• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BERLAKU DI INDONESIA

A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana 1. Arti Pembuktian

Hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup sudah tua umurnya. Hal ini karena manusia dalam masyarakat, seprimitif apapun individu tersebut, pada hakikatnya memiliki rasa keadilan, dimana rasa keadilan tersebut, akan tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau membebaskan orang yang bersalah, ataupun memenangkan orang yang tidak berhak dalam suatu persengketaan. Agar tidak sampai diputuskan secara keliru, dalam suatu proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian yang sesuai dengan peraturan. Sehubungan dengan itu, sesuai dnegan perkembangan sejarah hukum, maka berkembang pulalah hukum dan kaidah di bidang hukum pembuktian dari sistem pembuktian yang irrasional atau sederhana ke arah sistem yang lebih rasional atau komplit/rumit.65

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Munir Fuady memberikan batasan hukum pembuktian yaitu:

66

65

Munir Fuady., Op. cit., hal. 9.

66

(2)

Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

Jika ditinjau dari segi hukum acara pidana, maka arti pembuktian mengandung makna yaitu:67

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan di persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah akan mendapat hukuman.

b. Harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.

Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya.68

67

R. Soepomo., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hal. 13.

Menurut Subekti, yang dimaksudkan dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu

68

(3)

persengketaan”.69 Karena pembuktian merupakan sebuah sistem, amak pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya70

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian, diuraikan sebagai berikut:

.

71

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden);

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen);

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast); dan

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Salah satu prinsip dalam hukum acara pidana adalah bentuk pemeriksaaan dilakukan secara oral debat, dimana pemeriksaan termasuk pembuktian perkara pidana antara pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis, tetapi harus dengan berbicara satu sama lain atau secara lisan agar dapat

69

R. Subekti., Op. cit, hal. 1.

70

Andi Hamzah (II)., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 245.

71

Bambang Poernomo., Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Jogjakarta: Liberty, tanpa tahun), hal. 39.

(4)

diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan pihak manapun.72

2. Sistem Pembuktian Pidana Secara Umum

Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran atau teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Beberapa teori yang berkenaan dengan sistem pembuktian pada umumnya menurut M. Yahya Harahap, adalah:73

a. Conviction in time. Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian

conviction in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat

saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim

semata-72

Bambang Poernomo., Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 79.

73

(5)

mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.

b. Conviction raisonee. Dalam sistem ini, hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, perbedaannya dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction

raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu

harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau

conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif,

keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau

(6)

sistem ini dibandingkan dengan sistem pembuktian keyakinan atau

conviction-in time? bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Keempat sistem pebutkian yang disebutkan di atas, dianut pada beberapa negara di dunia khususnya mengenai pembuktian dalam hukum pidana. Setelah dijelaskan beberapa teori pembuktian sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini, tiba saatnya mengkaji mengenai pembuktian yang dianut dan diatur dalam KUHAP.

3. Sistem Pembutkian yang Dikenal Dalam Hukum Acara Pidana

Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan ”sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem

(7)

pembuktian positif (positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) merupakan pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yaitu; alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.

Sistem pembuktian secara negatif ini diakui berlakunya secara eksplisit dalam KUHAP, yang ditentukan dalam Pasal 183. Selengkapnya, peneliti mengulangi bunyi Pasal 183 KUHAP tersebut yaitu, ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya. Pasal 294 HIR menyebutkan bahwa, ”Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu”.

Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem ”pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekanan saja. Pada Pasal 183 KUHAP, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca

(8)

dalam kalimat ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa ”sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.74

Untuk menjajaki alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183. Dari penjelasan Pasal 183 pembuat Undang-Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk

stelsel).

Jika ditafsirkan lebih jauh maka sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenang-wenangan seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan seperti yang dianut sistem pembuktian conviction-in time, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan sulit

74

(9)

mengujinya dengan cara dan ukuran objektif. Oleh karena itu, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata, mempunyai tendensi kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan salah atau tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif hakim. Sedangkan masalah subjektif seorang manusia, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan yang berbeda, sehingga akan dikhawatirkan praktek penegakan hukum yang berbeda dan beragama dalam pemidanaan. Akan tetapi, sebaliknya jika pemidanaan terdakwa semata-mata digantungkan kepada ketentuan menurut alat-alat bukti yang sah tanpa didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan yang diwujudkan dalam upaya penegakan hukum, sedikit banyak agak jauh dari kebenaran sejati, karena hanya mengejar dan mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat menimbulkan tekanan batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang diyakininya tidak benar-benar bersalah.

Setelah diberlakukannya KUHAP melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, maka masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (hukum acara pidana). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.75

75

(10)

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut hukum pidana formil diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan undang-undang atau negatief wettelijk overtuiging dengan dasar teori negatief

wettelijk overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa

berdasarkan keyakinannya dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP yaitu, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sedangkan yang dimaksud dengan dua alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu, Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.

Sistem pembuktian secara negatif dalam sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia diberlakukan dalam hukum acara pidana karena yang dicari oleh hakim pidana adalah suatu kebenaran materil (materiele waarheid).76

B. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Alat bukti adalah alat untuk menjadi pegangan hakim sebagai dasar dalam memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang kepada alat bukti tersebut dapat

76

(11)

mengakhiri sengketa di antara mereka.77 Jika dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutur perkara.78 Sedangkan menurut Roihan, alat bukti adalah alat yang diperlukan oleh para pencari keadilan maupun pengadilan.79

Untuk membuktikan peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta yang berkenaan dengan kasus yang sedang diadili di sidang pengadilan, dilakukan dengan menggunakan alat-alat. Dalam hal tindak pidana, maka alat-alat bukti yang dikenal di dalam hukum acara pidana terdapat di dalam Pasal 184 Ayat (1) yaitu:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan terdakwa.

Dalam KUHAP tidak diatur mengenai hasil informasi elektronik sebagai alat bukti yang tertera di dalam Pasal 184 Ayat (1) kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jadi, di dalam ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP hanya ditentukan ada lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Dan hal yang sudah umum tidak mesti harus dibuktikan, lihat Pasal 184 Ayat (2). Berikut ini penulis

77

Nashr Farid Washil, Op. cit., hal. 23.

78

Anshoruddin., Op. cit., hal. 55.

79

(12)

menjelaskan mengenai kelima alat-alat bukti yang dikenal di dalam KUHAP tersebut sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi

Mengenai hal yang berhubungan dengan tata cara pemeriksaan, bahkan mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi sudah banyak dibicarakan. Syarat-syarat menjadi seorang saksi menurut Andi Hamzah adalah bahwa, ”Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi”.80 Akan tetapi ada kekecualian menjadi seorang saksi, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 168 KUHAP.81

Akan tetapi kesaksian seorang saksi, tidak dapat diungkapkan di depan sidang pengadilan secara terbuka, karena hal tersebut berkaitan erat dengan kode etik jabatan yang mengatur masalah rahasia jabatannya. Misalnya dalam dunia Kedokteran, seorang saksi doketr harus merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya jika seandainya si pasien tersebut yang di dakwa di persidangan. Di samping kode etik, di dalam KUHAP sendiri pun sudah diatur yakni pada Pasal 170 KUHAP.82

80

Andi Hamzah (III), Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. cit., hal. 268.

Dalam

81

KUHAP, Pasal 168 berbunyi:

Kekecualian ditentukan lain dalam undang-undang, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

82

Ibid, Op, cit, hal. 82, Pasal 170 berbunyi:

a. Mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu hal yang dipercayakan kepada mereka;

(13)

Pasal 171 KUHAP83

Saksi wajib disumpah sebelum memberikan kesaksiannya di sidang pengadilan. Dalam hal saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji tersebut, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Dalam Pasal 160 Ayat (3) KUHAP

ditambahkan kekecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah.

84

, dikatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa seorang saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Dan pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak suatu kesaksian, Pasal 161 Ayat (1) dan (2) KUHAP.85

Penjelasan Pasal 161 Ayat (2), menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak seorang saksi sebagaimana yang dikatakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut:

86

83

Ibid, Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

84

Ibid, hal. 78, berbunyi: Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

85

Ibid, hal. 79, berbunyi:

a. Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanjia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 Ayat (3) dan Ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenkaan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari;

b. Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangam yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

86

(14)

”Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.”

Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat hakim. Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim. Namun, agak lain dengan bunyi Pasal 165 Ayat (7) KUHAP yang menyatakan bahwa, ”Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain”.

Keterangan tentang pengambilan sumpah terhadap saksi menurut KUHAP, berbeda dengan Ned. Sv, yang baru, dimana keterangan seorang saksi yang disumpah dan tidak disumpah, tidak ada perbedaannya sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan meraka ada dicantumkan di dalam Pasal 284 hanya dikatakan saksi disumpah oleh ketua. Tetapi kalau tidak disumpah, maka sama dengan yang disumpah.87

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas mengenai keterangan saksi, maka dapat dikatakan syarat-syarat sahnya keterangan saksi menurut M. Yahya Harahap adalah:88

a. Harus mengucapkan sumpah atau janji;

b. Keterangan saksi tersebut harus bernilai sebagai bukti; 87

Andi Hamzah (II)., Op. cit, 272.

88

(15)

c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan; d. Keterangan saksi saja dianggap tidak cukup;

e. Keterangan saksi harus terdiri dari beberapa orang saksi dan apa yang dipersaksikan itu harus saling berhubungan satu sama yang lainnya.

Jadi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, artinya agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi syarat-syarat keterangan saksi seperti yang dijelaskan di atas.

