• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS ETIKA PEMBIAYAAN PADA BANK SYARI AH: INTERNALISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DISKURSUS ETIKA PEMBIAYAAN PADA BANK SYARI AH: INTERNALISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Riset / 3360

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

DISKURSUS ETIKA PEMBIAYAAN PADA BANK SYARI’AH:

INTERNALISASI TANGGUNG JAWAB SOSIAL-LINGKUNGAN

Zulfikar

( Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda Samarinda )

ABSTRAK

ZULFIKAR: Melalui telaah literatur, fokus penelitian ini adalah untuk mengkritisi kebijakan dalam penyaluran pembiayaan pada bank syari’ah dalam kaitannya dengan tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah yang hampir seluruhnya berorientasi pada aspek keuangan (Sistem CAMELS). Aspek keuangan menjadi dasar penilaian apakah sebuah bank syariah berkinerja baik atau buruk. Dengan kata lain, laba menjadi bagian (tujuan) yang sangat penting bagi sebuah bank syariah. Namun, apabila keuntungan dijadikan sebagai tujuan, maka hal ini bisa membenarkan apa pun yang dilakukan oleh suatu perusahaan (bank). Sehingga dalam hal pengelolaannya, terkait dengan sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah, maka bank syariah pun ternyata sama “rawannya” dengan bank konvensional yang bisa berdampak pada masalah sosial lingkungan. Kata Kunci: Etika, Pembiayaan, Tanggung Jawab Sosial-Lingkungan

PENDAHULUAN

... seat belt sering dianggap enteng, namun ternyata bermanfaat ketika terjadi kecelakan atau benturan. Demikian pula bagi dunia usaha — agar selamat dari ancaman konflik dengan masyarakat — pandai-pandailah menjaga hubungan dengan lingkungan sosial ... (Bachtiar Chamsyah).

Bumi sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi sama sekali tidak memadai bagi keserakahan kita (Mahatma Gandhi).

Seiring dengan berakhirnya abad ke 20, masalah lingkungan menjadi hal yang utama. Kita dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan, yang dalam waktu dekat akan segera menjadi tidak dapat dikendalikan lagi (irreversible) (Capra, 2002: 11). Pemanasan global akan terus meningkat dan seiring dengan itu, kondisi cuaca yang ekstrim akan membawa kehancuran pada pusat-pusat populasi yang sebelumnya stabil serta kehancuran pada bisnis yang berkembang dalam pusat-pusat populasi itu (Zohar dan Marshall, 2005: 37). Peringatan yang telah disampaikan oleh Capra

(2002), Zohar dan Marshall (2005) tersebut merupakan kritik terhadap persoalan besar yang sedang melingkupi dua dimensi utama penopang kehidupan umat manusia, yaitu persoalan lingkungan (ekologis) dan persoalan sosial-ekonomi dalam arti yang luas (Darwis, 2007).

Di sisi lain, Hoogendijk (1996: xviii) mengibaratkan bumi kita saat ini seperti sebuah kereta api yang tengah melaju kencang menuju jurang. Hal ini dikarenakan ketersediaan sumber daya langka yang semakin menipis tidak lagi dapat dikompensasikan atau diperbaharui. Aktivitas produksi pada skala massif telah meningkatkan biaya eksternalitas secara drastis (Ismawan, 1999: 8).

Ismawan (1999: 8) mengungkapkan bahwa pertumbuhan produksi yang seakan tanpa batas, agaknya berawal dari rasionalitas yang tertanam erat sejak manusia mengenal ilmu ekonomi. Dalil

optimalisasi hasil dengan biaya minimal (etika

utilitarianisme) dipraktikkan oleh bermilyar–milyar manusia, sehingga membentuk persepsi dan tindakan secara massal. Sudut pandang rasionalitas ekonomi menimbulkan distorsi-distorsi yang

(2)

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

Riset / 3361

meniadakan eksistensi sudut pandang lainnya

(mutually exclusive).

