Gagasall Pellgadilan Pemilihan Umum
GAGASAN PENGADILAN PEMILIHAN UMUM
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH HUKUM
PENYELENGGARAAN PEMILU 1999
Satya Arinanto1From time to time, the organizing of General Election had never been freed from the pattern of crime and violation. Even though the election had already fenced by various form of Criminal Law, in which it stated in the Criminal Law though in the form of General Election Law, however, instead all of those law it seems not enough to restrainr the erimes and .iolation to happen. This paper wanxs UJ disclose various ideas on the form of Ad Hoc Tribunal on the General Election M,=r 'x:Ism on the perspective of Indonesian Histor;: • -Law. and in ocher pan it will also be dis0a5S~d about the compelt!nc~
of
Co - Court of Republic of 1.ntlonesiLJ and the experience of other states ill dispute seuiemDu UWT General Election. in Litigation Institutian_
Kala Kunci: ~,Pemilihan UI11UI11, Sejarah Hukul11_
A_ Pengantar
Dari masa ke ITIaSa. penyelenggaraan pemilihan umUl11 (pel11ilu) tidak pernah terbebas dari berbagai bentuk kejahatan dan alau pelanggaran. Walaupun sudah "dipagari" oleh berbagai l11acam ketentuan pidana, baik yang terdapat dalal11 Kitab Undang-Undang Hukul11 Pidana
, Staf Pengajar dan Wakil Dekan Bidang Pendayagunaan Sistem Informasi Hukulll Fakullas Hukum Universitas Imlonesia. dan mantan Sckretaris Umul11 Panitia Pcngawas
PemililulIl Umum Ta"hull -1999 Tingkar Pusat.
2 Hukum dan Pembangunan
(KUHP) maupun dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, namun kejahatan dan atau pelanggaran tetap saja terjadi.'
Dalam KUHP, ketentuan tentang hal ini diarur dalam Bab IV Buku Kedua mengenai tindak pidana "Kejahatan Terhadap Pelaksanaan Kewajiban dan Hak Kenegaraan" yang berkaitan dengan suaru pemilu yang diadakan berdasarkan UU, Tak kurang dari lima pasal yang mengarur mengenai masalah inL yakni Pasal 148-1523
Disamping KUHP, rambu-rambu mengenai hal ini juga terdapat di clalam U U Pemilu yang berlaku pada saar ini.' Dalam Bab
xm,
Pasal 72-75 UU tersebur seeara k1lUSUS cliatur mengenai "Ketentuan Pidana". Jika dihitung-hitung, dalam UU Pemilu tersebur dirumuskan tidak kurang dad 9 macam kejahatan dan 2 macam pelanggaran. Ancaman hukumannya pun bervariasL mulai dari kurungan maksimal selama 3 bulan, denda maksimal sebesar Rp 10 juta, hingga penjara maksimal selama 5 tahunSBerbeda dengan UU Pemilu, dalam KUHP yang diterjemahkan dari Wetboek van Slrafrechl, aneaman hukuman dalam bentuk kurungan dalam kasus pemilu rak dikenal. Yang ada adalah aneaman hukuman penjara dad yang teringan (9 bulan) hingga yang tertinggi (2 tahun). Disamping itu, juga ada aneaman denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500·
Hal yang unik ialah, berbagai UU Pemilu yang berlaku selama ini liclak pernah menegaskan kaitan Bab tentang Ketenruan Pidana yang tereantum di dalamnya dengan ketentuan yang serupa di dalam KUHP. Namun demikian, berdasarkan asas lex posleriore derogat lex priori - UU yang bersifat khusus menyampingkan UU yang bersifat umum. jika pembuatnya sama/sejajar - maka kelentuan-ketentuan pidana dalam UU Pemilulah yang berlaku. Dengan demikian. aneaman pidana clalam KUHP
2 Sa(y<t Alllltlllt(). ··Pelalll!!!.llan Pemilu. Penu ~1ajelis ~husus.·· Berira Keadilan. Edisi No. 26. 21-27 April 1999. hal. 18.
:\ [hid
4 Palla saat penulisan a.-like! ini. UU Pemilu yang sedang berlaku adalah UU No.3 Tahun 1999. Pada saal itu Dep<trtemen Oalam Negeri llan Otonomi Daerah sedang
mempersiapkan perancangan UU Pemilu yang baru.
5 Indonesia. Ulldan;;-Undllllg reman;; Pemilihall Umum, UU No.3 Tahun 1999. LN No. 23 Tahun 1999, TLN No. 38JQ, Pasal 72-75.
h Arinanto. Loc. Cit.
Gagasal1 Pengadilan Pemilihan Umum 3
tersebut dapat digolongkan ke dalam "ketentuan yang mati" atau tidak berlaku lagi7
Dalam pelaksanaan pemilu 1999 yang lalu, misalnya, walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan KPU No.
