• Tidak ada hasil yang ditemukan

[Pembelajaran Karakter] Bab 2 konsep pendidikan karakter ok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "[Pembelajaran Karakter] Bab 2 konsep pendidikan karakter ok"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER

A. Konsep Pendidikan karakter 1. Hakekat Karakter

Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu ‘to mark’ yang artinya menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus, tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’, apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.

Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.” Bagi Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan.

(2)

pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu, individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Dalam merumuskan hakikat karakter, Simon Philips (2008:235) berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

(3)

berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa sikap jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, pendidikan merupakan sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:

(1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis;

(4)

(3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa di Yogyakarta, pada Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya dan persatuan.” Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan karakter bangsa.

(5)

guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Di sinilah, pendidikan karakter menjadi suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk menyelenggarakan pendi-dikan yang berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

(6)

oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan.

Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, tulus, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar itulah, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

(7)

modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

(GAMBARNYA MANA????)

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh dkk (1980), diantara berbagai teori yang berkembang, ada lima teori yang banyak digunakan; yaitu: 1) pendekatan pengembangan rasional, 2) pendekatan pertimbangan, 3) pendekatan klarifikasi nilai, 4) pendekatan pengembangan moral kognitif, dan 5) pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: 1) pendekatan kognitif, 2) pendekatan afektif, dan 3) pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

(8)

B. Urgensi Pendidikan Karakter 1. Pemasalahan

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembang-kan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara empat hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita tersebut. Dengan memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu, peserta didik akan mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter.

(9)

Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari pengertian karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Sang Penciptaa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Dalam konteks keindonesiaan, penerapan pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa telah banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional. Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian implementasi pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.

Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

(10)

tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya memberikan solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari persinggungan realitas sosialnya.

Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas intelektual dengan nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.

Proses pendidikan di samping sebagai transfer pengetahuan—seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building.. Semakin terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis yang didapatkan tidak disalahgunakan.

Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan dewasa ini. Pendidikan tersebut adalah sebuah konsep pendidikan integratif yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.

Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan mengambangkan pembelajaran kontekstual.

2. Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter

(11)

kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.

Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat, maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan. Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan.

Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

(12)

bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta keterampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarga-negaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.

(13)

agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.

3. Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan karakter

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

4. Nilai-nilai Pembentuk Karakter

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).

Nilai dan deskripsinya terdapat dalam Lampiran 1.

Secara operasional, nilai-nilai tersebut bisa diidentifikasi sebagai berikut : a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan

Religius. pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

(14)

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain

2) Bertanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

3) Bergaya hidup sehat

Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.

4) Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.

6) Percaya diri

Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

7) Berjiwa wirausaha

Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai ataupun berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

8) Berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif

Berpikir dan melakukan sesuatu secara realistis dan kritis untuk menghasilkan hasil baru dari apa yang telah dimiliki.

(15)

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

10) Ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.

11) Cinta ilmu

Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama

1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

2) Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

3) Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mempunyai sikap mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.

4) Santun

Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.

5) Demokratis

Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

d. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan 1) Peduli sosial dan lingkungan

(16)

selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

2) Nilai kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

3) Nasionalis

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. 4) Menghargai keberagaman

Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi, seperti taqwa, bersih, rapi, nyaman, dan sopan, yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun. 5. Proses Pendidikan Karakter

(17)

Bagan 2: Ruang Lingkup Pendidikan Karakter

Berdasarkan gambar tersebut di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam:

(1) olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah pikir (intellectual development);

(3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

(18)

gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada gambar di atas (Desain Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9).

C. Strategi Pendidikan Karakter pada Tingkat Satuan Pendidikan

1. Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).

Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

2. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar

Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:

a. Kegiatan rutin

Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus-menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksanaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga administratif, dan teman.

(19)

Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.

c. Keteladanan

Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras.

d. Pengkondisian

Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas.

3. Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler

Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter. 4. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat

[image:19.595.119.542.617.826.2]
(20)

Tabel 1 : Implementasi Pendidikan Karakter dalam KTSP

5. Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran

Apabila pendidikan karakter diintegrasikan dalam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Untuk itu, penambahan alokasi pembelajaran dapat dilakukan, sebagai berikut:

 Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta

membaca surat-surat pendek, melakukan refleksi (masa hening) selama 15 s.d. 20 menit.

 Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan muhadarah (berkumpul di halaman sekolah) selama 35 menit. Kegiatannya berupa baca al Quran dan terjemahan, siswa berceramah dengan tema keagamaan maupun yang lain dalam tiga bahasa (bahasa Indonesia, Inggris, dan bahasa Minang), ajang kreatifitas seperti menari, musik dan baca puisi. Selain itu juga dilakukan kegiatan membersihkan lingkungan di hari jumat atau sabtu (jumat/sabtu bersih)

 Pelaksanaan ibadah bersama-sama di siang hari selama antara 30 s.d. 60 menit.

 Kegiatan-kegiatan lain diluar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran selesai

 Kegiatan untuk membersihkan lingkungan sekolah sesudah jam pelajaran berahir berlangsung selama antara 10 s.d. 15 menit.

6. Penilaian Keberhasilan

Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

1. Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan 2. Menyusun berbagai instrumen penilaian

(21)

Gambar

tabel di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

baik pula diri manusia tersebut karena pendidikan karakter dilakukan untuk perbaikan diri menuju pribadi dan perilaku yang lebih baik. Perlunya penanaman

Dengan demikian, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk

Sedangkan nilai karakter utama Mata Pelajaran PKn yaitu : Nasionalis, Kepatuhan pada aturan sosial, Menghargai keberagaman, Kesadaran akan hak dan kewajiban diri

Arti pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya

Tujuan penelitian ini adalah: (a) menghasilkan multimedia pembelajaran geografi yang mengintegrasikan dan membentuk karakter siswa yang terkait dengan nilai

Itulah sebabnya lembaga pendidikan perlu merancang model pendidikan yang memungkinkan para peserta didik untuk memiliki kesadaran akan pentingnya membangun hidup yang

Pendidikan adalah suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup, nilai-nilai kehidupan, dan

sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri