• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) TENTANG PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI TEMPAT PROSTITUSI KABUPATEN BREBES ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) TENTANG PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI TEMPAT PROSTITUSI KABUPATEN BREBES ARTIKEL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) TENTANG PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI TEMPAT PROSTITUSI

KABUPATEN BREBES

ARTIKEL

OLEH SITI ASLIKHA

020110a043

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO

UNGARAN 2016

(2)

TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) TENTANG PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI TEMPAT PROSTITUSI KABUPATEN BREBES

Siti Aslikha*), Sigit Ambar Widyawati, S.KM, M.Kes**), H. Auly Tarmali, S,KM, M.Kes***) * Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

**Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran *** Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

ABSTRAK

Infeksi menular seksual merupakan masalah kesehatan utama dan menjadi beban ekonomi bagi Negara-negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa setiap tahun diseluruh Negara terdapat sekitar 350 juta kasus baru infeksi menular seksual. Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini terjadi kecenderungan meningkat prevalensi IMS sampai 30-40% pada kelompok WTS dan juga pada penderita IMS yang berobat ke rumah sakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan wanita pekerja seks tentang penyakit infeksi menular seksual berdasarkan karakteristik di tempat prostitusi Kabupaten Brebes.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita pekerja seksual di Kabupaten Brebes pada tahun 2014 yang berjumlah 150 orang dengan sampel sebanyak 60 responden yang diambil secara quota sampling. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner, dianalisis secara univariat.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan baik berdasarkan umur (25%), tingkat pengetahuan baik berdasarkan pendidikan (15,8%), tingkat pengetahuan baik berdasarkan lama menjadi WPS (10,3%) dan tingkat pengetahuan baik berdasarkan asal lokalisasi (20%).

Wanita Pekerja Seksual diharapkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pencegahan tentang penyakit infeksi menular seksual.

Kata Kunci : Infeksi Menular Seksual, Tingkat Pengetahuan, Wanita Pekerja Seks Kepustakaan : 47 (1996-2013)

ABSTRACT

Sexual transmitted infections is a major health problem and the economic burden for developing countries. WHO estimates that every year there are about 350 million new cases of sexual transmitted disease. In Indonesia in the last few years a there has increased prevalence of sexual transmitted disease up to 30-40% in the group of female sexual workers and also in sexual transmitted disease patients were treated at the hospital. The purpose of this study was to determine the knowledge level of female sexual workers about sexual transmitted disease in place of prostitution Brebes.

The study used description design with cross sectional approach. The population in this study were all female sex workers at Brebes regency in 2014, as many as 150 people with sample of 60 respondents taken by quota sampling. Data collection used quesionnares, analysis by using univariate the result show good knowledge level based on age (25%), good knowledge level based on education (15,8%), good knowledge level based an duration WPS (10,3%) and good knowledge level based on the prostitusion place (20%).

Female sexual workers are expected to improve the knowledge and prevention of sexual transmitted disease.

(3)

Key Word : Sexsually transmitted infection, a knowledge level, female sexual workers

Bibliographies : 47 (1996-2013) PENDAHULUAN

. Word Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 340 juta kasus baru dari empat IMS (gonore, sifilis, infeksi klamidia dan trikomoniasis) dapat disembuhkan. Sekitar 75-85% dari jumlah tersebut berasal dari Negara berkembang. Penyakit Menular Seksual menimbulkan beban besar terhadap morbiditas dan mortalitas di Negara berkembang, baik secara langsung melalui dampaknya terhadap reproduksi dan kesehatan anak, dan secara tidak langsung berperan dalam memfasilitasi penularan infeksi HIV (Mayaud & Mabey, 2004).

Pada tahun 2005, diperkirakan ada 318 juta IMS dengan perkiraan 39.690.000 kasus infeksi klamidia, 9.430.000 kasus gonore, 2.54 juta kasus sifilis dan sekitar 25.760.000 kasus trikomonas (WHO, 2012). Kasus baru IMS diperkirakan lebih dari 110 juta di kalangan laik-laki dan perempuan di dunia (CDC, 2013). Referensi bahwa kelompok IMS banyak dikomunitas wanita pekerja seksual.