II Tahun 1999 remang "Jadwal Waktu Tahapan Kegiatan Penyelenggaraan Pemilu", namun pelanggaran-pelanggaran retap saja terjadi. Simak saja misalnya kecenderungan partai-partai polirik (parpol) untuk mencuri SIGr! kampanye. Dengan dalih mengadakan acara "renm kader".
"silahrurahmi". ataupun "apel akbar'·. para parpol dengan leluasa ll1elanggar aturan KPU dan UU Pemilu remang jadwal waktu kampanye.' Karena itulah. rak ll1engherankan bila kalangan hukum kemudian rall1ai meneriakkan perlunya dibentuk pengadilan kllUSUS pell1ilu. agar persidangan rerhadap kasus-kasus pelanggaran pemilu dapar segera digelar.
B. Pengadilan Pemilu Versi SEMA No.1 Tahun 1999
Pendapar yang muncul berkaitan dengan hal ini antara lain m;~=uIII;an perlunya dibentuk pengadilan Idrusus pemilu di ringkar 1< ... a"14w agar pelanggaran-pelanggaran pemiIu yang rerjadi di wilayah yang garda rerdepan dalam
pe
pemilu tersebur dapar disel Berkairan dengan usuI pembemnlcan pengadilan tersebut. disadari ~ sumber da~'a rna ... merupakan kendala utama. Namun usulan - memben . agar pengadilan iru ridak perlu dibentuk di - '-D3p k-e >!.ldid!! md:ainbn hanya di kecamatan-kecamatanyang memildo
rang
paling banyak. atau di mana terjadikonsemrasi m besar.
Namun
dikemukakan pada pelaksanaan pemilu untuk dilaksanakan. kurang dari 306 kelurahan/desa, dan
7 Ibid.
kelika usulan lersebut pertama kali 1999 (sekilar J.5 bulan sebelum waktu saal iml. Ie rasa bahwa usuJan lersebur sangar be rat Berdasarkan dala KPU pada saat itu. lercatat tak kabupalenlkotamadya. 4.029 kecamaran, 61.668 sekitar 200.000 rempar pemunguran suara (TPS).
x Satya AnD3lllO. "Pelanggaran Sian Kampanye.·· Baifa Keadilall. ELlisi no. 25. 14·20 April 1999. hal. 18.
4 Hukum dan Pembangll17an
Umuk pemilu yang akan datang, data itu akan bertalllbah Illengingat adanya beberapa daerah yang Illengalallli "pemekaran wilayah".
Disalllping itu, wacana tentang pengadilan klmsus pelllilu yang
lllunclIl pad a tahun 1999 yang lalu juga melllunculkan permasalahan temang hubungan amara pengadilan tersebut dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) - dalam arti apakah pembentllkannya tidak bertentangan
mau bersifat rumpang tindih dengan Panitia Pengawas Pemilu? Menurut
sosiolog hukum Prof. Satjipto Rahardjo, pembentukan pengadilan
semacam iru tidak akan bertentangan dengan Panwas, tetapi justru harlls berjalan bersama. Menurut Rahardjo, penyelesaian Panwas lebih
Illengarah ke lllasalah sosial politik, sedangkan pengadilan pemilu lebih berupa penyelesaian masalah secara yuridis."
Berkaitan dengan Ketemllan Pidana yang terdapat dalam UU
Pelllilu, dalalll kaitan dengan pelaksanaan peillilu 1999 yang lalu MA
telah lllenerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun
1999 temang "Tugas Khusus Pengadilan Negeri (PN) Umllk Pelllilu ". SEMA bernolllor: MAlKumdil/44/II1/KII999 tertanggal 19 Maret 1999 tersebut ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.1O
Pada iminya, SEMA rersebut lllenegaskan riga hal sebagai berikut: perrama, agar pengadilan lllemberikan prioritas dengan Illemberikan asas sederhana, cepar. dan biaya ringan atas pemeriksaan dan penyelesaian perkara-perkara yang khusus menyangkur ketentuan pidana sebagairnana dimakslld dalam UU 0, 3 Tahun 1999 tentang Pemilu beserta peraruran pelaksanaannya. Kedua, agar pengadilan membentuk majelis khusus dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan pemilu, dan anggoranya bukan hakim yang telah ditunjuk sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Ketiga, menangguhkan pelaksanaan pelaksanaan eksekusi putusan - khususnya yang berkaitan dengan peogosongan - selama pelaksanaan pemilu, mulai dari rahap kampanye him!!!3 tahap pennapaD basil pemilu. SEMA ini juga meminta agar pi"ngadilan memIJerikan infonnasi dan penjelasan tentang ketiga hal tersebut. sena meoyebarluaskan SEMA terse but kepada para hakim di wilayah kerja masiog-masiog, "
