan insektisida selektif dalam hal penggu-naannya maupun sifat bahannya yang spesifik terhadap sasaran.

Penggunaan formulasi terhadap nematoda entomopatogen untuk me-ngendalikan hama dilakukan dengan cara penyemprotan formulasi tersebut ke permukaan daun tanaman secara merata. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pelapisan pada permukaan daun. Adanya pelapisan dari bahan formulasi nematoda entomopatogen dan bahan perekat pada permukaan daun akan berpengaruh terhadap masuknya cahaya matahari dan pertukaran gas kedalam sel daun, sehingga hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap aktivitas stomata, jaringan di bawah lapisan epidermis daun dan hasil fotosintesanya. Dengan demikian daun akan terlindung jika ada hama yang menyerang (Chaerani et al, 1995).

2. Perumusan Masalah

Selama ini pengendalian hama utama pada tanaman kubis dengan menggunakan pestisida sintetik yang dilakukan petani pada umumnya secara terjadwal, berlebihan dan terus menerus menyebabkan hama menjadi resisten. Hal tersebut juga terjadi di daerah sekitar lereng Gunung Lawu, khususnya di desa Hargomulyo Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi.

(4)

Berdasarkan permasalahan yang ada dalam budidaya tanaman kubis di lapang, hal yang ingin diketahui dari penelitian yang dilakukan adalah : Apakah upaya pengendalian hama utama pada tanaman kubis dengan me-manfaatkan agensia hayati dapat di ja-dikan prioritas pilihan dalam penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Hal ini disebabkan karena pe-manfaatan agensia hayati dapat rikan hasil yang optimal tanpa membe-rikan efek yang negatif pada tanaman, manusia dan lingkungan.

3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

- Untuk mengetahui pengaruh aplikasi agensia hayati atau insektisida pada hama utama tanaman kubis di lapang.

- Untuk mengetahui pengaruh aplikasi agensia hayati atau insektisida terhadap produksi kubis.

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan membantu memecahkan permasalahan petani dalam usaha mengembangkan usaha taninya, khususnya dalam upaya peningkatan produksi tanaman kubis sekaligus sebagai dasar memilih teknik pengendalian hayati alternatif yang tepat dan efisien.

B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Karakteristik Tanaman Kubis

Tanaman kubis (brassica oleracea L.) merupakan tanaman semusim yang mempunyai akar tunggang. Makin tua umurnya percabangan akar makin banyak, sehingga akar tunggang sulit dibedakan dengan akar lainnya. Garis tengah akar serabut umumnya kurang dari 0,5 mm, tetapi ada beberapa yang mencapai 1 cm. Akar serabut pan-jangnya dapat mencapai 1 m, sesudah berumur 1 – 3 bulan akar serabut

mem-belok ke bawah, apabila tanah gembur beberapa akar dapat mencapai kedalaman 1,5 sampai 2 m. Pada umumnya 70 – 80% akar tumbuh di bagian atas tanah sedalam 20 – 30 cm (Pracaya, 1993).

Kubis yang baru tumbuh mem-punyai hipokotil yang berwarna agak kemerahan, panjangnya beberapa centi-meter dengan dua buah kotiledon dan berakar tunggang dan beberapa akar serabut. Daun-daun pertamanya mem-punyai tangkai daun (petiole) yang agak panjang dan kemudian daun-daun berikutnya tangkai daun memendek, akhirnya menjadi daun duduk (sessilis). Jarak antara daun pertama dengan daun berikutnya semakin memendek dan menjelang pembentukan krop antara duduk daun-daun sudah rapat sekali (roset). Pembentukan premodial daun terus berlangsung sementara duduk daun sebelumnya mulai melengkung ke dalam sehingga mencegah daun – daun berikutnya untuk membuka, demikian seterusnya sehingga akhirnya terbentuk krop (Permadi, 1993).

Krop kubis digambarkan sebagai tunas akhir tunggal yang besar, yang terdiri atas daun yang saling bertumpang tindih secara ketat, yang menempel dan melingkupi batang pendek tidak bercabang. Tinggi tanaman pada umumnya berkisar antara 40 dan 60 cm. Pada sebagian besar kultivar, per-tumbuhan daun awal menunjang dan tiarap. Daun berikutbya secara progresif lebih pendek, lebih lebar dan lebih tegak dan mulai tertindih daun yang lebih muda. Pembentukan daun yang terus berlangsung dan pertumbuhan daun yang saling bertumpang tindih meningkatkan kepadatan kepala yang berkembang. Bersamaan dengan pertumbuhan daun, batang juga lambat laun memanjang dan melebar. Pertumbuhan kepala bagian dalam yang terus berlangsung hingga melewati fase matang (keras) dapat menyebabkan pecahnya kepala. Variabel

(5)

komoditas yang penting adalah ukuran krop, kerapatan, bentuk, warna, tekstur daun dan periode kematangan. Bentuk kepala berkisar dari elips meruncing hingga gepeng (lirdrum), dengan bentuk yang paling disukai adalah bundar atau hamper bundar. Warna daun dengan atau tanpa lapisan lilin, beragam dari hijau muda hingga hijau biru tua, dan juga ungu kemerahan. Tekstur daun licin atau kusut (Matsumura, 1995).

Kekerasan krop berwariasi dari lunak sampai keras tergantung pada varietasnya. Kadang-kadang karena te-kanan daun-daun muda yang terbentuk didalam sedemikian besarnya dan tidak diimbangi dengan mengembangnya daun disebelah luar, krop akan retak dibagian atas. Hal ini juga terjadi jika tanaman akan berbunga. Bentuk krop bermacam-macam mulai dari bulat, pi-pih, sampai bulat lonjong dan men-cirikan varietasnya (Pracaya, 1993).

Tanaman kubis diperbanyak dengan biji yang ditanam langsung ke lapang atau dipindah tanam sebagai bibit. Ukuran biji beragam, mulai dari 220 hingga 350 butir per gram. Biji biasanya ditanam sedalam 1-2 cm, de-ngan perkecambahan berlangsung cepat pada suhu tanah 15-20°C (Rukmana, 1997).

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh jarak tanam. Jarak tanam digunakan untuk mengatur ukuran produk yang di inginkan. Untuk memenuhi perubahan kesukaan pasar, kubis konsumsi segar ditanam pada populasi tanaman tinggi untuk memperoleh kepala kecil yang lebih disukai pasar, sedangkan kubis untuk sauerkraut (cacahan kubis yang digarami dan dibiarkan terfermentasi hingga masam) ditanam dengan jarak tanam lebar untuk memperoleh kepala berukuran besar. Suhu pertumbuhan optimum pertumbuhan optimum

seba-gian besar tanaman kubis adalah antara 15ºC dan 20ºC, dan kwalitas produk terbaik tercapai ketika tanaman matang selama suhu dingin hingga sedang. Suhu yang lebih tinggi dari 30ºC umumnya menekan pertumbuhan, dan untuk tanaman tertentu, suhu 25ºC sudah dapat membatasi pertumbuhan. Pada suhu 10ºC, pertumbuhan tanaman berlangsung lambat, sekalipun pada suhu 5ºC pertumbuhan masih dapat terjadi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Kubis biasanya dipanen ketika kekerasan kepala yang diinginkan telah tercapai. Panen yang tertunda berakibat pada pemanjangan batang yang berlebi-han, kemerosotan kwalitas tekstur, dan kemungkinan pecahnya kepala daun terluar yang kasar dibuang. Berbagai pasar segar di Eropa dan Amerika Serikat cenderung menyukai kepala yang berbobot 1-2 kg. Penurunan kepala ini dicapai dengan pemilihan kultivar dan penggunaan jarak tanam yang rapat (Ashari, 1995).

Di Indonesia tanaman kubis tumbuh baik di daerah-daerah yang ter-letak antara 600-2000 dpl. Ada beberapa jenis yang hidup di dataran rendah tetapi jumlahnya tidak begitu banyak (Anonim, 2003). Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Hortikultura Lembang, mengungkapkan bahwa beberapa varietas kubis dapat di tanam di dataran rendah sampai ketinggian beberapa meter (4m dpl).

Dalam upaya meningkatkan produksi kubis, pemerintah telah mela-kukan program intensifikasi. Namun demikian pada kenyataannya tidak berjalan sesuai yang diharapkan antara lain disebabkan kurangnya penyediaan dan kwalitas benih unggul, teknologi bercocok tanam yang belum dikuasai oleh petani dan terutama adanya serangan hama dan penyakit (Pracaya, 1993).

Kehilangan hasil kubis karena serangan hama ditentukan oleh beberapa

(6)

factor antara lain tinggi rendahnya populasi, bagian tanaman yang rusak, intensitas serangan, tanggap tanaman terhadap gangguan kerusakan, fase pertumbuhan tanaman, jenis hama yang hadir dan menyerang fase pertumbuhan tertentu sangat penting diketahui untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan pengendalian (Ashari, 1995).

2. Biologi dan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella Linn.

Hama Plutella xylostella Linn. (Lepidoptera, Plutellidae) merupakan hama utama pada tanaman kubis di In-donesia (Setiawati, 1996). Ulat ini se-ring disebut hama bodas, hama kra-cang, hama wayang (Rukmana, 1997) dan juga disebut ulat tritip (Pracaya, 1993). Hama ini bersifat polifag, khu-susnya pada famili Cruciferae, dianta-ranya kubis, lobak, kubis bunga dan kubis tunas. Siklus hidup pada Plutella xylostella Linn. tergolong sempurna, yaitu : telur – larva – pupa – imago. Telur, larva dan pupa hidup pada inang, sedangkan imagonya hidup pada inang atau tanaman lain yang berdekatan dengan inang (Mau dan Kessing, 1992). Plutella xylostella Linn mempu-nyai siklus hidup yang sempurna se-hingga disebut juga holometabola. Te-lur diletakkan di balik daun secara ter-pisah satu persatu, kadang-kadang dua-dua atau tiga-tiga butir perkelompok (Rukmana,1997). Telur berbentukoval dengan ukuran lebar 0,26 mm, panjang 0,49 mm dan berwarna kuning cerah saat baru diletakkan dan berwarna lebih tua saat menjelang menetas (Setia-wati,1996). Stadium telur berkisar anta-ra 2 sampai 8 hari (Mau dan Kessing, 1992; Shelton et al.,1995).

Larva terdiri dari empat instar (Mau dan Kessing,1992). Ukuran pan-jang larva instar 1 kurang lebih 2 mm dan saat mencapai instar IV berkisar antara 8 – 12 mm. Kepala instar I dan II

berwarna hitam, sedangkan kepala larva instar II dan IV berwarna hijau sampai coklat. Instar pertama (yang baru menetas) berwarna hijau pucat cenderung pasif, makan daun kubis dengan cara membuat lubang galian ke dalam jaringan permukaan bawah daun dan membuat liang-liang korokan ke dalam jaringan parenkim sambil makam daun. Larva instar kedua berwarna hijau tua dengan kepala berbintik-bintik atau garis coklat, kemudian larva ke luar dari liang-liang korokan yang transparan dan makan jaringan permukaan bawah daun. Instar ketiga dan keempat makam bagian bawah daun lebih banyak dari instar-instar sebelumnya (Pracaya,1993).

Larva selalu berada di bawah permukaan daun dan diantara vena daun. Selanjutnya larva memakan jaringan bawah daun dengan membentuk seperti jendela pada bagian bawah daun, tetapi tidak memakan vena daun. Larva ini lebih suka memakan daun yang masih muda, dan lebih banyak ditemukan bergerombol di sekitar titik tumbuh. (Shelton et al ,1993). Lama periode larva bervariasi antara 6 sampai 30 hari (Mau dan Kessing,1992).

Jika serangan parah, tanaman tidak dapat membentuk krop dan akhirnya tanaman mati. Instar dua sampai empat berperilaku lincah dan jika terganggu menjatuhkan diri dengan menggunakan benang atau ramat (Rukmana, 1997). Panjang larva berkisar 9-10 mm, lebar 1-1,5 mm. Larva instar akhir membentuk benang seperti benang sutra putih di bawah permukaan bawah daun yang terlindung untuk menghindari sinar matahari. (Permadi, 1993). Pada ketinggian 1100-2000 m dpl stadia larva lebih panjang yaitu 12 hari dan di bawah ketinggian 250 dpl lebih pendek yaitu 9 hari (Rukmana, 1997).

Ciri khas lain adalah apabila tersentuh akan menggeliat jatuh dengan cepat dan menggantungkan diri dengan

(7)

benang sutera. Larva tersebut akan naik kembali npada daun melalui benang sutranya apabila keadaan bahaya sudah berlalu. Umumnya pada instar larva sa-ngat rakus dalam hal makanan sebab di butuhkan energi yang cukup banyak untuk pertumbuhan, bergerak dan cada-ngan makanan sewaktu pembentukan pupa Mau dan Kessing( 1992).

Pembentukan pupa mula-mula dibuat dari bagian dasar, bagian sisinya, kemudian tutupnya yang masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan pernafasan. Pupa muda berwarna hijau dan setelah 24 jam berubah menjadi coklat kehitaman (Suyanto,1994). Pupa berukuran panjang 5-6 mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. Pupa terselubu-ngi kokon dengan stadium pupa 6-7 hari pada ketinggian 1100-1200 m dpl dan 4 hari di bawah ketinggian 250 m dpl (Rukmana,1997).

Imago berwarna coklat keabu-abuan, imago jantan berukuran lebih kecil dibandingkan imago betina de-ngan warna lebih cerah, warna sayap betina agak pucat dan aktif pada malam hari (Ashari,1995). Imago berupa nge-ngat kecil dengan ukuran panjang 8-10 mm. Ketika sayapnya menutup (saat tidak terbang), sepanjang bagian pung-gung ngengat terdapat satu cirri ter-tentu, yaitu 3 bentuk segi empat “diamond back moth” (Mau dan Kessing,1992). Imago betina mampu bertelur 180-320 butir yang diletakkan di bawah permukaan daun, mengelom-pok atau terpisah pada tanaman lain. Satu imago betina dapat meletakkan telur pada bermacam-macam tanaman Cruciferae (Pracaya,1993). Cara penye-barannya berpindah-pindah dari satu tanaman ke tanaman lain atau antar daerah yang berdistribusi sangat jauh dengan bantuan hembusan angina (Rukmana,1997). Ngengat kecil lebih suka beristirahat di bawah permukaan

daun, pada bagian tanaman yang “pro-tective” baginya Shelton et al.,1995).

Lama hidup ngengat betina berkisar antara 7-47 hari, rata-rata 16,2 hari dan ngengat jantan antara 3-58 hari, dengan rata-rata 12,1 hari. Jumlah telur yang diletakkan tiap ngengat betina antara 18-356 butir, rata-rata 159 butir. Jumlah telur yang diproduksi setiap ngengat betina dipengaruhi oleh perbedaan temperature, foto periode, umur dan kondisi makan larva (Mau dan Kessing,1992).

Ngengat aktif pada malam hari, kemampuan terbang 1 sampai 1,5 m diatas permukaan tanah, jarak terbang 3 sampai 4 m. Ngengat ini mencari nectar dari bunga kubis sebagai makanannya saat menjelang senja. Ngengat terbang di sekitar tanaman mencari tempat untuk meletakkan telu. Ngengat jantan tertarik pada pheromone yang di produksi oleh ngengat betin. Ngengat jantan mampu berkopulasi sebanyak tiga kali, sedangkan ngengat betina hanya berko-pulasi satu l kali (Shelton et al.,1995).