Prostitusi merupakan masalah utama dalam penyebaran IMS sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala (Mc Gough, 2008). Wanita Pekerja Seks (WPS) merupakan sasaran yang penting dalam pengendalian IMS, karena kelompok ini berisiko tinggi menularkan IMS kepada masyarakat melalui kliennya (Nguyen et al, 2008).

Wanita Pekerja Seksual merupakan wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja atau banyak laki-laki yang membutuhkan pemuas hubungan seksual dengan diberi imbalan bayaran. Dengan Pekerjaan tersebut, maka WPS beresiko terkena IMS (Penyakit Infeksi Menular Seksual). IMS adalah suatu penyakit atau gangguan yang

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak hubungan seksual. IMS yang sering terjadi dan dijumpai adalah gonorhoe, sifilis, herpes, namun yang paling besar adalah AIDS. Karena AIDS dapat mengakibatkan pada penderita kematian. IMS juga dikatakan infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular atau disebut juga penyakit kelamin atau penyakit kotor.

Penyakit ini akan lebih beresiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. WPS akan terkena infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius, bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan dan bahkan kematian. (Nugroho, 2012).

Insiden maupun prevalensi IMS yang sebenarnya diberbagai negara tidak diketahui dengan pasti. IMS merupakan satu kelompok penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Berdasarkan laporan-laporan yang dikumpulkan oleh WHO setiap tahun diseluruh negara terdapat sekitar 350 juta penderita baru IMS yang meliputi penyakit gonore, sifilis, herpes genetalis dan jumlah tersebut menurut hasil analisis WHO cenderung meningkat dari waktu ke waktu (Daili, 2004).

Terdapat lebih dari 15 juta kasus IMS dilaporkan pertahun. Kelompok remaja dan dewasa muda (15-24 tahun) adalah kelompok umur yang memilik resiko paling tinggi untuk tertular PMS, 2 juta kasus baru tiap tahun adalah dari kelompok ini (center for Disease Control and Preventation, 2004). Saat ini di dunia terjadi peningkatan jumlah HIV-AIDS dari 36,6 juta pada tahun 2002 menjadi 39,4 juta orang pada tahun 2004

(4)

sedangkan di Asia diperkirakan mencapai 8,2 juta orang degan HIV-AIDS (UNAIDS, 2004).

Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini terjadi kecenderungan meningkatnya prevalensi IMS misalnya prevalensi sifilis meningkat sampai 10% pada beberapa kelompok WTS (Wanita Tua Susila), 35% pada kelompok waria dan 2% pada kelompok ibu hamil, prevalensi gonore meningkat sampai 30-40% pada kelompok WTS dan juga pada penderita IMS yang berobat ke rumah sakit. Demikian juga prevalensi HIV pada beberapa kelompok perilaku resiko tinggi meningkat tajam sejak tahun 1993 (Daili,2004).Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 melakukan pengukuran prevalensi PMS yaitu sifilis, klamidia, dan gonore. Prevalensi Sifilis tertinggi pada kelompok Waria (25%). Dibandingkan dengan tahun 2007, prevalensi Sifilis mengalami penurunan pada kelompok Wanita penjaja seks langsung (WPSL) adalah wanita yang secara terbuka menjajakan seks baik dijalanan maupun di lokalisasi / eks- lokalisasi. Pekerja seks langsung mengacu pada keadaan mereka dimana interaksi seks untuk mendapatkan uang merupakan tujuan utama (Blancard & Moses,2008 ) dan Wanita Penjaja Seksual Tidak Langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti : bar, panti pijat dan sebagainya (4-8 kali), kelompok waria (20%) dan pria resti (3%). Penurunan tersebut terutama terjadi di lokasi-lokasi yang mendapatkan program Pengobatan Presumif Berkala (PPB). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok Lelaki Suka Lelaki ( LSL) dimana prevalensi Sifilis meningkat 2-5 kali dibandingkan tahun 2007. Wanita penjaja seks langsung (WPSL) adalah wanita yang secara terbuka menjajakan seks baik dijalanan maupun di lokalisasi / eks- lokalisasi. Pekerja seks langsung mengacu pada

keadaan mereka dimana interaksi seks untuk mendapatkan uang merupakan tujuan utama (Blancard & Moses,2008 ).

Dihubungkan dengan lama mereka melakukan praktek sebagai WPS, maka pengetahuan tentang IMS sangat minim. Pengetahuan mereka hanya terbatas pada akibat penyakit yang umum terjadi. Pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala dan pola-pola pencegahan pada umumnya masih sangat kurang. Padahal pengetahuan ini justru sangat dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan seseorang tertular IMS. Minimnya pengetahuan mereka turut mempengaruhi upaya penganggulangan yang perlu dilakukan, sehingga dapat memutuskan mata rantai penularan. Demikian pula apa yang dilaporkan DEPKES RI (2005), bahwa hanya 24% WPS mengetahui tentang IMS. Rendahnya pengetahuan WPS tentang cara penularannya dan gejala yang diperlihatkan seseorang yang menderita IMS akan turut berpengaruh pada perilaku seks mereka. Pengetahuan dan pemahaman yang tidak jelas terhadap orang dengan gejala dan tanda IMS membuat WPS tidak mewaspadai pelanggan yeng berpotensi menularkan penyakit tersebut pada waktu melayaninya. Melalui pengalaman yang menurut mereka aman-aman inilah membuat WPS semakin mempunyai kepastian untuk meneruskan pekerjaan mereka menjadi WPS dan melakukan hubungan seks dengan pelanggan dengan pemikiran tidak akan mungkin tertular IMS.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pasca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil

(5)

tahu dari manusia terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memugkinkan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Notoadmodjo, 2003).

Dari penelitian pada murid-murid SMA di Jakarta diperoleh data bahwa hanya 54% murid-murid SMA yang mengetahui bahaya penyakit kelamin. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Puji lestari (2009), studi diskriptif tingkat pengetahuan wanita pekerja seks (WPS) tentang penyakit menular seksual di Desa Sidomukti Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan, dari 93 reponden wanita pekerja seks (WPS) yang mempunyai pengetahuan baik 39 orang (39,78%), pengetahuan cukup 45 orang (48,38%) dan yang mempunyai pengetahaun kurang 11 orang (11,82%) dan berdasarkan penelitian Puji Lestari (2009), hubungan tingkat pengetahuan tentang infeksi menular seksual dengan prilaku seks pranikah mahasiswa DIII Kebidanan Semarang. Tidak ada hubungan pengetahuan tentang infeksi menular seksual dengan prilaku seks pranikah.

Hasil studi pendahuluan dari tempat Resosialisasi yang ada di Kabupaten Brebes terdapat 150 orang WPS yang terdapat dibeberapa tempat Lokalisasi antara lain di Kecipir, Klikiran, Kreseman, Lawang ijo, Kaliwlingi, Kersana dan Lapangan PG. Jatibarang. Wanita pekerja seks yang berada di eks lokalisasi tersebut secara periodic memeriksakan diri ke klinik IMS dipuskesmas Kecipir, Puskesmas Bulakamba dan Puskesmas Brebes. Dari data kunjungan klinik IMS di Kabupaten Brebes diketahui bahwa proporsi kejadian IMS masih tinggi dari tahun ke tahun. Dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Periode Januari- Juni tahun 2014 diperoleh servistis/proctitis sebanyak 29 kasus, dan Urethritis non-Go sebanyak 12 kasus. Dan Periode bulan Juli- Desember tahun 2014 diperoleh servitis/proctitis sebanyak 38

kasus,dan Urethritis non-Go sebanyak 10 kasus.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “tingkat pengetahuan wanita pekerja seks (WPS) tentang penyakit infeksi menular seksual (IMS) ditempat Prostitusi Kabupaten Brebes?”