9 KOlJlpas. 15 April 1999. hal. 6.
10 Arinanto, ··Pt!nglH.iihm Pt!miiu. Perlu MajeJis Khusus". Loc. Cit. II INd.
Gagasan Pengadilan Pemilihan Umum 5
Oengan penerbitan SEMA tersebut - khususnya butir kedua yang
memerintahkan pembentukan suatu "majelis khusus" - seeara teknis
sebenarnya telah eukup memadai sebagai sarana untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran pelllilu. Nalllun delllikian, ada persyaratan lain
agar para hakil11 yang menyidangkan perkara-perkara pemilu - yang harus
berbeda dengan para hakim yang berrugas sebagai Panitia Pengawas Pel11ilu - benar-benar bersifat independen dalalll mel11utuskan perkara-perkara pelllilu.
Dengan demikian, akar perlllasalahan sebenarnya kelllbali ke
masalah klasik tentang independensi para hakim. WaJaupun para hakim tersebut tidak duduk sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilu, namun
jika mereka tidak indepenclen dalalll memutuskan perkara, maka (ak akan
ada gunanyalah reneana pembentukan majelis khusus (ersebllt. Berbeda
dengan pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, berdasarkan UU No. 3
Tahun 1999 tersebut para hakim memang duduk dalam keanggotaan
Panitia Pengawas Pemilu. Oi Tingkat Pusat misalnya. dari 30 anggota
Panitia Pengawas Pemilu Tingkat Pusat, terdapat 2 orang hakim agung. Sedan:<:kan di tingkat Propinsi DK] Jakarta, dari 19 orang anggota Paniria Peogawas Tingkat Propinsi," terdapat I orang bakim tim!~.
Demikian pula dengan PaniI:i:! Pt.lgawas Tingkat
Ka
b"p:o ... ",
le~a, 13 juga terdapat wakil- c!Eu para bakim yang berasaldan Pmg:Mtlan Negeri (PN) setemp2! Keiber.Klaan para hakim ini ticlak
rerCaraI Panitia Peoga",as Pemil!e TmgbI Kecamaran. karena tidak ada pen", tiogkal
to ....
"w
5, ditegaskan di l11uka, parahakil11 yang Idah daIam ~ Panitia Pengawas Pel11iiu
tidak boleh d:llarn majelis tbusn:s yang akan mengadili p
elanggaran-pelanggaran Ie m:imhk pidana pemilu. Kerenruan ini memang sempat
menimbuikan pe di beberapa daerah yang jumlah hakilllnya kurang, seperti misalnya yang diremui di Kabup3len Timor Ten~ah
Selaum Nusa Tenggara Timur. Namun demikian. hingga pelaksanaan pemilu berlangsung. (emyata permasalahan ini pada akhirnya cia par rerselesaikan.
I:! Sehelum herlakunya UU No. 22 Tahull 1999 lenrang Pernerinrahan Daerah. lelllhaga ini disehul sehagai Panitia Pengawas Pemilu Tingkm L.
I:; Sehdulll berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. lemhaga ini disebuL Palli{ia Pengawas
Pemilu Tingkat IL
6 Hukwu dan PeJ'nbangunan
C. Wacana tentang Pengadilan Pemilu Menurut RUU Versi Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan Versi Centre for Electoral Reform (CETRO)
Berkaitan dengan pembahasan berbagai Rancangan Un
dang-Unclang (RUU) Biclang Politik untuk remilu yang akan datang yang
banyak dilakukan pacta saat ini, ditemui adanya berbagai usulan tentang
konsep pengadilan pemilu di masa depan. Salah satu konsep yang
mengemuka ialah perlunya suatu Pengadilan Pemiiu Ad Hac. Berkaitan dengan konsep tersebut, RUU Pemilu yang cliajukan oleh Oepartelllen Oalalll Negeri dan Otonomi Daerah pad a saat illl misalnya, telah membllka kemungkinan adanya pengadilan pemilu yang bersifat ad hoc.
Oalam salah satu drafr RUU. tercantum bahwa tugas dan
kewenangan Pengadilan Pemilihan Umllm adalah: (a) menerima Berita
Acara Pemeriksaan pelanggaran terhadap peraturan pelaksanaan pemilu
clan KPU: clan (b) memeriksa dan memutus pelanggaran peraruran
pelaksanaan pemilu. Terhadap purnsan Pengadilan Pemilu hanya clapat
dilakukan upaya hukum kasasi."