Siklus hidup hama Plutella xylostella Linn. dipengaruhi di antaranya oleh suhu lingkungan. Pada suhu 16°C-25°C siklus hidupnyamencapai 15 hari (Permadi, 1993). Selain itu juga ketinggian tempat juga berpengaruh ter-hadap siklus hidup Plutella xylostella Linn. pada ketinggian 250 m da atas permukaan laut, siklus hidup hama tersebut 12-15 hari, sedangkan pada ketinggian 1100 m (dimana sebagian besar kubis ditanam) siklus hidupnya selama 20-25 hari.

3. Gejala Serangan Hama Plutella xy-lostella Linn.

Hama ini memakan daun-daun kubis, baik pada tanaman yang masih muda maupun tanaman yang sudah tua (Trizelia, 2002). Bagian bawah daun ku-bis rusak, epidermis bagian atas terlihat putih transparan. Setelah daun tersebut

(8)

tumbuh dan melebar, lapisan epidermis akan robek sehingga daun tampak berlubang (Mau dan Kessing, 1992).

Gejala serangan oleh hama ini khas dan tergantung pada instar larva yang menyerang. Larva instar pertama (yang baru menetas) memakan daun kubis dengan jalan membuat lubang ga-lian pada permukaan bawah daun, selanjutnya larva membuat lorong (ge-rekan) ke dalam jaringan parenkim sambil memakan daun. Larva instar dua, keluar dari liang gerekan yang transparan dan makan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Demi-kian juga larva instar ketiga dan ke-empat. Larva instar ketiga dan keempat memakan seluruh bagian daun sehingga meninggalkan cirri yang khas, yaitu tinggal epidermis bagian atas daun atau bahkan tinggal tulang daunnya saja (Mau dan Kessing, 1992; Shelton et al., 1995).

Tingkat populasi larva Plutella xylostella Linn. tertinggi terjadi pada tanaman kubis ysng berumur 6 sampai 8 minggu setelah tanam. Tingkat popu-lasi larva yang tinggi dapat mengaki-batkan serangan yang sangat berat pada tanaman kubis. Serangan larva ini terjadi secara eksplosif pada musim ke-marau, sehingga kerugian yang di tim-bulkan dapat mencapat seratus persen (Pracaya, 1993).

4. Biologi Hama Crocidolomia bino-talis Zell

Crocidolomia binotalis Zell me-rupakan salah satu jenis hama yang menimbulkan masalah penting pada pertanian kubis. Hama ini dikenal seba-gai hama yang sangat rakus, terutama larva memakan daun-daun yang masih muda, tetapi juga dapat menyerang daun yang agak tua dan kemudian me-nuju kebagian titik tumbuh habis, aki-batnya pembentukan krop akan terham-bat atau terhenti. Kerusakan yang di

timbulkannya dapat menurunkan hasil sampai seratus persen (Trizelia. 2002).

Crocidolomia binotalis Zell me-ngalami metamorfosis sempurna (Holo-metabola) yaitu : telur – larva – pupa – imago. Crocidolomia binotalis Zell ber-sembunyi dibalik daun untuk meng-hindari sinar matahari. Larva memakan daun yang masih muda kemudian menu-juntitik tumbuh, bila serangan parah tanaman tidak dapat membentuk tunas dan akhirnya mati (Setiawati, 1996).

Telur diletakkan di bawah per-mukaan daun muda secara berkelompok masing-masing terdiri dari 30-80 butir. Jumlah telur yang dihasilkan rata-rata 11-18 telur (Permadi, 1993). Menurut Mau dan Kessing (1992) telur Crocidolomia binotalis Zell berwarna hijau dan selalu diletakkan dibagian bawah daun kubis. Sebelum menetas telur akan berubah menjadi jingga, kemudian coklat kekuningan dan akhirnya berwarna coklat gelap.

Lama stadia telur berlangsung 4-8 hari yang bervariasi tergantung kondisi setempat, persentase telur yang menetas 92,4% (Mau dan Kessing, 1992). Persentase imago yang muncul rata-rata 67,8%. Sementara pada suhu 26-32,2 ºC persentase penetasan telur adalah 69,2-100% dengan rata-rata 92,4% (Ashari, 1995). Menurut Rukmana (1997) telur-telur dalam satu kelompok menetas pada hari yang sama meskipun tidak bersamaan waktunya.

Larva telur Crocidolomia binotalis Zell berwarna hijau muda, kelihatan bergaris pada punggungnya dan berwarna hijautua pada kanan dan kirinya. Pada sisi tubuhnya terdapat rambut dan chitine berwarna hitam. Pada sisi perut berwarna kuning, ada juga yang berambut hijau, panjang larva + 18 mm. Setelah menetas larva akan memakan daun kubis, terutama bagian dalam kubis (krop) karena larva tersebut takut terhadap sinar

(9)

matahari. Jika serangan parah ulat dapat mencapai titik tumbuh (Pracaya,1993).

Stadia larva terdiri dari empat instar dengan lama stadia larva berkisar 7 – 14 hari. Instar pertama 2-3 hari hidup di bawah daun dengan kepala berwarna hitam dan badan berwarna hijau terang serta terdapat bercak hitam. Instar kedua 1-3hari dengan cirri ber-warna hijau dengan panjang tubuh anta-ra 11-13 mm. Instar keempat 3-6 hari dengan cirri warna tubuh lebih jelas yaitu terdapat garis memanjang berwar-na keputihan dengan tiga garis pada ba-gian dorsal dan satu garis masing-ma-sing pada bagian lateral. Umumnya lar-va setelah pergantian kulit (molting) warna bagian dorsal berubah menjadi coklat. Kemudian berlanjut dengan pe-rubahan tingkah laku menjadi pasif, pertanda larva akan menjadi pupa (Permadi, 1993).

Kepompong terbentuk dalam tanah dengan kokon yang tipis dan ber-warna coklat kekuningan dan akan menjadi gelap pada akhir stadia pupa. Umumnya pupa ditutupi oleh kokon yang terbuat dari butir-butir tanah (Kal-shoven, 1981). Panjang pupa mencapai 10,5 mm dan lebar 2-3 mm. Lama sta-dium pupa 10-14 hari (Chaerani et al, 1995).

Imago tidak tertarik pada cahaya. Imago betina berwarna kelabu keco-klatan dan sepanjang pinggiran sayap depan berwarna sedikit lebih gelap. Rentangan sayap mencapai 20-25 mm. Sayap depan tertutup oleh warna coklat yang ditandai oleh beberapa garis me-lintang dengan bagian tepi berwarna putih kelabu. Sayap belakang berwarna kekuningan agak terang (Novizan, 2002).

Imago betina muncul lebih awal dari imago jantan. Imago betina dan jantan dapat dibedakan dengan adanya seberkas rambut hitam pada tepi anten-na, dekat pangkal pada sayap depan

(Permadi, 1993). Ukuran tubuh imago jantan 11-14 mm sedang imago betina 8-11 mm. Rentangan sayap jantan 22-25mm dan imago betina sedikit lebih panjang 24-26 mm (Glaugler dan Kaya, 1993). Periode hidup ngengat jantan 24-29 hari dengan rata0rata hidup 25,1 hari, sedang ngengat betina mempunyai periode hidup 24-29 hari dengan rata-rata 24,8 hari dengan kondisi suhu 25-38ºC serta kelembaban relatif 50-70% (Mau dan Kessing, 1992). Ngengat aktif pada malam hari, tidak tertarik pada cahaya dan siang hari versembunyi dicelah-celah daun kubis.