METODE PENELITIAN

ini merupakan penelitian deskriptif dengan Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional. Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh WPS di Kabupaten Brebes sebanyak 60 responden.Metode pengambilan sampel dengan cara Quota sampling. Alat yang digunakan kuesioner dengan melalukan wawancara kepada responden.

HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat

1). Tingkat Pengetahuan

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS ditempat prostitusi

2). Umur

Tabel 4.3Distribusi Frekuensi Umur WPS tentang penyakit IMS di Tempat Prostitusi Kabupaten Brebes Tingkat Pengetahuan Frekuensi Presentase (%) Baik 6 10,0 Cukup 11 ` 8,3 Kurang 43 71,7 Total 60 100,0

Umur Frekuensi Presentase

(%)

Remaja 25 41,7

Dewasa 35 58,3

(6)

3). Pendidikan

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pendidikan WPS tentang penyakit IMS di Tempat Prostitusi Kabupaten Brebes.

4). Lama menjadi WPS

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Lama Menjadi WPS tentang IMS di Kabupaten Brebes

5). Asal lokalisasi WPS

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Asal (WPS) di Kabupaten Brebes

PEMBAHASAN

A. Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian dari responden mempunyai pengetahuan tentang penyakit menular

seksual dalam kategori kurang yaitu sebanyak 43 responden (71,7%), cukup 11 responden (18,3%). Kurang dan cukupnya pengetahuan para WPS tentang penyakit IMS dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : informasi langsung dari petugas penyuluhan kesehatan setempat mengenai IMS, selain itu informasi tidak langsung dari media cetak seperti postyer, selebaran, maupun media elektronik melalui iklan televisi dan sebagainya. Pengetahuan juga dipengaruhi oleh pengalaman, tingkat pendidikan,sosial budya dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangnya intelektual serta aspek fisiologis yang mana menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Budaya atau lingkungan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang di lingkungan yang mayoritas penduduknya memahami tentang kesehatan khususnya IMS karena tidak semua WPS memiliki lingkungan yang mayoritas penduduknya memahami tentang IMS pengetahuan yang didapatkan juga berbeda-beda. Pengalam juga sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, baik pengalaman sendiri ataupun dari orang lain. Sesuai pendapat Notoatmodjo (2012), sesuatu yang pernah dilakukan baik oleh diri sendiri atau orang lain dapat menambah pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang bersifat

non formal.

Berdasarkan pengetahuan WPS tentang penyakit IMS kebanyakan WPS menjawab pada tahu bahwa berganti-ganti pasangan dapat mengakibatkan penyakit IMS. Sebagian besar WPS sudah mengetahui dan memahami

sehingga mereka dapat

mengaplikasikannya. Berganti ganti pasangan dapat mengakibatkan penyakit IMS karena IMS dapat tertular melalui kontak seksual. Semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang lebih mungkin terjadinya infeksi. (Ronald 2011). Sedangkan responden yang menjawab 36 responden tahu gejala penyakit IMS dengan tanda keputihannya yang berbau

Umur Frekuensi Presentase

(%) Tidak Tamat SD 4 6,7 Tamat SD 19 31,7 Tamat SMP 23 38,3 Tamat SMA 12 20,0 D3/S1 2 3,3 Total 60 100,0 Lama menjadi WPS Frekuensi Presentase (%) <5 tahun 2 3,3 ≥5 tahun 58 96,7 Total 60 100,0 Asal lokalisasi WPS Frekuensi Presentase (%) Jatibarang 16 26,6 Kecipir Kersana Klikiran Lawang ijo 20 5 11 8 33,4 8,3 18,3 13,3 Total 60 100,0

(7)

dan rasa gatal pada alat kelamin, kurangnya pengetahuan dan pemahaman WPS mengenai tanda dan gejala penyakit IMS sehingga mereka tidak dapat mengaplikasikannya terbukti banyak WPS yang menjawab tidak tahu mengenai tanda dan gejala seseorang terkena IMS.

B. Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS berdasarkan umur. Hasil penelitian diketahui bahwa sangat sedikit dari responden yang tingkat pengetahuannya baik yaitu sejumlah 6 responden (10,0%) sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan tentang penyakit infeksi menular seksual dalam kategori kurang yaitu sejumlah 43 responden (71,7%). Sebagian dari responden yang memiliki pengetahuan cukup tentang penyakit IMS yaitu sejumlah 11 responden (18,3%). Tingkat pengetahuan tentang penyakit IMS kurang dikarenakan adanya keterbatasan informasi, tidak ada pengumuman yang isinya memberi informasi tentang cara penularan dan pencegahan IMS salah satunya seperti poster. Hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 27 responden (77,1%) dengan umur dewasa yang memiliki tingkat pengetahuan kurang. Diperoleh pula bahwa masih ada 7 responden (11,7%) yang sudah mengetahui pengertian dari IMS. Banyaknya responden yang belum mengerti tentang IMS yang disebabkan karena kurangnya pemahaman WPS. Tingkat pengetahuan responden yang bervariasi dapat disebabkan karena seseorang memperolehnya dengan cara yang berbeda. Mereka memperoleh pengetahuan dari teman, buku, media masa dan media elektronik.

C. Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS berdasarkan Pendidikan. Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian dari responden dengan pendidikan tamat SMP yaitu sejumlah 23 responden

(38,3%). Diperoleh pula sebagian besar responden dengan tingkat pengetahuan kurang dan tamatan SMP yaitu sejumlah 21 responden (91.3%). Responden dengan pengetahuannya kurang dikarenakan mereka hanya sebatas tahu saja tidak mau untuk mempelajari dan memahaminya. Mereka menganggap hal tersebut tidak penting dan tidak mempunyai dampak dalam kehidupannya, akhirnya mereka mengabaikan bahaya penyakit IMS. Menurut Rostikawati (2004), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Pendidikan dapat meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelktual akan berpengaruh pada wawasan, dan cara berfikir, sehingga pengetahuan tentang kesehatan semakin baik. Menurut Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memehami pengetahuan, pada umumnya semakin tinggi pendidikan WPS semakin baik pula pengetahuannya Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal karena terdapat faktor yang mempengaruhi pengetahuan WPS antar lain intelegensi, pengalama, informasi, kepercayaan, sosial budaya, status sosial dan pendidikan itu sendiri. Misalnya pengetahuan yang didapatkan dari penyuluhan kesehatan yang diberikan tenaga kesehatan pada WPS dilokalisasi, ataupun melalui media informasi yang ada. Menurut pengelola Layanan IMS di Kabupaten Brebes, bahwa WPS setiap akhir bulan mendapatkan

(8)

penyuluhan dilokalisasi, penyuluhan ini dilakukan agar WPS mendapatkan pengetahuan tentang penyakit IMS sehingg WPS dapat termotivasi untuk melakukan pemeriksaan IMS di Puskesmas terdekat. Menurut Wahyuni (2003), Untuk mendapatkan informasi IMS, tidah harus melalui pendidikan formal, informasi dapat diperoleh dari televisi, majalah, surat kabar, radio ataupun liflet yang dikemas dengan sangat menarik, dan dimana saja berada ataupun dari teman sebaya.

D. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Responden yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang di tempat prostitusi Kabupaten Brebes mempunyai persentase paling tinggi yaitu 71,7%.

2. Responden yang berumur 20-24 tahun di tempat prostitusi Kabupaten Brebes mempunyai persentase paling tinggi yaitu 30,0%.

3. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan tamat SMP di tempat prostitusi Kabupaten Brebes mempunyai persentase paling tinggi yaitu 38,3%.

4. Responden yang mempunyai lama menjadi WPS > 5 tahun di tempat prostitusi Kabupaten Brebes mempunyai persentase paling tinggi yaitu 96,7%.