Akan tetapi mengingat perkembangan saat ini yang semakin komplit dengan permasalahan akibat kemajuan Teknologi dan Informasi, selama 28 tahun setelah berlakunya KUHAP jelas masuk akal KUHAP diperbaharui dalam rangka untuk megantisipasi persoalan yang muncul akibat keterbatasan pengaturan KUHAP dan ketertinggalan aspek-aspek yang diatur di dalam KUHAP seiring dengan perkembangan di masyarakat.89 Sehingga dengan kehadiran KUHAP yang RUU-nya telah dipersiapkan sejak tahun 1967, telah membawa perubahan yang fundamental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.90

Salah satu perubahan yang fundamental di dalam KUHAP adalah dalam hal penempatan beberapa alat bukti seperti informasi elektronik dalam tindak pidana terorisme sebagai alat bukti, di samping itu juga telah diperkenalkan cara pemeriksaan saksi dari jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang

89

Aloysius Wisnubroto., dan Gregorius Widiartana., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Semarang: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 5.

90

Hendrastanto Yudowidagdo., Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 22-23.

(16)

dikenal dengan teleconference atau videoconference.91 Di Indonesia, permintaan pemeriksaan saksi teleconference ini pernah muncul tiga kali, pertama, dalam pengadilan tindak pidana korupsi dengan terdakwa mantan Menperindag/Kabulog Rahardi Ramelan dengan keterangan seorang saksi jarak jauh yaitu B.J.Habiebie yang berada di Hamburg Jerman, kedua, dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur yang dipintakan oleh pihak penuntut umum, ketiga, dalam kasus makar dengan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, dimana majelis hakim mengabulkan pemeriksaan saksi jarak jauh Faiz Abu Bakar Bafana yang berada di sungapura.92

2. Keterangan ahli

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Di dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut KUHAP, dan menurut Andi Hamzah dapat merupakan kesenjangan pula. Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.93

91

Aloysius Wisnubroto., dan Gregorius Widiartana., Op. cit, hal. 93.

92

Faiz Abu Bakar Bafana., ”Ba’asyir Perintahkan Pembunuhan Megawati”, Dalam SKH

Kompas, 27 Juni 2003, hal. 1. 93

(17)

KUHAP membedakan keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti keterangan ahli (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter. Seorang Ahli dapat memberikan keterangan mengenai tandatangan dan tulisan sebagai alat bukti dalam hal terjadi pemalsuan tandatangan dan tulisan tangan. Hal ini termuat dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI kepada jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia No.SE-003/J.A/2/1984 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. Pasal 187 KUHAP. Tetapi menurut M. Yahya Harahap hanya sebatas mengenai keterangan ahli tentang tanda tangan dan tulisan. Jika tanda tangan atau tulisan hendak dijadikan alat bukti, untuk menentukan autentikasi tanda tangan dan tulisan tersebut, ahli yang dimintai keterangannya untuk itu menurut Surat Edaran Jaksa Agung untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, keterangan ahli autentikasi diberikan oleh Labkarim Mabak.94

Pada pemeriksaan penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, peyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan dari seorang ahli. Apabila keterangan ahli bersifat diminta, ahli tersebut membuat laporan sesuai dengan yang dikehendaki penyidik.

95

94

M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 301.

Laporan tersebut menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Oleh karena, penjelasan Pasal 186, laporan seperti itu bernilai sebagai alat bukti keterangan ahli

95

(18)

yang diberi nama alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Menurut M. Yahya Harahap, pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat”.96 Hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP yang menentukan salah satu yang termasuk alat bukti surat ialah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Hal ini tergantung pada kebijakan hakim dapat menilainya sebagai alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan atau menyebutnya sebagai alat bukti surat. Kedua alat bukti tersebut sama-sama bersifat “kekuatan pembuktian yang bebas” dan tidak mengikat.97 Keterangan yang sekalipun diberikan oleh beberapa ahli namun dalam bidang dan keahlian yang sama atau hanya mengungkap suatu keadaan atau suatu hal yang sama, maka hanya dianggap sebagai satu alat bukti saja.98

3. Surat

Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, di dalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari empat butir. Asser Anema, memberikan pengertian mengenai surat ialah segala sesuatu yang

96 Ibid, 304. 97 Ibid, hal. 304. 98 Ibid, hal. 305.

(19)

mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. “Sedangkan surat menurut Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan”. Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:99

1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; 2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; dan

4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Jenis-jenis surat ini tercantum dalam Pasal 187 KUHAP100

99

Muhammad Taufik Makarao., dan Suhasril., Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 127.

sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Pasal 187 butir (a) dan (b) di atas disebut juga akta otentik,

100

KUHAP., Op. cit, Pasal 187 huruf a, b, c, dan d berbunyi:

Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang dipeuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; dan

(20)

berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, paspor, surat izin mengendarai (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), akta lahir, dan sebagainya. Pasal 187 butir (c), misalnya keterangan ahli yang berupa laporan atau

visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya. Pasal 187

butir (d) disebut juga surat atau akte dibawah tangan.101

Surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain.

102

Selaras dengan bunyi Pasal 187 butir (d), maka surat di bawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh surat ini adalah keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti di samping sehelai surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir (d) KUHAP.103

Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materiil, semua

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

101

M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 307.

102

Muhammad Taufik Makarao dan Suahsril, Op. cit, hal. 128.

103

(21)

bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht). Adapun alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain, asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran sejati (materiel

waarheid), bukan mencari keterangan formil. Selain itu, asas batas minimum

pembuktian (bewijs minimum) yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya alat bukti surat, namun alat bukti surat ini tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat bukti yang sah lainnya guna memenuhi batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Petunjuk

Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 Ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(22)

Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Terhadap bunyi Pasal 189 Ayat (2), M. Yahya Harahap mengatakan, bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah:104

1) Keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; 2) Keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;

3) Serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.

Pengakuan tersangka dalam tingkat penyidikan dapat dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Alasan dicabutnya pengakuan tersebut adalah karena tersangka disiksa oleh petugas penyidik.105

104

M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 424.

105

(23)

C. Kedudukan Alat Bukti Informasi Elektronik Dalam Perkara Pidana Menurut KUHAP

Untuk membuktikan peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta yang berkenaan dengan kasus pidana yang diadili di sidang pengadilan, menurut KUHAP dilakukan dengan menggunakan alat-alat. Dalam hal tindak pidana, maka alat-alat bukti yang dikenal di dalam hukum acara pidana terdapat di dalam Pasal 184 Ayat (1) yaitu:

1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan terdakwa.

Dalam KUHAP tidak diatur mengenai informasi elektronik sebagai alat bukti yang tertera di dalam Pasal 184 Ayat (1) kecuali keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jadi, di dalam ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP hanya ditentukan ada lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Hal ini berarti tindak pidana yang bersifat umum yang disebutkan di dalam KUH Pidana, seperti tindak pidana pembunuhan, penganayaan, jika diterapkan alat bukti berupa informasi elektronik, tidak dapat dijadika sebagai alat bukti akan tetapi hanya sebagai barang bukti yaitu barang bukti sebagai pendukung alat bukti petunjuk di dalam KUHAP. Jadi, kedudukan informasi elektronik jika dipandang dari sudut KUHAP, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri sebagaimana halnya kelima-lima alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP tersebut, melainkan hanya sebagai barang bukti pendukung saja. Dengan kata lain

(24)

hanya karena dengan persesuaiannya menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana.

Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 Ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Menurut Pasal 188 Ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari: 1) keterangan saksi, 2) surat, dan 3) keterangan terdakwa. Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Pasal 188 Ayat (3), penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Sebagaimana diketahui, bahwa alat bukti konvensional dalam hukum acara pidana terdapat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan alat bukti konvensional di dalam hukum acara perdata adalah sebagaimana ditentukan di dalam

(25)

Pasal 164 Herzien Indonesisch Reglement (HIR) yaitu, bukti tulisan, bukti saksi, bukti persangkaan, bukri pengakuan, dan bukti sumpah.

Menurut Munir Fuady bahwa, ketentuan di dalam alat bukti, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana terdapat model alat bukti yang terbuka ujung (open end), yang memungkinkan masuknya berbagai alat bukti baru, sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi, termasuk alat bukti yang sangat bersifat sainstifik dan/atau eksperimental. Alat bukti yang terbuka ujung tersebut adalah alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata dan alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Selanjutnya, perlu diketahui karena banyaknya alat bukti nonkonvensional tersebut yang canggih dan sangat berorientasi pada perkembangan teknologi, maka banyak di antaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akurat, bahkan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional. Alat bukti nonkonvensional yang demikian dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan melalui pendemonstrasian di hadapan hakim. Ada beberapa contoh alat bukti demonstratif yakni sebagai berikut: 106

1. Foto atau rekaman video. Foto digital. Nondigital, atau rekaman video dapat menjadi alat bukti demonstratif sepanjang foto-foto tersebut tersebut dapat menjelaskan duduk fakta yang ada. Dalam hal ini, foto atau rekaman video dapat dipergunakan jika pihak yang mengambil foto atau video tersebut dapat 106

Munir Fuady., Op. cit., hal. 182, Model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut dengan tes DNA (deoxyribonucleic acid) yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata. Contohnya adalah kasus yang menimpa tersangka perkosaan dan perampokan yang bernama Ronald Cotton pada tahun 1984 di Burlington, North Carolina, USA. Dimana Ronald Cotton dituduh melakukan pemerkosaan terhadap dua orang gadis yang tinggal di apartemen. Persidangan di USA mengatakan bahwa Ronald Cotton terbukti melakukan pemerkosaan. Akan tetapi setelah 10 tahun lamanya, kemudian dilakukan tes DNA pemerkosa, ternyata sampel tersebut tidak sesuai atau tidak matching dengan sperma milik Ronald Cotton. Hal ini diketahui setelah dilakukan tes DNA.