5. Biologi dan Siklus Hidup Steiner-nema carpocapsae (All Strain)

Terdapat banyak spesies nematoda yang bersifat parasitic terhadap serangga baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif, sekitar 19 famili nematoda bersifat patogenik terhadap serangga. Mermithidae merupakan salah satu famili terpenting dan terbesar, yang terdiri dari 50 genera dan 200 spesies (Untung, 1996).

Steinernema carpocapsae dewasa berukuran lebih besar dan mampu menghasilkan 10000 telur (Ashari, 1995). Nematoda ini mempunyai kulit tubuh yang halus, bentuk kepala tumpul, enam bibir masing-masing memiliki paila dan stomata yang dangkal. Steinernema carpocapsae betina memiliki ovari bertipe amphidelphie yang tumbuh dari arah anterior ke posterior. Vulva terletak pada bagian tengah panjang tubuhnya Steinernema carpocapsae jantan mempunyai testis tunggal terefleksi, spikula sepasang dengan bentuk kurva simetris ataupun ramping. Kepala spikula lebih lebar dibandingkan panjangnya, ventral dan tajam. Pada pandangan ventral, gubernaculum tampak lonjong dengan bagian anterior membentuk bagian yang pendek dan sempit, dan tidak mempunyai bursa copolatrix. Daerah

(10)

anterior nematode jantan memiliki penampakan yang sangat mirip dengan nematoda betina (Gaugler dan Kaya, 1993). Juvenil 3 masih berada dalam kutikula juvenil2. Pada kutikula terdapat 4-8 striasi longitudinal (Novizan, 2002).

Di dalam perkembangannya, ne-matode entomopatogen Steinernema carpocapsae mempunyai siklus hidup sebagai berikut : telur – juvenil – de-wasa. Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk kedalam haemocoel. Setelah mengalami empat kali ganti ku-lit, baik yang terjadi di dalam telur, dalam lingkungan atau di dalam tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesu-dah nematode menunggalkan tubuh inangnya (Untung,1996). Infektif Ju-venil (IJ) S. carpocapsae berkembang ke amphimiktif, dewasa jantan atau be-tina. Dua sampai tiga minggu setelah verkembang di dalam tubuh inang, IJ meninggalkan bangkai inang dan men-cari inang yang baru (Ehlers et al.,2001).

Suhu dan makanan sangat ver-pengaruh selama perkembangbiakan In-fektif Juvenil dari S. carpocapsae. Suhu dan makanan yang kurang bmendukung bagi perkembangbiakan nematode akan mempercepat berlangsungnya fase pada masing-masing stadia (Glaugler dan Kaya, 1993). Stadia infektif juga dapat terbentuk apabila nematode mengalami kekurangan makanan. Di dalam kondisi ini nematode infektif dapat terbentuk tanpa melalui stadia juvenile 1 atau 2. Setelah stadia juvenile 4 terlampaui, maka nematode akan berkembang men-jadi nematode dewasa jantan atau betina, dan setelah dua atau tiga minggu nematode dewasa ini sangat memerlukan inang baru sebagai peme-nuhan kebutuhan makanannya (Ashari, 1995).

6. Bakteri Simbion Steinerma carpo-capsae (All Strain) Xenorhabdus nematophillus

Nematoda entomopatogen S. carpocapsae berasosiasi dengan bakteri simbion Xenorhabdus spp yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae (Chaerani et al.,1995). Nematoda ento-mopatogen ini mampu menyimpan I sampai250 sel bakteri simbion (Sulis-tyanto, 1999). S. Carpocapsae mampu menyimpan bakteri Xenorhabdus spp. Dalam intensial lumen (Vesikel) dari juvenile infektif (Rukmana, 1997).

Bakteri Xenorhabdus spp meng-hasilkan. enzim Lechitinase, Protease dan entomotoksin yang mempengaruhi proses kematian serangga (Chaerani et al.,1995). Entomotoksin yang di hasilkan oleh bakteri berupa hydrocyl-dan acetoxyl- yang merupakan turunan senyawa indol, 4-ethyl-dan 4-iso phrophyl-3,5-dihydroxy-transitive stilbenes (Permadi,1993).

Proses kematian serangga berawal dari pelepasan bakteri simbion oleh nematode dalam haemolimph setelah nematode masuk kedalam tubuh rangga, yaitu melalui lubang alami se-perti mulut, anus, spirakel atau me-nembus langsung kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga bakteri berepro-duksi dan menghasilkan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkem-bangan nematode. Nematoda memakan sel bakteri dan jaringan inangnya (Ehlers et al, 2001).

Dalam fase primer, bakteri simbion menghasilkan senyawa antibiotic, lechitinase, bioluminescens (Glaugler dan Kaya, 1993), serta menyerap bahan tertentu dari media pertumbuhan. Seba-liknya bakteri fase sekunder mempunyai bentuk morfologi koloni dan karakteristik yang berbeda dengan bakteri fase primer. Bakteri fase primer (fase I) tidak dapat bertahan lama dan akan segera berubah ke fase sekunder (fase II) yang

(11)

mempunyai kecenderungan stabil dan sel bakteri berbentuk batang panjang.

Secara umum bentuk primer morfologi koloni bakteri Xenorhandus spp. yaitu berbentuk bulat mengkilat menyerupai lendir, cembung, tepi agak rata dengan struktur dalam meneruskan cahaya. Bentuk sekunder bakteri me-nunjukkan karakteristik koloni ver-bentuk bulat, agak cembung, tepi agak rata, struktur dalam menyerupai pasir halus dengan meneruskan sinar meski-pun benda di bawahnya tidak semua terlihat dengan jelas (Matsumura, 1995).

7. Patogenesitas Steinernema carpo-capsae (All Strain)

Nematoda entomopatogen Ste-inernema carpocapsae mampu mem-parasit serangga melalui dua cara, yaitu penetrasi secara langsung melalui kuti-kula ke dalam haemocoel serangga inang dan melalui lubang alami serang-ga seperti mulut, anus, spirakel dan stigma (Glaugler dan Kaya, 1993). Se-telah masuk dalam tubuh serangga, nematoda melepaskan bakteri ke dalam haemolymph. Di dalam tubuh serangga, bakteri bereproduksi dan menghasilkan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan nematoda. Tanpa bakteri simbion dalam serangga inang, nematode tidak akan dapat bereproduk-si, karena bakteri simbion ini berfungsi sebagai makanan yang sangat di perlu-kan oleh nematoda (Ehlers et al, 2001). Demikian juga sebaliknya bakteri tidak akan dapat masuk ke dalam tubuh serangga apabila tanpa bantuan nematoda entomopatogen, yang mem-penetrasi tubuh serangga inang. Dengan demikian simbiose antara bakteri sim-bion dan nematoda entomopatogen ti-dak dapat dipisahkan dan merupakan syarat mutlak antara keduanya (Sulis-tyanto, 1999).

Setelah masuk ke dalam tubuh inang nematoda entomopatogen mele-paskan bakteri simbion kedalam hae-molymph, setelah 24-48 jam serangga inang akan mati, namun nematoda ento-mopatogen terus berkembang dengan cepat dan memakan sel bakteri dan jari-ngan tubuh inang, sehingga tubuh inang kelihatan utuh tetapi dalamnya sudah kosong. Baik dan tidaknya perkembangan nematoda entomopatogen tergantung pada bakteri simbion di dalam tubuh inangnya (Rukmana, 1997).

Mekanisme infeksi dan pato-genesitas nematoda entomopatogen da-lam serangga iang merupakan factor-faktor yang menunjukkan spesifikasi iang dari nematode ini. Invasi dan evasi terhadap ketahanan inang merupakan tahapan penting dalam proses patogenik. Kemampuan nematoda untuk melakukan penetrasi ke dalam Haemocoel serangga dengan pelepasan enzim proteolitik merupakan salah satu factor spesifik dalam hubungan timbale balik nematoda serangga. Faktor spesifik lain adalah kemampuan nematoda untuk melawan ketahanan internal serangga yang berupa senyawa anti bakteri. Toksin dan enzim ekstraseluler merupakan senyawa yang dilepas oleh nematoda untuk menyerang serangga inang (Mau dan Kessing, 1992). Mekanisme patogenesitas nema-toda entomopatogen secara umum me-lalui beberapa tahap yaitu : invasi, evasi dan toksigenesis. Invasi merupakan suatu proses terjadinya penetrasi nematoda entomopatogen ke dalam tubuh serangga inang melalui kutikula dan lubang-lubang alami, seperti mulut, anus, spirakeldan stigma. Tahap selanjutnya adalah evasi yaitu tahap dimana nematoda entomopatogen mengeluarkan bakteri simbion di dalam tubuh serangga inang. Setelah melalui tahap invasi dan evasi, selanjutnya terjadi proses toksikogenesis yaitu tahapan dimana nematoda entomopatogen mengeluarkan bakteri

(12)

simbion di dalam tubuh serangga inang. Setelah melalui tahap invasi dan evasi, selanjutnya terjadi proses toksikogenesis ysitu tahapan dimana bakteri simbion menghasilkan toksin sehingga dapat menyebabkan kematian pada serangga inang (Sulistyanto, 1999).

Gejala yang timbul pada serangga akibat adanya entomotoksin yang dihasilkan oleh bakteri simbion ne-matoda, yaitu terjadi perilaku yang hi-peraktif (bergerak lebih aktif) verlanjut dengan kelumpuhan dan kejang-kejang otot selama tujuh menit sebelum serangga mati. Setelah serangga inang mati terjadi perubahan warna pada tubuh serangga, tubuh menjadi lunak, dan apabila dibedah konstitusi jaringan menjadi cair tetapi tidak berbau busuk (Glaugler dan Kaya, 1993; Mau dan Kessing, 1992).

Dengan perbesaran 100x karakte-ristik morfologi dari nematoda S. Car-pocapsae (All Strain) secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

8. Karakteristik Bakteri Entomo-patogen Bacillus thuringiensis

Kelompok bakteri yang ver-potensi untuk pengendalian hayati yaitu bakteri pembentuk spora kristal protein (Untung, 1996). Sulistyanto, 1999) me-laporkan bahwa tubuh parasporal be-rupa protein yang terdiri dari 17 asam amino dan angus yang merupakan sum-ber toksin.

Bakteri menginfeksi serangga melalui alat mulut (melalui makanan) dan saluran pencernaan dimana bakteri memproduksi enzim (Lecithinase, Protei-nase, Chitinase) dan Exo atau endotoksin. Cara menginfeksi bakteri dapat diklasifikasikan dalam Bakterimia, Septicemia dan Toxemia. (Ruk-mana,1997).

Gejala serangga hama yang terin-feksi Bacillus thuringiensis yaitu ak-tivitas makan serangga menurun, tubuh menjadi lemah dan lembek. Setelah mati larva berwarna hitam kecoklatan, kering dan berkerut, masa inkubasi selama 4-5 hari setelah infeksi (Untung, 1996).

Dari sekian banyak spesies (150 sub spesies) salah satu bakteri yang berpotensi untuk mengendalikan hama kubis yaitu : Bacillus thuringiensis var. Kurstaki yang efektif terhadap larva-larva Lepidoptera (Rukmana, 1997). Menurut Ashari, (1995) Bacillus thuringiensis berdasarkan pengujian di laboratorium efektif untuk menimbulkan mortalitas larva Plutella xylostella Linn. yang isolatnya diperoleh dari Steinhausse dan uji aplikasi lapang di Lembang dan Bali dengan angka kematian sampai 50 persen. Hal ini didukung oleh penelitian Novizan (2002) dan Trizelia (2002) melaporkan bahwa Bacillus thuringiensis efektif terhadap hama Plutella xylostella Linn pada tanaman kubis. Produk komersial Bacillus thuringiensis telah banyak di gunakan untuk mengendalikan Plutella xylostella Linn. di lapang dan bersifat spesifik target khususnya untuk membunuh ulat dari ordo Lepidoptera (Pracaya, 1993).

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri pathogen pada serangga. Bakteri ini tergolong kelas Sch-izomycetes ordo eubakteriales. Bacillus thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3-5 um dan lebar 1,0-1,2 um, mempunyai flagella

(13)

dan membentuk spora. Sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel (Trizelia,2002).

Ciri khas yang terdapat pada Bacillus thuringiensis adalah kemam-puannya untuk membentuk kristal ver-samaan dengan pembentukan spora yaitu pada waktu sel mengalami spo-rulasi. Kristal tersebut merupakan kom-plek protein yang mengandung toksin yang terbentuk di dalam sel, kurang lebih 2-3 jam setelah akhir fase eks-ponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh li-ma persen kristal terdiri dari protein de-ngan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamate, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannose dan glukosa (Chaerani et al., 1993).

Seluruh kristal protein dari Bacil-lus thuringiensis bersifat toksik apabila termakan oleh larva serangga yaitu setelah terurai oleh enzim protease menjadi molekul-molekul kecil yang toksik (Trizelia, 2002).

Beberapa menit setelah masuk ke dalam pencernaan serangga toksin melewati membrane tropic dan kemu-dian akan terikat pada reseptor khusus yang terdapat pada mikrovili sel epithelium mesenteron. Setelah berikatan toksin akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0,5-1,0 um. Akibatnya keseimbangan osmotic dari sel menjadi terganggu, sehingga ion dan air mudah masuk ke dalam sel yang menyebabkan sel mengembang dan pecah sehingga akhrnya menyebabkan kehancuran (Anonim, 2003).

Sel epithelium yang telah hancur tersebut akan terpisah dari membrane dasar dan terlepas ke dalam lumen. Sebagai akibat adanya kerusakan dan kehancuran dari sel-sel epithelium menyebabkan membrane dasar mudah

rusak oleh Bacillus thuringiensis. Toksin juga menghambat pembentukan ATP, merusak transportasi ion dan glukosa dan menghambat kontraksi otot-otot mesenteron (Trizelia, 2002).

Akibat kerusakan pada struktur dan fungsi mesenteron, zat-zat metabolic seperti ion akan keluar dari lumen dan masuk ked ala hemolimfa yang menimbulkan paralysis dan akhirnya kematian pada larva. Kematian akan terjadi satu jam hingga 4-5 hari setelah intoksikasi, tergantung pada konsentrasi bakteri, ukuran dan jenis larva dan varietas bakteri yang digunakan (Sulistyanto, 1999).

9. InsektisidaProfenofos

Insektisida dengan bahan aktif Profenofos adalah insektisida yang termasuk golongan organofosfat. Organofosfat disebut juga fosfor organic atau fosfat organic merupakan 30 persen dari seluruh insektisida yang ada dewasa ini. Insektisida dari golongan organofosfat adalah derivate dari asam fosfat (Ashari, 1995).

Rumus kimia dari organofosfat adalah sebagai berikut :

Daya kerja dari insektisida organofosfat terhadap serangga sangat tergantung pada sifat fifik dan kimia dari senyawa itu sendiri. Pada dasarnya insektisida ini bekerja sebagai penghambat sistim enzim tertentu, seperti enzim khotinesterase yang merupakan enzim penhidrotion ester yang bekerja dalam transmisi normal rangsangan pada jaringan urat syaraf. Penghambatan rangsangan dengan menghambat kerja

(14)

enzim khotinesterase akan mengakibatkan terjadinya penimbunan asetikholin pada setiap synaps, sehingga transmisi terhambat (Anonim 2003).

Dalam hubungannya dengan toksisitas, asetilkhotinesterase berfungsi sebagai pemecah asetikholin yang dikeluarkan oleh ujung syaraf pada synaps akan dihambat daya kerjanya untuk memecahkan asetikholin dalam proses transmisi (Matsumura, 1995)

10. Dampak Negatif Penggunaan In-sektisida Sintetik

Menurut Pracaya (1993), pengendalian sintetik adalah usaha pengendalian serangga hama dengan menggunakan bahan kimia beracun. Bahan kimia tersebut diberikan langsung kepada tanaman, umpan atau dikenakan langsung kepada serangga hama sasaran. Bahan kimia beracun yang digunakan untuk mengendalikan serangga hama disebut insektisida.

Kebanyakan petani beranggapan, bahwa pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik dianggap paling mudah dan cepat untuk mengendalikan maha, jika dibandingkan dengan pengendalian yang lainnya. Petani juga beranggapan bahwa setiap serangga yang terdapat pada pertanamannya adalah hama yang merugikan sehingga petani melakukan penyemprotan insektisida secara intensif, terjadwal dan berlebihan, tanpa memperhatikan peran dan fungsi serangga tersebut di pertanamannya (Anonim, 2003).

Jika populasi hama menjadi resisten terhadap insektisida, maka insektisida tersebut tidak lagi efisien untuk mengendalikan hama. Jika insektisida tersebut tetap digunakan, dosis atau frekuensi penggunaannya perlu ditingkatkan, sehingga secara

ekonomi memerlukan penambahan biaya pengendalian, meningkatnya mortalitas organisme bukan sasaran dan dapat menurunkan kwalitas lingkungan (Matsumura, 1995).

Di Indonesia resistensi hama kubis diketahui sejak tahun 1973, yaitu adanya laporan bahwa hama ulat daun kubis resisten terhadap Dikloro Difenol Trikloroetana (DDT) (Pracaya, 1993). Rukmana (1997) melaporkan bahwa dari hasil survai di Jawa, Bali dan Sumatra kebanyakan petani kubis menggunakan insektisida 2 – 3 kali / minggu atau 22 kali / musim, sehingga menimbulkan resistensi dan resurjensi hama Plutella xylostella Linn. dan Corcidolomia binotalis. Jenis insektisida yang sering digunakan yaitu dari golongan organofosfat dan piretroid sintetik.

Timbulnya resurjensi hama disebabkan oleh butiran semprot tidak mencapai sasaran, kurangnya pengaruh residu pestisida untuk membunuh nimfa dan larva yang menetas setelah penyemprotan, pengaruh fisiologis insektisida terhadap kesuburan hama sehingga hidup hama lebih subur, serangga bertelur lebih banyak dengan angka mortalitas berkurang, pengaruh fisiologis insektisida terhadap tanaman dan terbunuhnya musuh alami (Shelton et al, 1995)

Penggunaan insektisida sintetik dianjurkan apabila populasi hama telah melampui batas ambang ekonomi. Penerapan cara ini apabila cara-cara penggunaan varietas tahan, teknik budidaya dan sanitasi tidak lagi menunjukkan gejala menurunkan populasi hama. Penyemprotan hendaknya dilakukian secara terjadwal dengan konsentrasi yang rendah. Penyemprotan insektisida sebaiknya diarahkan pada stadium mana serangga sangat lemah. Penyemprotan berikutnya dilakukan apabila penyemprotan pertama tidak

(15)

menunjukkan tanda-tanda penurunan populasi hama (Sulistyanto, 1999)

11. Hipotesis

- Agensia hayati atau insektisida yang diaplikasi mempunyai efektivitas yang berbeda terhadap hama P. xylostella dan C. binotalis.

- Penggunaan agensia hayati atau insektisida

dapat meningkatkan produksi kubis.

C. METODE PENELITIAN 1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan pertanaman kubis (Brassica oleracea L. var capitata L. f. Alba DC) di lereng Gunung Lawu Desa Hargomulyo, Kecamatan Ngrambe, kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur ( dengan ketinggian + 700 m dari permukaan laut/dpl).

2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah: Bibit tanaman kubis varietas Summer Autumn, Agensia hayati nematoda Steirnenema. Carpocapsae (All Strain), Agensia hayati Bacillus thuringiensis var Kurstaki, Agensia hayati Bacillus thuringiensis var Aizawai, Insektisida sintetik (Profenofos), Fungisida Dithane M-45 (80 WP), Bahan perata dan perekat Agristik, Pupuk Urea, Pupuk SP 36 dan Pupuk kandang

Alat yang digunakan adalah: tangki sprayer ukuran 14 liter sebanyak 3 buah, alat tulis, lembar pengamatan, petridis, tabung reaksi, erlenmeyer, selang plastik, jaring serangga, papan nama untuk plot-plot perlakuan, kuas kecil dan kertas label.

3. Metode Percobaan

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri atas lima

perlakuan dan lima ulangan. Terdiri dari :

P0 : Kontrol

P1 : Perlakuan nematoda S. Carpo-capsae dengan dosis 300.000 IJ/m² P2 : Perlakuan B. thuringiensis var

Kurstaki 1 gr/l

P3 : Perlakuan B. thuringiensis var Aizawai 1 gr/l

P4 : Perlakuan Insektisida sintetik (Profenofos) 1 ml/l

4. Pelaksanaan Penelitian

Menyiapkan lahan seluas + 800 m² dan dilakukan pengolahan lahan dengan menggunakan pupuk kandang. Ploting lahan perlakuan 5m x 6m = 30m² (75 tanaman/plot). Terdiri dari 5 plot (perlakuan) dan 5 blok (ulangan). Jarak antar blok 50cm, jarak antar plot 50cm dengan jumlah total plot 25 petak. Penanaman kubis dilakukan dengan jarak 50cmx50cm.

Pemindahan bibit ke lapang pertanaman dilakukan pada sore hari, satu bibit terpilih untuk setiap lubang tanam. Sebelum ditanam bibit dicelup kedalam larutan Dithane M-45 (80 WP). Selesai pemindahan bibit dilakukan penyiraman.

Penyemprotan agensia hayati dilakukan secara terjadwal sesuai perlakuan dengan menggunakan Kapsack. Interval penyemprotan adalh satu minggu sekali untuk perlakuan P2, P3 dan P4, sedangkan untuk perlakuan P1 dua minggu sekali.

Pemupukan dilakukan setelah tanaman berumur dua minggu setelah tanam dengan pupuk Urea 2 gr/tanaman dengan jarak 3cm dari tanaman serta disiram agar lekas larut. Pemupukan selanjutnya ketika tanaman berumur empat minggu dengan pupuk Urea dan SP 36 dengan dosis 5 gr/tanaman dengan jarak 8cm dari tanaman.

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi : pemupukan,

(16)

penyiangan gulma, penggemburan tanah dan pembubunan.

5. Aplikasi Agensia Hayati

Aplikasi agensia hayati B. thuringiensis satu minggu sekali setelah tanam, dimana untuk B. thuringiensis var Kurstaki dan B. thuringiensis var Aizawai masing-masing 1gr/l. Sedangkan aplikasi agensia hayati nematoda S. Carpocapsae dengan dosis 300.000 IJ/m² dua minggu sekali setelah tanam.

6. Aplikasi Insektisida

Aplikasi insektisida dilakukan satu minggu sekali setelah tanam dengan interval penyemprotan seming-gu sekali, mengseming-gunakan tangki sprayer punggung semi otomatis ukuran 14 l dengan volume penyemprotan rata-rata 10 l /m².