Namun kenyataannya, para pelaku ekonomi atau perusahaan yang mengaku bertindak berdasarkan prinsip “rasionalitas ekonomi” itu tidak benar-benar rasional. Mereka tidak meminimalisasi biaya produksi, melainkan membebankan rekening tagihan biaya eksternalitas kepada generasi manusia berikutnya; anak dan cucu mereka. Begitu pula, rusaknya ekosistem global, pemanasan suhu bumi (global warming), munculnya penyakit-penyakit “aneh”, bencana alam, dan lain-lain, merupakan konsekuensi yang dapat muncul dalam dimensi waktu antar generasi (Ismawan, 1999: 8-11). Hal-hal tersebut diperlakukan sebagai faktor eksternal, sebagai biaya yang menyerang kehidupan sosial daripada sebagai pertanggungjawaban kepada entitas yang membentuk mereka (pelaku ekonomi atau perusahaan) (Parenti, 1995 dalam Chwastiak dan Young, 2003). Sehingga akhirnya dampak negatif dari aktivitas produksi perusahaan pun jarang dilaporkan dalam laporan tahunan perusahaan (annual report) (Chwastiak dan Young, 2003). Tak tercantum dalam kalkulus akuntansi (laporan keuangan perusahaan) ada anggaran biaya-biaya non ekonomi eksternal maupun biaya-biaya sosial, biaya-biaya yang ditanggung masyarakat dan tidak dibayar oleh perusahaan itu sendiri, dan karenanya pula perusahaan tidak mengalami kerugian sama sekali (Estes, 2005: 198).

Padahal dengan mengabaikan masalah sosial dan lingkungan jelas merupakan suatu masalah bagi kelangsungan hidup (survival) perusahaan (Darwis, 2007). Ini disebabkan oleh karena survival tersebut terkait erat dengan legitimasi sosial atas keberadaan suatu perusahaan (bisnis) pada suatu komunitas (masyarakat) tertentu ataupun oleh stakeholders—yang lebih luas. Demikian juga halnya kelangsungan suplai bahan baku produk dan lingkungan perusahaan sangat tergantung pada kelangsungan daya dukungan ekologi (lingkungan). Dengan kata lain, (secara filosifis) tanpa alam, manusia tidak akan dapat hidup. Dan tanpa manusia, perusahaan tidak akan pernah eksis (ada) (Triyuwono, 2005). Oleh karena itu, maka perlu ada upaya legal dan bersifat

mandatory untuk menekankan pentingnya (urgent)

suatu tanggung jawab sosial-lingkungan perusahaan yang berkelanjutan atau konsisten. Salah satu solusi alternatifnya adalah melalui peran perbankan. Perbankan memiliki hak dan kewajiban untuk mempersyaratkan tanggung jawab sosial-lingkungan kepada setiap entitas bisnis yang dibiayai, yaitu terkait adanya aspek prudential

banking (kehati-hatian bank) untuk menghindari

risiko hukum dan risiko reputasi bank. FOKUS PENELITIAN

Adapun fokus penelitian ini adalah untuk mengkritisi kebijakan (peraturan) dalam penyaluran pembiayaan oleh bank syari’ah dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan.

Perbankan sebagai Filter Bisnis Kapitalis Di Indonesia, berdasarkan sistem perbankannya telah dikenal dua jenis lembaga keuangan bank, yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan hidup rakyat banyak. Jadi, kegiatan menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana (lending) merupakan kegiatan utama perbankan pada umumnya. Setelah memperoleh dana dalam bentuk simpanan dari masyarakat, maka oleh perbankan dana tersebut diputarkan kembali atau dijualkan kembali ke dalam masyarakat dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan istilah kredit (lending) pada bank konvensional dan disebut pembiayaan pada bank berprinsip syariah (Kasmir, 2001: 24).

Dalam konteks penelitian ini, karena peran perbankan sebagai intermediator bagi perusahaan (industri) yang membutuhkan suplai modal ataupun tambahan modal untuk ekspansi atau dalam rangka developmentalisme (pertumbuhan) perusahaan, maka bank dapat mempersyaratkan etika adanya tanggung jawab sosial-lingkungan kepada setiap nasabah peminjam (perusahaan). Hal ini dilakukan agar perusahaan tersebut memperoleh legitimasi sosial dari stakeholders perusahaan dan suplai bahan baku produksi dari alam secara berkelanjutan, serta agar lingkungan dari perusahaan tidak tercemar limbah. Bisnis yang dibiayai pun nantinya dapat berjalan secara sehat (tidak terganggu), dan bank pun dapat terhindar dari risiko hukum dan risiko reputasi (aspek prudential

banking) dari bisnis nasabahnya.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Tanggung jawab sosial-lingkungan yang terangkum dalam tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibilty/CSR), merupakan buah tuntutan (etika) atas perusahaan (industri) akibat eksternalitas aktivitas perusahaan yang dapat mengganggu masyarakat (stakeholders) dan lingkungan (alam). Untuk itu, maka perlu ada pemahaman relasi yang erat (dialektis) antara

(3)

Riset / 3362

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

kesadaran etika, sosial dan lingkungan pada inti visi

dasar perusahaan.