Center for Electoral Reform (CETRO), suatu lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang banyak meneliti masalah pemilu di Jakarta, juga telah menYllsun suatu rancangan tentang Pengadilan Pemilu Ad Hoc dan
Hukum Acara Pengadilan Pemilll Ad Hoc. Jika dibandingkan dengan
rancangan versi Depanemell Dalam Negeri dan Otono111i Daerah.
konsepsi CETRO memiliki beberapa perbedaan, antara lain aclanya
penegasan bahwa pengadilan pemilu ad hoc dibentuk oleh MahIcamah
Agung (MAl "
Jib disimak lebih jauh_ selain Illelalui Pengadilan Ad Hoc.
konsepsi yang cliajukan oleb Depanemen Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah juga masih memberibn teweoangan kepada KPU umuk
menyelesaikan perselisihan yang rerj;Jdi amaI Pan:aj Politik (parpol) Peserta Pemilihan Umum, amara calon yang ber.IsaI dari Parpol Y'lIlg berbeda, dan antara organisasi/kelompok masyarabI dan Parpol Peserta
14 Lilla! Rancang.an Undang-Undang Repuhlik Indonesia Nomor ... Tahull tcnlang Pcmilihan Umum (Konsep III, Draft II) versi Tim Asistensi Perubahan Undang-UnJ<'ll1g Bidang PoJitik, Depanemen Dalam Negeri thtn Otonomi Daerah RI. 2001.
15 Lihat konsepsi CETRO tentang Pengadilan Pemilu Ad Hoc dan Hukulll Acara Pengadilan PClIliiu Ad Hoc. 2001.
Gagasan Pengadilan Pemilihan Umlllll 7
Pemilihan Umum, dan antara Parpol Peserta Pemilihan Umum. Pasal selanjutnya yang mengatur mengenai masalah ini tampaknya memiliki kecenderungan untuk memberikan kewenangan KPU sebagai semacam
lembaga arbitrase, yang berwenang melnberikan keputusan yang bersifat final dan mengikat untuk menyelesaikan perselisihan.:6
Jika ditinjau lebih lanjut, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang mungkin timbul berkaitan dengan pembentukan pengadilan pemilu ad hoc terse but. Masalah-masalah tersebut terbentang dari ll1asalah sanksi-sanksi untuk pelanggaran U U Parpol hingga beberapa permasalahan yang bersifat spesifik, misalnya tentang urgensi pell1bentukannya. struktur pengadilannya. hukum acaranya, aparat
hukumnya, dan kesiapan pell1erintah untuk membentuk pengaclilan tersebut.
Berkaitan clengan urgensi pemisahan pengadilan pemilu ad hoc dengan pengadilan lainnya, dapat dikemukakan bahwa hal ini ll1ell1ang perlu dilakukan mengingat adanya kekhususan-kelmsusan pennasalahan yang dibadapi dalam pemilu, baik yang bersifat kejahatan maupun
pelanggaran. Namun demikian, dalam kerangka sistem hukum nasional
pada wnumnya, memang harus dipikirkan kembali k
ecenderungan-keceolerungan untuk membentuk berbagai pengadilan ad hoc, termasuk
untuk masalah pemilu. Karena akan menimbulkan pemlasalahan pula jika
terlalu balllaJc clibentuk pengaclilan ad hoc dalam kerangka sistem hukum
nasional Lira..
Jib pun kemudian pengadilan ad hoc dipandang tepat untllk
menjadi solllSi sementara unruk mengarasi permasalahan yang ada, maka
struktur pengadilan pemilu ad hoc yang akan didirikan tetap tidak bisa dilepaskan dari srrul. .. tur pengadilan-pengadilan yang sudah ada. Paling tidak, ia harus dikaitkan clengan salah satu tingkat pengaclilan yang sudah
ada. Jika dilihat dari kemungkinan tersebarnya pelanggaran-pelanggaran
terhadap UU Pemilu. maka paling tepat jika pengadilan pemilu ad hvc dapat diletakkan di tingkat Pengadilan Negeri. yang wilayah hukumnya mencapai hampir seluruh Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia.
Permasalahan selanjutnya yang agak kompleks ialah ycng berkaitan dengan perumllsan hukum acaranya. Paling tidak, hukum acara
tersebut harus mencakup seluruh jenis pelanggaran maupun kejahatan
16 Lihat Pasa] 39 RUU Pernilu versi Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
8 Hukum dan Pembangunan
pemilu, baik yang telah dirwnuskan dalam KUHP, UU Pemilu, maupun berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, maupun yang belul11 dirumuskan di dalam berbagai peraruran tersebut.
Perumusan hukum acara tersebut juga harus diselaraskan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang pada saat ini berlaku di Indonesia. Misalnya. UU No. 28 Tahun 1997" tentang Kepolisian Negara RI (Polri) memberikan kewenangan kepada Polri untuk menyidik semua jenis tindak pidana, termasuk tindak pidana pemilu. Kewenangan semacam ini harus ditinjau kembali karena berdasarkan salah saru konsepsi yang diajukan oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Uika disetujui) akan ada suaru institusi kllUSUS yang berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pemilu.
Pembicaraan tentang prospek hukum acara pemilu ini juga mencakup pembahasan tentang mekanisme banding dan upaya hukum lainnya. Disamping iru. secara makro ia juga akan berkaitan dengan permasalahan aparat hukum dan kesiapan pemerintah unruk menyelenggarakannya. Misalnya. pada saat UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha egara diberlakukan. dalam UU terse but dinyatakan bahwa pengadilan ini barn akan dilaksanakan selambat-lambatnya lima tahun setelah UU tersebut disahkan. Hal ini berkaitan dengan perlunya persia pan sarana dan prasarana hukum serta unsur-unsur lainnya.
Berkaitan dengan hal itu. jika UU Pemilu tersebut jadi disahkan. paling tidak diperlukan waktu sekitar 2-3 rahun untuk mempersiapkan pendiriannya di seluruh Indonesia. Karena itu mau tidak mau RUU Pemilu tersebut harus disahkan selambat-Iambatnya pada bulan Juli tahun ini. agar jika pemilu akan dilaksanakan sesuai jadwal. masih [erdapa[ cukup waktu unruk sosialisasi dan persiapan pendiriannya.
D. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa
Pemilu
Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, kita memiliki suatu lembaga baru yang berwenang unruk menyelesaikan sengketa pemilu. Lembaga
17 Saat ini ~uuah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2002.
Gagasan Pellgadilall Pem;li!zan Umum 9
yang dilllakslid adalah Mahakalllah Konstitusi. Menurut Pasal 24C UUO 1945 ayat (I). Mahkalllah Konstitusi berwenang Illengadili pada tingkat
pertallla clan terakhir yang putusannya bersifat final untuk Illenguji UU
lerhadap Undang-Undang Oasar (UUD). ll1ell1utus sengketa kewenall~an
lell1baga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. mel1lUlUS pelllubaran partai politik, dan melllutus perselisihan tentang hasil pemilu." Oisal1lping itu Mahkal1lah Kanstitusi juga l1lemiliki kewajiban untuk ll1ell1berikan putusan atas pendapat OPR ll1engenal dug"an pelanggaran aleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Illenurut UUD.")
Mekanisllle penggunaan kewenangan yang disebutkan terakhir ini terdapat
dalam Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7) Perubahan Ketiga
UUD 1945.'"
J ika kita Illeninjau rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konsrirusi merupakan suatu lembaga yang harus segera
terbentuk sebelulll pelaksanaan pemilu 2004. karena ia memiliki beberapa
wewenang yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Berkaitan dengan
hal tersebuI, dalam rapamya pad a tanggal 6 April 2002, Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR antara lain telah Illenghasilkan kesepakatan untuk
mencanrumkan rul1lusan Ayat (2) Aturan Tambahan dengan rul1lusan
sebagai berikm:"
De .... an Perwakilan Rakyat bersama Presiden harus telah Illelllbentuk undang-undang temang Mabkamah Konstitllsi dalam waktu selambaI-lambatnya sam taIrun sejak Perubahan Keelllpat Undang-U ndang I>asar ini disahkan
Dalam mell3Ilggapi rumusan il1l. penulis berpendapat bahwa
seyogyanya tidal.. .'" lIl: lemang Ylahkalllah Konstilusi saja yang harus
diprioritaskan pe ya. Illelainkan seluruh UU yang telah
diperintahkan aleh Pe Pertama hingga Perubahan Keempat UUD 1945 yang akan darang. Jib berbagai U U yang relah diperintahkan
- .1ajt!lis Pt.:rmmyawaratan R.a~:al Republik Indonesia. Pmu.wlI1 Sir/allfr TtI/llll/wI MPR Rl Talwll 2001 (.lakana: SekrerariaI lenderal MPR RI. 10011. hal. 13.
Ibid .. lihal Pasal 24C ayat {:?:J Pt::rubahan Ke(lga CCO 1945, '" [hid .. hal. 8-9.
~I L,hal Panilia Ad Ho(.: I Badan Pd,erja MFR. "Llpman Pt:rkembangan Pelaksanaan
Tugas Paniria Ad !-Ioc I pada Rapat ke-3 Badan Pekt:lja MPR di Jakarta. 4 JUlii 2002.
10 Hukum dan Pembangunan
pembemukannya oleh Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan
Ketiga, dan - rancangan yang akan disetujui sebagai - Perubahan
Keempat UUD 1945 tersebut tidak segera terbentuk, maka berbagai
perubahan yang dimaksud tidak dapat segera diimplementasikan.
E. Pengadilan Pemilu Versi RUU Departemen Dalam Negeri
Sebagaimana diketahui, Departemen Dalam Negeri (DepdagriJ
baru-baru ini menyampaikan RUU Pemilu kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (OPR). Begitu rancangan rersebut beredar di masyarakat, segera
timbul perdebaran yang mengarah ke pro dan kontra terhadap beberapa
rancangan materi yang terdapat di dalam RUU tersebut. Pro dan kontra
yang sedang berlangsung hangar di msayarakat hingga saat ini ialah mengenai akan diberikannya hak memilih dan hak dipilih bagi para anggota TNI dan Polri.