7. Pengamatan

Pengamatan terdiri dari :

a. Populasi serangga hama Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell pada 15 tanaman contoh yang telah ditentukan secara acak sistemik (U-shape) pada setiap plot. Pengamatan dilakukan dua kali seminggu.

Pengamatan pertama dilakukan pada 7 hari setelah tanam sebelum dilakukan aplikasi, Pengamatan ke dua pada hari ke 10 setelah tanam sebagai evaluasi perlakuan. Begitu seterusnya sampai panen. Aplikasi agensia hayati dan insektisida diulang 1 minggu sekali kecuali aplikasi nematoda Steirnenema Carpocapsae (All Strain) dilakukan dua minggu sekali. b. Persentase tanaman kubis yang

tidak mampu membentuk krop/plot pada saat panen.

c. Bobot basah krop/plot saat panen

d. Persentase tanaman rusak akibat serangan hama Plutellaxylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell/plot pada saat panen.

8. Analisa Data

Nilai rata-rata perlakuan pada setiap parameter percobaan dianalisa dengan sidik ragam, apabila hasilnya berbeda nyata pada

selang kepercayaan 5% dan 1 %, maka diuji dengan menggunakan uji jarak (Duncan).

Untuk melihat efektivitas perlakuan dalam menurunkan populasi hama, data dianalisa dengan menggunakan uji t berpasangan dengan program SPSS 11.5

D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh Aplikasi Perlakuan

Terhadap Populasi Hama Plutella xylostella Linn

Pengaruh aplikasi selama musim tanam antar perlakuan terhadap penurunan polulasi hama tidak berbeda secara signifikan. Efek positif dari perlakuan terjadi pada masa pembentukan krop pada tanaman kubis (Tabel 1).

Pada penelitian ini masa pembentukan krop pada 52 hari setelah tanam, dimana tanaman kubis menginginkan bebas dari serangan hama. Apabila serangan berat maka tanaman kubis tidak mampu membentuk krop karena hama ini menyerang sampai titik tumbuh. Jika membentuk krop, maka krop kubis akan terlihat berlubang dan krop sudah tidak dapat dikonsumsi lagi. Yang memberikan efek positif pada masa kritis dimana keadaan populasi hama berkurang yaitu pada perlakuan nematoda S. Carpocapsae (All Strain), disusul dengan B. thuringiensis var Kurstaki, insektisida profenofos dan B. thuringiensis var Aizawai. Hal ini terus berlangsung hingga panen. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan agensia

(17)

hayati masih efektif mengendalikan hama Plutella xylostella Linn

Secara statistik perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan terhadap populasi hama Plutella xylostella Linn terbukti nyata.

Efektifitas nematoda S. Carpocapsae (All Strain) terhadap pengendalian P.xylostella Linn termasuk tinggi dibanding dengan B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki. Hal ini mengingat penyemprotan nematoda S. Carpocapsae (All Strain) dilakukan hanya dua minggu sekali namun justru

memberikan persentase penurunan aplikasi hama yang jauh lebih tinggi dari pada B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki yang diaplikasi seminggu sekali. Hal ini membuktikan bahwa nematoda S. Carpocapsae (All Strain) mempunyai daya bunuh yang tinggi dari pada agensia hayati yang lain.

Hasilpenelitian ini berbeda dengan laporan Oka (1998) yang menyatakan bahwa B. thuringiensis berdasarkan pengujian di laboratorium efektif untuk menimbulkan mortalitas larva hama P.xylostella Linn dengan

angka kematian sampai 50 persen. Rendahnya efektifitas agensia hayati B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki dalam percobaan ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang tidak sesuai untuk kehidupan organisme tersebut. Insektisida dalam bentuk mikroorganisme memang lebih sensitif terhadap lingkungan setelah diaplikasi di lapang. Sinar ultra violet, perubahan suhu dan kelembaban bisa menurunkan aktifitas mikroorganisme tersebut, bahkan dapat menimbulkan kematian (Novizan, 2002).

Tingginya efektifitas Profenofos dalam menekan populasi hama P.xylostella Linn pada percobaan ini membuktikan bahwa di daerah penelitian belum terjadi resistensi P.xylostella Linn terhadap jenis insektisida kimiawi tersebut. Hal ini

dimungkinkan karena petani di daerah tersebut menggunakan insektisida jenis lain hingga belum timbul resistensi terhadap insektisida Profenofos.

Secara statistik pengaruh masing-masing perlakuan terhadap populasi hama P.xylostella Linn juga terbukti berbeda. Perlakuan insektisida Profenofos memberikan efektifitas yang paling tinggi, disusul perlakuan nematoda S Carpocapsae (All Strain). Sementara perlakuan B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstakitidak memberikan pengaruh yang berbeda bila dibandingkan dengan kontrol.

2. Pengaruh Aplikasi Perlakuan Terhadap Populasi Hama Crocidolomia binotalis Zell

Pengaruh aplikasi selama musim tanam antar perlakuan terhadap

(18)

penurunan populasi hama tidak berbeda nyata secara signifikan (Tabel 2). Populasi hama pada perlakuan kontrol dan nematoda S. Carpocapsae memberikan efek yang negatif pada masa pembentukan krop. Sedang pada perlakuan B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki dan insektisida Profenofos menunjukkan aplikasi perlakuan mengurangi populasi Crocidolomia binotalis Zell.

Pada awal hingga akhir pengamatan menunjukkan bahwa aplikasi perlakuan tidak memberikan pengaruh. Hal ini membuktikan bahwa aplikasi agensia hayati tidak efektif untuk mengendalikan hama C. binotalis Zell.

Pada masa ini tanaman kubis banyak yamg tidak mampu membentuk krop. Messkipun tanaman kubis mampu membentuk krop namun kropnya akan berlubang, karena serangan hama C. binotalis Zell dan P. .xylostella Linn menyerang bersama-sama sehingga merusak krop kubis sampai ke titik tumbuh.

Rendahnya efektifitas pengendalian disebabkan karena cara hidup larva C. binotalis Zell yang cenderung berada di dalam lipatan krop hingga tidak terjangkau oleh bahan yang disemprotkan. Menurut Matsumura (1995) larva C. binotalis Zell bersembunyi di balik daun untuk menghindari sinar matahari. Laeva memakan daun yang masih muda kemudian menuju titik tumbuh. Bila serangan parah tanaman tidak dapat membentuk tunas dan akhirnya mati. Pracaya (1993) melaporkan bahwa setelah menetas larva C. binotalis Zell akan memakan daun kubis, terutama bagian dalam kubis (krop) karena larva tersebut takut terhadap sinar matahari.

Dengan memperhatikan kebiasaan hidup larva C. binotalis Zell di atas, maka cara penyemprotan perlakuan seharusnya diutamakan agar menjangkau bagian dalam daun yang berupa daun muda dan titik tumbuh. Bila cara penyemprotan tidak tepat, maka efektifitas pengendalian akan menurun.

Demikian pula tingkat konsentrasi agensia hayati dalam larutan yang disemprotkan akan sangatmempengaruhi

efektifitaspengendalian. Konsentrasi yang terlalu rendah menyebabkan pengembangan kehidupan agensia hayati makin mengecil.

Nama C. binotalis Zell telah mengalami penurunan kerentanannya terhadap bahan pengendali yang diperlukan. Hal ini dimungkinkan strain yang ada telah melakukan modifikasi organ dalam tubuhnya melalui proses mutasi, sehingga C. binotalis Zell menjadi lebih tahan terhadap serangan agensia hayati yang masuk ke tubuhnya.