Namun perdebatan mengenai perlu tidaknya perusahaan memiliki tanggung jawab sosial, pernah diutarakan oleh Friedman (1970), sebagai penentang utama tanggung jawab sosial perusahaan dalam wujud keterlibatan sosial. Hal ini dikarenakan menurut Friedman (1970), bahwa tanggung jawab sosial perusahaan hanyalah dinilai dan diukur berdasarkan sejauhmana perusahaan itu berhasil mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, menurut Keraf (1998: 119) bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya mencakup keuntungan ekonomis, sebagaimana diklaim oleh Friedman (1970). Kalau hal ini terjadi, ada bahaya bahwa demi keuntungan (hasil) apa pun bisa dilakukan. Karena keuntungan sebagai tujuan bisa membenarkan apa pun yang dilakukan suatu perusahaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan ”penunggalan” hasil (hanya keuntungan ekonomi yang maksimal dengan prinsip ”efisensi” dan ”efektifitas”) dapat membuat perusahaan menegasikan dampak dari proses (aktivitas bisnis) yang butuh pertanggungjawaban (responsibility), seperti menimbulkan polusi, upah kerja yang tidak adil, manipulasi pajak dan lain-lain. Oleh karena itu dalam kaitan inilah, penerapan CSR dipandang sebagai sebuah keharusan. CSR bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga sebuah kewajiban. CSR adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari kebijakan bisnis. Sehingga bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi juga sebagai sebuah institusi pembelajaran. Bisnis harus mengandung kesadaran sosial terhadap lingkungan sekitar.

Pentingnya perhatian dan tanggung jawab perusahaan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan ini pun dapat dibuktikan, misalnya, dalam penelitian Buhr (1988); Peursem et al. (1995); Burrit dan Welch (1997); Hemmer (1998); Tischler et

al. (2002); Ljungdal (2004); Raar (2004); Ten (2004);

Tilt (2004); Tilling (2004); Viiler dan Staden (2004). Meskipun masing-masing peneliti tersebut memiliki penekanan yang berbeda dalam perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial perusahaan, namun pada intinya penelitian-penelitian ini ingin menunjukkan perhatian terhadap aspek sosial maupun lingkungan sebagai salah satu dimensi yang perlu mendapat perhatian perusahaan (industri).

Untuk menilai tingkat kesadaran CSR, Zohar dan Marshall (2005: 68-69) mengungkapkan ada tiga level yang biasa dipilih oleh perusahaan-perusahaan. Level paling rendah adalah CSR semata-mata sebagai “aksi”, sesuatu yang kelihatan bagus bagi tujuan-tujuan public relations. Level kedua, level yang agak lebih dalam, adalah menerapkan CSR sebagai sebuah bentuk strategi

defensif. Kemudian level CSR yang ketiga, yaitu yang terdalam, bermula dari keinginan murni untuk melakukan kebajikan yang bersemayam tepat di inti visi dasar perusahaan.

Berdasarkan level CSR di atas, dapat ditarik asumsi bahwa perusahaan mengambil tindakan CSR, ada yang berdasarkan kepentingan pribadi, “keterpaksaan” maupun kesadaran sosial perusahaan itu sendiri. Namun hanya pada level ketiga-lah, tipe perusahaan yang dapat memahami kaitan erat antara tanggung jawab perusahaan dengan kesadaran etika, sosial dan lingkungan sebagai konsekuensi logis dari eksistensi perusahaan di tengah masyarakat dan dampaknya pada lingkungan.

Efek Domino Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Perbankan (Terkait UU No.10 Tahun 1998, UU No.21 Tahun 2008, UU No.23 Tahun 1997 dan UU No.40 Tahun 2007)

Akibat pentingnya sebuah tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR), maka tuntutan tanggung jawab

sosial perusahaan pun tidak hanya ditujukan pada perusahaan (industri) yang menghasilkan eksternalitas pada lingkungan dan masyarakat, akan tetapi juga pada sektor keuangan atau financial seperti lembaga keuangan bank. Hal ini tentu berhubungan, walaupun secara tidak langsung, karena lembaga keuangan tersebut telah membantu perusahaan dalam bidang permodalan (Ernawan, 2007: 113).

