• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SURAT LUQMAN AYAT 18-19 - BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SURAT LUQMAN AYAT 18-19 - BAB IV"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SURAT LUQMAN AYAT 18-19

Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinanya.1

Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkanvisi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, dimana pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.

Selain itu juga melihat keadaan bangsa dan manusia Indonesia saat ini, yang biasa mengklaim dirinya religius, pada kenyataannya banyak yang mengidap

(2)

http://edukasi.kompasiana.com/konsep-urgensi-penyakit akut “Split of personality” (Kepribadian yang terpecah)? Yaitu, keterpecahan atau tidak kemampuan menyatukan perkataan danperbuatan (munafik), antara teori dan praktek.2

4.1 Deskripsi Q.S. Luqman Ayat 18-19

4.1.1 Teks dan Terjemah Q.S. Luqman Ayat 18-19

                           

18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan3[1182] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

4.1.2 Asbabun Nuzul Surah Luqman

Menurut bahasa asbab al-nuzul. Berarati sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur‟an. Sedangkan asbab al-nuzul, sebagaimana dikutip oleh Al-Shalih4 adalah sesuatu yang dengan sebabnyalah turun suatu ayat atau beberapa ayat, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.4

Menurut Teungku Muh. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW atau sesuatu

2Amin Abdullah, http://aminabdullah.wordpress.com/pendidikan-karakter-mengasahkepekaan-hati-nurani/ 29 Juli 2011

3[1182] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan

jangan pula terlalu lambat.

(3)

pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi sehingga turunlah satu atau beberapa ayat dari Allah SWT yang berhubungan dengan dengan kejadian itu, baik peristiwa itu merupakan pertengkaran atau merupakan kesalahan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.5

Menurutnya dari definisi diatas, ayat-ayat Al-Qur‟an itu dibagi dua, yaitu: ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya dan ayat ayat yang tidak ada sebab nuzulnya. Memang demikianlah ayat-ayat dalam Al-Qur‟an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh sebab dan ada yang diturukan sesudah didahului sesuatu sebab.

Pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya ayat. Sementara pemahaman tentang asbab al-nuzul ini akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab al-nuzul.6

Surah ini diturunkan disebabkan bani Quraish senantiasa menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kisah Luqman bersama anaknya dan tentang berbuat baik kepada kedua ibu bapak. Ayat 18-19 menceritakan secara khusus tentang pendidikan, intisati kandungan ayat tersebut seperti :

(4)

a. Ayat 18 Luqman memperingati anak-anaknya supaya tidak bersikap angkuh dan sombong iaitu memalingkan muka dari manusia karena sombong dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.

b. Ayat 19 bersikap pertengahan atau sederhana dalam segala hal dan berakhlak yang baik seperti sederhana dalam berjalan dan lunakkanlah suara.

Karakter atau Akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian7[6].

Pembinaan karakter dimualai dari individu, karena pada hakikatnya karakter itu memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual. Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak, maka dengan sendirinya akan mewarnai masyarakat. Pembinaan karakter selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan karakter pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram dan sejahtera.

(5)

Dalam Islam, karakter atau akhlak mempunyai kedudukan penting dan dianggap mempunyai fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-qur’an surat An-nahl ayat 90 sebagai berikut8[7]:

¨

 )

©! #

   ƒ

   ‰   9 /

 `»|  }# 

›!

ƒ)

“Œ

4† 1  )9#

4‘  ÷ ƒ

`

 !±    9#

6 9#

   79#

4

  3  ƒ

6¯=9

š  ©.‹?

  

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Pendidikan karakter dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam arti yang hakiki, bukan kebahagiaan semu. Karakter Islam adalah karakter yang benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya9[8].

Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga tiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan karakter. Adapun yang menjadi dasar pendidikan karakter atau akhlak adalah Al-qur’an dan Al-hadits, dengan kata lain dasar-dasar yang lain senantiasa di kembalikan kepada

8[7] Amru Khalid. Tampil menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008) , hlm. 37

(6)

Al-qur’an dan Al-hadits. Di antara ayat Al-qur’an yang menjadi dasar pendidikan karakter adalah surat Luqman ayat 17-18 sebagai berikut yang artinya10[9]:

Artinya: “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan karakter mulia yang harus diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga tuntunan syari’at, yang bertujuan untuk kemaslahatan serta kebahagiaan umat manusia. sesungguhnya Rasulullah adalah contoh serta teladan bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter yang mulia kepada umatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang baik karakter atau akhlaknya dan manusia yang sempurna adalah yang memiliki akhlak al-karimah, karena ia merupakan cerminan iman yang sempurna. Dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

يِف ْمُهَنْيَب Qاوُقِّرَفَو ٍرْشَع ُءاَنْبَأَ ْمُهَو اَهْيَلَع Qْمُهوُبِرْضاَ َنيِنِس ِعْبَس ُءاَنْبَأَ ْمُهَو ِة َلَاَّصلاِب Qْمُكَد َلَاْوَأَ اوُرُم

ِعِجاَضَمْلا

Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no. 495)

(7)

Dari hadits di atas, dapat di pahami bahwa, Memerintahkan anak lelaki dan wanita untuk mengerjakan shalat, yang mana perintah ini dimulai dari mereka berusia 7 tahun. Jika mereka tidak menaatinya maka Islam belum mengizinkan untuk memukul mereka, akan tetapi cukup dengan teguran yang bersifat menekan tapi bukan ancaman.

4.2 Hakekat Karakter

Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu ‘to mark’ yang artinya menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus, tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’, apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.

(8)

Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu, individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada

umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan

kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

(9)

diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.

Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘”orang berkarakter” adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif, bukan yang negatif. Gagasan ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung “character strength” dengan kebajikan. ‘Character strength’ dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.

(10)

pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

4.3 Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, pendidikan merupakan sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:

(1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis;

(2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

(3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

(11)

keberadaban, budaya dan persatuan.” Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan karakter bangsa.

(12)

yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Di sinilah, pendidikan karakter menjadi suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk menyelenggarakan pendi-dikan yang berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut:

(13)

character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat dan bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

(14)

Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta persatuan.

Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, tulus, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar itulah, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

(15)

demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).

(16)

klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: 1) pendekatan kognitif, 2) pendekatan afektif, dan 3) pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

4.4 Urgensi Pendidikan Karakter

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembang-kan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

(17)

mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara empat hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita tersebut. Dengan memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu, peserta didik akan mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter.

Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya tidaklah benar bila ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis semata, tetapi lebih dominan ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk dikembangkan.

(18)

perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Dalam konteks keindonesiaan, penerapan pendidikan karakter merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa telah banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional. Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian implementasi pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.

Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

(19)

kian membuat sistem pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga peserta didik yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti program homeschooling karena khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi ‘steril’. Penyebab lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan psikologis di sekolah non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter, plus tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya memberikan solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari persinggungan realitas sosialnya.

Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas intelektual dengan nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.

Proses pendidikan di samping sebagai transfer pengetahuan—seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building.. Semakin terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis yang didapatkan tidak disalahgunakan.

(20)

Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan mengambangkan pembelajaran kontekstual.

4.5 Landasan Pedagogis Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.

(21)

budaya universal yang dianut oleh umat manusia. Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat, maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan. Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan.

Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

(22)

itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

(23)

pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.

Pendidikan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.

4.6 Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan karakter

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

(24)

4.7 Nilai-nilai Pembentuk Karakter

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).

Secara operasional, nilai-nilai tersebut bisa diidentifikasi sebagai berikut : a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan

Religius. pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

b. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri 1) Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain

2) Bertanggung jawab

(25)

diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

3) Bergaya hidup sehat

Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.

4) Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.

6) Percaya diri

Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

7) Berjiwa wirausaha

Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai ataupun berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

(26)

Berpikir dan melakukan sesuatu secara realistis dan kritis untuk menghasilkan hasil baru dari apa yang telah dimiliki.

9) Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

10) Ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.

11) Cinta ilmu

Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama

1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

2) Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

(27)

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mempunyai sikap mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.

4) Santun

Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.

5) Demokratis

Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

d. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan 1) Peduli sosial dan lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

2) Nilai kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

(28)

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. 4) Menghargai keberagaman

Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.

Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi, seperti taqwa, bersih, rapi, nyaman, dan sopan, yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

4.8 Proses Pendidikan Karakter

(29)

pendidikan, dan masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam bagan berikut:

OLAH

Bagan ii : Ruang Lingkup Pendidikan Karakter

Berdasarkan gambar tersebut di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakikatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam:

(30)

(2) olah pikir (intellectual development);

(3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

Proses tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada gambar di atas (Desain Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9).

Karakter dipengaruhi oleh hereditas (keturunan). Perilaku seorang anak seringkali tidak jauh dari perilaku orang tuanya. Karakter juga dipengaruhi oleh lingkungan. Anak yang berada dilingkunan yang baik, cenderung akan berkarakter baik, demikian juga sebaliknya.

Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).11

Mengacu pad berbagai pengertian karakter diatas, maka karakter dapat dimaknai sebagai “Nilai dasar yang mempengaruhi pribadi seseorang, baik karena pengaruh hereditas maupun lingkungan, dan terwujuddalam sikap dan perilaku sehari-hari yang membedakannya dengan orang lain.”

Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual

(31)

(intellectual quotient); Tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); Tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); Tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)12

Nilai-nilai pendidikan karakter dalam surat luqman ayat 18-19 itu adalah: pertama, nilai yang tertanam dalam diri seseorang supaya terbiasa melakukan perbuatan baik. Nilai/sifat yang berguna bagi kemanusiaan yang dapat membantu dalam proses transformasi dan internalisasi, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak guna mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup. Kedua, supaya bias menghindari segala sesuatu yang bersifat buruk seperti menghidari dari sikap angkuh, sombong, berakhlak sederhana, dan tidak mengeraskan suara dalam berbicara.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) meningkatkan minat belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran Teknologi Mekanik Materi Kerja Bangku kelas X TPM 2 SMK Pancasila

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang

a) Resourceful  Poin-poin penting yang diterapkan : 1. Tidak berhenti mengembangkan potensi diri. Mendorong terjadinya pemikiran yang kreatif dan inovatif. Bekerja dengan cermat

program spss16. Teknik analisis data dengan menggunakan statistik deskriptif dengan persentase. Hasil penelitian diketahui bahwa: 1) minat belajar dari faktor intrinsik peserta

Pemerintah dalam melaksanakan usaha pembinaan pengembangan kebudayaan ini, yang menjadi pokok penggarapan adalah kesenian (karya seni), masyarakat dan seniman yang ada, hidup

Sikap Kaki dengan kategori 2 SDGD VHJPHQ ³EHUGLUL EHUWXPSX SDGD SDGD NHGXD NDNL GHQJDQ OXWXW WHUWHNXN´ untuk semua pekerja, sHJPHQ ³EHUGiri bertumpu pada pada kedua kaki dengan lutut

Kadar air cangkang sawit sebesar 1,51% memberikan penyalaan flare lebih cepat dibandingkan kadar air tinggi, flare mulai menyala pada menit ke-2 dengan warna

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh campuran bahan bakar bonggol jagung terhadap temperatur pembakaran, waktu penyalaan awal dan waktu nyala efektif