5. Responden yang berasal dari tempat prostitusi di Kecipir Kabupaten Brebes mempunyai persentase paling tinggi yaitu 33,3%.

D. Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS berdasarkan lama mejadi WPS.

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden menjadi WPS > 5 tahun yaitu sejumlah 58 responden (96,7%), dan tingkat pengetahuan WPS

berdasarkan lama menjadi WPS sebagian besar > 5 tahun dan tingkat pengetahuan kurang sebesar 41 responden (70,7%). Hal tersebut dijalani oleh WPS untuk mendapatkan uang dan memenuhi kebutuhan kehidupannya, biasanya para WPS tidak perfikir panjang untuk menjalani pekerjaan yang ada didalam benaknya hanya untuk mendapatkan uang dan menuruti kepuasaan sesaat. Tidak memandang terlebih dahulu apa yang akan terjadi di waktu yang

akan datang.

E.Tingkat Pengetahuan WPS tentang penyakit IMS berdasarkan asal lokalisasi WPS.

Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian responden berasal dari Kecipir yaitu sejumlah 20 responden (33,3%). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh letak tempat lokalisasi yang strategis, aman dan nyaman sehingga WPS lebih memilih tempat lokalisasi di kecipir. Selain terletak di tempat yang strategis kecipir termasuk tempat lokalisasi yang ramai dikunjungi.

Diperoleh pula responden dengan tingkat pengetahuan kurang dan asal lokalisasi di Jatibarang yaitu sejumlah 12 responden (75,0%). Hal ini dapat terjadi karena di lokalisasi jatibarang tidak mempunyai sarana dan prasarana yang tidak lengkap. Selain tidak lengkap tempat ini tidak strategis dan berada di lingkungan kumuh, sehingga sepi dari pengunjung.

Tempat lokalisasi yang baik adalah tempat lokalisasi yang sudah tertata rapi dan terorganisasi seperti halnya di kecipir ini. Menurut Subadara (2007) dalam Isnaeni (2014), tempat lokalisasi

(9)

yang terorganisasi dengan baik yaitu adanya pemimpin, pengelola atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka tetapkan.

Kondisi lokalisasi yang sudah terorganisir disini diantaranya Kecipir dan lawang ijo beda sama yang lain seperti di jatibarang, Kersana dan Klikiran karena dilokalisasi ini belum terorganisir, dan tidak adanya pemimpin, pengelola. Ditempat lokalisasi ini juga jarang adanya kunjungan tenaga kesehatan yang secara berkala untuk pemeriksaan layanan IMS dan penyuluhan tentang promosi kesehatan seperti Pencegahan IMS.

B. Saran

1. Bagi Tenaga Kesehatan

a. Tenaga kesehatan dapat meningkatkan kinerja dengan melakukan kunjungan ke lokalisasi, yaitu dengan selalu melakukan pemeriksaan berkala untuk mengurangi penyebaran penyakit IMS

b. Tenaga kesehatan selalu melakukan promosi kesehatan dengan cara penyuluhan dalam pencegahan penyakit IMS.

2. Bagi Wanita Pekerja Seksual

Diharapkan wanita pekerja seksual rutin dalam mengikuti pemeriksaan IMS agar bisa mengetahui lebih dini tentang penyakit yang dialami diwilayah Kabupaten Brebes

3. Masyarakat

Diharapkan untuk

meningkatkan pengetahuan dan pencegahan tentang penyakit infeksi menular seksual di wilayah Kabupaten Brebes.

4. Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi tentang penyakit infeksi menular seksual (IMS).

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2006. Gonorrhea. www.healthychildren.

Org/english/health-

issues/conditions/sexually-transmitted/pages/gonorrhea (Diakses tanggal 30 Agustus 2013).

Ananya Mandal. 2013. What is HIV-AIDS. www.news-medical.net/health/what-is-hivaids.aspx (Diakses tanggal 3 September 2013).

Bambang, Nugroho. 2005. Pekerja Sebagai WPS. Jogjakarta : Insistpress

Daili S.F; Indriatmi W.,Zubair, F Judanarso, J.2003. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: FKUI.