(26)

dipanggil sebagai saksi ke pengadilan, atau jika dia tidak dapat ke pengadilan, ada saksi lain yang sanggup menjelaskan keakuratan pengambilan foto atau

video tersebut.

2. Rekaman suara melalui tape recorder , telepon, atau pesan SMS melalui telepon seluler. Sama dengan pengambilan foto atau video, rekaman suara melaluiu tape recorder, telepon atau bahkan pesan SMS melalui telepon seluler juga dapat dipergunakan sebagai alat bukti demonstratif. Sama dengan alat bukti demonstratif dalam bentuk foto atau video, alat buti demonstratif berupa tape recorder, telepon atau bahkan pesan SMS dapat dipergunakan jika pihak yang merekam tersebut dapat dipanggil sebagai saksi ke pengadilan, atau jika dia tidak dapat ke pengadilan, ada saksi lain yang sanggup menjelaskan kekauratan rekaman tersebut.

3. Peta, model atau grafik, plaster cast, molds, maps, diagram, sketsa, dan

charts. Peta, model, grafik, sketsa atau alat peragaan lainnya termasuk

penulisan di papan tulis, di kertas besar, atau pemakaian mesin slight

projector atau infocus, juga dapat dpergunakan sebagai alat bukti demonstratif

manakala peta, model, sketsa, dan lain-lain alat peragaan tersebut menunjukkan hal yang relevan dengan pembuktian dan merupakan penunjukan yang akurat terhadap apa yang ditunjukkannya.

4. Hasil rekaman X Ray, CT Scan, dan berbagai alat foto kedokteran lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa rekaman X Ray, CT Scan, dan berbagai alat foto kedokteran lainnya umumnya diambil tanpa banyak orang melihatnya. Oleh karena itu, orang yang mengambil foto tersebut atau dokter yang terlibat dalam menganalisis harus dipanggil menjadi saksi di pengadilan, atau jika dia tidak dapat ke pengadilan, ada saksi lain yang sanggup menjelaskan keakuratan rekaman tersebut.

5. Alat bukti duplikasi. Tidak selamanya alat bukti asli dapat dihadirkan ke pengadilan. Oleh karena itu, duplikasi dari alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti demonstratif sepanjang dapat membuktikan bahwa duplikasi tersebut benar-benar duplikasi dari aslinya. Sebagai contoh penggunaan pistol dari jenis dan kaliber yang sama dengan pistol yang dipergunakan oleh pembunuh dalam suatu pembuktian kasus pembunuhan. 6. Beberapa alat bukti demonstratif lain yang sering didemonstrasikan di depan

hakim dalam sidang antara lain sebagai berikut: 1) Tes sainstifik dalam sidang pengadilan; dan 2) Bukti rekonstruksi komputer.

Alat bukti yang telah ditentukan di dalam ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP telah ditentukan lima jenis alat bukti yang sah. Alat bukti ini merupakan alat bukti konvensional, yaitu alat-alat bukti yang sudah ditentukan di dalam KUHAP. Di

(27)

luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP tersebut telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar daripada alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 tersebut, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukumnya, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat bukti dalam Pasal 184. mereka tidak boleh leluasa dalam menggunakan alat bukti di luar alat bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 Ayat (1) tersebut. Yang dinilai sebagai alat bukti dan mempunyai kekuatan pembuktian, hanya bukti yang digariskan di dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP tersebut, sedangkan alat-alat bukti di luarnya tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.107

Jika dibandingkan dengan alat bukti di dalam Pasal 295 HIR, maka ada penambahan alat bukti baru yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan sendirinya, memiliki makna lain yaitu pengakuan terdakwa menjadi keterangan terdakwa. Alat-alat bukti yang tercantum di dalam Pasal 295 HIR tersebut dipandang sudah kuno, karena sama dengan Ned. Sv, (Nedherlands Strafvordering) yang lama. Belanda sendiri sudah lama (Tahun 1926) mengubahnya dalam Sv, yang baru.108

Karena kententuan yang mengatur alat bukti tersebut merupakan hukum acara yang merupakan hukum publik, maka alat bukti dalam hukum acara pidana maupun

107

M.Yahya Harahap, Op. cit, hal. 285.

108

(28)

dalam hukum perdata bersifat memaksa. Artinya, segala jenis alat bukti yang sudah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah maupun dikurangi. Hanya saja tertolong bahwa baik dalam ketentuan hukum acara pidana maupun dalam hukum acara perdata, terdapat model alat bukti yang terbuka ujung (open end), yang memungkinkan masuknya berbagai alat bukti baru, sesuai dengan perkembangan Informasi dan Teknologi yang canggih termasuk alat bukti yang bersifat sainstifik dan atau eksperimental. Alat-alat bukti yang terbuka ujung tersebut menurut Munir Fuady digolongkan ke dalam alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata, dan digolongkan sebagai alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana, dan alat bukti yang terbuka ujung ini sering disebut sebagai alat bukti nonkonvensional109