Berkaitan dengan UU Pemilu. dalam RUU ini antara lain
dinyarakan bahwa penegakan hukum atas pelanggaran terhadap UU ini
akan dilakukan oleh Pengadilan Pemilu bersifat Ad Hoc yang dibentuk
dengan undang-undangn Namun demikian. RUU ini tidak memberikan
gambaran lebih lanjut rentang Pengadilan Pemilu Ad Hoc sepeni apa yang
akan dibentuk. Hal ini dikarenakan rancangan penjelasan dari pasal
tersebut hanya mengalakan: "Cukup jelas'·.
F. Pengalaman Beberapa" 'egara13
Dalam Subbab ini akan dik:emukakan gambaran singtal mengenai
Pengadilan Pemilu (Elecroral Coun cit beberapa negan.. Peruuna-tama
22 Lihat ranl.:ililgall P'ls.1I 127 dari RUU lersebuL
1.' lJlltuk penyusunan Subhah illL penulis menyampalkan terima Uslh kepada SUr. Moll. Adhy S. Aman, S.H. dari International Foundation for Election Systems (lFES) Indonesia
eli Jakana. yang telah memherikan herbagai hahan dan wehsite addre.rs yang berkilitall
dengan judul Suhbah ini. Mengingat luasnya bahan·bahan yang telah diherikan. maka oalam Subbab ini Ilanya akan disinggullg beberapa hal saja yang berkaitall dengan hal itu.
Nalllun licmiki'tIl. diskusi y,tIlg lebill mendalam Illcngenai hal ini dapat dilakukan dalam
scsi tanya-jawi.lh.
Gagasan Pengadilan Pemilihan Umum II
akan kita tinjau Negara Brazil. Dalal11 Pasal 118 Konstitusi Brazil ditetapkan bahwa Pengadilan Pel11ilu l11el11iliki beberapa badan sebagai berikut: (I) The Superior Electoral Court, (2) the Regional Electoral Courts, dan (3) the Electoral Boards.
Dalal11 Pasal 121-nya yang l11engatur l11engenai Kewenangan. Fungsi, dan Organisasi antara lain ditegaskan bahwa organisasi dan yurisdiksi dari Pengadilan Pel11ilu, para Hakim, dan para Anggota Dewan diatur dalam UU tersendiri. Pada saat sedang bertugas, para pihak yang disebut di muka dijamin kewenangannya dan mereka tidak dapat dipindah-pindahkan. Mereka l11enjabat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun dan tidak boleh l11elebihi dua periode masa jabatan. Putusan dari Pengadilan Pel11ilu tidak dapat dibanding ke pengadilan lain, kecuali putusan-putusan yang bertentangan dengan Konstitusi, Habeas Corpus,
dan sebagainya.
Disamping di Brazil, lembaga peradilan yang berfungsi seperti Pengadilan Pemilu juga terdapat di berbagai negara lainnya seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Mexico, dan Papua Nugini. Hampir di berbagai negara, pengadilan-pengadilannya l11emiliki peranan yang sang at reTbaias atau dapat dikatakan tidak memiliki peramn sama sekali dalam proses pembatasan atau redistrikisasi (delimiIalion atau redistricring proct!SS _ 1 amun ada pengecualian terhadap hal itu, yakni sebagaimana diterapkan di Al11erika Serikat, dimam pengadilan-pengadilan telah memutusl>;m ratusan !casus yang beIbitan dengan rencana-rencana yang
berkailan deogan Konggres aran disIriI;: legislatif. 24
Sedangkan eli Kanada. pengadilaonya beberapa waktu yang lalu telah juga lelab beISpeL.'1lIasi dalam arena redistrikisasi (redistricting), l11eskipun l11ereka telab mengeluarkan opini yang hanya berkaitan dengan konstitusionalitas dari batas-batas legislasi dan pet a pemilihan propinsi. Hal ini mungkin dapat berubah dalam waktu dekat. Tantangan penal11a terhadap rencana distrik pemilihan federal diajukan di Kanada pada tahun 1997. Inggris l11erupakan negara lainnya dimana pengadilannya telah diminta untuk mempertimbangkan legalitas dari rencana redistrikisasi. Telapi tantangan satu-satunya tersebut hingga saat ini belum berjalan dengan sukses, dan hal ini mungkin tidak mendorong proses litigasi yang
2-1 Handley. Lisa. Arden, dan Wayne. "B~undary Delimitation: Role of the Comb in Electoral District DelimilatiiJll." hup: / Iwww.aceproject.orgimain/engiishfbd/bdh06/default.hull. 19 lun! 2002.
