• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nike (Awaous melanocephalus)

Ikan nike di perairan Sungai Bone Gorontalo merupakan schooling dari juvenil Awaous melanocephalus. Klasifikasi ikan nike menurut (Saanin, 1984) adalah sebagai berikut :

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei

Ordo : Gobiidaea Famili : Gobiidae

Genus : Awaous

Spesies : Awaous melanocephalus

Ikan nike merupakan kelompok anak ikan dari famili Gobiidae. Ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan kecil dengan panjang maksimum ± 8 cm. Ciri-ciri lain dari ikan nike adalah tidak berwarna atau keputih-putihan serta tidak bersisik (Tantu, 2001). Morfologi ikan nike dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan nike Awaous melanocephalus (Koleksi Pribadi)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantu (2001), menyebutkan bahwa schooling ikan nike di perairan Gorontalo terdiri dari juvenil ikan Awaous

(2)

2

melanocephalus dan juvenil ikan Eleotris frusca. Ikan Awaous melanocephalus merupakan spesies penyusun utama yaitu sebesar 99 % dari schooling tersebut, sedangkan juvenil ikan Eleotris frusca hanya merupakan spesies ikutan. Hasil penelitian Yusuf (2011) menyatakan bahwa komposisi gizi dari jenis ikan Awaous melanocephalus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi gizi nike Awaous melanocephalus

Komponen Kimia Nilai %

Air Protein Lemak Abu Karbohidrat 79,76 16,89 0,76 1,93 0,30 Sumber : Yusuf (2011)

Ikan nike (Awaous melanocephalus) merupakan ikan anadormous, yaitu ikan yang hidupnya di laut tetapi bermigrasi ke air tawar untuk beretelur . Setelah meletakan telurnya di dasar perairan, larvanya hanyut ke laut dan juvenil beruaya kembali ke sungai asal induknya (Yusuf, 2011). Ikan dari kelompok Gobii di perairan Hawaii sama seperti ikan nike, yaitu bersifat anadromous yang hidup dan berkembang di perairan laut, selanjutnya akan kembali ke habitatnya dan menetaskan larvanya di perairan sungai Gobii (Maie et al, 2009). Umumnya ikan Gobii mempunyai telur demersal, yaitu melekat pada suatu obyek di dasar perairan seperti pada batu dan diantara celah-celah batu.

(3)

3 2.2 Prinsip Dasar Pengolahan Ikan

Proses pengolahan dilakukan sebagai suatu usaha untuk memanfaatkan ikan agar dapat digunakan semaksimal mungkin sebagai bahan pangan. Ikan yang baru ditangkap dapat dipertahankan kesegarannya untuk jangka waktu yang cukup lama dan dapat diolah maupun diawetkan dalam berbagai bentuk bahan pangan. Pada dasarnya usaha-usaha pengawetan awalnya hanya dengan memanfaatkan proses-proses alami yang dikerjakan secara tradisional, tetapi karena perkembangan ilmu dan teknologi maka berkembang pula pembuatan alat-alat mekanis yang dapat menunjang dan mempercepat proses, memperbanyak produk akhir, sekaligus memperbaiki mutunya. Faktor-faktor alami yang banyak dimanfaatkan adalah panasnya sinar matahari.

Menurut Hadiwiyoto (1993), prinsip pengolahan dan pengawetan ikan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu:

a. Pengolahan dan pengawetan ikan dengan memanfaatkan faktor-faktor fisikawi. Pada metode ini yang banyak dikerjakan adalah pemanfaatan suhu tinggi ataupun suhu rendah, misalnya proses-proses pengeringan, pengasapan, sterilisasi (pengalengan), pendinginan, pembekuan, termasuk pula proses radiasi dan pengeringan beku.

b. Pengolahan dan pengawetan ikan dengan menggunakan bahan-bahan pengawet. Tujuan penggunaan bahan pengawet antara lain, menghambat pertumbuhan mikroba, menghambat proses enzimatik dan memberikan sifat fisikawi dan organoleptik (sensorik) yang khas yang dapat memberikan nilai estetika yang tinggi. Adapun yang tergolong pada metode pengolahan dan

(4)

4

pengawetan ini misalnya proses-proses penggaraman, pengasaman dan penggunaan bahan-bahan pengawet atau tambahan.

c. Pengolahan yang bersifat merubah sifat bahan menjadi produk semi akhir (setengah jadi) atau produk akhir. Metode ini banyak dikerjakan misalnya pada pembuatan tepung ikan (penggilingan), pengolahan minyak ikan, pengolahan kecap ikan, pengolahan terasi dan sosis ikan.

2.3 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis enzimatis atau kimiawi (Muchtadi, 2008). Aktivitas air (Aw) merupakan jumlah air yang tersedia yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.

Menurut Pinem (2004), pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia. Pengeringan pada dasarnya merupakan proses pemindahan energi yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan, sehingga mencapai kadar air tertentu, agar kerusakan bahan pangan dapat diperlambat. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pengeringan adalah kelembaban udara, kelembaban udara yang diperlukan untuk pengeringan sebesar 55-60 %. Pinem (2004) menambahkan pula bahwa efisiensi pengeringan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu radiasi matahari yang diterima oleh alat pengering, ukuran ikan, serta kapasitas ruang pengering yang

(5)

5

digunakan. Nilai efisiensi pengeringan semakin berkurang dengan berkurangnya kadar air dalam ikan.

Menurut Berk (2009), pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume bahan, sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya.

Menurut Rahayu dkk (2012),proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap: 1. Pada tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di

atas permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan. Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi disekitar permukaan bahan.

2. Pada tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan.

3. Pada tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan.

Hasil penelitian Yani dkk (2009), pada produk ikan nila kering yang mengunakan metode pengeringan surya aktif tidak langsung, menunjukan bahwa untuk memperoleh kualitas pengeringan yang baik, ada beberapa parameter yang harus dikontrol selama proses pengeringan yaitu:

(6)

6

1. Kecepatan aliran udara: kecepatan aliran udara yang tinggi dapat mempersingkat waktu pengeringan. Kecepatan aliran udara yang disarankan untuk melakukan proses pengeringan antara 1,5–2,0 m/det (meter/detik). Disamping kecepatan, arah aliran udara juga memegang peranan penting dalam proses pengeringan. Arah aliran udara pengering yang sejajar dengan produk lebih efektif dibandingkan dengan aliran udara yang datang dengan arah tegak lurus produk.

2. Temperatur udara: Secara umum temperatur udara yang tinggi akan menghasilkan proses pengeringan yang lebih cepat. Namun temperatur pengeringan yang lebih tinggi dari 500C harus dihindari karena dapat menyebabkan bagian luar produk sudah kering, tapi bagian dalam produk masih basah (case hardening). Khusus untuk ikan, temperatur pengeringan yang dianjurkan antara 40–50ºC.

3. Kelembaban relatif (Rh): pengeringan umumnya dilakukan pada kelembaban relatif yang rendah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecepatan difusi air. Kelembaban relatif yang rendah di dalam ruang pengering dapat terjadi jika udara pengering bersirkulasi dengan baik dari dalam ke luar ruang pengering, sehingga semua uap air yang diperoleh setelah kontak dengan produk langsung dibuang ke udara lingkungan. Lama waktu pengeringan tergantung pada banyak faktor, antara lain ukuran dan ketebalan ikan, temperatur pengering, kelembaban relatif udara, kecepatan udara pengering dan total beban pengeringan.

(7)

7 2.3.1 Mekanisme Pengeringan Ikan

Perpindahan panas dalam proses pengeringan dapat terjadi dalam 2 cara yaitu pengeringan langsung, dimana bahan pangan yang dikeringkan berhubungan langsung dengan sumber panas sedangkan pengeringan tidak langsung, yaitu bahan pangan yang dikeringkan tidak berhubungan langsung dengan bahan pemanas melainkan melalui conventer (Supriono, 2003).

Aidia (2011), menyatakan bahwa ketika udara panas dihembuskan pada bahan yang dikeringkan, menyebabkan air yang ada pada permukaan bahan pangan menguap. Uap air berdifusi melalui lapisan tipis udara disekeliling permukaan bahan dan terbawa bersama hembusan udara yang mengenai bahan. Penguapan air pada permukaan menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan uap air di permukaan dan di dalam bahan, demikian juga antara permukaan bahan dan udara sekeliling bahan. Perbedaan tekanan uap air inilah yang menyebabkan adanya aliran air dari dalam bahan pangan yang dikeringkan ke permukaan, selanjutnya diuapkan ke udara. Pergerakan air dari dalam bahan ke permukaan melalui mekanisme sebagai berikut:

1. Pergerakan cairan terjadi dalam saluran kapiler.

2. Cairan berdifusi karena perbedaan konsentrasi bahan bahan terlarut pada bagian-bagian yang berbeda dari bahan pangan.

3. Cairan juga berdifusi karena penyerapan oleh bagian padat dari bahan pangan yang terdapat pada permukaan.

4. Air dalam bentuk uap juga berdifusi dalam ruang-ruang udara di dalam bahan pangan akibat perbedaan tekanan uap air.

(8)

8

Yani dkk (2009), menyatakan bahwa ketika produk basah mengalami proses pengeringan maka pada produk akan terjadi dua proses secara simultan yaitu:

1. Perpindahan panas dari lingkungan untuk menguapkan air pada permukaan produk. Perpindahan massa berupa uap air dari permukaan produk tergantung pada temperatur udara lingkungan, kelembaban, kecepatan aliran udara, luas bidang kontak, tekanan udara dan sifat fisik produk.

2. Perpindahan air dari dalam produk ke permukaan produk dan selanjutnya mengalami proses penguapan seperti pada proses pertama. Perpindahan air dari dalam produk dipengaruhi oleh sifat fisik produk, temperatur dan distribusi kandungan air di dalam produk.

Pinem (2004), menyatakan bahwa sifat fisik ikan berhubungan dengan proses pengeringan antara lain: massa jenis ikan tergantung pada suhu, kandungan air dan lemaknya, massa jenis akan bertambah dengan pertambahan suhu dan kadar air, tetapi akan menurun dengan bertambahnya lemak. Hubungan linier antara kandungan air dan kandungan lemak ikan adalah kandungan air ikan menurun dengan bertambahnya kandungan lemak ikan. Kandungan lemak mempengaruhi difusi air dalam daging ikan kadar air kesetimbangan berperan penting dalam menentukan kondisi penyimpanan dan laju pengambilan uap air dari lapisan air bahan pada proses pengeringan. Kadar air kesetimbang merupakan batas air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu. Aidia (2011), mengemukakan bahwa pengeringan mekanik yang biasanya diterapkan dalam insustri perikanan adalah sebagai berikut:

(9)

9

a) Pengeringan ikan pada tekanan atmosfir yang cocok digunakan pada berbagai jenis ikan.

b) Pengeringan ikan dengan cara dikeringkan dalam terowongan atau di atas ban berjalan dimana aliran bahan dan udara panas dapat searah atau berlawanan arah. Pengolahan ini baik digunakan untuk produksi ikan dengan skala besar. c) Pengeringan ikan dengan cara prinsip osmosis, misalnya bahan direndam

dalam larutan garam kemudian dikeringkan atau dilakukan proses penjemuran.

d) Pengeringan dengan cara dimasukkan ke dalam ruangan yang bertekanan tinggi sehingga kadar air bahan dapat menghilang karena panas yang tinggi. 2.3.2 Pengaruh Pengeringan Terhadap Produk

Proses pengolahan umumnya dapat merubah sifat dari bahan pangan. Menurut Aidia (2011), proses pengeringan menyebabkan perubahan terhadap sifat-sifat pada ikan, diantaranya adalah:

1. Perubahan suhu bahan

Bila suhu pengeringan rendah maka perubahan suhu bahan kecil, tetapi bila digunakan suhu tinggi, maka perubahan suhu yang terjadi cukup untuk mengubah sifat-sifat bahan yang dikeringkan seperti pematangan, warna, denaturasi protein, dan lain lain.

2. Pengkerutan

Ikan dengan kandungan air yang tinggi akan mengkerut bila dikeringkan pada tekanan atmosfir karena keluarnya air dari dalam jaringan. Oleh karena itu bila pengkerutan tidak diinginkan, pengeringan dapat dilakukan pada tekanan rendah misalnya pada metode Freeze Drying.

(10)

10 3. Kerusakan Gizi

Kerusakan gizi terjadi akibat pemanasan dan kerusakan yang disebabkan oleh reaksi yang terjadi selama proses pengeringan misalnya kerusakan pada kandungan protein dan lemak akibat oksidasi.

Menurut Heruwati (2002), bahwa pemanasan yang berlebihan (di atas 900C secara berulang-ulang) dapat menyebabkan pembentukan H2S yang merusak

aroma dan mereduksi ketersediaan sistem dalam produk. Selain itu pemanasan juga menyebabkan terjadinya reaksi maillard antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan asam amino, terutama lisin, sehingga untuk mempertahankan mutu dan nilai gizi produk hal-hal di atas dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan pengolahan.

Aidia (2011), mengemukakan bahwa dalam pemilihan alat pengering tergantung pada bahan yang dikeringkan, pertimbangan ekonomi, serta frekuensi pemakaian. Penggunaan alat pengering dikatakan berhasil bila produk yang dihasilkan mempunyai rasa, aroma, dan penampilan yang baik dari segi mutu serta harganya bisa bersaing dengan cara pengawetan lainnya.

Pengeringan mencakup pemanasan secara simultan dan pengurangan kandungan air dari bahan. Reaksi yang terjadi selama proses pengeringan adalah pindah panas dan pindah massa, dan banyak faktor yang turut mempengaruhi laju keduanya dalam pengeringan. Metode pengeringan dengan udara panas merupakan ciri khas dari pengeringan. Kapasitas udara untuk mengambil air dari

(11)

11

bahan dan membuangnya ke luar tergantung pada suhu dan kelembaban (uap air yang sudah berada didalamnya). Kandungan uap air dalam udara diekspresikan dengan kelembaban absolute yaitu berat uap air per unit udara kering (kg/kg) atau dalam kelembaban relative k yaitu rasio tekanan parsial uap air dalam udara dengan suhu tertentu dan tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama, dikalikan dengan 100%. Suhu yang biasa diukur menggunakan thermometer gelas yang berisi air raksa atau alcohol, dikenal dengan bola kering atau disebut dengan suhu udara.

2.4 Penurunan Mutu Produk Kering

Penurunan mutu produk pangan akan terjadi selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi. Perubahan atau penyimpangan yang terjadi pada suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi (Arpah, 2007). Sianipar (2008), mengemukakan bahwa deteriorasi pada produk pangan kering dapat berupa perubahan fisik, mikrobiologi, dan kimia/ biokimia. Kerusakan fisik akan mempengaruhi sifat tekstur pangan, untuk produk pangan yang bersifat renyah akan berubah menjadi lembek/ tidak renyah, sedangkan untuk produk yang berbentuk bubuk akan terjadi penggumpalan.

Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriosasi dapat disebabkan oleh interaksi dengan berbagai faktor, baik faktor lingkungan eksternal maupun faktor lingkungan internal. Menurut Arpah (2007), faktor eksternal merupakan kerusakan yang dipengaruhi oleh udara, uap air, suhu, oksigen, dan cahaya, sedangkan faktor internal berupa komposisi yang terdapat pada produk itu sendiri.

(12)

12

Menurut Robertson (2006), reaksi deteriorasi yang terjadi pada produk pangan kering selama penyimpanan adalah terjadinya penyerapan uap air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering menjadi lembab/ kehilangan kerenyahan, terjadinya oksidasi lipid yang menyebabkan ketengikan, dan reaksi off-flavor sehingga produk tidak disukai dan kehilangan aroma. Menurut Arpah (2007), kerusakan tekstur akibat perubahan kadar air pada produk kering terjadi karena produk kering sensitif dengan perubahan nilai kadar air dan Aw. Kerusakan ini dapat memicu berbagai jenis reaksi deteriorasi lain yang juga sensitif dengan perubahan Aw.

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (Aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi Aw maka makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak menyukai Aw yang tinggi (Herawati, 2008).

2.4.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba

Mikroba merupakan penyebab kebusukan pangan. Tumbuhnya mikroba di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan dengan cara, menghidrolisis pati dan selulosa menjadi fraksi yang lebih kecil, menyebabkan fermentasi gula, menghidrolisis lemak dan menyebabkan ketengikan, serta mencerna protein dan menghasilkan bau busuk dan amoniak. Beberapa mikroba dapat membentuk lendir, gas, busa, warna, asam, toksin, dan lainnya, sebab mikroba menyukai kondisi yang hangat dan lembab. Sedjati (2006),

(13)

13

mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri yakni:

1) Nutrien

Mikroba memerlukan beberapa nutrien agar hidup dengan baik, yaitu unsur makro (Karbon, Hidrogen, Oksigen dan Nitrogen), unsur mikro (Sulfur dan Fosfor), dan trace element (Natrium, Kalium, Magnesium dan Mangan). Beberapa bakteri patogen dan penyebab kerusakan memerlukan nutrien dasar yang lain berupa gula, asam amino, lemak dan mineral.

2) Konsentrasi ion H (pH)

Bakteri lebih suka substrat yang memiliki pH mendekati netral. Susiwi (2009), meyatakan bahwa pH menentukan macam mikroba yang tumbuh dalam makanan dan setiap mikroba masing-masing mempunyai pH optimum, pH minimum dan pH maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri paling baik tumbuh pada pH netral, beberapa bakteri suka suasana asam, sedikit asam atau basa. Kapang tumbuh pada pH 2 – 8,5, biasanya lebih suka pada suasana asam. Sedangkan khamir tumbuh pada pH 4 – 4,5 dan tidak tumbuh pada suasana basa. 3) Kadar air

Kandungan air dalam substrat/ produk makanan merupakan sarana untuk pertumbuhan mikroba. Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan, air dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Air juga dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi didalam bahan pangan, misalnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Air yang dibutuhkan untuk terjadinya berbagai reaksi di

(14)

14

dalam bahan pangan serta tumbuhnya mikroba adalah air bebas. Air yang terikat kuat secara kimia sulit digunakan mikroba untuk hidupnya (Pia, 2008).

4) Aktifitas Air (Aw)

Aktifitas air adalah banyaknya air yang ada dalam produk makanan yang dapat dimanfaatkan mikroba untuk keperluan hidupnya. Nilai Aw minimum untuk bakteri adalah 0,95, ragi /yeast 0,86, kapang 0,70, bakteri halofilik 0,75 dan bakteri xerofilik 0,6. Suatu produk dapat dikatakan aman jika memiliki Aw di

bawah 0,60, namun pada kondisi seperti ini kerusakan kimia masih terjadi.

Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari makanan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah (Winarno, 2004). Robertson (2010), menyatakan bahwa selama penyimpanan akan terjadinya proses penyerapan uap air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering mengalami penurunan mutu menjadi lembab/ tidak renyah.

Hasil penelitian Heruwati (2002), pada pengolahan ikan tradisional dalam prospek dan peluang pengembangan mengemukakan, bahwa cara pengolahan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi/ dikemas dengan baik pada kondisi tropik mengakibatkan produk ikan olahan tradisional sangat rentan terhadap kerusakan mikrobiologis. Kerusakan mikrobiologi dapat menyebabkan pembusukan produk baik oleh bakteri atau jamur yang patogen maupun oleh racun yang dihasilkan, sedangkan menurut

(15)

15

Hasnaini (2012), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:

a. Produk yang memiliki selang aktivitas air sekitar 0.7-0.75 menyebabkan mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. b. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6-0.7 jamur mulai tumbuh.

c. Aktivitas air sekitar 0.35-0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya.

d. Produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilngan air selama distribusi atau penyimpanan, akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Hal ini terjadi pada selang aktivitas air 0.4 - 0.5.

Soekarto (1990), menyatakan bahwa pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu, mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusaka pada bahan yang dikemas.

5) Suhu

Susiwi (2009), mengemukakan bahwa setiap mikroba mempunyai suhu optimum, suhu minimum, dan suhu maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai suhu optimum antara 20ºC–45ºC. Suhu optimum pertumbuhan kapang sekitar 200C–300C, tetapi Aspergillus sp tumbuh baik pada 35ºC–37ºC. Umumnya khamir mempunyai suhu optimum pertumbuhan serupa kapang, yaitu sekitar 25ºC–30ºC. Bakteri patogen dan penyebab kerusakan pada umumnya termasuk golongan bakteri mesofilik yang hidup dengan suhu optimum 20ºC – 45ºC.

(16)

16 6) Keberadaan Oksigen

Berdasarkan proses respirasinya, mikroba dibagi menjadi 4 golongan, yaitu aerobik, anaerobik, fakultatif dan mikroaerophylik. Mikroba golongan aerobik bila hidup dan pertumbuhannya memerlukan oksigen bebas, seperti kapang pada makanan. Golongan anaerob tidak memerlukan oksigen dan tumbuh baik tanpa adanya oksigen bebas. Golongan fakultatif dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen bebas, dan mikroaerophylik bila pertumbuhannya membutuhkan sejumlah kecil oksigen bebas.

2.5 Penilaian Organoleptik

Penilaian organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Penerapan penilaian organoleptik pada prakteknya disebut uji organoleptik yang dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji ini akan menghasilkan data yang penganalisisan dengan menggunakan metode statistika (Soekarto, 2002).

Indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Panel diperlukan untuk melaksanakan penilaian organoleptik dalam penilaian mutu atau sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagi instrumen atau alat. Panel ini terdiri atas orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat dari suatu komoditi, orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

Pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok untuk cara pengujiannya. Cara pengujian yang paling popular adalah kelompok

(17)

17

pengujian pembedaan (difference test ) dan kelompok pengujian pemilihan (preference test ), disamping kedua kelompok pengujian tersebut, dikenal juga pengujian skalar dan pengujian deskripsi. Jika pengujian pertama banyak digunakan dalam penelitian, analisis proses, dan penilaian hasil akhir, maka dua kelompok pengujian terakhir ini banyak digunakan dalam pengawasan mutu (quality control) (Soekarto, 2002). Uji hedonik dilakukan dengan cara panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap sampel yang dinilai, bahkan tanggapan dengan tingkatan kesukaan atau tingkatan ketidaksukaannya dalam bentuk skala hedonik. Sedangkan untuk uji mutu hedonik, kesan mutu hedonik lebih spesifik, yaitu tidak sekedar suka atau tidak suka tetapi bersifat kesan spesifik dari sifat khas produk (Sarastani, 2012), sedangkan menurut Susiwi (2009), bahwa uji mutu hedonik merupakan pengujian organoleptik dimana panelis menyatakan kesan pribadi tentang baik atau buruknya (kesan mutu hedonik). Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari kesan suka atau tidak suka, dan dapat bersifat lebih umum. Faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan suatu produk adalah selera dan latar belakang individu yang memberikan penilaian (Winarno dalam Paulus, 2009).

Gambar

Gambar 1 Ikan nike Awaous melanocephalus (Koleksi Pribadi)
Tabel 1. Komposisi gizi nike Awaous melanocephalus

Referensi

Dokumen terkait

Tekanan, periksa tekanan ban (khususnya saat ketika kondisi ban masih dingin) karena berpengaruh pada pengendalian dalam berkendara. Tapak ban, ban dengan permukaan yang tidak

Fekunditas populasi, yaitu jumlah telur yang dihasilkan oleh induk ikan. betina dalam suatu populasi walaupun kelompok

Namun perlu diingat bahwa distribusi dan kelimpahan ikan disungai tidak dalam keseimbangan yang stabil, antara lain disebabkan karena ikan-ikan yang hidup

Ikan lele mempunyai potensi yang cukup baik untuk dibudidayakan karena kecepatan pertumbuhannya cukup tinggi, dapat memanfaatkan berbagai jenis makanan dengan mudah, dan

Banyaknya ragam bahan yang dikeringkan di dalam mesin pengering dan banyaknya macam peralatan yang digunakan, maka tidak ada satu teori yang baku mengenai pengeringan

Aspal cair, adalah aspal minyak yang pada suhu normal dan tekanan atmosfir berbentuk cair, terdiri dari aspal keras yang diencerkan dengan bahan pelarut... Aspal emulsi, adalah

Udara merupakan medium yang sangat penting dalam proses pengeringan, untuk menghantar panas kepada bahan yang hendak dikeringkan, karena udara satu-satunya

Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media pengering. Cara perpindahan panas