Depkes. 2005. Penyuluhan Tentang Kesehatan.

http://repository.usu.ac.id/bitstream. Djuanda, Adhi. 2007. Wanita Pekerja

Seksual dan Penyakit yang Mengintai. Jogjakarta : Insistpress. Dr. Suparyanto, M.Kes. 2012. Cara

Pengukuran Pengetahuan.

http://www.carantrik.com/2012/06/ pengukuran-pengetahuan.html. (Diakses tanggal 17 Juni 2014). Herbaleng, Adi. 2007. Kesehatan

Reproduksi. Jakarta : Erlangga. Hutapea, Ronald. 2011. AIDS & PMS dan

Perkosaan. Jakarta :Rineka Cipta Indriani, Dyah. 2007.Perilaku pemanfaatan

skrining IMS oleh WPS ResosialisasiArgorejo dalam

pencegahan HIV dan AIDS di klinik Griya ASA PKBIKota Semarang. Skripsi. Semarang :Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

DianNuswantoro.

Kasnodihardjo 2010. Penyebaran IMS di Indonesia.

http://www.epidemiknsd.co.id Koentjoro. 2004 dalam Anggraeni 2014 Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998. Ilmu

(10)

KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Manuaba, Ida Bagus Gde, 1999. Memahami kesehatan ReproduksiWanita. Jakarta: Arcan.

Mayaud, Mabey, 2004. Penyakit Menular Seksual. Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003 Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Pendidikan dan Peilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :Rineka Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, Taufan, Verra scorviani. 2012. Mengupas Tuntas 9 JenisPMS. Yogjakarta: Nuha Medika.

Nugroho, Taufan. 2012. Mengungkap Tuntas 9Jenis Penyakit Menular Seksual. Yogyakarta : Nuha Medika.

Rostikawati. 2004. Pendidikan Kesehatan Masyarakat, Jakarta :Rineka Cipta. Scorviani, Verra. 2012. Mengungkap Tuntas

9 Jenis Penyakit Menular Seksual. Yogyakarta : Nuha Medika.

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta:EGC.

Wahyuni. 2003. Informasi Panduan

kesehatan, dari

http://www.informasikesehatan-yuni11.net diakses tanggal 28 juni 2013.

Wulandari, Stya. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan praktek WPS dalam melakukan skrining ulang.

Referensi

Dokumen terkait

Anggaran Rumah Tangga ini untuk pertama sekali ditetapkan oleh pengurus MGMP yang dibentuk pada pertemuan guru-guru matematika se-Kota Tebing Tinggi di SMA Negeri 1 Tebing Tinggi,

Excerpt 5 shows a similar pattern. At line 1, Teacher launches a new topic of discussing the focal fourth-grade student’s “benchmark math test” with the student’s Mom and Dad as

Berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Tim Pengabdian Kepada Masyarakat Skim Ipteks Tepat Guna bagi Masyarakat (ITGbM), dengan melaksanakan kegiatan pelatihan penelitian

Motivasi kerja adalah sikap dan nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai kebutuhan, sikap dan nilai tersebut merupakan suatu yang memberikan kekuatan untuk

Simpulan yang dapat diperoleh adalah instalasi dan penggunaan yang relatif mudah membuat pengguna dapat dengan leluasa melakukan pengawasan dan pengontrolan penggunaan

Abstrak :1 Pasar1 global1 merupakan1 pintu1 lebar1 bagi1 para1 produsen1 melakuakan1 transaksi1 perdagangan1 barang1 maupun1 jasa.1 Persaingan1 muncul1 sangat1 pesat1 dan1

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan praanggapan muncul pada beberapa tuturan dalam sketsa tersebut, praanggapan terjadi karena adanya persamaan pengetahuan

Saat ini banyak ritel modern yang menggunakan diskon untuk menarik pelanggan, mempengaruhi keputusan konsumen untuk melakukan pembelian bahkan mempunyai