Jika dilihat dari segi kedekatan alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, maka terdapat dua macam alat bukti, yaitu sebagai berikut:110

1. Alat bukti langsung; dan

2. Alat bukti tidak langsung (sirkumstansial).

Yang dimaksud dengan alat bukti langsung (direct evidence) adalah alat bukti dimana saksi melihat secara langsung mengenai fakta sebenarnya yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahapan saja) dengan adanya alat bukti tersebut. Sedangkan alat bukti tidak langsung (indirect

109

Munir Fuady, Op. cit, hal. 182, perlu diketahui bahwa karena banyaknya alat-alat bukti nonkonvensional tersebut yang canggih dan snagat berorientasi pada perkembangan Teknologi Informasi, maka banyak di antaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akurat, bahkan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional (yang di dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP), sebagai contoh dapat dilihat model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut dengan tes DNA (Deoxyribonucleic acid) yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata.

110

(29)

evidence) adalah atau disebut juga alat bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti

dimana antara fakta yang terjadi dengan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.111

Jika dilihat dari fisik alat bukti, maka alat bukti tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Alat bukti testimonial; 2. Alat bukti berwujud; dan

3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.

Yang dimaksud dengan alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti berwujud (tangible evidence) adalah adalah model-model alat bukti yang dapat yang dapat dilihat wujudnya atau betuknya yang pada prinsipnya terdiri dari dua macam yaitu:112

a. Alat Bukti riil. Alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang meruakan benda yang nyata ada di tempat kejadian misalanya, pistol atau pisau yang telah digunakn untuk membunuh, atau mesin mobil yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan.

b. Alat bukti demonstratif. Alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang berada di tempat kejadian misalnya alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh, dan sebagainya.

111

Ibid, hal. 5, contoh dari alat bukti langsung adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak ke arah korban, saksi mendengar bunyi letusan, dan kemudian melihat langsung si korban terkapar. Sedangkan contoh dari alat bukti tidak langsung (bukti sirkumstansial) adalah manakala di tempat kejadian, skais untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya, dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau tersebuut.

112

(30)

Selanjutnya, yang dimaksud dengan alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial adalah bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial, misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumya di kasus yang lain.113

Bahwa dalam kenyataannya di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal, seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan, dan sebagainya, masih sangat banyak alat bukti yang nonkonvensional, tidak terantisipasi pada saat HIR ataupun KUHAP dibentuk, misalnya tentang alat bukti elektronik, sainstifik dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat atau tidaknya diterima alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan. Akan tetapi menurut Munir Fuady bahwa, agar hukum pembuktian kita tidak ketinggalan kereta api, maka alat-alat bukti non konvensional tersebut haruslah dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat

Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial ini merupakan jenis alat bukti yang merupakan gabungan dari dua jenis alat bukti sebelumnya. Contoh dari jenis alat bukti ini adalah transkrip dari keterangan saksi atau transkrip dari siding sebelumnya dalam kasus yang lain. Meskipun dalam kenyataannya, di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan dan sebagainya sangat banyak modal alat bukti yang non konvensional dimana alat bukti tersebut tidak terantisipasi pada saat HIR atau KUHAP terbentuk.

113

http://roysanjaya.blogspot.com/2008_09_15_archive.html, “Pembuktian Berwujud”, oleh:

(31)

bukti di pengadilan. Hal ini dapat dilakukan, baik lewat alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata (vide Pasal 164 HIR) maupun melalui alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana (vide Pasal 184 KUHAP).114

Ketentuan mengenai alat bukti yang berkaitan dengan pembuktian di sidang pengadilan, Wisnubroto dan Widiartana menyatakan,

115

”Dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP ada lima jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Kelima jenis alat bukti tersebut, dapat dianggap cukup untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu tindak pidana konvensional. Di sampin itu, dalam perkembangannya, sesuai denagn perkembangan masyarakat, muncul dan terjadi tindak pidana inkonvensional yang karakteristiknya berbeda dengan tindak pidana konvensional. Untuk mengungkap dan membuktikan terjadinya tindak pidana inkonvensional tersebut diperlukan alat bukti lain selain dari yang selama ini dikenal dalam KUHAP, misalnya data atau informasi yang tersimpan dalam media penympanan elektronik.”

Salah satu karakter dari hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented. Artinya, perkembangan teknologi memberikan dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, selain dari pada alat bukti konvensional yang disebutkan di dalam KUHAP, masih banyak lagi bentuk-bentuk alat bukti dewasa ini yang sering dimajukan di sidang pengadilan, seperti halnya foto, rekaman elektronik, gambar, suara, dan lain-lain. Alat bukti tersebut dikenal dengan istilah alat bukti non konvensional atau inkonvesional atau alat bukti demonstratif. Alat bukti ini

114

Ibid.

115

Aloysius Wisnubroto dan Gregorius Widiartana, Loc. cit, hal. 100-101, sebagai perbandingan dalam Undang-Undang Pembuktian di Malaysia yang telah memasukkan alat bukti “dokumen” yang pengertiannya lebih luas daripada alat bukti surat sebagai dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.

(32)

tidak ada ditentukan di dalam KUAHP tetapi ditentukan di beberapa undang-undang lain seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Terorisme, dan lain-lain. Jadi, macam-macam alat bukti yang tidak ditentukan di dalam KUHAP tetapi terbuka ujung untuk diterapkan alat bukti lain selain di dalam KUHAP, juga alat bukti tersebut tersebar di beberapa undang-undang organik lainnya.

Jadi, dalam hal pembuktian alat bukti alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika menggunakan pembuktian dan alat-alat bukti dalam kasus tindak pidana terorisme, maka kedudukan alat-alat bukti termasuk wibe site yang disebutkan dalam Pasal 27 UUPTPT dalam konteks KUHAP hanya sebagai alat bukti petunjuk. Tentu saja jika menggunakan pembuktian dalam KUHAP, maka sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa terorisme akan jauh dari pada maksud dalam UUPTPT karena alat bukti yang demikian termasuk ke dalam alat bukti petunjuk. Jadi, bukan lagi dikatakan alat bukti akan tetapi sebagai barang bukti menurut KUHAP.

D. Pengaturan Alat Bukti Informasi Elektronik Dalam UUITE dan Beberapa Peraturan Perundang-Undangan

Hukum acara perdata dan pidana memang belum mengenal adanya alat bukti elektronik sebagai alat bukti, misalkan Pasal 184 KUH Pidana. Disebutkan alat bukti menurut pasal itu ada lima yang juga dikenal sebagai alat bukti konvensional yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Hanya

(33)

hukum acara Mahkamah Konstitusi yang mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti sebagai mana tertuang dalam Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dirumuskan alat bukti dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah (i) surat atau tulisan, (ii) keterangan saksi, (iii) keterangan ahli, (iv) keterangan para pihak, (v) petunjuk, dan (vi) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.

Pengaturan mengenai alat bukti elektronik ini tersebar di beberapa undang-undang s

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Pasal 12 Undang-undang tersebut berusaha memberikan pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen atau ditransformasikan) dapat dijadikan sebagai alat bukti;

ebagaimana diutarakan di atas, bahwa hukum acara perdata dan pidana tidak mengenal pengaturan mengenai alat bukti elektronik. Namun, dalam aturan materil ternyata ditemukan pengaturan alat bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti hanya saja peraturan itu tersebar di beberapa undang-undang seperti:

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, tetapi

(34)

menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data

interchange), surat elektronik (e-mail

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 27 menyatakan, “Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara, atau gambar; (b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; (d) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;

), telegram, teleks, faksimili dan dari dukumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna;

(35)

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 38 huruf (b), yaitu “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”;

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terdapat pada Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dapat pula berupa: a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan b. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, bauk yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: (1) Tulisan, suara atau gambar; (2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; (3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 5 adalah: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik

(36)

dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Setidaknya dari keenam undang-undang tersebut tergambar atau dapat disimpulkan bahwa ada dua pandangan mengenai pengaturan alat bukti. Pandangan

pertama, adalah bahwa bukti elektronik itu masuk dalam pengkatagorian bukti yang

sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri. Terlihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pandangan kedua, menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri. Pengaturannya ditemukan dalam ke empat peraturan terakhir yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme, UUPTPPU, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).116

Sebagai sebuah produk hukum, UUITE juga merupakan suatu langkah yang amat berani dengan memperkenalkan beberapa konsep hukum baru yang selama ini kerap menimbulkan polemik. UUITE juga merupakan terobosan hukum yang penulis anggap mampu mendorong perkembangan informasi dan teknologi (IT), dunia usaha dan bahkan kepentingan publik sehingga mampu mewujudkan fungsi hukum sebagai

116

http://staff.blog.ui.ac.id/abdul.salam/2008/07/01/alat-bukti-elektronik-di-indonesia/, “Alat Bukti Elektronik di Indonesia”, oleh: Abdul Salam, diakses terakhir tanggal 12 Oktober 2009.

(37)

alat rekayasa sosial. Khususnya pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah dalam dunia peradilan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, tapi juga tidak bisa disebut barang lama. Kehadiran UUITE memiliki arti penting tersendiri terutama bagi Indonesia. Sudah seharusnya dunia usaha menyambut gembira atas pengaturan yang diberikan oleh UUITE terhadap transaksi elektronik, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.117

Bunyi dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah dinyatakan hal-hal yang berkenaan dengan elektronik sebagaimana yang berhubungan dengan bentuk rekaman elektronik sebagai alat bukti sebagai berikut:

117

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL, diakses terakhir tanggal 12 Juni 2010. Dalam Artikel Sigit Ardianto yang berjudul, ”Manfaat (yuridis) Ekonomis UU Informasi dan Transaksi Elektronik”, Transaksi elektronik adalah solusi yang amat dibutuhkan. Namun, selama ini masih besar sekali keraguan para pelaku bisnis yang ingin menyelesaikan transaksi mereka secara elektronik. Padahal, hukum perdata kita menganut asas konsensualisme yang menyatakan bahwa perikatan terjadi setelah tercapainya kesepakatan, dan kesepakatan di sini tidak harus tercapai dalam bentuk tertulis, melainkan dapat terjadi secara lisan. Keraguan terbesar para pelaku bisnis adalah apakah transaksi yang mereka selesaikan secara elektronik telah sah sehingga segala hal yang mereka lakukan berdasarkan transaksi tersebut tidak akan menjadi sia-sia dan bahkan merugikan secara finansial. Dengan pengakuan UUITE bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak, maka keraguan tersebut telah sirna. Sambutan atas UU ITE ini juga seharusnya lebih luas lagi yaitu dari pemerintah dengan pengakuan bahwa penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. Dengan pengakuan ini, seharusnya dapat ditafsirkan bahwa pejabat pemerintahan dapat melakukan berbagai tugas dan kewenangannya secara elektronik. Manfaat terbesar dari UUITE adalah yang diberikannya kepada publik. Keberpihakan UUITE terhadap kepentingan publik terlihat dari batang tubuh UUITE yang dimulai dengan menyatakan bahwa UUITE juga berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum di luar wilayah hukum Indonesia yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Sifat extra territorial dari UU ITE ini memungkinkan pelanggar-pelanggar hukum yang melakukan aksi kriminal maya (cyber crime) di negara lain untuk dihukum berdasarkan hukum Indonesia. Kontrol sosial yang diberikan oleh UUITE juga terlihat dari pelarangan atas distribusi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, atau yang dapat menimbulkan rasa kebencian kepada kelompok tertentu berdasarkan SARA.

(38)

a. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy

atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;

b. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya; c. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,

menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi;

d. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;

e. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi;

(39)

f. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan;

g. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan;

h. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya;

i. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;

j. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim;

Kepolisian Indonesia selaku Sat Cyber Crime Polda Metro Jaya sudah memilik prosedur penanganan dan penyitaan bukti elektronik yang dibuat dalam bentuk buku saku. Disebutkan dalam buku saku tersebut bahwa prosedur penangan itu disarikan atau ringkasan dari prosedur yang di ambil dari Association of Chief

Police Officers Good Practice Guide for Computer Based Electronic Evidence

(ACPO Good Practice Guide

Sebagaimana hal elektronik, maka alat bukti elektronik ini memiliki karakter yang unik, yaitu bentuknya yang elektronik, dapat digandakan dengan mudah, dan sifatnya yang mudah untuk dirubah. Atas dasar itu penanganannya pun harus hati-hati, karena penanganan yang tidak hati-hati menyebabkan bukti elektronik tersebut menyebabkan bukti itu menjadi benalu sendiri bagi aparat penegak hukum. Artinya

(40)

malah membuat pelaku menjadi tidak terbukti karena kesalahan prosedur dalam penanganan.

Penanganan dan dan penyitaan alat bukti elektronik pada intinya adalah bagaimana bukti elektronik itu dapat dihadirkan ke muka persidangan secara autentik dan dapat direpresentasikan atau tidak rusak. Khusus dalam penelitian ini, yag menjadi fokus penelitian adalah informasi elektronik berupa website sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorisme. Namun, sesuai dengan perumusan masalah dalam penelitian ini, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai kedudukan alat bukti informasi elektronik ini menurut hukum acara pidana (KUHAP).

Referensi

Dokumen terkait

Lompat ke konten Jumat, Maret 17, 2017 About Me Contact me Privacy Policy Disclaimer TOS Sitemap Safara Jogja Safara Jogja Sharing And News Menu About Me Contact me

Maka untuk dengan menggabungkan ketiga konsep yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo tersebut dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi kejumudan keilmuwan di

Kapital (dana) boleh dikata adalah “darah” bagi bisnis. Kekurangan kapital akan menyebabkan bisnis lesu. Oleh karena itu, uang harus dikelola dengan benar agar bisnis dapat

lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan menjadi.. kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai

Harun Nasution sebagai salah seorang pembaharu Islam di Indonesia memandang berbagai tatanan kehidupan masyarakat dalam dunia modern harus diatur sendiri oleh umat Islam

Dalam penulisan skripsi ini dapat ditemukan beberapa permasalahan yaitu : Bagaimana pengaturan merger terkait dengan persaingan usaha?Merger sangat riskan terjadinya

(4) Perusahaan Pers yang telah ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini dalam waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya Peraturan Pelaksanaan tersebut

Tetapi pada kebanyakan kasus elektrolit hard chromium mempunyai kandungan chromtrioxid yang lebih rendah, yang padanya kemampuan menyebar (Streufaehigkeit) dan pemakaian