(19)

Insektisida Profenofos merupa-kan insektisida kimiawi yang sangat beracun bagi serangga yang bersifat sebagai racun kontak maupun racun perut, efektif dalam mengendalikan hama P. Xylostella Linn maupun hama C. binotalis Zell. Hal ini disebabkan karena insektisida Profenofos menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadinya penumpukan asetikolin dan terjadilah kekacauan pada sistim penghantaran impuls ke sel-sel otot. Keadaan ini akan menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat diteruskan, otot kejang-kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralysis) dan kematian.

Nematoda S. Carpocapsae tidak efektif dalam mengendalikan hama C. binotalis Zell, disebabkan karena interval aplikasi yang terlalu lama yaitu dua minggu sekali dan pengaruh sinar ultra violet pada hari berikutnya setelah aplikasi yang dapat mempengaruhi kemampuan nematoda untuk bertahan pada permukaan daun.

Menurut Glaugler dan Kaya (1993), nematoda untuk bergerak dan menemukan inangnya dalam lingkungan merupakan bagian yang sangat penting bagi efektifitas nematoda patogen. Banyak penelitian mengenai kesuksesan penggunaan nematoda S. Carpocapsae untuk mengendalikan serangan hama yang hidup di dalam tanah, akan tetapi penggunaan nematoda S. Carpocapsae pada permukaan daun sedikit sekali dilaporkan, karena faktor lingkungan fisik menjadi hambatan utama. Infektif Juvenil (IJ) adalah stadia untuk mencari dan menemukan inang, sangat rentan terhadap kondisi fisik yang ekstrim terutama sinar matahari, suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah.

Meskipun petani di daerah sekitar penelitian belum menggunakan agensia

hayati, akan tetapi penggunaan agensia hayati tersebut tidak efektif dalam mengendalikan hama P. Xylostella Linn maupun hama C. binotalis Zell.

3. Pengaruh Aplkikasi Perlakuan Terhadap Peningkatan Produksi Kubis

Besarnya produksi hasil panen serta beberapa nilai kondisi tanaman yang disebabkan serangan hama disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui rerata perlakuan dengan nematoda S. Carpocapsae dan profenofos. Demikian pula dari persentase tanaman yang tidak membentuk krop terbanyak pada kontrol, sementara agensia hayati S. Carpocapsae, B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki memberikan penurunan yang signifikan namun nilai terendah diperoleh pada kelompok perlakuan B. thuringiensis var Aizawai, nematoda S. Carpocapsae maupun insektisida Profenofos.

Perlakuan insektisida Profenofos sebaiknya tidak usah dilakukan, cukup dengan pengendalian hayati menggunakan nematoda S. Carpocapsae, dan B. thuringiensis var Kurstaki

(20)

E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Insektisida Profenofos paling efektif

dibanding dengan perlakuan agensia hayati dalam pengendalian populasi hama tanaman kubis P. Xylostella Linn maupun hama C. binotalis Zell b. Efektifitas agensia hayati dalam

mengendalikan hama tanaman kubis P. Xylostella Linn paling tinggi adalah dengan nematoda S. Carpocapsae (All Strain),diikuti oleh B. thuringiensis var Aizawai dan B. thuringiensis var Kurstaki c. Aplikasi agensia hayati atau

insektisida tidak efektif dalam mengendalikan hama C. binotalis Zell.

d. Perlakuan agensia hayati atau insektisida memberi pengaruh yang sama terhadap bobot panen tanaman.

2. Saran

a. Waktu aplikasi agensia hayati nematoda S. Carpocapsae (All Strain) dapat disesuaikan dengan pengamatan nilai ambang ekonomi hama, sehingga tidak menimbulkan kerusakan tanaman kubis.

b. Pada penelitian lebih lanjut tentang frekuensi penyemprotan penggu-naan dengan nematoda S. Carpocapsae (All Strain) terhadap tanaman kubis pada interval setiap minggu sekali.

F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan. Report of Practical Stage in Garden of Lembaga

Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu Jakarta 49p.

Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek Budidaya Universitas Indonesia. Jakarta. 485p.

Chaerani, Finegan, M.M., Downes, M.J. dan Griffin, C.T. 1995. Pembiakan massal Nematoda Entomopathogen

Steinernema Serangga

Heterorhabditis Isolat Indonesia Secara in Vitro Untuk Mengendalikan Hama Penggerek Padi Secara Hayati. Poster Ilmiah Pada Pekan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pospitek Serpong 28-29 Nopember 1995. 11p.

Ehlers R.U. and A. Peter. 2001. Entomophatogenic Nematodes in Biological Control, Feasibility, Perspective and P Risks, In Biological Control: Nenefit and Risks (H.M.T. Hokkanen and J.M. Lynch, eds). Cambridge University Press. Cambridge. 119-136.

Glaugler. R. dan Kaya, H.K. 1993. Entomopathogenic Nematodes in Biological Control. CRC. Press Boca raton Florida.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revisid and Translated by P.A. Van Der Laan. Ichtiar Baru. Jakarta. 627p

Mau, R.F.L. dan J.L.M. kessing. 1992. Plutella xylostella Linn. Dept. Of Entomology. Honolulu Hawai http: //www. Extento Hawai. Edu/base/crop/Type/Plutella Htm. Matsumura, F. 1995. Toxycology of

Insectisiden. Plehum Press. New York. 503p.

Novizan. 2002 Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.. Agro Media Pustaka. Jakarta:50-60pp.

Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 255p

(21)

Permadi, A.H. 1993. Kubis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura Lembang. 155 hal. Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit

Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. 103p.

Rukmana. R. 1997. Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisus. Yogyakarta 76-77p.

Setiawati. W. 1996. Status Resistensi Plutella xylostella Linn Strain Lembang, Pengalengan dan Garut Terhadap Pestisida Bacillus thuringiensis. Jurnal Hortikultura (3) 367-391.

Shelton. A. N. Turner, D. Giga, D. Wilkinson P., Zitzaanza, W. Dan Utete. D. 1995. Diamond Back Month. Zimbabwe. Horticultural Crop Past Management. NYSAES. Genewa. 2pp.

Sulistyanto. D. 1999. Pemanfaatan Nematoda Entomopatogen Steirnenema carpocapsae dan Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis spp. Isolat Sebagai Pengendalian Hayati Serangga Hama Hortikultura. Kumpulan Materi Crash Course Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu Pemandu Lapang di Jember oktober 1999.

Trizelia. 2002. Pemanfaatan Bacillus

thuringiensis Untuk

Mengendalikan Hama Plutella xylostella Linn. Sumber : http;/rudyct, Tripod com/sem 1-612/trizelia.htm.

Tang, Z.; H. Gong and Z. P. You. 1988. Present Status and Control Measuring of Insectiside Resistance in Agricultura Pset in China. Bull Pestic. Sci. 23: 189-198pp.

Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University

(22)
(23)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya penelitian ini diharapkan guru dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai untuk siswa kelas XI pada pelajaran kimia, khususnya penerapan metode

Pada perwujudannya, penciptaan tata rias pemeran tokoh iblis naskah Ketika Iblis Menikahi Seorang Perempuan menggunakan bahan utama latex sebagai material untuk

Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan mixer pengaduk adonan kerupuk ini meliputi biaya sewa bengkel, biaya bahan, dan biaya tenaga kerja dengan rincian :. Biaya

Sedangkan untuk karbon aktif pelepah aren yang diaktivasi dengan KOH didapat bahwa semakin besarnya suhu karbonisasi maka semakin meningkat juga bilangan iodin yang

Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Doa Anak Jalanan NDU\D 0D¶PXQ $IIDQ\ 'DUL penelitian ini ditemukan lima

Berdasarkan fenomena dan penelitian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang diberi judul “Pengaruh Komitmen organisasional , Penjualan Adaptif Orientasi

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap

Saran yang ingin penulis sampaikan adalah perlu dilakukan analisis pewarna rhodamin B dan pengawet natrium benzoat pada sampel saus tomat lain yang beredar di masyarakat