12 Hukum dan Pembangllnan
terkait dengan permasalahan keadilan dari snam rencana redistrikisasi atan proses redistrikisasi di Inggris.25
Di Mexico, ketentnan-ketentnan yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu antara lain diatur dalam Federal Criminal Code, amara lain dalam Pasal 403-408, dan Pasal 411-412. Pasal 403 misalnya memberikan rincian tentang perbllatan-perbuatan melanggar hukum yang mllngkin dilakllkan oleh individu selama masa pemilu, kampanye, dan bahkan dalam proses pemilu sebagai berikut:'"
a. To illegally vote;
b. To carry out proselytism or to pressure the voters that are present at the voting booths;
c. To buy or force the votes by any forbidden means;
d. To obstruct, interfere or prevent the correct exercise of the duties of the electoral functionaries;
e. To restrict or pretend to restrict, in any way, the freedom of
suffrage;
f. To violate the secrecy of suffrage;
g. To introduce or remove the voting slips or ballot boxes, that is,
documents or electoral material, of the place that they legally
correspond;
h. To publish the results of the opinion survey within the 8 days
prior to election day;
l. To exchange the vote of the individual by means of a promise. coercion or giti.
Sedangkan di Papua ugini, dijumpai adanya kenyataan bahwa
petisi-petisi pemilu (election pecicions) telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Setiap orang mengetahui jumlah petisi pemilu yang tercatat yang disampaikan setelah pelaksanaan pemilu 1997 - 88 petisi secara keseluruhannya. Diharapkan. jumlah petisi akan semakin meningkat setelah pelaksanaan pemilu 2002 yang rencananya
25 Ibid.
2(, Otlice of the Prosecuting Attorney Specialize<.i in Electoral Crimes. "Juridical Nature of FEPADE aml the Electoral Crimes." (Mexico: II OklOher 2001).
Gagasal1 Pellgadilan Pemilihan Umlllll 13
diselenggarakan dalam bulan Juni ini. Ada dua badan yang berkaitan
dengan naik atau turunnya jumlah petisi pemilu. Pertama, Komisi Pelllilu (the Electoral Commissioll) dan agen-agennya di propinsi-propinsi dapar llleminimalkan petisi dengan penyelenggaraan pemilu yang bersih. Kedua. para kandidat dan pendukungnya harus mengontrol tingkah lakunya agar selalu sesuai dengan hukum, agar petisi pemilu atau problema pemilu lainnya tidak timbul."
G. Penutup
Oemikian beberapa wacana di sekitar pembentukan pengadilan ad
hoc pemilu. Oi luar wacana tentang masalah pengadilan pemilu yang
bersifat ad hoc tersebut. sebenarnya ada lagi institusi peradilan lain yang sangat diperlukan di Indonesia. yang salah satu tugas dan kewenangannya
juga dapat mencakup masalah pemilu. Peradilan yang dimaksud ialah suatu Mahkamah Konstitusi, semacam Federal COl1slifllliol1al Court di Jennan. Oi Jerman, lembaga ini juga memiliki kewenangan ulltuk
mo:mbubarkan parpol, dengan alasan telah melanggar prinsip-prinsip "free =ric basic order".
DaJam Perubahan Ketiga UUD lCJ.!S. i:zstinrsi ini juga telah
d· Namun demikian ~ piah:maaTUl}-a masih harus
me sejaub mana RUU renrrg ~Iahkamah Konstitusi akan
menja bal-hal yang Ie ~ dalam Perubaban Ketiga
tersebul. I>i .. lain, secara
ret::::s
~mya ketiga RUU Bidang Poilitikyang telab iapkan pihat Dep:memen Oalam /-Iegeri. khususnya
RUU tentang dan KedOOukan MFR. OPR_ DPO. dan OPRO.
juga tidak bisa Jang'SlJUg diberlakukan. karena rnasih harus menunggu hasil-hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
Oengan demikian, wac ana tentang pengadiIan pemilu yang bersifat ad hoc tersebut juga masih menjadi sebatas wacana.. dan harus disesuaikan
dengan kemungkinan Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUO 1945, dimana yang disebut terakhir ini masih dalam taraf pembahasan di
Badan Pekerja MPR RI. Semoga rancangan Perubahan Keempat ini dapat segera ditetapkan dalam Sidang Tahunan ketiga MPR pada bulan Agustus
27 John Nonggorr, "Preparations for 2002 Elections of PNG: The Courts."
http://www.thenational.c()l1l.pl:!. I April 2002.
14 HukUI11 dan Pembangunan
2002 yang akan datang, agar proses refonnasi yang sedang berjalan tidak
menjadi terhenti.
Daftar
Pus
taka
Arinanto. Satya. "Sistem Pemilihan Umum Proporsional: Beberapa Catatan." Makalah disampaikan dalam forum Ceramah I1miah bagi para pejabat dan staf di lingkungan Direktoral Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI di Jakarta. 7 Februari 2000.