Di penghujung tahun 1998 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan beberapa perubahan pada Undang-Undang lama tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada penjelasan bagian umum terdapat kalimat sebagai berikut: “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar atau beresiko tinggi.”

Dan penjelasan angka 5, pasal 8 ayat (1), juga disebutkan sebagai berikut: “Bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar atau beresiko tinggi agar proyek dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”

Oleh karena itu, bank punya andil dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan. Namun sebaliknya pula, bank punya potensi membantu merusak lingkungan dari fungsinya tersebut

(4)

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

Riset / 3363

(sebagai kreditur), apabila mengabaikan peranan

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap perusahaan berskala besar atau beresiko tinggi yang akan dibiayai.

Begitu pula di perbankan syariah (khususnya) sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pada pasal 24 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, menyebutkan bahwa, bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Pada penjelasan pasal 2, kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syari’ah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur: a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara

tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau

e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Dengan demikian, kegiatan usaha yang dapat menimbulkan dampak sosial dan lingkungan dapat bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut mengandung unsur riba (eksploitasi), haram (berbahaya) dan zalim (ketidakadilan).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, pada pasal 74, juga disebutkan bahwa, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan akan dikenakan sanksi bagi yang tidak melaksanakan. Dalam hal ini pula, lembaga keuangan (termasuk perbankan) dapat terlibat karena keikutsertaannya atau sebagai pemilik modal dalam memberikan permodalan pada bisnis-bisnis yang dapat berpotensi merusak lingkungan (sumber daya alam).

Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur dalam

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Namun sanksi ini digantungkan kepada peraturan perundang-undangan lain yang terkait, yaitu Undang-Undang lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, di mana sanksinya tidak hanya sanksi administrasi, tapi juga sanksi pidana.

Jadi berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, tidak cukup bila bank hanya menempatkan dirinya sebagai lembaga penyuntik dana saja, serta mencoba menarik keuntungan besar dari fungsinya tersebut. Namun dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan sosial-lingkungan dan peranan perbankan, serta agar terhindar dari risiko reputasi dan risiko hukum (aspek prudential banking), maka seyogianya bank harus memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)

nasabahnya (debitur) secara konsisten dan berkelanjutan.

Perbankan Syariah lebih Bertanggung Jawab? Jika ditarik dari prinsip dasar pendiriannya, ada perbedaan yang fundamental antara bank syariah dengan bank konvensional, khususnya dalam hal pemberian pinjaman (kredit vis a vis pembiayaan). Pembiayaan bank syariah tidak terlepas dari saringan syariah (Islam), sehingga tidak mungkin membiayai yang mengandung hal-hal yang diharamkan, baik secara materiil maupun spiritual (Antonio, 2001: 33). Sedangkan bank konvensional (kredit) dapat membiayai bisnis yang halal maupun haram dalam Islam (lihat Antonio, 2001: 34; Wibowo dan Widodo, 2005: 49; Ascarya, 2007: 34). Selain itu, dimensi keberhasilan bank syariah meliputi keberhasilan dunia dan akhirat (long

term oriented) yang sangat memperhatikan kebersihan sumber, kebenaran proses dan kemanfaatan hasil (halal) (Ascarya, 2007: 30). Namun bank konvensional, justru sebaliknya, menggunakan etika utilitarianisme atau lebih mengutamakan hasil (laba) sebagai tujuan tunggal dan akhir, dengan menegasikan proses (aktivitas bisnis) yang halal (dapat dipertanggungjawabkan) baik secara materiill maupun spiritual (Triyuwono, 2005). Sehingga, jika dilihat dari misi syariahnya, maka bank syariah lebih “bertanggungjawab” daripada bank konvensional. Perbankan syariah lebih dituntut (etis) bisa meraba secara sensitif (prudent) terhadap konsekuensi bisnis nasabahnya, khususnya demi penghidupan bisnis nasabah tersebut dan kehidupan bank itu sendiri, maupun keberlanjutan kualitas kehidupan sosial-lingkungan pada umumnya, sesuai dengan etika bisnis.

Namun perlu diperhatikan pula, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.9/1/PBI/2007 tanggal 24 Januari 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Surat Edaran Bank Indonesia

(5)

Riset / 3364

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang

Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah telah ditentukan oleh faktor-faktor CAMELS, yaitu: Capital, Assets Quality,

Management, Earnings, Liqiudity, dan Sensitivity to Market Risk. Faktor-faktor ini hampir seluruhnya

berorientasi pada aspek keuangan. Aspek keuangan menjadi dasar penilaian apakah sebuah bank syariah berkinerja baik atau buruk. Dengan kata lain, faktor-faktor yang ada pada CAMELS menjadi dasar bagi terjaminnya eksistensi dan keberlanjutan sebuah bank syariah. Laba menjadi bagian (tujuan) yang sangat penting bagi sebuah bank syariah (Triyuwono, 2005). Akan tetapi ada bahaya, bahwa jika keuntungan (hasil) sebagai tujuan, apa pun bisa dilakukan. Karena keuntungan sebagai tujuan bisa membenarkan apa pun yang dilakukan oleh suatu perusahaan (bank). Sehingga dalam hal pengelolaannya, terkait dengan sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah, maka bank syariah pun ternyata sama “rawannya” dengan bank konvensional.

Pembiayaan dan Kesadaran Interdependensi Sosial-Lingkungan

Menurut Widiyastuti (1997: 29), dari sekian banyak kegiatan manusia yang mempunyai misi ekonomi dan dalam kenyataannya belum menginternalkan biaya lingkungan menjadi bagian dari biaya produksinya. Sehingga persoalan lingkungan seringkali dianggap bukan sebagai tanggung jawab mereka, padahal apabila terjadi bencana lingkungan, maka pertama-tama yang akan merasakan dampaknya secara langsung adalah masyarakat. Ironisnya para pelaku ekonomi (pengusaha) seringkali kurang menyadari telah mendapatkan dukungan dana dari bank melalui fasilitas kredit atau pembiayaan yang sumber dananya dari masyarakat yang berhasil dihimpun oleh bank untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat melalui kredit/pembiayaan kepada para pengusaha tersebut. Singkatnya, masyarakat secara tidak langsung turut membiayai suatu kegiatan usaha namun tidak jarang masyarakat pula yang sering dirugikan, misalnya dalam hal terjadi suatu kerusakan lingkungan atau bahkan bencana lingkungan.

Begitu pula, karena motivasi laba yang tinggi, perusahaan sering kali mengabaikan dampaknya terhadap masyarakat sekitar dan dapat melakukan eksploitasi terhadap sumber daya manusianya (tenaga kerja) dalam bentuk mengabaikan kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan kerja. Akan tetapi, anehnya menurut Ernawan (2007:113), perusahaan tersebut masih bisa bertahan dan berkuasa, karena menerima kucuran kredit (pembiayaan) dari lembaga keuangan (bank). Padahal, jika tidak membangun jaringan sosial (social network) dengan stakehoders, cepat ataupun lambat akan timbul konflik sosial yang dapat

menggangu kelangsungan usaha perusahaan itu sendiri (Ruchadi, 2005: 99)

Dengan demikian, dalam hal ini bank syariah, khususnya melalui produk pembiayaan, diharapkan bisa menekankan kepedulian perusahaan (bisnis) yang dibiayai, untuk memberikan kesejahteraan sosial (stakeholders) dan lingkungan (alam) sebagai kompensasi terhadap eksternalitas aktivitas perusahaan. Sehingga dalam menyalurkan pembiayaan, bank syariah idealnya tidak hanya menilai dari aspek keuntungan ekonomi semata, tetapi juga ikut memperhatikan etika dengan mempersyaratkan tanggung jawab sosial-lingkungan kepada nasabah pembiayaan, sebagai bentuk reduksi atas riba (eksploitasi) sosial (Mulawarman, 2006: 269), dan untuk memenuhi kewajiban moral yang kini sudah dibatasi oleh hukum positif (undang-undang dan peraturan hukum lainnya).

PENUTUP

Dalam konteks penelitian ini, peran perbankan syariah sebagai intermediator bagi perusahaan (industri) yang membutuhkan modal, maka bank syariah dapat menekan (mereduksi) perkembangan bisnis kapitalis. Karena perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional dalam usaha (bisnis) yang dibiayai adalah tidak terlepas dari saringan syariah (Islam). Sehingga jika dilihat dari misi syariahnya, tidak mungkin membiayai yang mengandung hal-hal yang diharamkan, baik secara materiil maupun spiritual, termasuk merugikan orang lain dan melakukan eksploitasi terhadap lingkungan (alam).

Jadi agar bank syariah tidak terjebak dalam dunia materi yang bisa mengabaikan dampak bisnis yang dibiayai, maka bank syariah harus prudent (hati-hati) terhadap bisnis yang dibiayai, yaitu tidak hanya memprioritaskan hasil (laba), tapi juga proses (aktivitas bisnis) yang halal (dapat dipertanggungjawabkan). Dengan kata lain, bank syariah dalam menganalisis (menyalurkan) pembiayaan wajib mempersyaratkan tanggung jawab sosial-lingkungan (etika pembiayaan); agar dapat mereduksi riba sosial, dan untuk memenuhi kewajiban moral yang kini sudah dibatasi oleh hukum positif (UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan dan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta peraturan hukum lainnya yang terkait).

DAFTAR RUJUKAN

Antonio, M.S. 2001. Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.

Ascarya. 2007. Akad & Produk Bank Syari’ah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

(6)

JURNAL EKSIS Vol.13 No.1, Agutus 2017: 3346 – 3430

Riset / 3365

Capra, Fritjof. 2002. Jaring-jaring Kehidupan: Visi

Baru Epistemologi dan Kehidupan. (Terj.

Bahasa Indonesia) Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Chwastiak, Michele and Joni J. Young. 2003. Silences in annual reports. Critical Perspectives on Accounting 14: 533-552.

Darwis, 2007. Refleksi Paradigma holistik-ekologis untuk merekonstruksi konsep kinerja dalam akuntansi dan corporate socio-environmental responsibility (studi pada PT.

Inco dan komunitas Sorowako). Disertasi

Tidak Dipublikasikan. Malang: Universitas

Brawijaya.

Ernawan, Erni R. 2007. Business Ethics: Menuntun

Anda secara Komprehensif Memahami Konsep serta Faktor-faktor Terkait termasuk Beberapa Contoh Praktis. Bandung: Alfabet.

Estes, Ralph. 2005. Tyranny of The Bottom Line:

Mengapa Banyak Perusahaan Membuat Orang Baik Bertindak Buruk. (Terj. Bahasa

Indonesia) Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Friedman, Milton. 1970. The social responsibility of business is to increase its profits. The New

York Times Megazines September 13.

Hoogendijk, Willem. 1996. Revolusi Ekonomi:

Menuju Masa Depan Berkelanjutan dengan Membebaskan Perekonomian dari pengejaran Uang Semata. (Terj. Bahasa

Indonesia) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ismawan, Indra. 1999. Risiko Ekologis di Balik

Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Kasmir. 2001. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Keraf, A. Sonny. 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan

relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi

Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah dari Wacana ke Aksi. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Peraturan Bank Indonesia No.9/1/PBI/2007 tanggal 24 Januari 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah.

Ruchadi. 2005. Mengapa Harus Berinvestasi

Sosial? dalam Investasi Sosial. Editor:

Nugraha dkk. Jakarta: PUSPENSOS. Departemen Sosial RI.

Surat Edaran Bank Indonesia No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah.

Triyuwono, Iwan. 2005. ANGELS: sistem penilaian tingkat kesehatan (tks) bank syari’ah.

Disampaikan dalam Seminar Ekonomi dan Kewangan Islam diselerenggarakan oleh Universiti Utara Malaysia.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Widiyastuti, Y. Sari Murti. 1997. Kredit Berwawasan

Lingkungan. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2005. SC: Spiritual

Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis. (Terj. Bahasa Indonesia) Bandung:

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat pentingnya permasalahan yang terjadi pada lansia terkait dengan fleksibilitas maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh penambahan static stretching

dari kartu yang telah dipilihnya. Bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Bergembira dalam mencari pasangan kartu. Dimulai dari pengamatan awal sebelum dilakukan

8

Sebuah dinamika yang baru sebagai tuntunan waktu keefisienan hidup masyarakat saat ini, yang lebih mementingkan kecepatan dan keefisienan dalam waktu mengurus KTP dengan

Pada penelitian ini, VG jenis concave delta winglet dipasang pada sisi sirip dari penukar kalor jenis fin-and-tube yang digunakan dalam proses refrigerasi

Karena terdapat perbedaan rata-rata ketiga kelas tersebut, maka dilakukan uji hipotesis 2, 3, dan 4 dengan menggunakan uji scheefe’ pada hasil belajar siswa

Menunjukkan posisi strategi pengembangan beras organik di Desa Lubuk Bayas berada pada kuadran III yang artinya petani organik memiliki peluang besar dalam

In Yakima, both the Northwest =pat a- (examples 210 and 211) and Columbia River pata- (example 212) forms are used, within and across speakers.. I refer to the variations as the