_ _ . "Beberapa Catatan tentang Pemilll Lokal." Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Terbatas Mengenai Pemilu Lokal yang diselenggarakan oleh Tim Pakar Hlikum Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI di Jakarta. 26 Januari 2000.
_ _ . "Di Balik Komroversi Penetapan Hasil Pemilu." Berita Keadilan. Edisi No. 41. 4-lO Agustus 1999.
"Komroversi PP No. 33 Tahun 1999." Berila Keadilan, Edisi No. 38. 14-20 Juli 1999.
_ _ . "Campur Tangan Birokrasi dalam Pemilu 1999." Berita Keadilan,
Edisi No. 37,7-13 Juli 1999.
_ _ . "Panwaslu Kurang Mandiri." Pilar. No. 11 Tahun 11, 9-22 Juni 1999 .
. "Ditunggu, Peran fl,1A Sebagai "Constitutional Coon." Kompas.
21 Juni 1999.
_ _ . "Aspek Hukum Pemilu UJangan dan SIlSII'an " &rira Keadilan.
Edisi No. 34, 16-22 Juni 1999.
"Mengawasi Pemilu di SingapllTa dan lohor Baru." Berifa
Keadilan, Edisi No. 33, 9-15 Juni 1999.
"Stembus Accord." Berila Keadilall. Edisi No. 32,2-8 Juni 1999.
_ _ . "Dilema Pengawasan Pemilu." Panji Masyarakal, 26 Mei 1999.
Gagasoll Pengadilall Pemilihall Umum 15
_ _ . "Pelanggaran Pra Kampanye Pemilu." Berira Keadilan, Edisi No.
30, 19-25 Mei 1999.
_ _ . "Empat Permasalahan Hukwn Pemekaran Irian Jaya dan Maluku."
Berita Keadilall, Edisi No. 27, 27 April - 4 Mei 1999.
"Pemilu. KPU. dan Konsep "lalan Tengah"." Buletin JarillK. 14
April 1999.
"Pengadilan Pemilu, Perlu Majelis Khusus." Berita Keadilllll,
Edisi No. 26. 21-27 April 1999.
_ _ . "Pelanggaran Slarr Kampanye." Berita Keadilall, Edisi No. 25.
14-20 April 1999.
_ _ . "Anatomi Pertimbangan Hukum MA." Berita Keadilan. Edisi No. 24.7-13 April 1999.
_ _ . "KPU. MA. dan Pertimbangan Hukum." Berita Keadilan .. Edisi No. 23. 31 Maret - 6 April 1999.
_ _ . "Pengawasan dan Pemantauan Pemilu." Berira Keadilan. Ellisi No. 22. 24-30 Maret 1999.
_ _ . "PNS-ABRI: Saw UU. Dua Hukum." Kompas. I Februari 1999. Bjornlund, Eric. "The Promise of Democratization in Hong Kong: The
New Election Framework." Washington, D.C.: National
Democratic Institute for International Affairs, 1997.
Diamond. Larry. "Rethinking Civil Society: Toward Democratic
Consolidation" Journal of DemocraCl', 5 (Juli. 1994),4-17.
Garber. Larry. "Establishing a Legal Framework for Elections. ,.
Washington. D.C.: National Democratic Institute for International Affairs. 1992.
Handley. Lisa, Arden, dan Wayne. "Boundary Delimitation: Role of the
Courts in Electoral District Delimitation."
.
<
htm:! /www.aceproject.org/main/englishlbdlbdb06/default.htm>.
19Juni 2002.
~jelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putl/san Sidang
Tahunan MPR RJ Tahull 2001. lakarta: Sekretariat lenderal MPR
RL 2001.
16 Hukum dan Pelnbangunan
Meadowcroft, Michael. The Politics of Electoral Reform. London: The Electoral Reform Society, 1991.
Merloe. Patrick. "Electoral Operations, Human Rights, and Public
Confidence in a Democratic System." Paper presented in African
Election Administrators' Collogium in Zimbabwe, 15-18 November
1994.
Nonggorr. John. "Preparations for 2002 Elections of PNG: The
Courts.".
<
http://www.thenational.colll.pg>
.
I April 2002.Office of the Prosecuting Attorney Specialized in Electoral Crimes.
"'Juridical Nature 01' FEPADE and the Electoral Crimes." Mexico: 1 1 Oktober 200 J .
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakvat
Republik Indonesia. "Laporan Perkembangan Pelaksanaan tugas
Panitia Ad Hoc I pada Rapar ke-3 Badan Pekerja MPR." Jakarta 4
Juni 2002.
United Nations. Human Rig/us and Elections: A Handbook on the Legal,
Technical, and Human Rights Aspects of Elections. New Geneva:
Centre for Human Rights, 1994.